Loading Now

Dominasi Asia: Analisis Pergeseran Hegemoni Kultural Global oleh K-Pop dan C-Beauty

Abad ke-21 ditandai oleh pergeseran tektonik dalam struktur kekuasaan global, bergerak dari dominasi unipolar Barat menuju tatanan multipolar yang didominasi oleh kebangkitan Asia. Pergeseran ini tidak hanya terbatas pada kekuatan militer dan ekonomi (hard power) tetapi juga merambah ke ranah pengaruh moral dan intelektual, atau soft power. Laporan ini mengajukan tesis bahwa dominasi kultural dan komersial Eropa/Barat yang telah berlangsung selama berabad-abad kini ditantang secara efektif oleh strategi soft power yang matang, terutama yang dimanifestasikan melalui fenomena budaya pop Korea Selatan (K-Pop/Hallyu) dan industri kecantikan Tiongkok (C-Beauty). Perubahan ini merupakan indikasi bahwa selera global, standar estetika, dan narasi inovasi kini dibentuk di Asia Timur, menandai perubahan struktural yang melampaui tren pasar sesaat dan memasuki ranah hegemoni kultural.

Kerangka Konseptual: Soft Power dan Hegemoni Kultural

Untuk memahami mekanisme di balik pergeseran ini, penting untuk menganalisis dua kerangka teoritis kunci: Soft Power dan Hegemoni Kultural.

Definisi Soft Power (Joseph Nye)

Menurut Joseph Nye, arsitek konsep ini, soft power adalah kemampuan aktor politik internasional untuk menarik dan membujuk negara lain agar membentuk pandangan yang sesuai dengan ideologi yang ingin mereka kembangkan melalui budaya, ide-ide politis, dan kebijakan luar negeri. Berbeda dengan hard power yang bertumpu pada kekuatan militer dan ekonomi, soft power mengandalkan atraksi dan persuasi. Konsep ini relevan dalam Hubungan Internasional (HI) kontemporer karena menawarkan cara yang lebih efektif dan lebih murah bagi suatu negara untuk memajukan kepentingannya di tengah meningkatnya risiko dan biaya penggunaan kekuatan militer serta interdependensi ekonomi global. Nilai-nilai yang diekspor melalui soft power ini seringkali disebut sebagai norma global, yang mencakup liberalisme, pluralisme, dan otonomi.

Hegemoni Kultural (Antonio Gramsci)

Konsep soft power memiliki pola relasi kuasa yang selaras dengan konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci. Dalam pandangan Gramsci, hegemoni adalah kepemimpinan yang bersifat moral dan intelektual, di mana faktor penyatunya adalah persetujuan (consent) yang dicapai melalui persuasi. Unsur-unsur seperti ideologi budaya, filosofi, dan golongan intelektual yang membentuknya adalah faktor intrinsik dari hegemoni ini.

Hubungan Causal dan Implikasinya

Apabila suatu negara berhasil memproyeksikan budayanya sedemikian rupa hingga norma dan estetika yang diusungnya diadopsi secara sukarela oleh audiens global, negara tersebut telah mencapai hegemoni kultural. Dalam konteks ini, K-Pop dan C-Beauty berfungsi sebagai faktor intrinsik dari hegemoni Asia. Produk budaya ini menjual nilai-nilai (estetika, etos kerja, inovasi) yang kemudian diadopsi secara sukarela (melalui consent) oleh audiens global, menggantikan norma-norma Eurosentris.

Keberhasilan K-Pop, misalnya, yang mempromosikan pluralisme visual dan otonomi ekspresi, berarti Asia telah berhasil membingkai budayanya sendiri sebagai representasi dari norma-norma global yang secara historis diklaim oleh Barat. Ini menunjukkan bahwa pergeseran yang terjadi adalah pengambilalihan narasi yang mendasar, bukan sekadar ekspor produk.

Tesis Sentral Laporan

K-Pop dan C-Beauty adalah manifestasi Smart Power Asia—gabungan antara daya tarik budaya yang terorganisir (Soft Power) dan keunggulan teknologi/ekonomi (Hard Power tersembunyi)—yang berhasil mendefinisikan standar kecantikan dan selera global baru, sehingga mengikis monopoli narasi Barat dan memaksa adaptasi struktural di pasar Eropa.

Pilar Soft Power Korea Selatan: Ekosistem Hallyu dan Penetrasi Global

Anatomi Gelombang Hallyu: Dari Ekspor Budaya Menuju Standar Estetika

Gelombang Hallyu (Korean Wave) telah berkembang dari fenomena regional menjadi kekuatan global yang tidak terbendung. Lebih dari sekadar genre musik, Korean Pop (K-Pop) merupakan sebuah ekosistem kompleks yang mengintegrasikan musik, tarian, fesyen, video musik berkualitas tinggi, dan interaksi intens dengan penggemar.

Mekanisme Ekspansi dan Konsolidasi Pasar

Awalnya, popularitas K-Pop terbatas di Asia Timur, dengan keberhasilan BoA dan TVXQ di Jepang yang membuka jalan. Namun, gebrakan global sesungguhnya dimulai dengan viralitas internet, ditandai oleh “Nobody” dari Wonder Girls dan kemudian fenomena global Psy dengan “Gangnam Style,” yang memecahkan rekor YouTube dan memperkenalkan K-Pop ke khalayak mainstream.

Konsolidasi global terjadi melalui megagrup generasi berikutnya, seperti BTS, BLACKPINK, EXO, dan TWICE, yang mencapai kesuksesan komersial luar biasa, memecahkan rekor tangga lagu, menjual jutaan album, dan mengadakan konser di stadion-stadion besar di seluruh dunia. Keberhasilan ini didorong oleh faktor-faktor kunci seperti produksi musik yang cermat, koreografi yang rumit, video musik yang visualnya memukau, dan idola yang multitalenta.

Hubungan K-Pop dengan K-Beauty

Perluasan Hallyu ke industri kecantikan (K-Beauty) adalah kunci dalam mengubah daya tarik budaya menjadi standar estetika global. Grup dan idola K-Pop tidak hanya menjual musik; mereka menjual estetika dan gaya hidup. Citra visual yang disajikan di video musik dan drama Korea—terutama “kulit mulus, wajah segar, dan penampilan alami yang seolah tanpa riasan” atau dikenal sebagai glass skin dan chok chok glow—telah menjadi standar aspirasional baru bagi generasi muda di berbagai negara, termasuk Eropa.

Ketika sebuah budaya berhasil menetapkan standar estetika seperti glass skin, hal itu secara otomatis menciptakan pasar untuk infrastruktur pendukungnya (produk, rutinitas, dan filosofi perawatan). Ini menciptakan interdependensi kultural di mana konsumen di seluruh dunia merasa perlu mengadopsi ritual kecantikan Korea, memaksa pasar Barat untuk beradaptasi, mengimpor, atau meniru, yang pada akhirnya memajukan kepentingan Korea secara ekonomi dan strategis.

Dampak Kuantitatif Hallyu: Dari Budaya ke Metrik Strategis

Dampak Hallyu telah diukur dalam metrik ekonomi yang signifikan, menunjukkan bahwa soft power Korea Selatan diterjemahkan langsung menjadi hard currency.

Total Ekspor Hallyu telah mencapai 15 Triliun Won, membuktikan kekuatan ekonomi dari ekosistem budaya ini. Di sektor kecantikan, ekspor kosmetik Korea Selatan telah melonjak drastis, mencatat peningkatan yang luar biasa. Sejak 2020, ekspor kosmetik Korea Selatan telah mengalami lonjakan lebih dari 30%, mencapai $7,5 miliar pada tahun 2023. Pada tahun 2024, Korea Selatan mencapai rekor baru dengan ekspor melampaui batas US$10 miliar, mencatat peningkatan 20% dalam satu tahun. Peningkatan ini secara dramatis menyoroti momentum yang menggeser pangsa pasar global dari pusat-pusat tradisional.

Selain itu, Hallyu memengaruhi gaya hidup secara luas. Gaya busana Korea dinilai unik karena menampilkan warna cerah pada pakaian dan mudah menyatu dengan tubuh dan warna kulit Asia, yang memengaruhi pengikutnya dalam kehidupan sehari-hari.

Diplomasi Digital Korea (Smart Power)

Korea Selatan secara eksplisit menggunakan Hallyu sebagai bagian dari strategi Smart Power, yaitu kombinasi soft power dan hard power, untuk mempertahankan status dan membangun pengaruh global. Pemerintah Korea mengakui nilai pop culture dan menggunakannya untuk membangun citra global.

K-Pop memanfaatkan diplomasi digital, terkait erat dengan penggunaan situs, teknologi informasi dan komunikasi, dan media sosial. Keuntungan utama dari diplomasi digital adalah kemungkinan untuk menjangkau khalayak secara langsung dalam jumlah besar secara real time. Kemampuan untuk melibatkan penggemar secara intensif dan langsung ini memungkinkan Korea Selatan mengekspor nilai-nilai, seperti wellness dan social engagement yang terbungkus rapi dalam produk budaya yang menarik. Modal politik yang didapat dari Hallyu, seperti yang terlihat pada respons model pandemi Korea atau kesuksesan BTS, memberikan modal politik yang dapat digunakan Seoul untuk membangun pengaruh yang langgeng di luar batas negaranya.

Kebangkitan Kontras Tiongkok: C-Beauty, Guochao, dan Kekuatan Teknologi

Sementara Korea Selatan mendominasi melalui gelombang budaya yang autentik, Tiongkok memasuki arena hegemoni kultural dengan strategi yang berbeda, berakar pada kekuatan ekonomi domestik dan inovasi teknologi, yang diwujudkan dalam C-Beauty.

Definisi C-Beauty dan Filosofi Kecantikan Tiongkok

C-Beauty, kependekan dari Chinese beauty, mengacu pada merek, produk, dan filosofi Tiongkok yang berakar pada budaya, tradisi (seringkali pengobatan herbal tradisional Tiongkok), dan tuntutan konsumen modern.

Secara filosofis, C-Beauty menawarkan kontras yang menarik dengan K-Beauty. K-Beauty berfokus pada pendekatan skincare-first, menghasilkan tampilan flawless, dewy, no-makeup look. Sebaliknya, C-Beauty menggunakan riasan untuk transformasi dan ekspresi diri, dengan fokus nyata pada warna, seni, dan memahat fitur untuk dampak visual, terutama di depan kamera. Filosofinya cenderung “lebih-adalah-lebih” dalam hal kreativitas dan drama, menggunakan teknik seperti glitter di mata, lip muds untuk efek buram, dan contouring strategis. C-Beauty mewakili model hegemoni ekonomi yang didukung budaya, berbeda dengan K-Pop yang merupakan hegemoni budaya yang didukung ekonomi.

Kekuatan Pendorong Internal: Guochao (國潮)

Kebangkitan C-Beauty didorong oleh pergeseran sentimen konsumen domestik yang masif, dikenal sebagai gerakan guochao (tren nasional). Gerakan ini mendorong konsumen muda Tiongkok untuk semakin memilih merek domestik dibandingkan merek asing. Guochao melampaui sekadar membeli produk lokal; ini adalah tentang merayakan warisan budaya dan menegaskan identitas nasional melalui bidang kecantikan dan mode.

Sentimen nasionalis yang diterjemahkan menjadi kekuatan pasar ini memberikan merek Tiongkok bantalan dan basis pengujian yang luar biasa sebelum berekspansi ke luar negeri.

Keunggulan Teknologi dan Ekosistem Digital

Kekuatan C-Beauty didukung oleh fondasi teknologi yang solid. Industri kecantikan Tiongkok berinvestasi besar-besaran dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Merek-merek Tiongkok mendorong batas-batas kosmetik modern, mulai dari analisis perawatan kulit berbasis Artificial Intelligence (AI) hingga bioteknologi dalam formulasi. Investasi ini memungkinkan Tiongkok menantang narasi bahwa inovasi tertinggi hanya datang dari Barat, yang merupakan tantangan hegemoni intelektual di bidang ilmu pengetahuan kosmetik.

Selain itu, Tiongkok memiliki keunggulan ekosistem digital yang kuat. Dengan platform seperti Douyin (mitra TikTok di Tiongkok), Little Red Book (Xiaohongshu), dan WeChat, perusahaan kecantikan Tiongkok memiliki jalur langsung ke konsumen melalui livestreaming dan influencer marketing yang terintegrasi secara mendalam.

Ukuran pasar domestik Tiongkok merupakan faktor dominan. Tiongkok adalah pasar kecantikan terbesar kedua di dunia, melampaui $90 miliar pada tahun 2022, dan diproyeksikan menghasilkan $78 miliar pada 2025. Ukuran pasar yang masif ini memungkinkan merek Tiongkok untuk berinovasi dan bersaing secara global dengan harga kompetitif.

Perbandingan Filosofi dan Strategi K-Beauty vs. C-Beauty

Meskipun keduanya berasal dari Asia Timur dan mengikis hegemoni Barat, strategi operasional K-Beauty dan C-Beauty memiliki perbedaan mendasar yang mencerminkan prioritas nasional masing-masing negara.

Perbandingan Filosofi dan Strategi K-Beauty vs. C-Beauty

Dimensi Kunci K-Beauty (Korea Selatan) C-Beauty (Tiongkok)
Filosofi Inti Skincare-First (Kulit Sehat), Glass Skin (Glowing Transparan) Artistry & Transformation (Seni Rias), Ekspresi Diri, Visual Impact
Katalisator Utama Hallyu (K-Pop, K-Drama), Idol Guochao (Tren Nasional), Kebanggaan Identitas Budaya
Fokus Produk Rutinitas Multi-Langkah (10 steps), Inovasi Tekstur (Cushion, Sheet Mask) Inovasi Teknologi (AI-driven analysis, Bioteknologi), Warna, Lip Muds, Herbal Tradisional Tiongkok

De-Eropa-isasi Estetika: Bukti Pergeseran Hegemoni di Pasar Barat

Pergeseran hegemoni Asia dapat diamati secara konkret melalui adopsi standar estetika dan ritual kecantikan Asia di pasar-pasar Eropa, yang secara historis didominasi oleh merek-merek Paris dan Milan.

Perubahan Standar Kecantikan: Dari Minimalis Eropa ke Ritual Asia

Standar kecantikan Eropa klasik cenderung mengedepankan rutinitas perawatan kulit yang lebih ringkas, biasanya terdiri dari 3 hingga 5 langkah (Cleanser, Toner atau Essence opsional, Serum, Moisturizer, dan SPF di pagi hari). Filosofi ini seringkali bersifat reaktif, berfokus pada pengobatan masalah kulit menggunakan formula kimia yang mapan.

Sebaliknya, Asia, khususnya Korea, telah mengekspor filosofi kecantikan yang bersifat preventif dan ritualistik. Konsep kecantikan “glowing transparan” khas Korea kini menjadi kiblat global. Fenomena adopsi rutinitas 10-langkah perawatan kulit dari Korea telah meluas ke seluruh dunia, termasuk pembersihan wajah ganda, penggunaan essence, serum, hingga sleeping mask. Penerimaan sukarela terhadap ritual 10 langkah ini di Eropa menandai kegagalan hegemoni Gramscian—hilangnya persetujuan terhadap ideologi kecantikan Barat. Konsumen Eropa memilih rutinitas dan standar estetika dari Korea karena dianggap lebih aspiratif dan modern. Adopsi ini bukan hanya tentang produk, tetapi tentang penerimaan terhadap etika Korea mengenai perawatan diri (pencegahan, investasi waktu, dan wellness).

Pengakuan Institusional di Eropa

Pergeseran pengaruh ini telah mendapat pengakuan resmi di tingkat industri Eropa. Pada penghujung tahun 2025, pengaruh K-Beauty resmi diakui sebagai salah satu kekuatan besar dalam industri kosmetik Eropa. Hal ini menjadi bahasan penting di Cosmetics Business Forum 2025 yang digelar di Warsawa, Polandia.

Sesi bertajuk “K-Beauty, J-Beauty: The Evolution of Skincare Trends from Asia” menyoroti bagaimana kesuksesan K-Beauty tidak dapat dipisahkan dari ledakan popularitas K-Pop dan drama Korea. Citra visual idola Korea menciptakan standar kecantikan baru yang berfokus pada kulit mulus dan alami bagi generasi muda Eropa. Analis di forum tersebut mencatat bahwa remaja di Polandia, misalnya, menghafal nama idola dan produk skincare yang mereka gunakan, terinspirasi oleh penampilan muda dan natural artis Korea. Gelombang budaya ini memperkuat tren no makeup makeup look gaya rias yang menonjolkan kulit bersih dan bersinar tanpa tampak berlebihan.

Dampak pada Konglomerat Kosmetik Eropa

Merek-merek Asia kini berdiri sebagai pesaing serius yang mengancam raksasa Barat.Meskipun perusahaan seperti L’Oréal tetap menjadi perusahaan produk kecantikan terkemuka secara global dengan penjualan lebih dari $40 miliar, konglomerat Eropa dipaksa untuk beradaptasi dengan inovasi Asia.

L’Oréal, misalnya, terus mengungguli pasar di segmen Luxe dan Dermatological Beauty. Namun, catatan penjualan menunjukkan bahwa Grup ini mencatat pertumbuhan penjualan yang kuat di Korea dan Jepang.17 Pertumbuhan di kawasan Asia, yang didorong oleh turist activity dan permintaan lokal, mengindikasikan bahwa perusahaan multinasional Eropa harus mengakui dan berintegrasi ke dalam tren Asia untuk mempertahankan pangsa pasar. Hal ini menunjukkan bahwa pusat inovasi dan permintaan yang menentukan tren telah bergeser ke Asia. Sementara itu, data kuantitatif menunjukkan kekuatan momentum Asia: ekspor K-Beauty mencapai $10.28 miliar pada 2024, sementara pasar kosmetik domestik Tiongkok mencapai $90 miliar pada 2022.

Kasus Paralel: Pergeseran Dominasi di Sektor Ekonomi Lain

Pergeseran hegemoni Asia tidak terbatas pada industri budaya dan kecantikan, tetapi bersifat sistemik dan multifaset, didukung oleh keunggulan teknologi dan harga yang kompetitif.

Sebuah studi kasus di industri otomotif Indonesia menunjukkan pola yang sama. Pada tahun 2024, merek-merek asal Tiongkok, seperti Wuling dan BYD, mencatatkan pertumbuhan penjualan signifikan, menggeser sebagian posisi merek-merek Eropa yang sebelumnya mapan. Wuling mencatat penjualan 18.667 unit, sementara BYD, pendatang baru di segmen EV, menjual 13.866 unit hingga November 2024. Sebaliknya, merek-merek Eropa seperti BMW dan Mercedes-Benz mencatatkan angka penjualan yang jauh lebih rendah (BMW 4.122 unit, Mercedes-Benz 2.049 unit).

Keberhasilan merek Tiongkok didukung oleh daya saing harga, teknologi canggih (terutama kendaraan listrik dan hybrid), serta strategi jaringan distribusi yang agresif. Kasus otomotif Tiongkok membuktikan bahwa kemampuan Asia menantang dominasi Eropa bersifat sistemik. Kemampuan Tiongkok menggabungkan inovasi (EV/teknologi) dan agresivitas pasar mencerminkan pola yang sama dengan C-Beauty (Inovasi AI/Bioteknologi dan strategi Guochao). Kedua fenomena ini mengindikasikan bahwa daya saing Asia saat ini didukung oleh infrastruktur R&D dan strategi harga yang mengalahkan narasi kualitas tradisional Eropa, menyajikan ancaman yang lebih besar daripada sekadar tren mode.

Implikasi Geopolitik dan Strategi Masa Depan

Soft Power sebagai Prioritas Strategis Asia

Bagi Korea Selatan, Hallyu telah diakui sebagai alat Smart Power yang efektif. Keberhasilannya dalam memproyeksikan budaya memberikan modal politik yang dapat digunakan Seoul untuk membangun pengaruh global yang langgeng.

Tiongkok juga memandang soft power sebagai prioritas nasional dan mengeluarkan triliunan dolar AS untuk inisiatif budaya, seni, dan film. Namun, strategi soft power Tiongkok sering kali dianggap kurang efektif dibandingkan Korea karena kecenderungan rezim komunis untuk melakukan micromanaging proyek kultural dan praktik sensor yang kaku. Hal ini menunjukkan bahwa soft power yang paling efektif harus mengalir secara terdesentralisasi dan autentik, alih-alih diatur oleh negara. Sebaliknya, kekuatan Tiongkok sebagian besar didominasi oleh pengaruh ekonomi dan pengembangan infrastruktur, dengan C-Beauty dan C-Drama (yang kini menjangkau audiens Netflix global melalui genre fantasi dan romansa kontemporer) berfungsi sebagai jembatan yang mencoba mengubah kekuatan ekonomi domestik menjadi daya tarik kultural global.

Respons Eropa dan Upaya Perlindungan Budaya

Uni Eropa (UE) dihadapkan pada pergeseran geopolitik dan kultural ini. Namun, respons strategis UE cenderung terpusat pada kerangka pertahanan dan keamanan tradisional, terangkum dalam Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Bersama (CSDP), sebagai respons terhadap ancaman militer Asia seperti Korea Utara dan kebangkitan Tiongkok.

Terdapat kesenjangan antara pengakuan komersial K-Beauty di forum industri Eropa  dan respons strategis yang lebih luas di tingkat pemerintah. Eropa belum sepenuhnya merumuskan strategi gabungan yang efektif untuk melindungi dan meregenerasi daya tarik kultural mereka sendiri di hadapan invasi budaya yang dimotori oleh pasar.

Soft power Asia menuntut respons struktural dari Eropa, bukan hanya penyesuaian produk. Eropa harus mengatasi cultural lag (keterlambatan budaya) dalam mengadaptasi diplomasi digital dan merespons tuntutan konsumen Gen Z yang didikte oleh idola Asia. Apabila Uni Eropa fokus pada containment militer/politik terhadap Tiongkok  tetapi mengabaikan containment kultural, maka basis hegemoni moral dan intelektual mereka akan terus terkikis oleh K-Pop/C-Beauty. Diplomasi budaya (pertukaran ide, informasi, seni, dan aspek kebudayaan lainnya untuk memelihara sikap saling pengertian) harus menjadi prioritas strategis setara dengan keamanan, terutama melalui penggunaan diplomasi digital untuk keterlibatan khalayak secara real time.

Kesimpulan

K-Pop dan C-Beauty telah berhasil menggeser hegemoni Eurosentris dengan mengekspor tidak hanya produk tetapi juga filosofi dan standar estetika. Kesuksesan Korea didorong oleh strategi Smart Power yang terdesentralisasi dan autentik, menciptakan interdependensi kultural melalui ekosistem Hallyu. Sementara itu, Tiongkok menantang dominasi Barat melalui kekuatan pasar domestik yang didorong oleh nasionalisme (Guochao) dan investasi besar-besaran dalam inovasi teknologi (AI dan bioteknologi), yang terbukti mampu menggantikan merek-merek Eropa bahkan di sektor industri berat seperti otomotif.

Pergeseran ini ditandai dengan adopsi standar estetika Asia di Eropa, yang merupakan indikasi hilangnya persetujuan (consent) terhadap norma-norma Eurosentris. Struktur kekuatan kultural global kini semakin terdistribusi secara multipolar. Barat dipaksa untuk beradaptasi, berinvestasi ulang dalam soft power, dan menerima kenyataan bahwa pusat inovasi budaya dan komersial telah bergeser ke Asia Timur.

Untuk memelihara kepentingan dan daya tarik global dalam era multipolar ini, entitas Eropa harus:

  1. Mengintegrasikan Soft Power ke dalam Kebijakan Strategis: Mengangkat diplomasi budaya dan digital menjadi prioritas strategis setara dengan keamanan dan perdagangan.
  2. Memanfaatkan Diplomasi Digital: Mengadopsi metode keterlibatan real-time dan saluran media sosial untuk melawan erosi hegemoni kultural dan membangun kembali mutual understanding dengan generasi muda global.
  3. Investasi pada Inovasi Budaya yang Autentik: Mengembangkan produk budaya dan narasi yang dapat bersaing dengan fluiditas Hallyu, alih-alih hanya meniru standar yang sudah ditetapkan oleh Asia. Ini penting untuk meregenerasi hegemoni moral dan intelektual yang menjadi dasar kepemimpinan global.