Loading Now

Fashion dan Konflik: Analisis Strategis Bahan Baku Zona Perang dan Rantai Pasok Gelap

Industri fesyen global, yang didominasi oleh strategi produksi dan distribusi cepat yang dikenal sebagai fast fashion, saat ini dihadapkan pada pengawasan intensif terkait risiko Environmental, Social, and Governance (ESG) dan kepatuhan. Model bisnis yang berupaya menyeimbangkan permintaan konsumen dengan kapabilitas perusahaan melalui strategi respons cepat (quick response strategy) ini secara inheren menciptakan kerentanan sistemik, khususnya terhadap dampak kemanusiaan dan lingkungan. Untuk mencapai permintaan yang konstan akan harga rendah, banyak merek fast fashion memilih mengalihdayakan manufaktur ke negara-negara dengan regulasi tenaga kerja yang longgar, yang sering kali berujung pada praktik eksploitasi, upah yang sangat minim, kondisi kerja yang buruk, dan bahkan buruh anak.

Sektor fesyen memegang peran sentral dalam perekonomian global, tidak hanya sebagai produsen barang kebutuhan primer tetapi juga sebagai pemberi kerja utama di banyak wilayah. Tingkat visibilitas industri ini, ditambah dengan keterkaitannya yang mendalam dengan budaya konsumen, berarti bahwa setiap kegagalan—sekecil apa pun pelanggaran etika yang terdeteksi di hulu rantai pasok—dapat dengan cepat berubah menjadi bencana hubungan masyarakat (public relations disasters). Oleh karena itu, manajemen risiko yang efektif dan transparan bukan hanya tuntutan etika, tetapi telah menjadi imperatif strategis untuk menjaga nilai merek dan stabilitas finansial.

Definisi dan Skala Rantai Pasok Gelap (Dark Supply Chain)

Rantai Pasok Gelap (Dark Supply Chain/DSC) dalam konteks fesyen dicirikan oleh kurangnya transparansi (lack of transparency), yang memungkinkan praktik tidak etis dan ilegal berkembang tanpa terdeteksi. Ketidakjelasan dalam rantai pasok ini membuat konsumen dan regulator kesulitan untuk melacak asal-usul produk yang dibeli, sehingga memustahilkan penegakan praktik tenaga kerja yang adil dan etis di seluruh proses produksi.

Analisis terhadap insiden risiko dalam rantai pasok fesyen mengungkapkan bahwa isu sosial mendominasi. Risiko sosial menyumbang dua pertiga dari 791 insiden unik yang tercatat di 285 perusahaan fesyen selama periode lima tahun terakhir. Insiden-insiden ini didominasi oleh kondisi kerja yang buruk dan pelanggaran hak asasi manusia di semua tingkatan merek. Secara struktural, MNE fesyen seringkali hanya terlibat dalam desain, sourcing, dan distribusi, sementara produksi diserahkan kepada subkontraktor independen. Konsekuensi dari disintegrasi vertikal ini adalah pergeseran kekuasaan menuju pengecer, yang secara efektif dapat mengalihdayakan akuntabilitas (outsourcing accountability) atas dampak negatif lingkungan dan sosial kepada pemasok di negara-negara berkembang dengan biaya tenaga kerja rendah. Kompleksitas ini memungkinkan materi dari zona konflik atau sumber yang tereksploitasi untuk “dicuci” dan diintegrasikan ke dalam produk akhir.

Tujuan Laporan: Analisis Risiko Kepatuhan dan Peta Jalan Uji Tuntas

Laporan ini bertujuan untuk menyediakan analisis risiko kepatuhan strategis yang ditargetkan untuk Perusahaan Multinasional (MNE) di sektor garmen. Analisis ini berfokus pada pergeseran paradigma utama yang saat ini membentuk tata kelola korporasi: transisi dari etika sukarela menuju kewajiban hukum yang wajib (mandatory due diligence), terutama didorong oleh regulasi Uni Eropa. Laporan ini membedah hubungan kausal antara model bisnis fast fashion dan peningkatan risiko konflik/eksploitasi, serta menyajikan kerangka kerja untuk mencapai ketertelusuran, kepatuhan, dan mitigasi risiko yang efektif di tingkat Tier 3 rantai pasok.

Anatomi Rantai Pasok Multi-Tier dan Risiko Eksploitasi

Kompleksitas Rantai Pasok Fesyen dan Tantangan Visibilitas

Industri fesyen memiliki rantai pasok yang sangat beragam dan kompleks, yang dapat mencakup empat tingkat atau lebih. Rantai nilai ini membentang dari pemanenan bahan baku (Tier 3), pemintalan dan pencelupan (Tier 2), hingga pemotongan dan penjahitan garmen (Tier 1). Sektor ini menghadapi tekanan dari berbagai sumber global, termasuk kondisi perdagangan yang tidak terduga, lonjakan biaya material, dan mandat kepatuhan yang terus berubah.

Visibilitas end-to-end merupakan prasyarat untuk ketahanan operasional. Ketika ketersediaan material menjadi tidak pasti, kemampuan untuk dengan cepat mengidentifikasi sumber alternatif dan merutekan ulang produksi menjadi penting. Namun, MNE seringkali hanya berinteraksi langsung dengan pemasok Tier 1 (fasilitas manufaktur kontrak). Untuk mencapai visibilitas penuh, MNE harus mengumpulkan informasi mendalam dari pemasok Tier 2 (pabrik kain) dan bahkan Tier 3 (petani atau penambang), yang merupakan sumber utama risiko hak asasi dan lingkungan.

Eksploitasi Tenaga Kerja dan Akuntabilitas yang Dialihkan

Model bisnis yang menuntut harga rendah dan kecepatan tinggi secara sistematis mendorong eksploitasi. Kurangnya transparansi dalam rantai pasok memungkinkan pengalihan tanggung jawab. Perusahaan fesyen besar seringkali hanya berinvestasi dalam desain, sourcing, dan distribusi, sementara proses padat karya seperti manufaktur garmen disubkontrakkan. Hal ini mengakibatkan pergeseran kekuatan dari produsen ke pengecer, yang kemudian dapat mengalihkan akuntabilitas sosial dan lingkungan ke pemasok di negara-negara berkembang dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah.

Konsekuensi dari tekanan harga yang mendasar ini adalah humanity impact negatif yang signifikan. Contoh nyata dari kegagalan tata kelola risiko yang parah terlihat pada bencana runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh pada tahun 2013, di mana terungkap bahwa pekerja dipaksa untuk terus bekerja meskipun ada kerusakan struktural, yang mengakibatkan lebih dari 1000 kematian. Tragedi ini menunjukkan bahwa audit yang hanya bersifat permukaan atau reaktif tidak cukup; diperlukan transformasi sistemik dalam tata kelola untuk mengatasi risiko eksploitasi yang mendalam. Tekanan pasar untuk kecepatan dan harga rendah secara kausal mendorong outsourcing ke yurisdiksi yang memiliki regulasi lemah, yang pada gilirannya membuka pintu bagi kerja paksa atau komoditas konflik untuk masuk ke dalam rantai pasok gelap.

Bahan Baku Berisiko Tinggi dan Sumber Pendanaan Konflik

Risiko terbesar bagi MNE fesyen saat ini berada di hulu rantai pasok (Tier 3), di mana bahan baku utama seringkali terkait dengan pelanggaran HAM berat atau deforestasi.

Kapas dan Krisis Kerja Paksa (Xinjiang, Tiongkok)

Kapas adalah serat alami yang paling banyak digunakan secara global. Namun, sourcing kapas menjadi kontroversial karena krisis hak asasi manusia yang terjadi di wilayah barat Xinjiang, Tiongkok. Bukti menunjukkan bahwa otoritas Tiongkok memaksa ratusan ribu warga Uighur dan minoritas lainnya untuk menjadi pekerja kasar di ladang kapas Xinjiang.

Keterbatasan Skema Sukarela: Kasus Kapas Xinjiang secara efektif menelanjangi kelemahan skema sertifikasi sukarela. Better Cotton Initiative (BCI), yang menetapkan standar global, menghadapi kritik keras. BCI awalnya menyatakan menghentikan kegiatan di Xinjiang karena “dugaan berkelanjutan” adanya kerja paksa. Namun, kantor cabangnya di Shanghai secara kontradiktif menyatakan kepada media Tiongkok bahwa mereka tidak pernah menemukan bukti kerja paksa sejak 2012. Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa skema sukarela mudah dikompromikan oleh tekanan geopolitik dan komersial, memperkuat argumen bahwa kepatuhan hanya dapat dijamin melalui regulasi wajib yang memiliki sanksi hukum yang tegas, seperti Larangan Impor Kerja Paksa UE dan UFLPA AS.

Komoditas Pendorong Deforestasi (Kulit)

Risiko lingkungan di Tier 3 juga mencakup komoditas yang terkait dengan deforestasi. Peternakan sapi, yang menyediakan kulit untuk industri fesyen, diidentifikasi sebagai pendorong tunggal terbesar deforestasi Hutan Hujan Amazon. Industri fesyen adalah roda penggerak utama dalam rantai ekspor kulit ini. Laporan telah menunjukkan bahwa merek-merek fesyen besar berpotensi mendapatkan kulit dari produsen dan penyamakan yang terkait dengan perusakan Amazon. Risiko ini akan menjadi fokus utama di bawah regulasi EU Deforestation Regulation (EUDR), yang mewajibkan uji tuntas pada komoditas terkait deforestasi.

Mineral Konflik dalam Aksesori, Pewarna, dan Teknologi

Meskipun biasanya dikaitkan dengan elektronik, mineral konflik (conflict minerals) seperti Timah, Tantalum, Tungsten, dan Emas (3TGs) penting untuk industri global. Di Republik Demokratik Kongo (DRC), kontrol atas sumber daya mineral ini telah membiayai operasi kelompok bersenjata sejak Perang Kongo Kedua pada tahun 1998, yang menyebabkan siklus konflik dan kekerasan yang parah.

Penting untuk menyikapi narasi konflik mineral dengan nuansa. Meskipun mineral memang membiayai konflik, narasi yang menyederhanakan krisis DRC hanya sebagai “keserakahan sumber daya” dikritik karena tidak lengkap dan berpotensi berakar pada pandangan kolonial yang reduksionis, mengabaikan kompleksitas geopolitik dan sejarah. Oleh karena itu, strategi sourcing MNE di DRC harus memprioritaskan uji tuntas yang ketat (seperti yang diuraikan dalam Panduan OECD) dan keterlibatan, alih-alih divestasi total yang berisiko merugikan masyarakat lokal yang bergantung pada penambangan artisanal legal.

Studi Kasus Geopolitik dan Risiko Operasional

Konflik Asia Tenggara: Industri Garmen Myanmar Pasca-Kudeta (2021-2024)

Kudeta militer di Myanmar pada Februari 2021 berfungsi sebagai stress test akut untuk uji tuntas rantai pasok. Ketidakstabilan politik di Myanmar secara langsung menyebabkan peningkatan kekerasan dan penindasan yang sistemik terhadap pekerja garmen.

Eskalasi Pelanggaran HAM: Business & Human Rights Resource Centre telah melacak ratusan serangan terhadap hak-hak pekerja garmen (mayoritas perempuan) di tempat kerja dan di ruang publik. Hanya dalam 213 hari hingga Oktober 2024, tercatat 155 insiden pelanggaran hak buruh, yang diperkirakan hanya “puncak gunung es” dari masalah yang lebih luas di bawah pemerintahan militer.

MNE yang beroperasi di Myanmar dihadapkan pada dilema risiko keterlibatan (complicity) dalam pelanggaran HAM sistemik versus risiko dampak sosial-ekonomi jika mereka menarik diri sepenuhnya (divestment). Kasus ini menunjukkan bahwa uji tuntas tradisional yang berfokus pada audit pabrik mikro tidak memadai; MNE harus mengintegrasikan penilaian risiko politik makro di wilayah operasional sebagai bagian dari fungsi Chief Risk Officer (CRO) mereka.

Transfer Risiko dan Volatilitas Perdagangan

Selain risiko etika dan sosial, MNE juga menghadapi risiko operasional dari volatilitas geopolitik. Kondisi perdagangan yang tidak terduga, didorong oleh perubahan kebijakan (seperti sanksi atau tarif), mengganggu aliran kontinu bahan baku. Dalam skenario di mana satu jaket membutuhkan wol dari Mongolia, poliester dari Tiongkok, dan ritsleting dari Jepang, gangguan minor apa pun dapat mengancam seluruh lini produk.

Untuk mempertahankan ketahanan, MNE dituntut untuk mengevaluasi kembali hubungan pemasok mereka dan mencari alternatif. Tanpa visibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat, perusahaan akan menjadi reaktif terhadap disrupsi. Investasi dalam teknologi spesifik industri untuk memberikan visibilitas penuh memungkinkan perusahaan untuk merespons dengan presisi dan gesit, menjamin bahwa pemasok vital memiliki modal yang mereka butuhkan, dan mempertahankan laju produksi untuk memenuhi ekspektasi konsumen.

Kerangka Hukum Internasional dan Kewajiban Uji Tuntas Wajib (Mandatory Due Diligence)

Pergeseran mendasar dari kepatuhan sukarela ke kewajiban hukum yang wajib merupakan perkembangan terpenting bagi MNE fesyen saat ini.

Pilar Panduan Global

Kerangka kerja etika global telah ditetapkan oleh Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs) dan OECD Due Diligence Guidance for Responsible Supply Chains in the Garment and Footwear Sector. Panduan OECD, yang didukung oleh 50 pemerintah, serikat pekerja, dan masyarakat sipil, menciptakan pemahaman umum tentang due diligence dan Responsible Business Conduct (RBC) dalam sektor garmen dan alas kaki. Kerangka kerja ini menjadi dasar bagi regulasi wajib yang muncul.

Revolusi Regulasi Uni Eropa: CSDDD dan Pelarangan Kerja Paksa

Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD)

Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD), yang diadopsi pada tahun 2024, memperkenalkan kewajiban hukum yang mengikat. Regulasi ini berlaku untuk perusahaan berbasis UE dan non-UE yang beroperasi di pasar UE dengan ambang batas pendapatan dan jumlah karyawan tertentu. Sektor garmen dan tekstil secara eksplisit menjadi fokus CSDDD karena risiko sistemiknya dan rantai nilai yang rumit yang dapat menyembunyikan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan.

CSDDD mewajibkan MNE untuk:

  1. Mengidentifikasi dan Menilai Risiko:Mengevaluasi potensi pelanggaran hak asasi manusia dan risiko lingkungan di seluruh rantai nilai (all tiers). Ini memaksa MNE untuk mencapai ketertelusuran hingga Tier 3 (bahan baku).
  2. Menerapkan Tindakan Pencegahan:Mengimplementasikan kebijakan dan prosedur untuk menghindari atau mengurangi dampak negatif.
  3. Remediasi (Perbaikan):Menawarkan solusi bagi individu atau komunitas yang dirugikan oleh kegiatan perusahaan. Mekanisme remediasi ini harus memenuhi kriteria PBB yang mencakup legitimasi, aksesibilitas, kepastian, keadilan, dan transparansi.
  4. Pengungkapan Publik:Melaporkan upaya, temuan, dan hasil uji tuntas setiap tahun.

Draft EU Forced Labour Import Ban

Rancangan Larangan Impor Kerja Paksa UE adalah regulasi yang lebih ketat, yang bertujuan melarang produk yang terbukti terkait kerja paksa memasuki pasar UE. Regulasi ini membawa obligation of results (kewajiban hasil), artinya produk yang terbukti terkait kerja paksa akan dilarang, meskipun MNE telah melakukan uji tuntas yang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan harus mencapai hasil yang nyata, bukan sekadar upaya prosedural.

Regulasi ini kemungkinan akan menyertakan pembalikan beban pembuktian (reversal of the burden of proof) yang serupa dengan UFLPA AS. MNE harus secara proaktif membuktikan tidak adanya kerja paksa dalam rantai pasok mereka. Perubahan ini menempatkan risiko litigasi yang signifikan bagi MNE yang gagal mengatasi sumber daya dari zona konflik.

Table V.2: Peta Kepatuhan CSDDD dan Implementasi Uji Tuntas

Tahap Uji Tuntas (Menurut CSDDD) Kewajiban Hukum (Ringkasan) Aksi Korporasi yang Diperlukan MNE Fesyen Tantangan Utama dalam Implementasi
1. Identifikasi dan Penilaian Risiko Evaluasi potensi risiko HAM dan lingkungan di seluruh rantai nilai (all tiers). Menerapkan pemetaan rantai pasok mendalam (end-to-end tracing), termasuk pemasok material mentah (Tier 3). Kurangnya visibilitas data di Tier 3 (petani/penambang).
2. Tindakan Pencegahan Implementasi kebijakan dan prosedur untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif. Merevisi kontrak pemasok Tier 1-3 dengan klausul kepatuhan yang ketat; diversifikasi sumber, terutama dari wilayah dengan risiko kerja paksa tinggi. Ketergantungan ekonomi dan politik pada wilayah pemasok tertentu.
3. Remediasi Menawarkan solusi bagi individu atau komunitas yang dirugikan oleh aktivitas perusahaan. Membangun mekanisme pengaduan operasional yang independen, adil, transparan, dan dapat diakses (sesuai kriteria PBB). Memastikan legitimasi dan keadilan mekanisme tersebut di yurisdiksi yang berbeda.
4. Pengungkapan Publik Pelaporan tahunan tentang upaya, temuan, dan hasil uji tuntas. Penerbitan Laporan Kepatuhan DD yang terperinci dan diaudit untuk memenuhi tuntutan pemangku kepentingan. Menghindari greenwashing dan memastikan data akurat, bukan sekadar audit permukaan.

Peta Jalan Strategis untuk Ketertelusuran dan Mitigasi Risiko

Penguatan Traceability: Dari Keharusan Legal ke Keunggulan Strategis

Ketertelusuran tidak lagi sekadar tren, tetapi telah menjadi keharusan hukum dan strategis yang tak terpisahkan dari manajemen risiko. Peningkatan permintaan konsumen dan regulator menuntut bukti konkret atas komitmen merek terhadap keberlanjutan.

Tantangan terbesar adalah kompleksitas Tier 2 dan Tier 3. MNE harus berinvestasi dalam teknologi yang memungkinkan pemetaan rantai pasok yang mendalam. Dengan visibilitas penuh, MNE dapat mengidentifikasi area di mana keberlanjutan dapat ditingkatkan, mengambil keputusan yang lebih bertanggung jawab , dan memastikan ketahanan operasional saat menghadapi kondisi perdagangan yang tidak menentu.

Reformasi Audit dan Kepatuhan Internal

Audit harus diperluas melampaui kendali mutu produk jadi  menjadi pemeriksaan independen dan sistematis yang fokus pada kepatuhan ESG. Tragedi Rana Plaza menegaskan bahwa kegagalan kepatuhan internal, yang memaksa pekerja terus bekerja di bawah kondisi berbahaya, dapat berakibat fatal.

Kepatuhan internal juga harus dilengkapi dengan mekanisme penanganan aduan yang efektif. Mekanisme ini harus menyediakan jalur yang efektif bagi mereka yang berpotensi terkena dampak untuk mencari perbaikan, asalkan mekanisme tersebut memenuhi kriteria utama legitimasi, aksesibilitas, kepastian, keadilan, dan transparansi yang berlandaskan pada dialog dan kerjasama.

Kolaborasi Multipihak dan Peran Pemerintah

Kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi risiko sistemik dalam rantai pasok global. MNE harus mengakui pentingnya Organisasi Non-Pemerintah (LSM) dalam memengaruhi strategi dan keputusan perusahaan. Kerjasama yang erat dengan serikat pekerja dan LSM sangat krusial untuk memantau risiko secara efektif dan membangun kredibilitas mekanisme pengaduan.

Pemerintah nasional juga memiliki peran penting. Misalnya, pemerintah Indonesia perlu menciptakan harmonisasi yang menjembatani industri tekstil dan garmen dalam negeri dengan pasar thrifting (impor pakaian bekas) yang tidak diatur. Regulasi yang tepat diperlukan karena impor pakaian bekas dapat merugikan produksi lokal dan secara struktural menguntungkan perusahaan fast fashion global yang membuang kelebihan produk mereka ke pasar Indonesia. Upaya global untuk kepatuhan etika harus diimbangi dengan kebijakan domestik yang mendukung industri berkelanjutan di dalam negeri. Aliansi PBB untuk Fesyen Berkelanjutan juga bekerja untuk meningkatkan kolaborasi dan harmonisasi inisiatif melalui pertukaran pengetahuan.

Mendorong Pergeseran Paradigma Konsumsi

Secara jangka panjang, MNE harus menggeser model bisnis mereka dari fast fashion ke slow fashion. Adopsi slow fashion secara efektif dapat menekan limbah tekstil  dan mengurangi tekanan produksi cepat yang mendorong eksploitasi.

Uji tuntas (due diligence) merupakan alat penting untuk mendukung slow fashion. Dengan memetakan rantai pasok, uji tuntas memungkinkan merek untuk mengidentifikasi waste hotspots (misalnya, di tahap pemotongan kain) dan mempromosikan sourcing material yang lebih berkelanjutan (prioritas pada bahan daur ulang atau biodegradable). Integrasi uji tuntas dalam operasi inti merupakan langkah maju menuju pengurangan dampak lingkungan dan peningkatan akuntabilitas yang transparan.

Kesimpulan

Industri fesyen tidak dapat lagi menyembunyikan risiko-risiko di balik kurangnya transparansi. Regulasi wajib (CSDDD) dan larangan impor (EU Forced Labour Ban) secara efektif telah mengakhiri era kepatuhan sukarela. Untuk bertahan dalam lingkungan regulasi yang baru ini, MNE harus mengintegrasikan akuntabilitas hingga ke Tier 3 rantai pasok.

Rekomendasi strategis MNE harus didasarkan pada pergeseran dari kepatuhan minimal ke ketahanan sistemik:

Rekomendasi Aksi Jangka Pendek (0-12 Bulan)

  1. Prioritas Regulasi UE:Segera lakukan analisis kesenjangan menyeluruh untuk mengukur kesiapan operasional terhadap persyaratan CSDDD, terutama kewajiban pemetaan risiko end-to-end dan ketentuan pembalikan beban pembuktian dalam larangan kerja paksa.
  2. Audit dan Mitigasi Tier 3:Perkuat tim sourcing dan audit untuk memperluas cakupan hingga Tier 2 dan Tier 3. Fokus pada diverifikasi asal bahan baku yang paling berisiko (kapas, kulit, mineral konflik). Menerapkan geo-sourcing intelligence untuk memantau perubahan risiko politik makro di zona operasional.
  3. Kaji Ulang di Zona Konflik:Lakukan risk assessment mendalam di lokasi seperti Myanmar. Jika MNE memilih untuk tetap beroperasi (demi mempertahankan lapangan kerja), harus ada heightened human rights monitoring yang bekerja sama dengan LSM independen dan serikat pekerja untuk menghindari risiko keterlibatan.

Rekomendasi Aksi Jangka Panjang (1-5 Tahun)

  1. Mekanisme Remediasi yang Diperkuat:Anggarkan dan bangun mekanisme penanganan aduan operasional yang independen, mudah diakses, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada komunitas yang terdampak, sesuai dengan kriteria Panduan PBB.
  2. Transparansi Wajib:Komitmen untuk melakukan pengungkapan publik yang komprehensif mengenai temuan uji tuntas dan hasil remediasi, melampaui pelaporan minimal CSDDD, untuk membangun diferensiasi strategis di pasar yang didorong oleh nilai.
  3. Reformasi Model Bisnis:Alihkan investasi dan strategi pengadaan dari tekanan biaya rendah ke model slow fashion dan praktik pengadaan yang adil. Merek harus memastikan bahwa harga kontrak yang dibayarkan kepada pemasok Tier 1, 2, dan 3 mencakup biaya untuk upah yang adil dan kondisi kerja yang aman, sehingga menghilangkan tekanan finansial yang mendasari eksploitasi. Ini adalah satu-satunya solusi berkelanjutan untuk memutus hubungan antara fesyen dan konflik.