Loading Now

Tren Global dan Disparitas Regional dalam Penggunaan Transportasi Publik

Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai kondisi terkini, tantangan struktural, dan strategi inovatif yang mendorong tren penggunaan transportasi publik (public transport) di berbagai kawasan metropolitan dunia. Analisis ini berfokus pada dinamika Pangsa Moda (Modal Share), ketahanan sistem pasca-pandemi, dan peran krusial teknologi dan kebijakan harga dalam mencapai tujuan mobilitas perkotaan yang berkelanjutan.

Diagnostik Global dan Disparitas Regional dalam Pangsa Moda

Metodologi dan Definisi Kunci dalam Transportasi Publik Global

Keberhasilan sistem transportasi publik global diukur melalui metrik Pangsa Moda (Modal Share), yang menunjukkan persentase total perjalanan yang dilakukan menggunakan angkutan umum dibandingkan dengan moda transportasi lainnya. Peningkatan Pangsa Moda secara langsung mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB untuk tahun 2030, yang menyerukan penyediaan akses ke sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan bagi semua—sebuah kemajuan yang diukur dari persentase penduduk yang tinggal dalam jarak 0.5 kilometer dari transit publik yang beroperasi setidaknya setiap 20 menit.

Arsitektur Pangsa Moda Transportasi Publik Global (Analisis Kuantitatif)

Secara global, kinerja transportasi publik menunjukkan disparitas regional yang signifikan, sangat dipengaruhi oleh tingkat investasi, kepadatan urban, dan kebijakan disinsentif terhadap kendaraan pribadi.

Kawasan Asia-Pasifik saat ini memimpin dalam volume perjalanan total, mencatat lebih dari 25 miliar perjalanan tahunan. Tiongkok sendiri bertanggung jawab atas 45% volume regional ini, didukung oleh lebih dari 7,800 stasiun metro yang beroperasi. India juga memiliki sistem kereta api dan metro yang meluas hingga lebih dari 23,000 kilometer.

Namun, volume tinggi tidak selalu berkorelasi dengan kualitas layanan atau perencanaan kota yang terintegrasi. Analisis pangsa moda di berbagai kota metropolitan menunjukkan kontras yang tajam :

Area Metropolitan Pangsa Moda Angkutan Umum (%) Pangsa Moda Berjalan Kaki (%) Konteks Regional Utama
Mumbai 52.0% 27.0% Asia, Ketergantungan transit tinggi
London 44.5% 26.0% Eropa, Didukung kebijakan disinsentif mobil
Manila 44.0% 9.0% Asia Tenggara, Ketergantungan transit tinggi
New York City 32.1% 30.7% Amerika Utara, Pemulihan krusial pasca-pandemi
Jakarta 20.0% 1.0% Asia Tenggara, Tantangan urbanisasi dan integrasi
Las Vegas 4.0% 1.0% Amerika Utara, Ketergantungan mobil pribadi

Meskipun kota-kota seperti Mumbai (52%) dan Manila (44%) menunjukkan ketergantungan transit yang ekstrem, yang seringkali mencerminkan kepadatan tinggi dan kendala kepemilikan mobil, perencana kota harus memperhatikan faktor-faktor non-transit. Keberhasilan sistem transit yang kompetitif, seperti London (44.5% transit) dan New York City (32.1% transit), sangat bergantung pada infrastruktur pendukung, yang diindikasikan oleh tingginya pangsa moda berjalan kaki (masing-masing 26.0% dan 30.7%).

Sebaliknya, kota besar seperti Jakarta, meskipun padat, hanya mencatatkan 20% pangsa moda transit dan pangsa moda berjalan kaki yang sangat rendah, yaitu 1.0%. Pangsa berjalan kaki yang rendah ini menunjukkan adanya kegagalan mendasar dalam menyediakan konektivitas first and last mile yang aman dan nyaman menuju stasiun atau halte. Tanpa aksesibilitas dasar ini, banyak pengguna potensial terhalang untuk mencapai sistem transit, membatasi kemampuan sistem tersebut untuk meningkatkan Pangsa Moda secara signifikan.

Tantangan Urbanisasi, Ketidaksetaraan, dan Kesenjangan Regional

Akses terhadap transportasi publik yang memadai masih menjadi tantangan global. Data tahun 2022 menunjukkan bahwa sedikit di atas setengah penduduk dunia memenuhi kriteria tinggal dalam jarak 0.5 kilometer dari transit yang beroperasi setidaknya setiap 20 menit. Yang lebih mengkhawatirkan, hanya 37% area urban secara global yang terlayani dengan kriteria tersebut.

Kesenjangan layanan paling parah terlihat di Sub-Sahara Afrika, di mana hanya 23.3% area urban yang dilayani oleh transportasi publik formal. Menariknya, pangsa moda di beberapa negara Afrika, seperti Nigeria (71.5%) dan Kenya (46%), masih sangat tinggi. Kontradiksi ini menunjukkan dominasi transportasi informal dan kurangnya infrastruktur formal yang diatur, menekankan bahwa sistem yang ada tidak memenuhi standar aksesibilitas dan keberlanjutan global.

Selain itu, urbanisasi yang cepat di banyak kawasan, terutama di Afrika Utara, Asia Barat, dan Sub-Sahara Afrika, telah melampaui perkembangan perumahan dan infrastruktur. Tren penurunan populasi yang tinggal di daerah kumuh telah berbalik, meningkat dari 23% pada tahun 2014 menjadi 24% pada tahun 2018, yang berarti lebih dari 1 miliar orang hidup di daerah kumuh. Hal ini menggarisbawahi urgensi pengembangan sistem transportasi publik yang tidak hanya efisien tetapi juga terjangkau dan inklusif untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah.

Ketahanan Sistem dan Dinamika Pasca-Pandemi

Dampak Krisis COVID-19 dan Pemulihan Ridership yang Tidak Merata

Pandemi COVID-19 memberikan guncangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada layanan transportasi publik global. Kekhawatiran akan penularan virus dalam moda perjalanan bersama memicu pergeseran perilaku sistemik menuju penggunaan mobil pribadi, yang pada gilirannya meningkatkan kemacetan dan emisi.

Pemulihan ridership sejak pandemi berlangsung tidak merata. Di Amerika Serikat, pemulihan berjalan lambat; hingga September 2023, ridership nasional hanya mencapai 71% dari tingkat tahun 2019, dengan beberapa area urban terbesar hanya mencapai antara 50% hingga 80% dari tingkat pra-pandemi. Hal ini menimbulkan tantangan fiskal bagi banyak badan transit yang menghadapi “jurang fiskal” akibat rendahnya pendapatan tarif.

Sebaliknya, banyak wilayah perkotaan besar di Asia dan Eropa dilaporkan telah memulihkan atau bahkan melampaui tingkat ridership pra-pandemi pada jalur rel. Keberhasilan di kawasan ini sering dikaitkan dengan upaya cepat untuk mengembalikan layanan ke kondisi normal dan memperluas opsi perjalanan berkualitas tinggi untuk melayani lingkungan perkotaan yang padat.

Perubahan perilaku yang didorong oleh pandemi juga memerlukan adaptasi kebijakan. Fenomena kerja dari rumah (Work From Home), pembelajaran jarak jauh, dan layanan pengiriman makanan secara substansial mengurangi permintaan perjalanan individu. Dalam konteks ini, faktor psikologis, seperti persepsi kebersihan dan keamanan (hygiene dan security) serta masalah kepadatan (overcrowding) menjadi sangat penting. Data menunjukkan bahwa faktor-faktor ini sangat memengaruhi preferensi pergeseran moda dari transit ke mobil. Oleh karena itu, investasi untuk memulihkan kepercayaan dan rasa aman pengguna, melalui protokol kebersihan yang kasat mata dan peningkatan keamanan , adalah komponen krusial dalam strategi pemulihan.

Persaingan Erat dengan TNCs (Ride-Hailing Services)

Kedatangan perusahaan jaringan transportasi (Transportation Network Companies atau TNCs) seperti layanan ride-hailing (misalnya, Uber dan Lyft) sekitar tahun 2014 bertepatan dengan dimulainya penurunan rata-rata ridership transit di AS.

TNCs menimbulkan ancaman kompetitif yang signifikan, terutama karena mereka secara efektif menarik choice riders—pengguna yang memiliki pilihan untuk menggunakan mobil pribadi. Profil pengguna TNCs cenderung dari rumah tangga urban yang lebih muda, makmur, dan berpendidikan. Bukti menunjukkan bahwa sekitar 60% pengguna ride-hailing di area metropolitan besar AS akan beralih ke angkutan umum, berjalan kaki, bersepeda, atau bahkan tidak melakukan perjalanan sama sekali jika layanan TNC tidak tersedia.

Analisis ini menunjukkan bahwa TNCs seringkali berfungsi sebagai pengganti transit yang nyaman, terutama di koridor yang dilayani dengan buruk atau di mana angkutan umum tidak kompetitif dalam hal waktu tempuh. Namun, TNCs juga memiliki peran komplementer; 20% hingga 40% perjalanan ride-hailing dilaporkan tidak memiliki alternatif transit yang layak, menunjukkan bahwa mereka mengisi kesenjangan konektivitas first/last mile.

Untuk mempertahankan integritas dan relevansi sistem transportasi publik sebagai tulang punggung kota, kebijakan harus memastikan bahwa semua moda perjalanan bermotor yang menambah kemacetan dikenakan biaya yang setara. Mengingat TNCs menarik choice riders dari transit dan menambah eksternalitas negatif (kemacetan), kebijakan yang efektif perlu menerapkan penetapan harga yang terintegrasi (seperti biaya per Kilometer yang Ditempuh Kendaraan atau Vehicle Kilometers Traveled/VKT fees, atau congestion pricing yang diperluas) pada semua kendaraan bermotor, baik pribadi maupun berbayar. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan keunggulan komparatif angkutan umum yang berkapasitas tinggi sebagai pilihan yang paling kompetitif, baik dari segi waktu maupun biaya.

Inovasi Kebijakan dan Teknologi Pendorong Penggunaan

Kebijakan Penetapan Harga Masif: Studi Kasus Jerman (€9 dan €49 Tiket)

Eropa telah menjadi arena eksperimen kebijakan tarif untuk mendorong penggunaan transit. Eksperimen Jerman dengan tiket €9 per bulan selama musim panas 2022 adalah contoh kebijakan tarif super-rendah yang paling menonjol. Tujuannya adalah untuk menarik masyarakat beralih dari mobil dan melawan inflasi.

Dampaknya dalam jangka pendek sangat signifikan. Skema ini dilaporkan menghasilkan kenaikan 42% dalam perjalanan kereta api dibandingkan tahun 2019, dan perjalanan ke tujuan wisata naik 80%. Selain itu, satu dari lima warga Jerman menyatakan bahwa mereka mulai menggunakan transportasi publik secara teratur untuk pertama kalinya.

Namun, keberhasilan ini bersifat sementara dan mahal. Skema tersebut menelan biaya sekitar €2.5 miliar. Setelah skema €9 berakhir, ridership kembali ke level 2019. Analisis menunjukkan bahwa diskon tarif yang ekstrem ini gagal menghasilkan modal shift jangka panjang yang signifikan. Lebih jauh lagi, popularitas yang luar biasa menyebabkan kepadatan (overcrowding) parah di stasiun dan kereta. Kepadatan ini merusak pengalaman pengguna reguler, berisiko menjauhkan mereka dari sistem, dan menegaskan bahwa pemotongan harga yang tidak didukung oleh peningkatan kapasitas jaringan yang memadai adalah strategi yang mahal dan kontraproduktif untuk perubahan kebiasaan perjalanan jangka panjang.

Pengganti skema ini, Deutschland-Ticket dengan tarif €49 (sekitar 754.448 Rupiah) per bulan, dipuji sebagai reformasi transportasi terbesar dalam sejarah Jerman. Namun, kalangan sosial masih menyuarakan kekhawatiran bahwa tarif €49 masih tidak terjangkau bagi jutaan masyarakat berpenghasilan terbatas, sehingga mereka terus mendorong tarif tahunan sebesar €365 yang lebih inklusif.

Pengembangan Infrastruktur Berkapasitas Tinggi (BRT, LRT, HSR)

Peningkatan kualitas layanan—bukan hanya harga—merupakan faktor non-finansial utama untuk mencapai pergeseran moda. Investasi dalam infrastruktur berkapasitas tinggi sangat penting.

Bus Rapid Transit (BRT) adalah solusi infrastruktur yang efektif dan terukur. BRT menawarkan banyak fitur sistem rel, seperti jalur khusus bus, stasiun canggih, pengumpulan tarif di luar bus (off-board fare collection), dan layanan berkualitas tinggi, tetapi dengan biaya modal yang jauh lebih rendah daripada sistem rel. BRT dapat diperluas dengan mudah mengikuti perkembangan kawasan perkotaan, dan umumnya memiliki kapasitas sekitar 6,000 penumpang per jam per arah (pphpd), dibandingkan dengan layanan bus tradisional yang lebih rendah.

Curitiba, Brasil, diakui sebagai pionir BRT global, yang memulai sistemnya pada tahun 1974. Keberhasilan Curitiba didasarkan pada integrasi perencanaan kota dengan transportasi publik. Fitur BRT Curitiba, termasuk stasiun tubular transparan yang memungkinkan pembayaran di muka dan level boarding, memfasilitasi waktu henti bus yang sangat cepat (biasanya 15 hingga 19 detik) dan melayani sekitar 1.9 hingga 2.1 juta perjalanan per hari.

Di koridor dengan permintaan yang sangat tinggi, BRT sering berfungsi sebagai langkah awal sebelum meningkat menjadi Light Rail Transit (LRT), yang menawarkan kapasitas lebih besar (sekitar 25,000 pphpd). Selain itu, integrasi antara angkutan umum perkotaan dengan sistem kereta kecepatan tinggi (High-Speed Rail atau HSR) terbukti penting. HSR, seperti Shinkansen di Jepang yang mengangkut lebih dari 300 juta penumpang tahunan , dapat meningkatkan ridership jaringan transit lokal dengan memastikan koneksi first- and last-mile yang mulus dan mendorong perjalanan multimodal di tingkat regional.

Digitalisasi dan Konsep Mobility as a Service (MaaS)

Teknologi digital berperan penting dalam menghilangkan friksi yang terkait dengan penggunaan transit. Mobility as a Service (MaaS) mengintegrasikan berbagai moda transportasi, baik publik maupun swasta, ke dalam satu platform digital, menawarkan solusi perjalanan yang terpersonalisasi, dan pada akhirnya mengurangi ketergantungan pada kepemilikan kendaraan pribadi.

Salah satu inovasi paling efektif adalah Real-Time Information (RTI), yang disajikan melalui aplikasi seluler. Studi menunjukkan bahwa RTI secara signifikan mengurangi waktu tunggu yang dirasakan pengguna dan menurunkan tingkat kecemasan serta frustrasi saat menunggu bus atau kereta. Meskipun dampak RTI pada pilihan moda secara langsung cenderung moderat, studi kasus seperti CTA Bus Tracker di Chicago menemukan peningkatan ridership rata-rata rute harian sebesar 1.7%. Yang lebih penting, lebih dari 30% pengguna aplikasi transit melaporkan bahwa mereka melakukan perjalanan bus lebih sering setelah akses RTI tersedia, dan 90% penumpang di Seattle menyatakan kepuasan yang lebih tinggi.

Implementasi MaaS di Eropa menunjukkan potensi perubahan perilaku yang substansial. Penilaian proyek Smile, yang mendahului aplikasi WienMobil di Vienna, Austria, menunjukkan bahwa di kalangan pengguna pilot, terjadi pengurangan penggunaan mobil sebesar 21% dan peningkatan penggunaan angkutan umum sebesar 26%. MaaS, yang bertujuan membuat mobilitas menjadi effortless dan intuitive dengan menggabungkan semua opsi dan pembayaran di satu tempat , secara langsung menantang insentif utama untuk memiliki mobil pribadi di lingkungan urban yang padat. Dengan MaaS, pengguna tidak lagi terikat oleh biaya yang telah dikeluarkan (sunk cost) pada satu moda, melainkan memilih kombinasi moda yang paling efisien, yang terbukti meningkatkan permintaan untuk perjalanan transit dan taksi di pilot Helsinki.

Table II: Dampak Terukur Inovasi Digital pada Penggunaan Transportasi Publik

Inovasi Teknologi Dampak Terukur Kuantitatif Perubahan Perilaku/Persepsi Studi Kasus Relevan
Real-Time Information (RTI) Peningkatan ridership rute 1.7% (median); Peningkatan frekuensi perjalanan >30% (di antara pengguna aplikasi) Pengurangan signifikan kecemasan/frustrasi; Peningkatan kepuasan layanan (90%) Chicago CTA Bus Tracker, OneBusAway Seattle
MaaS (WienMobil Pilot) Pengurangan penggunaan mobil 21%; Peningkatan penggunaan angkutan umum 26% Pergeseran perilaku ke multimodalitas; Pengurangan ketergantungan kendaraan pribadi Vienna (Smile Project)

Kesimpulan Strategis dan Kerangka Kebijakan Jangka Panjang

Model Keberhasilan Global (Sintesis Tokyo dan Singapura)

Kota-kota yang dianggap memiliki sistem transportasi publik terbaik di dunia, seperti Singapura dan Tokyo, menunjukkan bahwa keberhasilan jangka panjang tidak dapat dicapai hanya melalui investasi infrastruktur, tetapi melalui kombinasi perencanaan yang terintegrasi, keandalan operasional, dan kepatuhan budaya.

Keberhasilan Singapura adalah hasil dari perencanaan tata ruang dan transportasi yang visioner dan terpusat (integrated land-use planning) yang mendapat dukungan dan kepercayaan tinggi dari masyarakat. Komitmen terhadap keberlanjutan ditunjukkan melalui adopsi bus listrik dan standar bangunan hijau untuk stasiun. Sementara itu, Jepang telah membangun sistem yang sangat terorganisir, didukung oleh penekanan budaya yang kuat pada ketepatan waktu (punctuality), investasi infrastruktur yang memadai, dan desain kota yang meminimalkan ketergantungan pada mobil pribadi untuk populasi yang besar.

Kedua model ini memperjelas bahwa transportasi publik harus diposisikan sebagai alternatif yang lebih nyaman dan andal daripada mobil pribadi, bukan sekadar moda transportasi bagi mereka yang tidak memiliki pilihan lain.

Kerangka Kebijakan Dua Pilar untuk Peningkatan Pangsa Moda Jangka Panjang

Untuk mendorong pergeseran moda yang signifikan dan berkelanjutan, kerangka kebijakan harus mengadopsi pendekatan dua pilar yang secara simultan meningkatkan daya tarik angkutan umum dan menurunkan daya saing kendaraan pribadi.

Pilar A: Membangun Keunggulan Kompetitif Transportasi Publik (Non-Finansial)

Fokus utama harus pada peningkatan kualitas layanan (faktor non-finansial):

  1. Prioritas Kecepatan dan Keandalan: Sistem harus diprioritaskan di atas lalu lintas umum, misalnya melalui lajur bus yang didedikasikan atau sinyal lalu lintas yang dioptimalkan, untuk meningkatkan kecepatan dan keandalan sistem secara keseluruhan.
  2. Integrasi Fungsional dan Teknologi: Mengembangkan MaaS dan RTI sangat penting untuk mengurangi friksi perjalanan, meningkatkan pengalaman pengguna , dan mengintegrasikan berbagai moda, termasuk HSR, untuk memastikan konektivitas first- and last-mile yang mulus.
  3. Keterjangkauan Akses: Kebijakan harus memungkinkan lebih banyak orang untuk tinggal di dekat jaringan transportasi publik, memaksimalkan aksesibilitas jaringan.

Pilar B: Mengelola Biaya Total Kepemilikan dan Penggunaan Mobil Pribadi (Finansial/Disinsentif)

Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan total biaya menggunakan mobil pribadi, yang terbukti menjadi faktor pendorong pergeseran moda yang lebih kuat daripada sekadar fluktuasi harga bahan bakar.

  1. Congestion Pricing/Pajak Kemacetan: Menerapkan biaya harian untuk berkendara di zona padat (seperti di London, yang mengurangi lalu lintas mobil sebesar 39% di pusat kota dan meningkatkan penggunaan transit sebesar 6% pasca-implementasi).
  2. Universal Pricing untuk TNCs: Regulasi TNCs harus dipandang sebagai kebijakan transit. Pemerintah kota perlu menerapkan biaya pada TNCs dan kendaraan pribadi untuk menginternalisasi eksternalitas negatif (kemacetan, emisi) yang mereka hasilkan, misalnya dengan memperluas congestion pricing atau VKT fees. Langkah ini menghilangkan keuntungan biaya TNCs dibandingkan transit yang berkapasitas tinggi.
  3. Subsidi yang Bertanggung Jawab: Kebijakan subsidi harus hati-hati. Mengingat kegagalan skema €9 Jerman dalam jangka panjang, subsidi tarif massal harus dihindari tanpa peningkatan kapasitas jaringan yang setara. Jika subsidi diperlukan, subsidi harus ditargetkan untuk meningkatkan keterjangkauan bagi kelompok berpenghasilan rendah, bukan secara universal mensubsidi perjalanan yang dapat dibayar oleh choice riders.

Jalan ke Depan: Transportasi yang Resilien, Inklusif, dan Berkelanjutan

Transformasi sektor transportasi adalah keharusan iklim, mengingat sektor ini menyumbang 13.7% dari emisi gas rumah kaca global. Peningkatan Pangsa Moda transportasi publik adalah pilar utama dalam dekarbonisasi.

Investasi dalam transportasi publik terbukti memiliki manfaat ekonomi yang luas dan signifikan. Setiap $1 yang diinvestasikan dalam transportasi publik dapat menghasilkan $5 dalam pengembalian ekonomi, dan investasi sebesar $1 miliar dapat menciptakan 50,000 lapangan kerja. Diperkirakan bahwa pemulihan hijau dengan investasi pada bus dan kereta api listrik dapat menciptakan 4.6 juta pekerjaan pada tahun 2030. Komitmen terhadap kendaraan listrik, seperti adopsi bus listrik di Eropa (26% armada urban di Skandinavia) dan standar hijau di Singapura, adalah kunci untuk mengurangi jejak karbon di perkotaan.

Secara keseluruhan, tantangan terbesar bagi operator dan perencana kota adalah mengatasi kesenjangan kebijakan, mengatasi ketergantungan pada subsidi bahan bakar fosil, dan memprioritaskan kualitas layanan dan keamanan untuk memulihkan dan mempertahankan kepercayaan pengguna. Strategi jangka panjang harus berpusat pada penciptaan ekosistem mobilitas (MaaS) yang membuat pilihan non-pribadi secara fundamental lebih nyaman, lebih cepat, dan lebih andal daripada kepemilikan mobil di perkotaan.