Perempuan dalam Budaya Sumatera: Dialektika Antara Tradisi dan Emansipasi
Sumatera, sebagai pulau terbesar di Indonesia, menyajikan sebuah laboratorium sosial yang kompleks, di mana sistem kekerabatan tradisional yang ekstrem—mulai dari matrilinealitas Minangkabau hingga patrilinealitas Batak—berinteraksi secara dinamis dengan dorongan modernitas, pembangunan nasional, dan agenda emansipasi gender global. Status perempuan di Sumatera tidak dapat dipahami melalui lensa tunggal; ia merupakan hasil kontestasi berkelanjutan antara struktur adat, yang terkadang memberikan kekuasaan simbolis atau ekonomi yang unik, intervensi hukum negara, dan tantangan pembangunan struktural. Adat, dalam konteks ini, berfungsi sebagai sumber identitas budaya yang kuat sekaligus menjadi potensi kerentanan terhadap ketidaksetaraan dalam aspek-aspek tertentu.
Kerangka Analitis: Feminisme Adat dan Pluralisme Hukum
Kajian ini memerlukan pendekatan yang sensitif terhadap feminisme adat, sebuah kerangka kerja yang mengakui bahwa kekuatan perempuan seringkali diukur berdasarkan kepemilikan sumber daya, seperti tanah (pusako) atau otoritas ritual, yang tidak selalu diterjemahkan menjadi kekuasaan politik modern atau otoritas pengambilan keputusan di ranah publik.
Selain itu, analisis ini berpegang pada konsep pluralisme hukum. Dalam konteks Sumatera, pluralisme hukum memungkinkan perempuan untuk menavigasi dua atau lebih sistem hukum—adat, Islam, atau nasional—untuk menegakkan hak-hak mereka. Fenomena ini sangat jelas terlihat dalam kasus warisan di mana istri yang merasa dirugikan oleh pembagian waris adat dapat memanfaatkan hukum nasional, seperti mengajukan hak atas harta gono-gini, sebagai instrumen emansipasi dan perlindungan hukum. Pilihan strategis terhadap yurisdiksi ini merupakan inti dari perjuangan kesetaraan kontemporer di wilayah tersebut.
Pilar-Pilar Adat: Peran Perempuan dalam Struktur Kekerabatan Sumatera
Keragaman budaya di Sumatera menghasilkan status gender yang sangat bervariasi. Perbandingan antara tiga sistem utama—Minangkabau, Batak, dan Mentawai—menunjukkan bahwa tidak ada definisi tunggal tentang “perempuan Sumatera.”
Matriarki dan Kekuasaan Simbolis Minangkabau
Perempuan Minangkabau memegang kedudukan sentral dalam sistem adat dan keluarga. Dalam struktur matrilineal, perempuan adalah pewaris dan pemegang sah pusako (harta pusaka) yang diwariskan melalui garis ibu, termasuk tanah ulayat dan rumah gadang. Kedudukan ini menjadikan mereka basis ekonomi dan identitas suku (kaum), dan secara formal dipandang memiliki peran signifikan dalam keluarga dan masyarakat, khususnya dalam konteks pembangunan untuk mencapai keadilan gender di Kenagarian.
Namun, kekuatan ini seringkali bersifat paradoksal. Meskipun perempuan memiliki kekuasaan ekonomi riil atas aset komunal, otoritas pengambilan keputusan di ranah publik dan politik adat, seperti di Kerapatan Adat Nagari, didominasi oleh laki-laki (mamak). Analisis ini menyimpulkan bahwa kekuasaan ekonomi yang terinstitusionalisasi melalui pusako tidak secara otomatis melindungi perempuan dari kekerasan atau memastikan kekuasaan dalam pengambilan keputusan domestik. Adat Minangkabau cenderung melindungi hak komunal perempuan (di ranah publik), tetapi terdapat kerentanan terhadap patriarki di ranah privat, yang menjadi sumber utama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebagaimana dibuktikan oleh tingginya kasus kekerasan berbasis gender di Sumatera Barat. Ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki landasan matrilineal, patriarki domestik tetap menjadi tantangan serius.
Hukum Adat Batak: Tinjauan Kritis Terhadap Patrilinealitas
Sistem kekerabatan Batak yang patrilineal (garis ayah) menempatkan perempuan dalam posisi yang berbeda. Identitas, marga, dan hak waris secara tradisional ditentukan melalui garis laki-laki. Dalam hukum waris adat Batak, kedudukan istri seringkali kurang adil dalam pembagian harta warisan. Status ini berimplikasi pada kerentanan ekonomi perempuan, terutama saat terjadi perceraian atau kematian suami.
Dalam upaya mencapai emansipasi, perempuan Batak atau ahli waris mereka seringkali menggunakan perangkat hukum modern. Solusi terhadap ketidakadilan waris adat adalah dengan memanfaatkan hukum nasional untuk melindungi hak istri, misalnya dengan mengajukan hak atas harta gono-gini (harta bersama) melalui pengadilan. Pemanfaatan perangkat hukum modern ini berfungsi sebagai instrumen kritik terhadap dominasi absolut hukum adat patrilineal. Ini menegaskan bahwa emansipasi di ranah waris Batak merupakan perjuangan jurisdiksi, di mana perempuan secara sadar memilih sistem hukum yang paling memberikan perlindungan dan keadilan individual.
Perempuan Adat di Kepulauan Mentawai: Penjaga Kearifan Lokal dan Kerentanan Struktural
Perempuan adat di Kepulauan Mentawai memainkan peran krusial sebagai pondasi utama dalam pembangunan berkelanjutan dan sebagai penjaga nilai budaya serta kearifan lokal. Mereka mewarisi pengetahuan adat yang esensial, termasuk pengelolaan bahan alam untuk pengobatan tradisional, pelaksanaan ritual, serta teknik pengolahan komoditas lokal seperti menenun dan menganyam.
Namun, status sentral mereka sebagai penjaga kearifan lokal tidak memberikan kekebalan terhadap kerentanan struktural. Data yang terkumpul menunjukkan kerentanan tinggi terhadap kekerasan berbasis gender. Survei di Mentawai menemukan bahwa dari 854 responden perempuan adat, 113 di antaranya adalah perempuan kepala keluarga. Mayoritas perempuan kepala keluarga ini masih berusia di bawah 20 tahun dan berpenghasilan kurang dari 1 juta rupiah per bulan. Kombinasi antara usia muda, kemiskinan, dan dominasi patriarki memperbesar risiko mereka. Kerentanan ini diperparah oleh adanya anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas, yang mencapai 29,08% di wilayah adat Mentawai, menjadikannya pemicu utama ketidaksetaraan. Analisis menunjukkan bahwa status budaya yang tinggi tidak mampu mencegah terjebaknya mereka dalam lingkaran kemiskinan dan kerentanan ganda, menyoroti kegagalan pembangunan yang inklusif di wilayah adat terpencil.
Untuk memvisualisasikan kompleksitas status ini, perbandingan tiga sistem adat utama dapat disajikan:
Tinjauan Komparatif Kedudukan Perempuan dalam Tiga Sistem Adat Utama Sumatera
| Kriteria | Minangkabau (Matrilineal) | Batak (Patrilineal) | Mentawai (Adat/Etnik Kecil) |
| Sistem Kekerabatan Inti | Ibu/Garis Perempuan | Ayah/Garis Laki-laki | Adat/Sistem Komunal |
| Hak Waris (Pusako) | Tinggi (Warisan tanah/rumah) | Rendah/Terbatas (Sering tergantung harta gono-gini) | Bervariasi, terkait pengelolaan sumber daya alam |
| Kekuatan Pengambilan Keputusan | Simbolis/Ekonomi (Rumah tangga/Tanah) | Rendah (Dominasi laki-laki/patriarki) | Terbatas, meskipun penting dalam ritual dan pengetahuan |
| Kerentanan Utama | Kekerasan Domestik/Patriarki Domestik | Hukum Waris dan Konflik Tanah | Kemiskinan, KGB, Ketidakseimbangan Kapasitas |
Arus Sejarah: Gerakan Emansipasi dan Nasionalisme di Sumatera
Rasuna Said: Pendidikan, Politik, dan Pemikiran Kritis
Emansipasi perempuan di Sumatera memiliki akar yang dalam dan politis, didorong oleh tokoh-tokoh yang mengaitkan perjuangan gender dengan perjuangan kemerdekaan nasional. Rasuna Said dari Sumatera Barat adalah salah satu tokoh kunci dalam gerakan ini. Visi beliau melampaui tuntutan hak-hak domestik dan pendidikan dasar; ia berpendapat bahwa perempuan harus memiliki peran yang setara dengan laki-laki dalam memperjuangkan hak dan kemerdekaan bangsa. Menurut Rasuna Said, tugas perempuan Indonesia tidak terbatas sebagai ibu rumah tangga, tetapi harus mencakup peran penting dalam membangun bangsa.
Pendidikan menjadi alat perlawanan utama dalam pemikirannya. Rasuna Said bersekolah di Diniyah School dan Sumatera Thawalib, yang tidak hanya memberikan pelajaran agama tetapi juga menekankan pemikiran kritis terhadap ketidakadilan. Melalui jalur ini, ia menanamkan pentingnya kesetaraan gender dan percaya bahwa pendidikan adalah kunci bagi perempuan untuk memperjuangkan hak dan mencapai kemandirian. Keterlibatannya dalam Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) pada tahun 1930-an, sebuah organisasi politik Islam progresif, membuktikan bahwa emansipasi di Sumatera sejak awal dipahami sebagai proyek struktural. Rasuna Said menuntut akses ke struktur kekuasaan dan reformasi sistemik, bukan hanya pembebasan pribadi.
Transisi Pasca-Kemerdekaan: Intervensi Hukum Nasional vs. Adat
Setelah kemerdekaan, negara mulai mengintervensi struktur adat melalui perundang-undangan nasional, seperti Undang-Undang Perkawinan. Intervensi ini menciptakan arena pluralisme hukum yang memberikan perempuan opsi untuk menantang adat regresif, terutama dalam isu warisan. Penerapan hukum nasional mengenai harta gono-gini adalah contoh konkret di mana perempuan dapat mencari keadilan di luar norma-norma adat patrilineal.
Pada periode ini, fokus organisasi perempuan bergeser dari perjuangan politik anti-kolonial ke isu-isu pembangunan sosial, kesehatan, dan keluarga, meskipun warisan pemikiran kritis Rasuna Said tetap relevan dalam menuntut reformasi struktural. Garis perjuangan perempuan Sumatera secara historis adalah garis politik, terlihat dari aksi-aksi kolektif modern yang menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan struktural, seperti yang dilakukan oleh perempuan adat Tano Batak dalam melawan deforestasi.
Tantangan Kontemporer: Ketika Adat Berhadapan dengan Konflik Struktural
Rezim Patriarki dan Kekerasan Berbasis Gender (KGB)
Meskipun terdapat sistem kekerabatan yang unik (seperti matrilineal di Minangkabau), tantangan terbesar bagi perempuan Sumatera kontemporer adalah persistensi patriarki domestik dan kekerasan berbasis gender (KGB). Provinsi Sumatera Barat, yang secara adat diatur oleh matrilinealitas, mencatat angka KGB yang sangat tinggi. Data Komnas Perempuan tahun 2021 menunjukkan 9.237 kasus KGB terhadap perempuan di Sumatera Barat, dengan mayoritas kasus terjadi dalam lingkup domestik atau keluarga.
Tingginya KDRT di wilayah dengan adat matrilineal menunjukkan bahwa patriarki telah bertransformasi; ia bersembunyi di ranah privat, menggunakan kekerasan sebagai mekanisme kontrol. Struktur adat yang memberikan hak komunal tidak mampu membongkar dinamika kekuasaan di balik pintu rumah tangga. Selain itu, stigma terhadap korban dan dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan domestik turut memperburuk situasi. Di Kepulauan Mentawai, anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas mendominasi hingga 29,08% sebagai penyebab ketidaksetaraan, yang berkorelasi langsung dengan risiko kerentanan KGB. Untuk memutus rantai kekerasan ini, diperlukan upaya kolektif, seperti yang diadvokasikan oleh program Estungkara, yang berupaya mendorong kesetaraan dan menghapus diskriminasi.
Perempuan Adat di Garis Depan Konflik Lingkungan dan Deforestasi
Tantangan struktural lain muncul dari pembangunan yang bersifat eksploitatif. Perempuan adat kini berada di garis depan konflik lingkungan. Aksi perempuan adat Tano Batak, yang membentangkan spanduk raksasa di Danau Toba untuk menentang deforestasi dan perampasan lahan, menunjukkan bahwa hak atas tanah dan lingkungan adalah isu gender utama.
Program pembangunan yang tidak sensitif gender telah menimbulkan konflik sosial dan pelanggaran hak-hak perempuan. Perusahaan-perusahaan besar, demi keuntungan semata, dituduh merampas tanah dan hutan. Perempuan merupakan kelompok yang paling rentan kehilangan sumber penghidupan akibat penghancuran hutan. Kehilangan lahan tidak hanya berarti kerugian ekonomi, tetapi juga kehancuran rantai pengetahuan tradisional (misalnya, pengobatan, ritual) yang diwarisi oleh perempuan Mentawai. Perjuangan ini menuntut keberpihakan pemerintah untuk melindungi wilayah adat dan hak-hak perempuan, yang dianggap fundamental bagi kelangsungan hidup komunitas mereka.
Partisipasi Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan
Partisipasi perempuan dalam ekonomi formal di Sumatera masih menghadapi hambatan struktural. Analisis menunjukkan bahwa urbanisasi dan kebijakan makroekonomi tertentu dapat menyebabkan peran wanita dalam pembangunan regional menjadi “tidak signifikan”. Jika pembangunan hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi (investasi atau ekspor) tanpa intervensi yang menjamin akses dan kesempatan yang sama, ketidaksetaraan akan terus berlanjut.
Kondisi ini tercermin pada data kemiskinan perempuan kepala keluarga di Mentawai yang berpenghasilan sangat rendah (< Rp 1 juta/bulan). Mereka sering terperangkap dalam pekerjaan subsisten atau informal yang rentan, menunjukkan kegagalan inklusivitas ekonomi. Emansipasi ekonomi yang riil mensyaratkan intervensi kebijakan yang memastikan akses setara ke modal, pelatihan, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan ekonomi formal.
Analisis Klaster Kerentanan Perempuan Sumatera Kontemporer
| Aspek Kerentanan | Indikator Kunci/Temuan | Tautan Kausal | Implikasi terhadap Emansipasi |
| Kekerasan Berbasis Gender (KGB) | Angka KGB tinggi di Sumatera Barat; Mayoritas kasus domestik. | Patriarki Domestik (walaupun matrilineal) dan Stigma | Menghambat keamanan fisik dan membatasi partisipasi publik/ekonomi. |
| Kemiskinan Struktural | Perempuan kepala keluarga muda Mentawai berpenghasilan < Rp1 juta/bulan | Kurangnya Akses ke Kapasitas dan Pengambilan Keputusan | Memperbesar risiko kerentanan akibat ketidakseimbangan penghasilan. |
| Ketimpangan Pembangunan | Peran wanita dalam pembangunan regional dianggap tidak signifikan; perlu akses dan kesempatan yang sama. | Kegagalan Kebijakan Inklusif dan Hambatan Struktural. | Membatasi keterlibatan perempuan dalam politik dan keputusan ekonomi formal. |
| Konflik Sumber Daya Alam | Perempuan adat Tano Batak korban perampasan tanah/deforestasi | Pembangunan Eksploitatif dan Ketimpangan Struktural. | Merusak ruang hidup, sumber penghidupan, dan hak-hak masyarakat adat. |
Sintesis dan Jalan ke Depan
Merangkum Kontestasi: Titik Temu dan Titik Tolak
Perempuan dalam budaya Sumatera berdiri di persimpangan yang rumit. Adat, dalam kerangka matrilineal Minangkabau, berfungsi sebagai benteng identitas dan basis kepemilikan komunal. Namun, di saat yang sama, adat (terutama patrilineal Batak) dapat menjadi sumber ketidakadilan individu (warisan), dan bahkan di Minangkabau, struktur adat gagal membongkar patriarki di ranah domestik.
Perjuangan emansipasi kontemporer adalah pergeseran fokus dari tuntutan hak pendidikan dasar (yang diperjuangkan oleh tokoh seperti Rasuna Said) ke isu-isu struktural yang lebih mendalam: hak atas tanah, lingkungan hidup, dan penghapusan kekerasan struktural. Hukum Nasional dan politik modern telah menyediakan sarana kritis yang esensial, menciptakan ruang bagi perempuan untuk mencari keadilan di luar struktur tradisional, terutama dalam isu warisan di sistem patrilineal. Dengan kata lain, emansipasi adalah kontestasi berkelanjutan antara otoritas adat dan otoritas negara.
Rekomendasi Kebijakan Berbasis Bukti dan Sensitivitas Gender
Berdasarkan analisis kerentanan struktural dan dinamika adat, beberapa rekomendasi kebijakan dapat diajukan untuk mendorong emansipasi yang berkelanjutan dan berkeadilan gender:
Advokasi Hukum yang Fleksibel dan Terproteksi
Pemerintah harus memperkuat penerapan dan sosialisasi posisi hukum nasional, seperti hak atas harta gono-gini, untuk memberikan perlindungan finansial bagi perempuan yang berada dalam sistem adat patrilineal atau menghadapi ketidakadilan waris. Pada saat yang sama, perlindungan hak komunal perempuan atas pusako di Minangkabau harus dipertahankan di tengah tekanan modernisasi dan pembangunan.
Penguatan Kapasitas Ekonomi Perempuan Adat
Program pembangunan harus secara spesifik menargetkan kelompok perempuan adat yang rentan, seperti perempuan kepala keluarga muda di Mentawai yang berpenghasilan sangat rendah. Ini mencakup peningkatan akses ke pendidikan keterampilan, modal usaha, dan partisipasi yang setara dalam pengambilan keputusan ekonomi desa, guna mengatasi ketidakseimbangan kapasitas dan menanggulangi kemiskinan struktural.
Integrasi Gender dalam Kebijakan Lingkungan dan Sumber Daya Alam
Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan investasi regional harus diwajibkan untuk memperhatikan aspek gender. Ini penting untuk melindungi hak-hak perempuan adat yang paling rentan terdampak oleh deforestasi dan perampasan lahan, seperti yang dialami perempuan Tano Batak. Hak atas lingkungan dan tanah harus diakui sebagai hak asasi perempuan yang tidak boleh dilanggar oleh pembangunan eksploitatif.
Reformasi Pendidikan dan Pencegahan Kekerasan
Mengambil semangat pendidikan kritis yang diwariskan oleh Rasuna Said, diperlukan program pendidikan publik yang berfokus pada pembongkaran patriarki domestik dan stigma terhadap korban. Intervensi kultural sangat mendesak di wilayah dengan angka KDRT tinggi, termasuk Sumatera Barat, untuk mengatasi anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas dan mendorong kesetaraan di ranah pengambilan keputusan rumah tangga.


