Gastronomi Ritual dan Filosofi Kehidupan: Analisis Komparatif Makanan Simbolik dalam Konteks Warisan Budaya Global dan Krisis Modernitas
Pendahuluan: Kerangka Teoretis Gastronomi Ritual
Gastronomi, dalam analisis antropologi, melampaui sekadar kebutuhan fisik untuk menjadi sebuah kerangka kerja kritis dalam memahami struktur sosial, identitas kultural, dan spiritualitas kolektif. Makanan yang disajikan dalam konteks ritual atau perayaan adat berfungsi sebagai media transmisi nilai-nilai filosofis dan etika sosial yang mendalam.
Makanan sebagai Media Transmisi Nilai dan Identitas Kultural
Antropologi makanan memandang makanan dan praktik makan (foodways) sebagai sub-bidang penting dalam memahami organisasi sosial, kekerabatan, dan makna budaya dalam suatu masyarakat. Makanan bukan hanya diposisikan sebagai subsistensi, tetapi sebagai praktik sosial integral. Dalam banyak budaya, setiap makanan yang digunakan dalam ritual selalu memiliki sisi simbolik, makna, dan moral yang mewakili identitas budayanya. Gastronomi, oleh karena itu, mencakup pemahaman makanan sebagai konstruksi budaya, simbol kolektif, dan penanda identitas sosial.
Salah satu konsep kunci adalah commensality, atau tindakan makan bersama, yang merupakan mekanisme penting untuk mempererat ikatan sosial dan meneguhkan identitas kelompok. Makanan ritual sering disajikan pada momen liminalitas, yaitu periode transisi penting dalam siklus kehidupan (misalnya kelahiran, kematian, atau pergantian musim panen). Makanan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan dimensi lahiriah (profan) dan dimensi batiniah (sakral). Praktik ini menunjukkan bahwa dalam banyak budaya, tidak ada dikotomi tajam antara yang spiritual dan yang duniawi; makanan adalah media spiritual yang memperkuat nilai-nilai kultural.
Peran Makanan dalam Siklus Hidup dan Keseimbangan Kosmik (Studi Kasus Indonesia)
Dalam konteks Indonesia, peran makanan ritual dalam memelihara ingatan dan keseimbangan kosmik terlihat jelas. Misalnya, Ritual Nyambai di masyarakat Lampung merupakan cerminan nilai-nilai adat yang mendalam. Ritual ini berfungsi sebagai sarana mengingat memori kolektif bersama, memperkuat koneksi sosial, dan mewariskan nilai-nilai adat kepada generasi muda, sehingga menjamin kelangsungan identitas masyarakat Lampung.
Contoh klasik lainnya adalah upacara Slametan dalam budaya Jawa. Slametan, yang berasal dari kata Jawa yang berarti aman, bebas masalah, dan tanpa sakit, adalah manifestasi religiusitas Jawa yang berakar pada keyakinan bahwa kesejahteraan hanya dapat dicapai melalui keseimbangan antara dunia fisik dan mental, termasuk hubungan dengan makhluk material dan immaterial (roh leluhur). Makanan adalah persembahan utama dalam upacara Slametan, dan ritual ini diselenggarakan hampir di setiap momen penting kehidupan, seperti kehamilan, pernikahan, panen, hingga penempatan rumah baru. Maksud dari Slametan adalah untuk memenuhi kewajiban sosial kepada yang hidup dan yang mati, kepada manusia dan roh, demi memastikan tidak ada yang mengganggu relasi kosmis ini.
Fungsi serupa juga terlihat pada tradisi tingkeban (upacara tujuh bulan kehamilan) dalam budaya Jawa. Makanan tradisional dalam upacara ini tidak sekadar hidangan, tetapi memuat makna simbolik yang mendalam, merepresentasikan nilai harmoni, keseimbangan, dan rasa hormat terhadap kehidupan, yang diekspresikan melalui istilah-istilah etnolinguistik makanan yang digunakan.
Jika makanan dipahami sebagai sistem tanda yang mencerminkan nilai moral dan ikatan sosial , maka dapat disimpulkan bahwa degradasi atau komodifikasi makanan ritual menjadi indikator langsung dari anomie budaya. Ketika nilai filosofis makanan terkikis, hal itu menandakan bahwa struktur sosial dan etika fundamental komunitas sedang tergerus oleh rasionalitas ekonomi. Menariknya, terlepas dari perbedaan geografis, terdapat kesamaan fungsi yang universal pada makanan ritual: Slametan bertujuan menyeimbangkan dunia fisik/mental , sementara ritual Toraja melibatkan komunikasi dan persembahan makanan kepada yang telah meninggal. Ini menunjukkan bahwa makanan ritual adalah respons universal terhadap kebutuhan manusia akan tatanan kosmik dan manajemen kecemasan terkait transisi besar dalam kehidupan (hidup, mati, perubahan musim).
Studi Kasus Global 1: Haggis—Manifestasi Keberanian dan Patriotisme Skotlandia
Haggis, hidangan tradisional Skotlandia berupa puding gurih yang terbuat dari jeroan domba (jantung, hati, paru-paru) yang dimasak dalam kantung perut domba, adalah contoh bagaimana makanan yang asalnya sederhana dapat diangkat menjadi simbol kedaulatan, karakter nasional, dan perlawanan kultural melalui ritual puitis yang terstruktur.
Konteks Perayaan: Burns Supper dan Penghormatan kepada Robert Burns
Haggis berada di pusat perayaan tahunan Burns Night, yang menandai ulang tahun penyair nasional Robert Burns (25 Januari), salah satu tokoh Skotlandia yang paling terkenal dan dirayakan. Perayaan Burns Supper adalah pengingat hangat akan rumah dan komunitas , menggabungkan elemen sastra, musik, dan gastronomi.
Ritual presentasi Haggis sangat performatif. Pada malam perayaan, hadirin akan berdiri saat Haggis dibawa masuk ke ruangan, biasanya didahului oleh seorang pemain bagpipe yang memainkan musik mars tradisional. Setelah Haggis diletakkan di atas piring perak (silver salver), tuan rumah atau tamu yang terhormat akan membacakan puisi Burns yang terkenal, Address to a Haggis.
Analisis Filosofis Address to a Haggis
Puisi Address to a Haggis, yang ditulis oleh Robert Burns pada tahun 1786, adalah inti filosofis dari ritual tersebut. Puisi ini secara harfiah memuji Haggis sebagai “Raja Puding,” yang memiliki tampilan yang menyenangkan (sonsie) dan kejujuran isi.
Simbolisme material Haggis diangkat ke status yang terhormat. Puisi itu secara tegas memuji komponen-komponennya yang sederhana—jeroan yang dimasak di dalam kantung perut (painch) atau usus (thairm)—sebagai sumber kekuatan fisik yang unggul. Burns menggunakan Haggis sebagai alat retoris untuk menegaskan identitas kelas pekerja dan kemandirian Skotlandia, sebuah deklarasi budaya yang mendalam.
Dalam puisinya, Burns mengkontraskan Haggis yang “kuat” (walie) dan “hangat-berasap” (warm-reekin) dengan makanan yang dianggap “lemah” (feckless) atau “encer” (skinking ware) yang hanya “terpercik dalam mangkuk” (jaups in luggies). Ia bahkan mengecam makanan mewah dari luar, seperti rebusan Spanyol (olio). Filosofi Haggis adalah manifestasi keberanian yang tulus dan ketahanan fisik. Burns menyiratkan bahwa seorang Skotlandia yang memakan Haggis akan memiliki tinju yang kuat (nieve), bukan kaki yang kurus (spindle shank), yang merupakan kritik tajam terhadap elit yang mengonsumsi hidangan asing yang dianggap lemah. Ritual membelah Haggis pada saat yang tepat dengan pisau seremonial adalah tindakan yang mentransformasi makanan menjadi sakramen kultural, menghidupkan kembali narasi nasional Skotlandia setiap tahun dan menegaskan kemandiriannya dari hegemoni kuliner asing.
Studi Kasus Global 2: Kimchi—Etika Kolektivitas dan Siklus Alam Korea
Kimchi, hidangan fermentasi tradisional Korea yang terbuat dari sayuran seperti sawi putih dan bumbu pedas , melambangkan lebih dari sekadar makanan pokok; ia mewakili etika kolektivitas, ketahanan, dan hubungan harmonis masyarakat dengan siklus alam.
Kimjang: Ritual Solidaritas Komunitas
Makna filosofis Kimchi paling jelas terwujud dalam tradisi pembuatannya, yang dikenal sebagai Kimjang. Kimjang adalah proses membuat dan berbagi Kimchi dalam jumlah besar untuk memastikan ketersediaan makanan selama musim dingin yang panjang.
Pada tahun 2013, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan tradisi Kimjang sebagai Warisan Budaya Takbenda. Pengakuan ini sangat penting karena UNESCO menekankan bahwa nilai utama tradisi ini terletak pada aspek sosialnya. Proses Kimjang yang dilakukan secara kolektif—bersama keluarga dan komunitas—secara signifikan memperkuat identitas sosial masyarakat Korea dan mencerminkan solidaritas. Dengan kata lain, Kimchi adalah sarana untuk mempererat hubungan sosial dan budaya di tengah masyarakat, bukan sekadar produk kuliner. Kimchi sendiri bukanlah makanan baru; catatan sejarah menunjukkan bahwa kuliner ini telah ada lebih dari 2.000 tahun lalu, mulanya hanya berupa sayuran yang diawetkan.
Filosofi Fermentasi dan Daya Tahan
Kimchi dihasilkan dari proses fermentasi sayuran dengan bumbu-bumbu seperti cabai, bawang putih, dan garam. Proses fermentasi ini meningkatkan nilai gizi dan rasa, sekaligus berfungsi sebagai metode pengawetan makanan yang vital. Secara filosofis, proses transformasi melalui fermentasi melambangkan daya tahan, ketahanan, dan kesiapan masyarakat untuk bertahan menghadapi perubahan dan tantangan, khususnya musim dingin yang keras. Proses panjang ini menuntut kesabaran, kerja sama, dan pemahaman kolektif yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Pengakuan UNESCO terhadap Kimjang, dan bukan hanya Kimchi sebagai makanan itu sendiri, menggarisbawahi bahwa nilai filosofis kritis terletak pada tindakan kolektif dan ritual pembuatan. Nilai sejati adalah solidaritas yang tercipta selama proses Kimjang.
Namun, ada ketegangan yang muncul akibat modernisasi. Meskipun tradisi Kimjang dipuji secara global, struktur sosial yang mendukungnya terancam oleh industrialisasi cepat dan urbanisasi. Industrialisasi dan urbanisasi di Korea yang pesat pada tahun 1960-an dan 1970-an secara inheren merusak struktur keluarga besar dan komunitas yang menjadi tulang punggung praktik Kimjang tradisional. Jika masyarakat beralih sepenuhnya untuk mengonsumsi Kimchi yang diproduksi secara massal oleh industri, makna solidaritas kolektif akan hilang, meninggalkan hanya produk kuliner tanpa kehadiran communitas (roh kebersamaan) yang otentik.
Studi Kasus Global 3: Mooncake—Reuni Keluarga dan Anomie Komersial
Mooncake (Kue Bulan) adalah hidangan wajib dalam perayaan Tiongkok yang sarat makna, Festival Pertengahan Musim Gugur (Zhōngqiū Jié). Analisis Mooncake memberikan studi kasus yang kuat mengenai bagaimana makna ritual yang suci dapat terdegradasi menjadi simbol status ekonomi di tengah gelombang komersialisasi modern.
Sejarah dan Simbolisme Reuni
Festival Pertengahan Musim Gugur dirayakan pada tanggal 15 bulan ke-8 kalender lunar, bertepatan dengan bulan purnama paling terang dan saat panen raya tiba. Perayaan ini awalnya merupakan bentuk syukur atas panen, dengan persembahan sesaji kepada bulan.
Mooncake mulai populer sebagai sajian istimewa pada masa Dinasti Tang (618–907 M). Secara filosofis, bentuk Mooncake yang bulat adalah simbol utama, melambangkan bulan purnama, kesempurnaan, dan yang paling mendasar, reuni keluarga. Rasa manis dari kue itu sendiri adalah doa untuk hidup bahagia, damai, dan sejahtera, sementara kuning telur asin di dalamnya melambangkan bulan purnama yang utuh.
Legenda Dewi Bulan Chang’e menyertai festival ini. Kisah pengorbanan Chang’e yang naik ke bulan melambangkan cinta, kesetiaan, dan kerinduan keluarga. Mooncake oleh karenanya berfungsi sebagai hadiah penuh makna yang diberikan kepada keluarga, sahabat, dan relasi, memperkuat ikatan persaudaraan dan kebahagiaan.
Analisis Kritis: Komodifikasi dan Anomie Budaya
Di tengah masyarakat modern yang didominasi oleh pasar konsumsi, terjadi pergeseran fokus. Simbol-simbol budaya yang berkaitan dengan festival tradisional, yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi, mendapatkan perhatian, namun semangat, emosi, dan konotasi budaya yang lebih mendalam seringkali diabaikan, membuat festival menjadi bersifat superfisial.
Perdagangan telah mengikis makna simbolis reuni keluarga. Terjadi kecenderungan yang jelas untuk lebih mementingkan bentuk luar (komersialisasi) Mooncake melalui kemasan yang mewah. Contoh ekstrem termasuk kotak yang terbuat dari kayu cendana atau kotak giok, serta isian yang sangat mahal seperti teripang atau abalon. Puncak komodifikasi terlihat pada kemunculan “kue bulan perhiasan” yang terbuat dari emas atau perak asli, mengubah makanan yang seharusnya suci menjadi komoditas status yang profan.
Fenomena ini mencerminkan situasi anomie modern, di mana maknanya telah runtuh. Seorang profesor dari Universitas NanKai mengkritik kondisi ini, menyatakan bahwa warisan budaya tradisional telah menunjukkan “keretakan,” di mana meskipun semakin banyak Mooncake yang dikirim sebagai hadiah, “jiwanya telah menghilang”.
Komodifikasi Mooncake menimbulkan anomie karena mengalihkan fokus dari kualitas hubungan (filial piety, kerinduan otentik) menjadi kuantitas dan kemewahan hadiah (status ekonomi). Alih-alih merayakan etika hubungan antarpribadi secara otentik, orang-orang kini sibuk dengan hiburan makan malam meriah atau sekadar mengirim pesan digital, sehingga kehilangan makna sejati dari nilai reuni. Selain itu, gaya hidup serba cepat masyarakat industri modern menantang pandangan kosmis Tiongkok kuno tentang Unity of Heaven and Man (kesatuan langit dan manusia). Banyak orang memilih beristirahat di rumah, mengabaikan ritual seperti menikmati keindahan bulan purnama, sehingga sulit mengalami rasa hormat terhadap alam dan emosi harmonis dengan budaya alam.
Komparasi Lintas Budaya: Makanan sebagai Jembatan dan Penegas Identitas
Untuk memahami peran makanan ritual secara menyeluruh, perbandingan fungsional antar budaya adalah hal yang penting. Makanan berfungsi sebagai penegas identitas—baik di tingkat nasional (Haggis) maupun komunal (Kimchi)—serta sebagai jembatan spiritual.
Tabel Komparatif Filosofis Makanan Khas Ritual
Komparasi ini menunjukkan bagaimana, meskipun berbeda dalam bahan dan konteks geografis, makanan ritual memiliki fungsi sosiologis dan kosmis yang serupa—yaitu untuk menjaga tatanan dan memperkuat ikatan.
Tabel 1: Komparasi Filosofis Makanan Khas Ritual
| Makanan Ritual | Konteks Utama | Makna Filosofis Inti | Fungsi Sosial/Ritual |
| Haggis (Skotlandia) | Burns Supper (Perayaan Puisi) | Keberanian, Ketahanan, Kehormatan pada Kesederhanaan/Rakyat Biasa. | Penguatan Identitas Nasional dan Warisan Sastra (melalui ritual performatif).[12, 13] |
| Kimchi (Korea) | Kimjang (Persiapan Musim Dingin) | Solidaritas, Siklus Alam, Ketahanan Kolektif, Pemanfaatan Fermentasi.[14, 16] | Warisan Budaya Takbenda; Mempererat Ikatan Sosial Komunal. |
| Mooncake (Tiongkok) | Festival Pertengahan Musim Gugur | Reuni Keluarga, Kesempurnaan (Bulan Purnama), Keharmonisan Kosmik. | Mediasi Ikatan Kekeluargaan; Bentuk Komoditas Status di era modern. |
| Nasi Tumpeng (Jawa/Indonesia) | Slametan, Syukuran | Kosmos, Keseimbangan Vertikal (Manusia-Tuhan), Keselamatan. | Menyeimbangkan dunia fisik dan mental; Pewarisan Nilai Adat. |
Makanan dan Ikatan dengan Kematian/Leluhur
Makanan ritual sering memainkan peran sentral dalam ritual yang berkaitan dengan kematian dan penghormatan terhadap leluhur, yang menunjukkan fungsi universal makanan sebagai mediasi antara yang hidup dan yang mati.
Di Tana Toraja, Sulawesi, Indonesia, upacara Ma’nene melibatkan klan mengunjungi makam, membersihkan jenazah, dan memperlakukan almarhum seolah masih hidup dengan menawarkan makanan dan minuman. Praktik ini, meskipun melibatkan sisa-sisa kerangka, dilihat sebagai reuni keluarga yang menegaskan bahwa hubungan keluarga tetap ada meskipun kematian telah terjadi. Puncaknya, upacara pemakaman besar (Rambu Solo) melibatkan pesta komunal (feast) yang besar, yang tidak hanya menghormati almarhum tetapi juga memperkuat ikatan komunitas.
Di Meksiko, tradisi Dia de Muertos (Hari Orang Mati) menggunakan Pan de Muerto (Roti Kematian), yang berfungsi sebagai persembahan di altar untuk menjembatani dunia yang hidup dan yang mati. Roti ini memiliki bentuk dan rasa yang unik, merefleksikan identitas lokal dan penghormatan kepada para difunto. Di beberapa wilayah, Pan de Muerto bahkan dibentuk menyerupai kupu-kupu yang didedikasikan untuk anak perempuan yang meninggal, berdasarkan kepercayaan bahwa mereka bertransformasi menjadi serangga ini.
Makanan Tabu (Food Taboos) sebagai Penanda Budaya
Fungsi struktural makanan dalam masyarakat juga terwujud dalam konsep makanan tabu (food taboos) atau larangan konsumsi. Pantangan ini berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya dan agama, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kehidupan. Larangan mengonsumsi makanan tertentu (misalnya daging amfibi, kelelawar, atau burung pemangsa ), atau pantangan yang berlaku untuk kelompok tertentu seperti anak-anak atau ibu hamil (misalnya larangan hati atau santan di beberapa budaya Afrika, karena dipercaya menyebabkan penyakit atau kebiasaan buruk ), berfungsi untuk mendefinisikan batas-batas identitas dan menjaga tatanan moral komunitas.
Makanan yang sangat dilarang (taboo) dan makanan yang wajib disajikan (ritual) sebenarnya membentuk sebuah Kontinum Moral. Kedua ekstrem ini—larangan dan kewajiban—memiliki tujuan fungsional yang sama, yaitu menegakkan tatanan moral komunitas dan mengkomunikasikan identitas.
Lebih lanjut, berbagai perayaan global melibatkan feasting (pesta atau makan bersama), baik itu Burns Supper (berbasis sastra), Rambu Solo (berbasis kematian), atau Slametan (berbasis keselamatan). Feasting ritual ini bukan sekadar aktivitas makan, tetapi merupakan tindakan kritis untuk distribusi kekayaan dan status (misalnya, melalui pengorbanan babi atau kerbau di Toraja ), sekaligus menegaskan hierarki atau solidaritas sosial di dalam komunitas.
Tantangan Pelestarian di Era Globalisasi dan Implikasi Kebijakan
Makna filosofis mendalam yang melekat pada makanan ritual menghadapi ancaman serius dari tekanan ekonomi global dan perubahan sosial yang cepat. Pelestarian warisan budaya kuliner membutuhkan pemahaman kritis terhadap ancaman anomie dan komodifikasi.
Ancaman Anomie dan Komodifikasi
Ancaman utama bagi makanan ritual adalah pengabaian spirit dan konotasi budaya yang mendalam. Di bawah dominasi pasar, ritual dan festival cenderung menjadi hanya bersifat superfisial, menonjolkan aspek yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi.
Di Tiongkok, komersialisasi Mooncake mengubah hadiah reuni yang bermakna menjadi komoditas status, di mana fokus beralih dari hubungan etis ke kemewahan materi. Keadaan ini merupakan manifestasi dari anomie: ketika norma-norma sosial tradisional (seperti pentingnya reuni yang tulus dan bakti anak) kehilangan relevansi dalam masyarakat yang sangat individualistik dan materialistis.
Dampak industrialisasi dan urbanisasi cepat, seperti yang dialami Korea , menyebabkan perubahan gaya hidup yang sulit mempertahankan praktik kolektif seperti Kimjang. Selain itu, pandangan dunia tentang kesatuan langit dan manusia (Unity of Heaven and Man), yang menuntut hubungan harmonis dengan alam (misalnya, piknik atau mendaki gunung), tertantang oleh gaya hidup serba cepat. Masyarakat perkotaan cenderung memilih beristirahat di rumah , sehingga mengabaikan ritual yang menghubungkan mereka dengan siklus alam. Hilangnya hubungan dengan alam ini berarti masyarakat kehilangan emosi atau persepsi akan harmoni kosmis yang mendasari banyak festival panen.
Strategi Pewarisan Nilai
Untuk mencegah fragmentasi identitas akibat hilangnya makna ritual, strategi pelestarian harus berfokus pada revitalisasi ritual, bukan hanya pengawetan resep.
Pertama, pelestarian harus menekankan pentingnya praktik dan ritual secara kolektif. Sebagai contoh, pelestarian Kimjang atau ritual pembacaan puisi Haggis harus diutamakan daripada sekadar komodifikasi produk akhir. Upaya ini harus diarahkan pada re-sacralization, yaitu mengembalikan fokus ritual dari kemasan (profan/ekonomi) ke performa dan etika (sakral/sosial). Intervensi kebijakan budaya mungkin diperlukan untuk membatasi ekses komersial yang merusak makna asli, seperti fenomena kue bulan perhiasan.
Kedua, peran narasi dan etnolinguistik sangat penting. Memahami istilah dan leksikon makanan tradisional, seperti yang terlihat dalam upacara tingkeban , adalah kunci untuk mempertahankan makna simbolik. Dokumentasi dan pendidikan harus menggunakan gastronomi sebagai kerangka kerja untuk memperkenalkan makna dan praktik tradisi kuliner kepada generasi muda, seperti penggunaan cerita anak yang mengangkat tradisi bancakan Jawa.
Makanan ritual berfungsi sebagai jaminan kontinuitas sosial. Dengan memperkuat ikatan sosial dan memori kolektif , makanan ini memastikan budaya tetap relevan di tengah perubahan dinamis. Ritual harus mampu beradaptasi dengan perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan tanpa menghilangkan esensi tradisi. Ini adalah langkah penting untuk mencegah hilangnya “jiwa” budaya.
Penutup
Makanan khas yang sarat filosofi merupakan prisma yang kuat untuk memahami identitas kultural dan kebutuhan manusia akan tatanan sosial serta kosmik. Studi kasus komparatif dari Haggis (yang menekankan keberanian nasional), Kimchi (yang memuliakan kolektivitas dan ketahanan), dan Mooncake (yang berpusat pada reuni keluarga) menunjukkan bahwa makanan ritual adalah sistem tanda yang digunakan untuk menegaskan identitas, merayakan siklus hidup, dan mengelola hubungan dengan leluhur dan alam.
Bahaya modernitas bukanlah hilangnya resep fisik, melainkan hilangnya “jiwa” di balik ritual—yaitu terkikisnya etika sosial dan nilai-nilai harmoni oleh tekanan konsumsi dan individualisme. Ketika makna simbolik makanan diperdagangkan menjadi komoditas mewah, tujuan utama festival—untuk mempererat hubungan manusia dan menyeimbangkan dunia batin—menjadi superfisial.
Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan pelestarian budaya harus bergeser dari sekadar museumifikasi (pengawetan fisik) menuju revitalisasi ritual (pengawetan praktik dan filosofi kolektif). Dengan memelihara tindakan kolektif dan narasi yang mengelilingi hidangan ini, masyarakat global dapat memastikan bahwa warisan budaya kuliner terus berfungsi sebagai fondasi moral dan memori sosial bagi generasi mendatang.


