Loading Now

Ketika Tradisi Menjadi Atraksi: Tantangan Otentisitas dan Tata Kelola Wisata Budaya Indonesia

Sektor pariwisata di Indonesia diakui sebagai salah satu kontributor utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan global. Daya tarik utama yang ditawarkan Indonesia sebagian besar bersandar pada kekayaan budaya dan warisan tak benda (Intangible Cultural Heritage). Pengembangan pariwisata budaya bertujuan untuk melestarikan kearifan lokal, yang mencakup nilai dan norma sosial (gotong royong, menjaga keseimbangan alam) serta praktik tradisional. Dalam konteks pembangunan nasional, terdapat penekanan yang semakin kuat pada pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (Sustainable Tourism), yang menuntut keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Namun, pertumbuhan pesat industri pariwisata ini menciptakan konflik mendasar, terutama di destinasi yang kaya akan budaya adat. Antropolog mencatat bahwa kebutuhan untuk “mengkonsumsi” masyarakat adat dan kebudayaan mereka semakin masif dalam konteks industri pariwisata. Fenomena ini mendorong transformasi tradisi yang semula bernilai sakral menjadi produk komersial yang dipasarkan.

Merumuskan Masalah Sentral: Keseimbangan Sakralitas dan Profitabilitas

Masalah sentral yang diangkat dalam laporan ini adalah tantangan otentisitas, yaitu upaya menjaga keaslian ritual, etika, dan nilai-nilai lokal di tengah derasnya arus komersialisasi. Transformasi ini dikenal sebagai komodifikasi budaya—proses pengemasan dan pemasaran objek budaya, pertunjukan, dan gaya hidup suatu kelompok, yang memasukkan nilai ekonomi ke dalam aspek kehidupan manusia yang sebelumnya terpisah dari industri pariwisata.

Jika pariwisata menghasilkan dampak positif secara ekonomi, secara bersamaan ia juga membawa perubahan nilai dan budaya yang signifikan, bahkan mengarah pada pengikisan nilai-nilai tradisional dan gaya hidup masyarakat yang cenderung westernisasi. Kebutuhan akan perlindungan tradisi menjadi penting untuk menjaga identitas bangsa. Oleh karena itu, keberhasilan pariwisata tradisional tidak bisa hanya diukur dengan metrik ekonomi (seperti Pendapatan Asli Daerah atau jumlah kunjungan), tetapi harus diukur pula dengan metrik sosial-budaya, misalnya indeks integritas budaya. Upaya mencari keseimbangan antara sakralitas tradisi dan profitabilitas pasar menjadi isu pokok, terutama ketika ritual adat beralih fungsi menjadi Objek Daya Tarik Wisata (ODTW).

Struktur Laporan dan Metodologi Analisis

Laporan ini mengadopsi pendekatan analitis berbasis antropologi pariwisata dan regulasi kebijakan. Laporan ini akan menguraikan mekanisme komodifikasi dan desakralisasi budaya, menganalisis studi kasus kritis di Indonesia (terutama Bali dan Tana Toraja), membahas implikasi struktural (keadilan ekonomi dan hukum adat), dan merumuskan strategi tata kelola yang berorientasi pada otentisitas berkelanjutan. Fokus utama adalah pada dampak, regulasi, dan solusi berbasis komunitas dalam mengelola sumber daya budaya.

Kerangka Teoretis: Anatomisasi Otentisitas, Komodifikasi, dan Eksploitasi Budaya

Mekanisme Komodifikasi Budaya

Komodifikasi budaya merupakan proses yang tidak terhindarkan dalam industri pariwisata etnik, di mana budayalah yang menjadi daya tarik utama. Proses ini seringkali mendorong desakralisasi, yaitu pergeseran fungsi budaya dari ranah spiritual atau sakral ke ranah profan. Contoh nyata adalah ritual yang seharusnya sakral diubah menjadi atraksi yang dikalkulasikan berdasarkan jumlah angka orang yang mengapresiasi, serta dikontrol sesuai standar organisasi pariwisata internasional (World Tourism Organization).

Desakralisasi juga termanifestasi dalam bentuk eksploitasi budaya, di mana nilai-nilai autentik dikesampingkan demi kepentingan komersial. Hal ini terlihat dari penampilan tarian atau ritual yang dimodifikasi, tidak sesuai dengan aslinya, atau pembangunan infrastruktur wisata tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lingkungan.

Tipologi Otentisitas dalam Kontestasi

Isu otentisitas dalam pariwisata jauh lebih kompleks daripada sekadar menentukan apakah suatu objek itu asli. Analisis pariwisata modern mengklasifikasikan otentisitas ke dalam tiga perspektif, yang menunjukkan pergeseran fokus dari objek fisik ke pengalaman subjektif wisatawan.

Pertama, Otentisitas Objektif menekankan pada keaslian yang terverifikasi secara historis dan fisik suatu situs atau objek. Namun, perspektif ini rentan terhadap simulasi dan rekonstruksi. Kedua, Otentisitas Konstruktif, di mana keaslian dibangun dan diproyeksikan oleh keyakinan, harapan, atau stereotip wisatawan itu sendiri terhadap objek wisata. Otentisitas ini sering dianggap sebagai “keaslian simbolik,” di mana preferensi dan gambaran stereotip wisatawan lebih diutamakan.

Konsekuensi langsung dari otentisitas konstruktif yang dieksploitasi adalah munculnya Staged Authenticity—di mana masyarakat lokal hanya “berpura-pura” asli, menyajikan versi budaya yang direkayasa atau disederhanakan untuk memenuhi ekspektasi turis.

Ketiga, Otentisitas Eksistensial lebih berfokus pada pengalaman transformatif dan identitas diri yang diperoleh wisatawan atau masyarakat lokal, alih-alih peduli pada orisinalitas sumber daya pariwisata itu sendiri.

Pergulatan otentisitas ini mencapai titik krisis ketika pengelola destinasi, didorong oleh tuntutan pasar global, mengorbankan jati diri kolektif demi menarik pengunjung. Apabila budaya lokal dianggap kurang menarik, pengelola cenderung mengadopsi elemen visual asing, seperti pemakaian landmarklandmark negara lain (contohnya Merlion di Madiun). Hal ini menunjukkan bahwa otentisitas konstruktif wisatawan lebih diutamakan daripada otentisitas objektif, yang pada akhirnya memicu krisis representasi budaya yang mendalam.

Table : Tipologi Otentisitas dalam Pariwisata Budaya dan Implikasinya

Jenis Otentisitas Fokus Utama Keterkaitan dengan Turis Risiko/Tantangan Otentisitas
Objektif Orisinalitas Historis/Fisik Keaslian yang terverifikasi (situs, artefak) Rentan terhadap simulasi, rekonstruksi, dan pemalsuan.
Konstruktif Interpretasi Simbolik/Kultural Proyeksi harapan, stereotip, dan citra diri wisatawan. Mendorong staged authenticity dan komodifikasi yang disederhanakan.
Eksistensial Pengalaman Personal/Identitas Diri Pencarian “diri sejati” melalui interaksi budaya. Mengabaikan dampak pada sumber daya pariwisata atau budaya tuan rumah.

Dimensi Etika dan Eksploitasi Budaya

Etika dalam pariwisata menjadi sangat penting karena perilaku wisatawan secara langsung mempengaruhi masyarakat lokal dan lingkungan. Perilaku yang tidak etis, seperti melanggar norma adat atau memanfaatkan masyarakat lokal, dapat merugikan secara ekonomi dan sosial.

Eksploitasi budaya terjadi ketika kebudayaan digunakan untuk kepentingan komersial tanpa menghargai nilai-nilai autentiknya, misalnya melalui penjualan suvenir berkualitas rendah atau menampilkan ritual yang tidak sesuai dengan aslinya. Oleh karena itu, pariwisata yang bertanggung jawab menuntut penghormatan terhadap hak-hak komunitas lokal, termasuk hak atas pelestarian budaya dan partisipasi dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan pariwisata.

Pergeseran Fungsi dan Desakralisasi Ritual Adat: Studi Kasus Kritis Indonesia

Kasus Tana Toraja: Rambu Solo’ sebagai ODTW

Tana Toraja merupakan primadona wisata budaya berkat keunikan kekerabatan keluarga dan peristiwa Rambu Solo’, yaitu upacara pemakaman yang bertujuan mengantarkan arwah ke alam akhirat. Upacara ini, yang seharusnya bersifat sakral dan merupakan bagian dari kepercayaan aluk todolo, kini mengalami pergeseran fungsi menjadi profan dan menarik wisatawan sebagai ODTW, yang berimplikasi pada peningkatan sektor ekonomi lokal.

Manifestasi desakralisasi yang paling jelas adalah kompromi terhadap otentisitas operasional. Pelaksanaan Rambu Solo’ yang secara tradisional bergantung pada kesiapan keluarga dan perhitungan adat, kini dijadwalkan dan diakses melalui jasa layanan paket wisata atau operator tur yang menjamin informasi jadwal yang akurat bagi wisatawan. Penyesuaian jadwal ritual yang sakral ini demi memenuhi logistik dan kenyamanan turis adalah bukti langsung desakralisasi, di mana tuntutan pasar mulai mendistorsi proses religi.

Kasus Bali: Komersialisasi Upacara Keagamaan dan Over-tourism

Bali menghadapi tantangan komersialisasi yang jauh lebih akut dibandingkan Toraja karena volume mass tourism yang tinggi. Tantangan ini terlihat dari eksploitasi budaya, perubahan nilai-nilai lokal, dan ketimpangan ekonomi. Upacara keagamaan yang seharusnya sakral, seperti Ngaben (kremasi) dan Ngerupuk, sering kali berubah menjadi atraksi wisata yang menarik pengunjung.

Selain desakralisasi ritual, Bali juga mengalami dampak struktural over-tourism, termasuk kerusakan tata ruang akibat alih fungsi lahan hijau menjadi penginapan wisata, peningkatan harga tanah yang mendesak warga lokal, dominasi modal asing di sektor properti, serta masalah lingkungan seperti sampah dan sanitasi.

Sebagai respons defensif terhadap tekanan ini, institusi adat di Bali, seperti Desa Adat Canggu, mengambil langkah proaktif dengan menetapkan peraturan khusus bagi wisatawan, termasuk tata cara berpakaian saat mengunjungi pura atau mengikuti upacara adat, sebagai upaya menjaga kesakralan dan memitigasi pelanggaran norma. Kontradiksi antara Toraja (yang menyesuaikan jadwal untuk wisatawan) dan Bali (yang menetapkan aturan ketat untuk wisatawan) menunjukkan bahwa dampak pariwisata sangat bergantung pada kapasitas kontrol masyarakat adat atas domain budaya dan geografis mereka. Untuk mencapai otentisitas, masyarakat adat harus bertindak sebagai pengawas dan koordinator, bukan sekadar penyedia atraksi.

Table : Komparasi Tantangan Otentisitas Ritual: Bali vs. Tana Toraja

Aspek Komparasi Bali (Upacara Keagamaan, Ngaben) Tana Toraja (Rambu Solo) Indikator Desakralisasi
Jenis Pariwisata Dominan Mass Tourism & Over-tourism Etnik dan Budaya Khusus Komodifikasi Ritual, Perubahan Makna
Pergeseran Fungsi Dari ritual sakral ke atraksi yang ditayangkan ulang/dipertontonkan. Dari upacara pengantar arwah menjadi ODTW yang menarik wisatawan.
Bukti Kompromi Otentisitas Tampilan tidak sesuai aslinya, komersialisasi ruang suci. Penyesuaian jadwal ritual demi operator tur/wisatawan.
Respons Institusi Lokal Penegakan Kode Etik, Aturan Berpakaian (MDA Bali). Upaya mempertahankan aluk todolo di tengah perubahan perilaku ekonomi.

Hibriditas dan Rekonstruksi Budaya

Tidak semua komodifikasi bersifat destruktif. Dalam beberapa kasus, motivasi pariwisata dapat mendorong revitalisasi budaya. Contohnya adalah penggalian kembali sejarah dan rekonstruksi upacara Serentaun di Sindangbarang, yang meskipun dimotivasi oleh pariwisata, diharapkan dapat menemukan kembali dan menguatkan kebudayaan setempat. Proses yang disebut sebagai “hibrida lokal” ini menunjukkan bahwa pariwisata memiliki potensi ganda: menjadi penyebab desakralisasi, sekaligus menjadi sarana untuk menghidupkan kembali tradisi yang hampir punah. Namun, risiko bahwa budaya hanya akan menjadi “alat bermain dalam arena pembangunan pariwisata dunia” tetap ada.

Implikasi Struktural: Keadilan Ekonomi, Tata Ruang, dan Kontrol Hukum Adat

Dampak Pariwisata Massal terhadap Kelestarian dan Tata Ruang

Pariwisata massal, seperti yang terjadi di Kuta, Bali, menimbulkan dampak negatif yang signifikan pada aspek sosial, ekonomi, dan terutama lingkungan. Peningkatan jumlah pengunjung yang tidak terkontrol menyebabkan kerusakan fisik pada situs bersejarah atau menciptakan limbah yang mengganggu kelestarian lingkungan. Selain dampak fisik, pariwisata massal juga memperparah krisis representasi, terlihat dari kegagalan destinasi untuk mempertahankan jati diri kulturalnya, yang kemudian diisi dengan imitasi landmark asing.

Ketimpangan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan

Salah satu tantangan struktural terbesar adalah ketimpangan distribusi pendapatan. Masyarakat lokal, terutama di pedesaan, sering kali tidak mendapatkan keuntungan yang maksimal dari pariwisata budaya.

Studi kasus Desa Wisata Penglipuran di Bali mengungkapkan bahwa otentisitas objektif—yakni upaya masyarakat mempertahankan bangunan tradisional—secara paradoks menjadi beban finansial. Pengelola Penglipuran mengusulkan revisi skema bagi hasil retribusi pariwisata. Saat ini pembagiannya adalah 40 persen untuk pengelola dan 60 persen masuk kas daerah. Pengelola mengusulkan agar persentase lebih besar masuk ke pengelola (seperti 80:20 atau setidaknya 60:40) untuk menutupi besarnya biaya subsidi yang harus dikeluarkan masyarakat untuk menjaga bangunan tradisional mereka. Kegagalan struktural ini menunjukkan bahwa jika sistem distribusi pendapatan tidak mendukung biaya konservasi, otentisitas menjadi tidak berkelanjutan, memaksa masyarakat untuk mencari komodifikasi yang lebih ekstrem atau menyerahkan pengelolaan aset budaya kepada modal asing. Keadilan distribusi pendapatan adalah prasyarat fundamental bagi keberlanjutan otentisitas budaya dan arsitektural.

Peran Hukum Adat dalam Menjaga Otentisitas Lingkungan dan Sumber Daya

Di banyak wilayah di Indonesia, sistem hukum lokal terbukti lebih efektif dalam beberapa aspek konservasi, namun integrasinya dengan sistem hukum nasional masih rendah. Contohnya adalah praktik Sasi (di Papua Barat) yang berperan penting dalam menjaga keberlanjutan sumber daya laut melalui pengaturan waktu panen dan larangan eksploitasi.

Tanpa jaminan hukum nasional yang eksplisit terhadap sistem adat ini, praktik konservasi lokal sulit bertahan menghadapi tekanan ekonomi, investasi, dan konflik lahan. Misalnya, konflik lahan terjadi ketika tanah yang diklaim oleh masyarakat adat diizinkan penggunaannya kepada investor oleh pemerintah daerah tanpa konsultasi yang memadai. Oleh karena itu, diperlukan pengakuan formal terhadap pluralisme hukum dalam konteks pariwisata berkelanjutan untuk menjamin kelangsungan kearifan lokal.

Kerangka Regulasi dan Penguatan Hak Prioritas Masyarakat Adat

Mandat Hukum Nasional dan Tantangannya

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan secara eksplisit menetapkan bahwa pengembangan pariwisata harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan budaya, serta memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat lokal. Pemerintah, melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), terus mendorong pengembangan destinasi wisata berbasis Sustainable Tourism  dan model Desa Wisata yang berfokus pada nilai edukasi dan keunikan otentik. Regulasi juga telah dikembangkan untuk standar operasional, termasuk pengelolaan sanitasi ramah lingkungan di destinasi pariwisata.

Regulasi Khusus: Implikasi UU No. 15 Tahun 2023 tentang Bali

Krisis over-tourism dan komersialisasi berlebihan di Bali telah mendorong intervensi legislatif yang lebih tegas. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Bali secara khusus menekankan pentingnya pembangunan berbasis lokalitas, yang harus mempertimbangkan adat istiadat, tradisi, seni, budaya, serta kearifan lokal. Regulasi ini memberikan peluang hukum untuk mengembangkan sumber daya guna memeratakan pembangunan dan melindungi aset budaya.

Salah satu instrumen penting dari regulasi ini adalah penetapan pungutan bagi wisatawan asing (retribusi wisman), yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah. Pungutan ini secara spesifik ditujukan untuk perlindungan kebudayaan dan lingkungan alam Bali. Adanya instrumen keuangan yang ditargetkan ini merupakan respons defensif negara terhadap kegagalan model pariwisata sebelumnya yang didorong pasar, di mana perlindungan budaya diakui memerlukan instrumen hukum dan finansial yang kuat untuk membatasi dampak negatif globalisasi dan modal asing.

Pengakuan Hak Prioritas Masyarakat Hukum Adat (Ius Constituendum)

Untuk mewujudkan tata kelola pariwisata yang berkelanjutan dan adil, diperlukan perumusan konsep hak prioritas bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam pembangunan kepariwisataan nasional. Penghormatan hak ini, termasuk hak atas tanah, pelestarian budaya, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, dapat meningkatkan kesejahteraan MHA dan memperkuat identitas budaya. Pengakuan hak prioritas ini akan memperkuat posisi MHA sebagai mitra strategis dalam pengawasan dan pelestarian, yang esensial untuk mengatasi konflik lahan dan tekanan investasi.

Strategi dan Model Tata Kelola Otentisitas Berkelanjutan

Transisi ke Quality Tourism dan Pengelolaan Daya Dukung

Strategi mitigasi utama adalah menggeser fokus dari pariwisata kuantitas (mass tourism) ke pariwisata kualitas (quality tourism). Langkah ini harus didukung dengan kajian daya dukung (carrying capacity) destinasi, termasuk potensi pembatasan jumlah kunjungan harian. Misalnya, Desa Penglipuran sudah mempertimbangkan pembatasan kunjungan jika melebihi kuota tertentu. Secara fundamental, model pengelolaan harus berpusat pada masyarakat (people centred).

Implementasi Community Based Tourism (CBT) sebagai Penyeimbang

Model Community Based Tourism (CBT) dianggap sebagai penyeimbang yang efektif terhadap mass tourism karena menekankan keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengelolaan. CBT menjamin bahwa pariwisata fokus pada nilai edukasi, pembelajaran, dan nilai estetika dari lingkungan alam dan budaya yang otentik, di samping manfaat ekonomi. Strategi pengembangan desa wisata budaya melalui CBT meliputi inventarisasi potensi budaya dan pengemasan produk wisata secara kreatif dan inovatif, sambil memastikan integritas budaya tetap terjaga.

Penguatan Integritas Budaya dan Etika (Soft Law)

Institusi adat harus menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas budaya. Di Bali, Majelis Desa Adat (MDA) dan pecalang (satuan pengamanan adat) memegang peran krusial dalam mengontrol etika wisatawan. Kode etik pengunjung yang ketat mengenai tata cara berpakaian dan perilaku di tempat suci (Pura) adalah soft law yang harus ditegakkan. Selain penegakan aturan, edukasi juga penting, termasuk mengedukasi masyarakat lokal tentang pentingnya pelestarian dan kebersihan, sesuai rekomendasi UNESCO untuk Geopark Toba. Upaya konservasi, dokumentasi sejarah, dan revitalisasi tradisi yang terancam punah juga harus terus dilakukan.

Rekomendasi Keadilan Struktural (Hard Law)

Keberlanjutan otentisitas sangat bergantung pada adanya dukungan struktural dan finansial.

  1. Reformasi Keuangan: Kajian ulang skema bagi hasil retribusi pariwisata wajib dilakukan untuk memastikan bahwa pengelola adat atau komunitas lokal mendapatkan persentase yang lebih besar (seperti usulan Penglipuran) guna menutupi biaya pemeliharaan dan konservasi aset budaya otentik.
  2. Integrasi Hukum: Pemerintah daerah harus mengadopsi praktik kearifan lokal, seperti sistem konservasi Sasi, ke dalam peraturan daerah. Pengakuan ini akan menjadikan masyarakat adat sebagai mitra strategis dalam pengawasan dan pelestarian sumber daya.
  3. Peningkatan SDM Lokal: Pelatihan masyarakat lokal dalam bidang pariwisata, termasuk sebagai pemandu, pelaku UMKM, dan pengelola destinasi, penting untuk mengurangi ketergantungan pada operator luar dan meningkatkan daya saing internal.

Keberhasilan perlindungan otentisitas terletak pada sinergi antara regulasi keras (hard law) yang ditetapkan negara (seperti UU 15/2023 yang memberikan kerangka pendanaan dan legalitas) dan regulasi lunak (soft law) yang ditetapkan oleh institusi adat (Kode Etik MDA Bali). Hard law menyediakan dukungan finansial, sementara soft law memberikan kontrol moral dan etika operasional yang fleksibel sesuai kearifan lokal.

Table : Pilar Strategis Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Adat

Pilar Strategi Fokus Implementasi Manfaat Utama bagi Otentisitas Dukungan Regulasi/Model
Kontrol & Partisipasi Lokal Implementasi model CBT; Hak prioritas MHA dalam pengambilan keputusan; Pengelola tiket oleh komunitas. Menjamin narasi budaya dikontrol oleh pemiliknya; Mencegah eksploitasi dan staged authenticity. People Centred Tourism.
Keadilan Distribusi Revisi skema bagi hasil retribusi (e.g., Penglipuran); Penggunaan retribusi wisman untuk konservasi. Mendanai biaya pelestarian tradisi; Mengurangi ketimpangan ekonomi. Pemerataan Ekonomi, UU 15/2023.
Etika dan Edukasi Penerapan Kode Etik pengunjung yang ketat (MDA Bali); Edukasi pra-kedatangan dan penambahan panel edukatif. Meningkatkan penghormatan wisatawan; Menjamin ritual dilaksanakan sesuai nilai aslinya. Pelestarian Kearifan Lokal.
Konservasi Yudisial Integrasi sistem hukum adat (misalnya Sasi) ke dalam Perda; Perlindungan hukum terhadap konflik lahan. Memastikan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya yang mendasari budaya. Pluralisme Hukum.

Kesimpulan

Transformasi tradisi menjadi atraksi wisata di Indonesia menciptakan dilema otentisitas yang ditandai oleh komodifikasi dan desakralisasi. Studi kasus kritis menunjukkan bahwa ritual sakral (seperti Rambu Solo’ di Toraja) mengalami kompromi operasional (penyesuaian jadwal) untuk memenuhi kebutuhan operator tur. Krisis ini diperparah oleh ketidakadilan struktural, di mana biaya untuk mempertahankan otentisitas (misalnya pemeliharaan bangunan tradisional di Desa Penglipuran) dibebankan kepada komunitas lokal, sementara manfaat ekonomi terbesar seringkali diserap oleh modal luar atau kas daerah, menciptakan ketidakberlanjutan finansial bagi pelestarian budaya.

Tantangan otentisitas tidak hanya bersifat kultural-moral, tetapi juga struktural-finansial. Upaya perlindungan otentisitas harus melibatkan intervensi hukum yang kuat untuk membatasi dampak mass tourism (seperti UU 15/2023 di Bali) dan memastikan distribusi pendapatan yang adil.

Peta Jalan Kebijakan untuk Keseimbangan Sakral-Profan

Untuk mencapai keseimbangan antara profitabilitas dan integritas budaya, diperlukan peta jalan kebijakan yang terstruktur:

  1. Penguatan Posisi Adat (Legislasi): Formalisasi hak prioritas Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam tata kelola pariwisata melalui regulasi nasional dan daerah, memperkuat kontrol mereka atas sumber daya dan pengambilan keputusan.
  2. Reformasi Keuangan (Keadilan Distribusi): Segera melakukan kajian dan implementasi ulang skema bagi hasil retribusi pariwisata. Dana harus diprioritaskan untuk pengelola adat/komunitas lokal guna menjamin pemeliharaan aset budaya secara finansial (mencontoh usulan Desa Penglipuran).
  3. Tata Kelola Etis (Soft Intervention): Mewajibkan setiap destinasi budaya otentik untuk memiliki dan menegakkan Kode Etik Wisatawan yang ketat, disusun dan diawasi oleh lembaga adat setempat (MDA).
  4. Bergeser ke Kualitas: Adopsi model Community Based Tourism (CBT) dan Quality Tourism yang membatasi daya dukung dan fokus pada nilai edukasi serta pengalaman mendalam, alih-alih Mass Tourism yang merusak.

Kata Penutup: Otentisitas adalah Masalah Kekuasaan

Isu otentisitas dalam pariwisata budaya pada hakikatnya bukan terletak pada pertanyaan apakah suatu objek atau ritual itu asli secara absolut, melainkan pada siapa yang memiliki wewenang untuk mengotentikasi dan mengontrol narasi budaya. Selama wewenang ini dipegang oleh pihak eksternal (operator tur, investor, atau bahkan pemerintah pusat tanpa partisipasi lokal), sindrom staged authenticity dan eksploitasi akan terus terjadi. Oleh karena itu, semua rekomendasi kebijakan harus berorientasi pada pengembalian penuh wewenang otentikasi—kontrol narasi, jadwal, sumber daya, dan etika—kepada Masyarakat Hukum Adat sebagai pemilik sah warisan budaya.