Mengenal Masyarakat Matrilineal di Dunia
Definisi Matrilinealitas vs. Matriarki: Klarifikasi Terminologi Kritis
Sistem kekerabatan matrilineal merupakan salah satu struktur sosial yang langka namun signifikan di dunia. Secara definisi, matrilinealitas mengacu pada sistem pelacakan keturunan (descent) yang hanya ditelusuri melalui garis ibu atau perempuan. Dalam sistem ini, keanggotaan klan atau suku diturunkan dari ibu ke anak, menjadikannya ciri khas Minangkabau di Indonesia sebagai masyarakat matrilineal terbesar yang masih bertahan hingga saat ini.
Penting untuk melakukan klarifikasi terminologi kritis: matrilinealitas tidak identik dengan matriarki. Matriarki merujuk pada bentuk dominasi kekuasaan politik dan sosial yang eksklusif oleh perempuan. Sebaliknya, sebagian besar masyarakat matrilineal modern, seperti Minangkabau, justru menampilkan struktur kekuasaan yang bersifat komplementer atau bilateral. Analisis mendalam menunjukkan bahwa keberlanjutan sistem matrilineal sering kali bergantung pada pemisahan yang ketat antara garis keturunan (lineage) yang dipegang oleh perempuan dan otoritas formal atau kontrol publik (authority) yang sering kali dipegang oleh laki-laki dalam klan ibu (paman maternal, atau Mamak).
Pemisahan fungsi ini merupakan mekanisme adaptif kunci. Jika perempuan hanya memegang garis keturunan dan kepemilikan aset komunal, sementara laki-laki (seperti Mamak) mengambil peran kontrol eksternal dan politik, sistem tersebut menjadi lebih mampu mengakomodasi nilai-nilai patriarki yang dominan secara global. Hal ini memungkinkan matrilinealitas bertahan secara formal sebagai sistem pewarisan dan keturunan, bahkan ketika dominasi struktural laki-laki di ranah publik tetap kuat.
Sebaran Geografis dan Signifikansi Matrilinealitas yang Bertahan
Masyarakat matrilineal yang bertahan adalah anomali di tengah dominasi global sistem patrilineal dan patriarki. Studi kasus komparatif harus mencakup keragaman geografis dan struktural untuk menangkap spektrum matrilinealitas fungsional. Fokus utama laporan ini mencakup:
- Asia Tenggara: Minangkabau di Sumatera Barat, Indonesia.
- Asia Timur: Mosuo di Provinsi Yunnan dan Sichuan, Tiongkok.
- Asia Selatan: Khasi dan Garo di Meghalaya, India.
- Afrika Barat: Akan di Ghana.
- Amerika Utara: Iroquois atau Haudenosaunee.
Kelompok-kelompok ini, khususnya Khasi, sering disebut sebagai salah satu budaya matrilineal terbesar yang masih bertahan di dunia. Signifikansi mereka terletak pada representasi sistem kekerabatan alternatif yang menempatkan perempuan di posisi sentral dalam hal pewarisan dan kesinambungan klan, menantang asumsi universalitas struktur keluarga berbasis patrilineal.
Anatomi Struktural Masyarakat Matrilineal Inti (Studi Kasus Etnografis Mendalam)
Minangkabau (Indonesia): Matrilinealitas Terbesar dan Kompleksitas Adat
Minangkabau dikenal sebagai kelompok etnis terbesar di Nusantara yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Dalam budaya ini, perempuan memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat dan domestik, termasuk dalam pengelolaan aset ekonomi.
Pewarisan dan Peran Perempuan
Garis keturunan (suku) secara eksklusif dilacak melalui ibu. Kedudukan perempuan di Minangkabau sangat penting, ditandai dengan julukan Limpapeh rumah nan gadang, yang secara simbolis berarti perempuan adalah pewaris dan penghuni tetap rumah adat dalam kaumnya. Perempuan Minangkabau adalah pewaris utama Harta Pusaka Tinggi—properti komunal atau leluhur yang tidak dapat dibagi secara individual. Pewarisan harta pusaka ini diturunkan secara turun-temurun dari garis ibu kepada anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya. Kepemilikan ini menjamin kelangsungan hidup kaum perempuan dan mempertahankan aset klan dari fragmentasi.
Peran Sentral Laki-laki: Mamak dan Niniak Mamak
Meskipun perempuan memegang kepemilikan aset, peran laki-laki dalam sistem Minangkabau tetap multifungsi dan vital. Figur sentral adalah Mamak, yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu. Semua saudara laki-laki ibu (kakak maupun adik) disebut Mamak.
Mamak memiliki peran ganda: sebagai kepala rumah tangga (tungganai) di rumah tangganya sendiri dan sebagai pemimpin dalam kaum keluarga besarnya. Secara kolektif, mereka dikenal sebagai Niniak Mamak, yang merupakan tokoh penting dan simbol penghormatan, bertanggung jawab untuk melindungi keluarga, bertindak sebagai mediator konflik, dan memastikan setiap keputusan adat sesuai dengan standar. Peran utamanya adalah sebagai penjaga dan pengembang harta pusaka yang dimiliki suku, serta pembina akhlak kemenakan (keponakan, yaitu anak-anak saudara perempuannya).
Status Suami (Urang Sumando)
Posisi suami (Urang Sumando) dalam sistem kekerabatan Minangkabau adalah sebagai ‘tamu’ dalam keluarga besar istri. Hal ini menunjukkan penekanan yang jauh lebih besar pada ikatan matrilateral (saudara-saudara seibu: Mamak dan saudara perempuan) dibandingkan ikatan afinal (suami-istri).
Mosuo (Tiongkok): Kekerabatan Tanpa Pernikahan (Tisese)
Mosuo, yang kadang-kadang disebut sebagai etnis minoritas Nakhi, merupakan satu-satunya sistem matrilineal yang bertahan di Tiongkok. Mereka tinggal di Provinsi Yunnan dan Sichuan, dekat perbatasan Tibet. Struktur mereka menawarkan perbandingan yang menarik karena secara radikal meminimalkan peran struktural suami/ayah.
Struktur Rumah Tangga dan Ekonomi
Struktur rumah tangga Mosuo dipimpin oleh Dabu—perempuan tertua yang berfungsi sebagai kepala rumah tangga. Dabu memegang peran sentral dalam pengambilan keputusan domestik, sosial, dan ekonomi, termasuk beternak dan bertani, yang menjadi sumber makanan utama mereka.
Praktik Walking Marriage (Tisese)
Suku Mosuo tidak diwajibkan untuk menikah dalam arti formal. Sebaliknya, mereka menjalankan tradisi Walking Marriage (juga dikenal sebagai Tisese atau pernikahan kunjungan asmara). Setelah mencapai usia 13 tahun, perempuan diperbolehkan untuk melakukan tradisi ini. Dalam Walking Marriage, pria akan mengunjungi rumah wanita pada malam hari dan kembali ke rumah ibunya sendiri keesokan harinya.
Sistem ini secara efektif menghilangkan konsep pernikahan formal, matrilokalitas (dalam arti pasangan tinggal bersama), dan tanggung jawab paternal yang terstruktur. Karena anak-anak tidak pernah meninggalkan rumah klan ibu mereka, tidak ada preferensi gender tertentu untuk meninggalkan rumah tangga.
Implikasi Peran Laki-laki Mosuo
Pria Mosuo memiliki waktu luang yang cukup banyak karena perempuan memegang kendali atas pekerjaan keras dalam beternak dan bertani. Dalam perbandingan struktural, Mosuo mewakili garis matrilineal yang lebih murni dibandingkan Minangkabau. Eliminasi unit suami-istri sebagai unit prokreasi atau ekonomi inti melalui Walking Marriage berarti tidak ada klaim paternal struktural yang mengancam harta pusaka klan ibu. Kenyamanan relatif pria Mosuo di bawah sistem ini berpotensi menjadi faktor penting dalam stabilitas sistem Mosuo, karena tekanan bagi laki-laki untuk mengontrol aset ekonomi demi kepentingan keluarga inti mereka menjadi minimal.
Khasi dan Garo (India): Pewarisan dan Konflik Gender Internal
Suku Khasi dan Garo di Meghalaya, India Timur Laut, mempraktikkan keturunan dan tempat tinggal matrilineal.
Matrilokalitas dan Ultimogeniture
Keluarga Khasi, atau Ling, mempraktikkan matrilokalitas, di mana suami pindah untuk tinggal di rumah istri setelah menikah. Anak-anak mengambil nama klan ibu mereka. Ling terdiri dari ibu, suaminya, anak laki-laki yang belum menikah, dan anak perempuan yang sudah menikah bersama suami dan anak-anak mereka.
Prinsip pewarisan yang dominan adalah ultimogeniture: anak perempuan termuda (Ka Khadduh) adalah pewaris utama (heiress). Ka Khadduh menerima porsi properti klan yang lebih besar karena tanggung jawabnya yang unik sebagai kustodian rumah, penyelenggara ritual keluarga, dan pemimpin upacara pascakematian, termasuk kremasi dan penguburan.
Kompleksitas Kontrol Properti
Meskipun matrilinealitas dan ultimogeniture menjamin kepemilikan formal bagi perempuan, terdapat struktur di mana kontrol properti dipegang oleh laki-laki klan. Kontrol ini seringkali dijalankan oleh paman maternal (saudara laki-laki ibu), yang mengelola properti saudara perempuannya dan kemudian meneruskan kontrol tersebut kepada keponakan laki-laki (anak saudara perempuannya).
Dengan demikian, warisan (hak kepemilikan/keturunan) mengikuti perempuan, tetapi kontrol (manajemen dan penggunaan) melewati laki-laki dari garis keturunan yang sama. Selain itu, anak laki-laki Khasi, setelah menikah, harus meninggalkan rumah asal mereka untuk tinggal di rumah istri mereka. Mereka menyumbang pendapatan mereka kepada ibu atau saudara perempuan mereka (klan asal), bukan kepada anak-anak mereka sendiri (yang termasuk dalam klan istri). Hal ini menciptakan dinamika ekonomi unik di mana kontribusi ekonomi laki-laki diarahkan untuk kepentingan klan matrilateral mereka.
Iroquois/Haudenosaunee (Amerika Utara): Model Kedaulatan Politik Perempuan
Sistem pemerintahan Haudenosaunee (Konfederasi Iroquois) di Amerika Utara merupakan model penting di mana matrilinealitas menghasilkan otoritas politik yang sangat tinggi bagi perempuan.
Kekuasaan Mutlak Clanmothers
Dalam bentuk tata kelola Haudenosaunee, perempuan—khususnya Clanmothers (Ibu Klan)—berada di inti pengambilan keputusan. Clanmothers adalah pembuat keputusan sesungguhnya (decision makers) bagi rakyat. Mereka menginformasikan para Chiefs (pemimpin laki-laki) mengenai kepentingan yang harus diwakilkan di dewan. Chief tidak dapat menyimpang dari instruksi ini.
Hak Pencopotan dan Kesetaraan Historis
Otoritas tertinggi Clanmothers ditunjukkan melalui hak mereka untuk mencopot (remove) seorang Chief dari posisinya jika ia menyimpang dari mandat klan atau mulai bertindak berdasarkan kepentingan pribadi.
Studi menunjukkan bahwa perempuan Iroquois telah menikmati keseimbangan dan kesetaraan (hak memilih dan berpendapat) selama ribuan tahun. Sistem tradisional ini, yang menempatkan keseimbangan gender pada intinya, bahkan disebut telah menginspirasi gerakan hak pilih perempuan di Amerika Serikat. Perempuan Iroquois tidak pernah kekurangan kesetaraan, sampai pola pikir patriarki yang dibawa oleh pendatang Eropa mulai memengaruhi komunitas pribumi.
Suku Akan (Ghana): Matrilinealitas yang Didominasi Nilai Patriarki
Masyarakat Akan di Agogo, Ghana, menunjukkan contoh di mana sistem matrilineal menghadapi tantangan internal yang paling parah, berujung pada matrilinealitas yang lebih bersifat formal.
Kontradiksi Struktural
Meskipun sistem Akan menggunakan prinsip matrilinealitas, termasuk pewarisan jabatan struktural politik, studi menunjukkan bahwa nilai-nilai patriarki masih mendominasi secara kuat. Hal ini dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti agama (Kristen) yang mendukung kontrol patriarki laki-laki atas perempuan, serta perubahan pola pengasuhan dan relasi gender.
Dalam konteks Akan, matrilinealitas cenderung menjadi jalur keturunan dan pewarisan jabatan formal, namun kekuasaan substantif sering kali beralih ke struktur patriarki. Meskipun laki-laki Akan tidak mempersoalkan pembagian warisan yang jatuh kepada saudara perempuan (karena anak perempuan dianggap memiliki tanggung jawab utama merawat orang tua di masa tua), mereka mencari cara lain untuk menunjukkan kapasitas diri, seringkali melalui kegiatan ekonomi berbasis hutan atau mengejar jabatan politik formal.
Analisis Komparatif Sistem Pewarisan dan Kontrol Ekonomi
Harta Pusaka (Ancestral Property): Definisi dan Transfer
Perlindungan dan transfer aset komunal merupakan fungsi utama matrilinealitas.
Pada Minangkabau, Harta Pusaka Tinggi adalah properti klan yang dijamin kelangsungannya dan diwariskan dari ibu ke anak perempuan. Tujuannya adalah untuk menjamin keberlanjutan kaum, suku, dan paruik melalui perempuan.
Pada Khasi, prinsip ultimogeniture yang memberi porsi properti lebih besar kepada anak perempuan termuda (Ka Khadduh) memiliki fungsi serupa: memastikan rumah induk dan tempat ritual tetap utuh di bawah pengawasan pewaris klan. Baik Minangkabau maupun Khasi menggunakan mekanisme pewarisan ini untuk mempertahankan aset tetap dalam garis keturunan perempuan dan melindunginya dari fragmentasi yang mungkin terjadi dalam sistem patrilineal.
Kontrol vs. Kepemilikan: Distribusi Peran
Sebuah fitur yang hampir universal dalam matrilinealitas adalah pembagian tugas antara kepemilikan juridikal (perempuan) dan kontrol manajerial (laki-laki klan).
Analisis menunjukkan bahwa pembagian ini, meskipun mempertahankan matrilinealitas secara formal, menciptakan otoritas ekonomi de facto bagi laki-laki dalam sistem de jure perempuan. Di Khasi, paman maternal mengendalikan properti saudara perempuannya. Di Minangkabau, meskipun perempuan adalah pewaris simbolis (Bundo Kanduang), saudara laki-laki dari ibu (Mamak) adalah penjaga dan pengembang aset tersebut.
Pembagian antara kepemilikan dan kontrol ini secara struktural menghasilkan potensi konflik internal yang signifikan. Mamak secara inheren dituntut untuk mengutamakan kepentingan klan ibunya (keponakan) daripada kepentingan keluarga inti yang ia bangun (istri dan anak-anaknya sendiri). Konflik ini menjadi lebih akut seiring dengan transisi masyarakat menuju ekonomi berbasis individualisme dan akumulasi modal.
Matrilokalitas dan Kontribusi Ekonomi Laki-laki
Matrilokalitas, seperti yang dipraktikkan oleh Khasi dan Mosuo, memperkuat ikatan klan ibu. Bagi laki-laki Khasi, meskipun mereka berkontribusi pada pendapatan rumah tangga istri, kontribusi finansial utama mereka diarahkan ke klan asal mereka (ibu atau saudara perempuan). Hal ini memaksa laki-laki untuk melepaskan ikatan ekonomi permanen dengan keluarga asal mereka saat menikah, namun tidak serta merta memberi mereka kontrol atas properti di rumah istri. Sebaliknya, ini memperkuat peran paman maternal di rumah asal mereka.
Dari sudut pandang makroekonomi, sifat komunal harta pusaka tinggi di Minangkabau dapat menghambat akumulasi modal pribadi dan investasi besar, karena aset tidak dapat diperdagangkan atau dibagi secara individual. Namun, sistem ini secara bersamaan menyediakan jaring pengaman sosial yang sangat kuat, terutama bagi perempuan dan anggota klan yang rentan, yang dilindungi dari kemiskinan karena memiliki hak yang tak terputus atas properti leluhur.
Berikut adalah tabel komparatif struktural yang merangkum variasi inti dalam masyarakat matrilineal yang dianalisis:
Tabel Komparatif Struktur Sosial dan Legal Masyarakat Matrilineal Kunci
| Masyarakat | Garis Keturunan | Struktur Tempat Tinggal (Matrilokalitas) | Kontrol Properti Kunci | Figur Otoritas Laki-laki Sentral |
| Minangkabau (Indonesia) | Matrilineal (Garis Ibu) | Matrilokal/Neolokal Campuran | Perempuan (Harta Pusaka Tinggi) | Mamak/Niniak Mamak (Saudara laki-laki ibu, Pengelola Adat) |
| Mosuo (Tiongkok) | Matrilineal | Matrilokal (Anak tidak meninggalkan rumah) | Perempuan (Dabu, Kepala Rumah Tangga) | Paman Maternal (Peran lebih fokus pada klan asal) |
| Khasi (India) | Matrilineal | Matrilokal (Suami pindah) | Anak Perempuan Termuda (Heiress) | Paman Maternal (Mengontrol properti saudara perempuan) |
| Iroquois (Amerika Utara) | Matrilineal | Matrilokal | Klan/Keluarga Perempuan | Chiefs (Posisi dicopot oleh Clanmothers) |
| Akan (Ghana) | Matrilineal | Patrilokal/Matrilokal Campuran | Pewarisan Jabatan Matrilineal | Chiefs (Laki-laki memegang posisi politik/religius) |
Tantangan Kontemporer dan Degradasi Matrilinealitas
Keberlanjutan masyarakat matrilineal terancam oleh benturan filosofis antara nilai-nilai komunal tradisional dan ideologi individualistik yang didorong oleh modernisasi, globalisasi, serta hukum negara dan agama.
Intervensi Hukum Negara dan Agama: Benturan Hukum Waris
Di Indonesia, masyarakat Minangkabau terus menghadapi konflik antara Hukum Adat (Matrilineal) dan Hukum Negara, terutama Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum adat Minangkabau secara tegas menjamin Harta Pusaka Tinggi tetap dalam garis keturunan ibu, melarang pembagian individual. Sebaliknya, KHI, yang berlaku bagi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia, membagi warisan berdasarkan hubungan darah/perkawinan dan cenderung mendukung garis patrilineal. Benturan ini bukan hanya masalah legalistik, melainkan pertarungan filosofis antara hak komunal (adat) yang melindungi kelangsungan klan, dan hak individu (modern/agama) yang menuntut pembagian yang lebih individualistik.
Pengaruh Globalisasi dan Migrasi
Globalisasi memainkan peran besar dalam mendegradasi peran tradisional matrilineal. Melalui media sosial dan penyebaran norma budaya internasional, pandangan patriarki—yang menguatkan preferensi laki-laki dalam pekerjaan dan memosisikan laki-laki sebagai superior—menyebar luas. Hal ini mengikis fungsi dan peran perempuan Minangkabau sebagai Bundo Kanduang, yang tadinya merupakan simbol pewaris dan pengelola klan.
Selain itu, tradisi merantau di Minangkabau kini telah berkembang menjadi migrasi permanen untuk menetap di daerah tujuan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Fenomena ini memberikan dampak negatif pada struktur klan di daerah asal. Migrasi permanen secara efektif menonaktifkan peran Mamak. Mamak tidak dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai pemimpin kaum, mediator, penjaga harta, dan pembina akhlak kemenakan jika ia menetap jauh dari Rumah Gadang. Hal ini memaksa perempuan Minangkabau untuk menanggung beban ganda: menjadi pemilik de jure sekaligus manajer de facto aset klan tanpa dukungan struktural Mamak yang hadir.
Gerakan Penentangan Internal dan Reformasi Gender
Tantangan paling tajam terhadap matrilinealitas berasal dari tuntutan kesetaraan hak individu yang diajukan oleh laki-laki dalam sistem tersebut.
Di Meghalaya, India, muncul kelompok radikal seperti Syngkhong Rympei Thymmai (SRT) yang secara terang-terangan menentang sistem matrilineal Khasi. Mereka memprotes pemerintah untuk membentuk undang-undang yang mengatur ulang pembagian harta waris agar menguntungkan anak laki-laki. Tuntutan ini menunjukkan bahwa dalam konteks modern, laki-laki memandang sistem kekerabatan sebagai penghalang mobilitas sosial pribadi dan hak waris individual mereka, karena mereka harus menyumbang pendapatan ke klan ibu/istri tanpa memiliki kendali penuh atas aset.
Fenomena serupa terlihat di kalangan laki-laki Akan di Ghana yang merasa dirugikan oleh sistem pewarisan matrilineal dan mencari kompensasi sosial melalui kegiatan ekonomi baru atau mengejar jabatan struktural politik formal.
Penentangan internal ini menggarisbawahi bahwa tantangan mendasar matrilinealitas modern adalah konflik antara logika tradisional komunal dan hak individu yang diperjuangkan dalam kerangka modern.
Adaptasi dan Komersialisasi Budaya
Beberapa masyarakat matrilineal menghadapi komersialisasi budaya sebagai mekanisme adaptasi. Sebagai contoh, praktik Walking Marriage pada Mosuo seringkali disederhanakan dan dieksotisasi sebagai daya tarik pariwisata. Meskipun ini dapat memberikan sumber pendapatan, komersialisasi berpotensi merusak kedalaman makna adat dan menyederhanakan kompleksitas hubungan kekerabatan Mosuo yang sebenarnya.
Berikut adalah tabel yang merangkum tantangan kontemporer dan benturan hukum pada masyarakat matrilineal:
Tabel Benturan Sistem Hukum dan Tantangan Modernisasi
| Masyarakat | Aspek Tantangan Utama | Bentuk Konflik Hukum/Sosial | Dampak Kontemporer (Implikasi Struktur) |
| Minangkabau | Konflik Hukum Waris & Migrasi | Benturan Adat (Harta Pusaka Komunal) vs. Hukum Negara/Islam (Individualisme) | Degradasi Peran Bundo Kanduang; Penonaktifan peran Mamak akibat migrasi permanen |
| Khasi | Kontrol Properti & Marginalisasi Pria | Penentangan Internal Laki-laki (SRT) menuntut reformasi pewarisan | Ancaman terhadap prinsip ultimogeniture dan pembagian aset klan |
| Akan | Overlay Patriarki | Penguatan nilai-nilai agama (Kristen) yang mendukung kontrol struktural laki-laki | Matrilinealitas menjadi sekadar formalitas garis keturunan tanpa otoritas gender substantif |
| Umum (Global) | Individualisasi Aset | Erosi nilai klan komunal oleh kapitalisme dan preferensi patrilineal | Peningkatan kecenderungan neolokalitas/patrilokalitas, mengurangi efektivitas jaringan kekerabatan matrilateral |
Kesimpulan
Ulasan ini menegaskan bahwa matrilinealitas bukanlah sistem tunggal, melainkan sebuah spektrum struktural yang fleksibel. Spektrum ini berkisar dari model di mana perempuan memegang kedaulatan politik yang tinggi dan hak untuk mencopot kekuasaan (Iroquois/Haudenosaunee) , hingga model di mana matrilinealitas hanya berfungsi sebagai pelacakan garis keturunan formal di bawah kontrol patriarki yang substantif (Akan).
Temuan kunci adalah bahwa pemisahan fungsional antara kepemilikan perempuan dan manajemen laki-laki (seperti peran Mamak pada Minangkabau dan Khasi) adalah jembatan struktural yang memungkinkan sistem bertahan di lingkungan patrilineal yang lebih luas. Melalui mekanisme ini, klan dapat memastikan bahwa aset komunal tetap di tangan perempuan sebagai jaring pengaman sosial, sementara laki-laki klan dapat menjalankan peran otoritatif eksternal yang diakui secara luas.
Tantangan paling fundamental terhadap matrilinealitas adalah pergeseran filosofis dari hak klan/komunal (yang dilindungi oleh hukum adat matrilineal) ke hak individu (yang dipromosikan oleh KHI dan sistem hukum modern). Fragmentasi aset komunal menjadi aset individu akan menghilangkan fungsi utama matrilinealitas: menyediakan keamanan ekonomi bagi seluruh anggota klan, terutama perempuan.
Oleh karena itu, konservasi matrilinealitas memerlukan pengakuan negara atas pluralisme hukum. Perlindungan terhadap Hukum Adat harus dipertahankan secara eksplisit untuk melindungi Harta Pusaka Tinggi dari individualisasi dan pembagian waris yang didasarkan pada prinsip patrilineal, yang akan menyebabkan klan perempuan kehilangan basis ekonomi mereka.
Untuk menjaga stabilitas matrilinealitas di era modern, diperlukan pendekatan ganda:
- Penguatan Agensi Perempuan: Kebijakan harus melampaui pengakuan simbolis peran perempuan (Bundo Kanduang) dan mendukung partisipasi perempuan dalam manajemen aset ekonomi formal. Dalam konteks Minangkabau, ini berarti mengakomodasi perempuan untuk mengambil peran manajerial de facto secara struktural, terutama mengingat penonaktifan peran Mamak akibat migrasi permanen.
- Mengatasi Keluhan Laki-laki: Untuk mengurangi penentangan internal (seperti gerakan SRT Khasi atau tuntutan laki-laki Akan), sistem harus menyediakan jalur yang diakui secara sosial dan ekonomi bagi laki-laki untuk mendapatkan pengakuan dan mengumpulkan aset pribadi di luar sistem klan istri mereka, tanpa mengorbankan aset komunal klan ibu. Pemberian peran ekonomi formal baru yang diakui oleh adat dan negara dapat membantu menyeimbangkan persepsi kerugian hak-hak individual laki-laki.


