Loading Now

Pariwisata Dataran Tinggi Berkelanjutan di Indonesia

Latar Belakang dan Urgensi Pengembangan Pariwisata Dataran Tinggi

Indonesia, dengan topografi yang didominasi oleh rangkaian pegunungan vulkanik aktif, memiliki sejumlah besar kawasan dataran tinggi yang berperan sebagai pilar strategis dalam sektor pariwisata nasional. Dataran tinggi (Highlands) secara umum dicirikan oleh ketinggian di atas 500 meter di atas permukaan laut (mdpl), yang menghasilkan suhu yang lebih sejuk (misalnya Dataran Tinggi Dieng memiliki suhu harian berkisar 12—20 °C) , curah hujan tinggi, dan topografi perbukitan atau pegunungan. Kondisi geologis ini menjadikan kawasan dataran tinggi kaya akan sumber daya alam, pertanian, serta fenomena geowisata yang unik.

Kawasan dataran tinggi memiliki fungsi ganda yang menuntut pendekatan pengembangan pariwisata yang hati-hati. Secara ekologis, wilayah ini sering kali ditetapkan sebagai kawasan lindung, yang berfungsi melindungi kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam. Secara sosial-ekonomi, dataran tinggi menjadi pusat kegiatan agrowisata dan rekreasi yang padat. Oleh karena itu, urgensi pengembangan terletak pada penyeimbangan antara fungsi konservasi dan fungsi ekonomi. Laporan ini mengaplikasikan kerangka analisis keberlanjutan (Triple Bottom Line) untuk menilai potensi dan risiko, dengan fokus pada pilar Ekonomi (dampak UMKM, Tri Mitra), Lingkungan (konservasi, longsor, pengelolaan limbah), dan Sosial-Budaya (peran komunitas lokal, pelestarian ritual).

Inventarisasi dan Tipologi Destinasi Unggulan

Destinasi dataran tinggi di Indonesia menunjukkan variasi yang signifikan dalam hal daya tarik, model pariwisata yang dominan, dan tantangan manajemen yang dihadapi. Analisis ini membagi destinasi berdasarkan kluster regional.

Kawasan Dataran Tinggi Jawa: Dinamika Kepadatan dan Konflik Tata Ruang

Dataran Tinggi Jawa dicirikan oleh aksesibilitas yang relatif mudah dan kepadatan penduduk yang tinggi, yang mendorong model rekreasi massal dan agrowisata intensif.

Dataran Tinggi Puncak, Bogor, dan Bandung Raya

Kawasan Puncak, Bogor, dan Pangalengan di Jawa Barat adalah contoh klasik dataran tinggi yang didominasi oleh agrowisata intensif dan rekreasi keluarga. Atraksi utama di Puncak meliputi Kebun Teh Gunung Mas, Taman Safari Indonesia, dan Taman Wisata Matahari. Sementara itu, Pangalengan dikenal dengan kebun teh yang luas (seperti Kebun Teh Rancabali dan Perkebunan Malabar), serta popularitas untuk aktivitas  camping dan trekking. Selain itu, daerah seperti Puncak Darajat di Garut menawarkan pemandian air panas alami dan fasilitas spa untuk relaksasi dan kesehatan.

Model pariwisata massal dan intensifikasi penggunaan lahan di Puncak telah memicu konflik tata ruang yang serius. Alih fungsi lahan, diperburuk oleh tumpang tindihnya peraturan antara Peraturan Presiden, SK Menteri, dan Peraturan Daerah, menyebabkan fungsi 1.700 hektar lahan menjadi tidak jelas, antara hutan lindung atau hutan produksi. Tekanan ekologis ini berujung pada bencana lingkungan, di mana longsor yang terjadi di Puncak diidentifikasi sebagai dampak langsung dari pengabaian kelestarian lingkungan dan penataan ruang yang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa pariwisata yang fokus pada volume jangka pendek, tanpa perencanaan mitigasi risiko yang memadai, pada akhirnya mengorbankan keselamatan dan kelestarian fungsi kawasan tersebut.

Dataran Tinggi Dieng (Jawa Tengah): Geowisata Vulkanik dan Budaya

Dataran Tinggi Dieng, yang terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, memiliki ketinggian rata-rata sekitar 2.000 mdpl. Dieng menawarkan Geowisata yang berbasis pada aktivitas vulkanik (Kawah Sikidang) dan kekayaan situs sejarah (Candi Arjuna). Selain itu, kawasan ini menjadi titik pendakian populer menuju Gunung Prau (2590 mdpl), dari mana wisatawan dapat menyaksikan panorama Gunung Merapi, Merbabu, Lawu, Sindoro, dan Sumbing. Daya tarik unik lainnya adalah fenomena embun beku yang muncul di pagi hari saat musim kemarau (Juli dan Agustus), ketika suhu dapat mencapai 0 °C.

Aspek manajemen pariwisata di Dieng menonjol melalui peran komunitas lokal. Dieng Culture Festival, yang sebelumnya dikenal sebagai Pekan Budaya Dieng, dikelola oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa, yang dibentuk pada tahun 2007. Pokdarwis ini berperan vital dalam memberdayakan pemuda dan mengoptimalkan potensi wisata desa. Namun, interaksi antara pariwisata dan regulasi modern terlihat dari keputusan menghentikan pesta lampion pada festival tersebut karena berpotensi mengganggu penerbangan, menggarisbawahi perlunya sinkronisasi antara tradisi budaya dan standar keselamatan kontemporer. Dieng juga pernah menghadapi masalah gunung sampah, yang menunjukkan tantangan universal dalam pengelolaan limbah padat di lokasi wisata dataran tinggi.

Kawasan Lain di Jawa

Destinasi lain termasuk Dataran Tinggi Malang dan Tengger (Bromo) di Jawa Timur. Bromo, sebagai ikon Geopark nasional, menghadapi isu  over-tourism , sebuah sinyal bahwa daya dukung kawasan harus diatur lebih ketat. Sementara itu, Kulon Progo di Yogyakarta, dengan Kalibiru, turut menunjukkan potensi pariwisata perbukitan.

Kawasan Dataran Tinggi Sumatera: Ekowisata Konservasi dan Agrowisata Spesifik

Dataran tinggi di Sumatera, khususnya yang berada dalam rangkaian Pegunungan Bukit Barisan, memiliki potensi ekowisata berbasis konservasi yang sangat tinggi.

Dataran Tinggi Kerinci (Jambi/Sumatera Barat)

Kerinci adalah contoh utama pariwisata yang terikat erat dengan konservasi lingkungan. Kawasan ini merupakan habitat asli bagi satwa langka dan dilindungi, seperti Harimau Sumatera, Orangutan, dan Badak Sumatera. Secara geografis, Kerinci menaungi Gunung Kerinci (3.805 mdpl), puncak gunung berapi tertinggi di Indonesia setelah Gunung Jaya Wijaya. Atraksi geowisata lainnya mencakup Danau Kerinci, Rawa Bento, dan Air Terjun Telun Berasap.

Selain ekowisata, Kerinci juga memiliki Kebun Teh Kayu Aro yang kesohor karena pemandangannya dan merupakan salah satu kebun teh tertua di Indonesia. Sifat Kerinci yang merupakan kawasan konservasi ketat memerlukan model ekowisata yang sangat selektif. Berbeda dengan dataran tinggi di Jawa yang mengejar volume kunjungan, Kerinci harus memprioritaskan kelestarian habitat satwa langka. Hal ini menempatkan Kerinci pada ceruk pasar minat khusus (peneliti, pendaki, pengamat satwa) yang cenderung mengutamakan pengalaman mendalam dan bertanggung jawab, bukan pariwisata rekreasi massal.

Dataran Tinggi Karo (Berastagi) dan Danau Toba

Dataran Tinggi Karo, yang mencakup Berastagi, dikenal dengan potensi agrowisata yang kuat, ditunjukkan oleh keberadaan pasar buah Berastagi yang menjadi pusat perdagangan hasil lokal. Kawasan Danau Toba, sebagai Geopark yang diakui secara global, juga menawarkan lanskap perbukitan dan pepohonan yang indah.

Inovasi produk lokal menjadi kunci pengembangan di sini. Contohnya adalah pengembangan komoditas Andaliman. Bumbu khas Batak ini tidak hanya mendukung industri kuliner pariwisata Danau Toba, tetapi juga memiliki potensi ekspor ke negara-negara Eropa. Walaupun kunjungan wisatawan nusantara ke Danau Toba meningkat , kawasan ini masih menghadapi tantangan akses, terutama masalah kemacetan pada jalur utama Medan-Berastagi, yang menghambat kelancaran prasarana transportasi dan pengalaman perjalanan wisatawan.

Kawasan Dataran Tinggi Sulawesi: Warisan Budaya dan Antropologi

Di Sulawesi, fokus pariwisata dataran tinggi sangat didominasi oleh kekayaan tradisi dan warisan budaya yang mendunia.

Tana Toraja (Sulawesi Selatan)

Tana Toraja memiliki daya tarik antropologis yang kuat, dicirikan oleh arsitektur rumah adat Tongkonan dan ritual pemakaman yang kompleks (Rambu Solo’). Objek wisata utama meliputi kompleks megalit (simbuang batu) di Kalimbuang Bori’ dan lokasi pekuburan alam purba berdinding batu di Kete Kesu dan Londa. Kompleks Bori’ memiliki ratusan batu menhir yang didirikan dalam upacara adat yang disebut  rante, yang hanya dilaksanakan untuk pemuka masyarakat dengan tingkat upacara Rapasan Sapurandanan (memotong minimal 24 ekor kerbau).

Keberhasilan pariwisata Toraja bergantung pada pelestarian otentisitas ritual yang langka, seperti upacara Lantang Pangngan, yang sangat jarang dijumpai dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit (pembuatan miniatur bisa mencapai belasan juta rupiah). Tantangannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan etika dan otentisitas budaya di tengah komersialisasi. Ketika ritual sakral dipertontonkan untuk pariwisata, terdapat risiko erosi nilai sosio-kultural. Oleh karena itu, keterlibatan komunitas lokal (Pokdarwis) sangat penting dalam menetapkan batasan dan memastikan bahwa komunitas mendapatkan keuntungan finansial yang adil untuk membiayai pelestarian tradisi yang mahal ini.

Table 1: Perbandingan Karakteristik Destinasi Dataran Tinggi Utama

Destinasi Lokasi Regional Fokus Wisata Dominan Karakteristik Kritis Referensi Kunci
Dieng Plateau Jawa Tengah Geowisata, Budaya, Agrowisata Ketinggian vulkanik (2.000 mdpl), Embun Beku, Isu sampah/kapasitas, Pokdarwis Kuat.
Puncak/Pangalengan Jawa Barat Agrowisata (Teh), Rekreasi Massal Konflik tata ruang, alih fungsi lahan, risiko longsor, kemacetan, Pemandian Air Panas.
Kerinci Jambi/Sumbar Ekowisata Konservasi, Geowisata Habitat satwa langka (Harimau Sumatera), Gunung tertinggi Sumatera, Kebun Teh Kayu Aro.
Tana Toraja Sulawesi Selatan Wisata Budaya, Antropologi Arsitektur Tongkonan, Ritual pemakaman kompleks (Megalit, kerbau), Risiko erosi otentisitas.

Model Bisnis dan Daya Tarik Pariwisata Berkelanjutan

Pengembangan pariwisata dataran tinggi harus didasarkan pada model yang memaksimalkan pelestarian lingkungan sekaligus memberdayakan ekonomi lokal. Dua model utama yang relevan adalah Ekowisata dan Agrowisata.

Ekowisata di Kawasan Lindung: Pendekatan Berbasis Kemampuan Lahan

Ekowisata didefinisikan sebagai bentuk wisata yang bertanggung jawab, diilhami oleh riwayat alam dan budaya, dengan tujuan untuk mengagumi, belajar, dan menikmati keindahan tanpa merusak. Model ini sangat ideal untuk kawasan dataran tinggi yang merupakan zona lindung, seperti sebagian besar Bukit Barisan dan lereng gunung aktif.

Pengembangan ekowisata harus terikat pada Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL). SKL adalah evaluasi untuk mengetahui sejauh mana lahan mampu menopang aktivitas tertentu, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti morfologi, kestabilan lereng, kestabilan pondasi, ketersediaan air, dan ketahanan terhadap erosi. Prinsip SKL berfungsi sebagai instrumen mitigasi risiko bencana yang terintegrasi dalam perencanaan pariwisata. Kegagalan serius dalam penegakan prinsip kemampuan lahan telah terbukti fatal di kawasan seperti Puncak, di mana pengembangan pariwisata dan permukiman yang tidak terkendali di lereng curam memicu tragedi longsor.

Agrowisata sebagai Pilar Peningkatan Ekonomi Lokal

Agrowisata merupakan pariwisata alternatif yang memanfaatkan potensi sumber daya pertanian dan kebudayaan setempat. Model ini memiliki tujuan ganda: mempromosikan produk pertanian Indonesia dan meningkatkan volume penjualan, serta meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat sekitar. Manfaat dari agrowisata mencakup pelestarian sumber daya alam dan teknologi lokal.

Keberhasilan pengembangan agrowisata bergantung pada penerapan model Tri Mitra: Pemerintah sebagai pembuat aturan, Rakyat/Petani sebagai subyek dan pelaksana, dan Dunia Usaha Pariwisata sebagai penggerak perekonomian. Studi kasus seperti perkebunan teh di Tambi, Wonosobo, menunjukkan bahwa agrowisata dapat memberikan edukasi lingkungan dan meningkatkan keterampilan sumber daya manusia di kalangan generasi muda. Selain manfaat ekonomi langsung, agrowisata juga memainkan peran sosial yang krusial: dengan menciptakan variasi produk pariwisata dan lapangan kerja di desa (pembuatan souvenir, pemanduan) , agrowisata dapat membantu menahan atau mengurangi arus urbanisasi yang meningkat.

Wisata Budaya Berbasis Komunitas (CBT)

Di banyak dataran tinggi, daya tarik utama adalah warisan budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat adat. Pariwisata pedesaan mengedepankan pemanfaatan keunikan budaya dan tradisi lokal. Di Toraja, ini terlihat dalam ritual pemakaman yang kompleks , sementara di Dieng, terlihat dalam festival yang dikelola secara kolektif.

Peran Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) menjadi krusial dalam model CBT. Contohnya Pokdarwis Dieng Pandawa yang memberdayakan pemuda lokal untuk mengelola potensi desa. Kelompok ini memiliki fungsi strategis, termasuk mengorganisasi kelompok kerja UMKM industri rumahan dan kerajinan tangan, serta menetapkan aturan mengenai pembangunan fasilitas dan pembagian retribusi. Keterlibatan komunitas ini penting untuk mencegah pariwisata merusak struktur sosio-kultural. Dengan adanya sistem retribusi yang adil, masyarakat termotivasi untuk melestarikan tradisi budaya, terutama yang memerlukan biaya besar, karena keberlanjutan ekonomi pariwisata terkait langsung dengan otentisitas warisan yang dipertahankan.

Table 2: Analisis Model Pengembangan Ekowisata vs. Agrowisata di Dataran Tinggi

Aspek Kriteria Ekowisata (Nature-Based) Agrowisata (Agriculture-Based)
Fokus Konservasi Sangat Tinggi: Perlindungan habitat, flora, dan fauna langka (Kerinci). Sedang-Tinggi: Melestarikan sumber daya alam/teknologi lokal dan lahan pertanian.
Daya Tarik Utama Keindahan alam murni, trekking, Geowisata (kawah/danau), observasi satwa. Pengalaman bertani/memanen, edukasi lingkungan (teh), produk khas (Andaliman, kopi).
Prasyarat Perencanaan Wajib Analisis Kemampuan Lahan (SKL); Pemanfaatan Kawasan Lindung. Penerapan model Tri Mitra (Pemerintah, Petani, Dunia Usaha).
Potensi Risiko Lingkungan Kerusakan akibat jejak kaki manusia (hiking), deforestasi di perbatasan kawasan lindung. Penggunaan pestisida/pupuk non-organik, alih fungsi lahan pertanian menjadi fasilitas.

Analisis Tantangan Kritis dalam Pengembangan Dataran Tinggi

Meskipun memiliki potensi besar, pariwisata dataran tinggi menghadapi tantangan struktural yang memerlukan intervensi kebijakan yang terpadu dan strategis.

Infrastruktur, Aksesibilitas, dan Integrasi Digital

Keterbatasan infrastruktur dan aksesibilitas menjadi hambatan utama, terutama di desa-desa wisata rintisan. Di kawasan padat seperti Pangalengan, prasarana transportasi darat sangat penting, dan jalur lokal/desa menjadi arteri utama pergerakan wisatawan. Di Sumatera Utara, rute menuju kawasan Danau Toba masih dihadapkan pada masalah rawan kemacetan (Medan-Berastagi), yang membutuhkan peningkatan sarana transportasi yang terkoordinasi antar kabupaten/kota dan provinsi.

Selain akses fisik, ketersediaan amenitas dasar juga vital. Amenitas mencakup sarana akomodasi, retail, restoran, sarana kebersihan, dan pusat cinderamata. Di era modern, integrasi digital melalui   E-Tourism menjadi prasyarat untuk meningkatkan citra dan mempermudah wisatawan. E-tourism yang didukung oleh ICT (Information and Communication Technologies), bisnis, dan pemerintah, memungkinkan informasi dan pemesanan layanan (seperti kamar hotel) diakses secara daring.

Isu Lingkungan: Alih Fungsi Lahan, Longsor, dan Manajemen Kapasitas

Petaka Alih Fungsi Lahan dan Risiko Bencana

Tragedi longsor di Puncak Bogor menjadi pengingat keras bahwa mengabaikan kelestarian lingkungan dan tumpang tindih tata ruang dapat berujung pada kerugian nyawa dan aset. Alih fungsi lahan telah mengakibatkan Puncak kehilangan fungsi hutannya. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah menekankan perlunya mempercepat dan menegakkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan penataan ruang, serta program rehabilitasi lereng melalui penanaman vegetasi pengikat tanah.

Ancaman Over-tourism dan Daya Dukung Lingkungan

Destinasi yang sangat populer, seperti Gunung Bromo, telah mengalami dampak over-tourism. Lonjakan kunjungan melebihi daya dukung (carrying capacity) lingkungan dapat menyebabkan kerusakan permanen pada ekosistem Geowisata dan mengurangi kualitas pengalaman wisatawan. Di kawasan dataran tinggi, penting untuk memastikan bahwa pengembangan fasilitas pariwisata, seperti yang dijelaskan dalam Analisis Kemampuan Lahan, memperhatikan kestabilan lereng, pondasi, dan drainase untuk mitigasi risiko geologis.

Krisis Pengelolaan Sampah dan Limbah Padat

Pengelolaan sampah di kawasan dataran tinggi menghadapi tantangan serius akibat keterbatasan infrastruktur dan lonjakan volume wisatawan. Di lokasi wisata padat, volume sampah yang dihasilkan dapat melebihi kapasitas pengolahan lokal secara signifikan. Sebagai contoh, di masa high season, volume sampah dapat mencapai 18 ton per hari, sementara kapasitas pengolahan hanya mampu memproses 16% dari total volume tersebut. Fenomena gunung sampah, yang pernah terjadi di Dataran Tinggi Dieng , menunjukkan dampak nyata dari masalah kapasitas ini.

Dampak dari penumpukan limbah, terutama sampah plastik, bersifat multifaset. Selain mencemari tanah dan air, pembakaran sampah plastik yang tidak terkontrol dapat melepaskan gas dan logam berat berbahaya (seperti dioksin dan timbal) ke udara, memengaruhi kualitas udara lingkungan dan kesehatan masyarakat. Bagi dataran tinggi yang merupakan hulu sumber air dan pusat agrowisata, pencemaran ini berisiko merusak sumber daya alam dan komoditas pertanian yang menjadi daya tarik utama pariwisata.

Table 3: Tantangan Struktural dan Solusi Strategis di Kawasan Dataran Tinggi

Tantangan Utama Manifestasi Kritis Dampak Causalitas Rekomendasi Strategis (Analisis)
Keberlanjutan Lingkungan Alih fungsi lahan/deforestasi di Puncak; Over-tourism di Bromo. Memicu bencana (longsor); merusak daya dukung ekologis; menurunkan kualitas pariwisata. Penegakan KLHS ketat; penerapan batas carrying capacity wisatawan; rehabilitasi lereng.
Pengelolaan Sampah Kapasitas olah TPST rendah; penumpukan limbah plastik; pembakaran terbuka. Pencemaran air, tanah, dan udara; isu kesehatan masyarakat dan citra destinasi. Investasi pada TPST terpadu; adopsi teknologi pengolahan (mekanis/kimia); regulasi produk sekali pakai.
Aksesibilitas dan Infrastruktur Rawan kemacetan rute utama (Medan-Toba); keterbatasan sarana akomodasi/amenitas. Hambatan aliran wisatawan; inefisiensi ekonomi; penurunan kualitas layanan. Perbaikan prasarana transportasi terpadu; optimalisasi E-Tourism untuk informasi dan pemesanan.

Dampak Ekonomi Regional dan Pengembangan Produk Khas

Pariwisata dataran tinggi memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan devisa negara dan penciptaan lapangan kerja. Kawasan ini berfungsi sebagai motor penggerak ekonomi regional.

Kontribusi Ekonomi dan Peningkatan Devisa

Meningkatnya kunjungan wisatawan nusantara ke kawasan prioritas seperti Danau Toba menunjukkan kebangkitan sektor ini. Namun, keberlanjutan ekonomi bergantung pada kemampuan daerah untuk menahan atau mengurangi arus urbanisasi dengan menciptakan peluang kerja yang stabil di lokasi wisata.

Pengembangan UMKM dan Nilai Tambah Produk Lokal

Peningkatan pendapatan masyarakat lokal sangat didukung oleh pengembangan UMKM dan produk unggulan khas daerah. Contoh penting adalah potensi Andaliman di kawasan Danau Toba, yang dapat diolah untuk mendukung industri kuliner pariwisata dan bahkan diekspor. Di desa wisata, Pokdarwis sering memiliki kelompok kerja yang fokus pada industri rumahan untuk makanan khas dan kerajinan tangan. Produk-produk souvenir yang umum dibeli meliputi kaos khas daerah, gantungan kunci, makanan khas seperti emping, dan susu kambing etawa.

Pengembangan produk ini tidak hanya tentang transaksi, tetapi juga pembangunan kapasitas ekonomi yang memastikan bahwa keuntungan dari pariwisata mengalir kembali ke masyarakat, sehingga memperkuat motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam pelestarian alam dan budaya.

Inovasi Produk: Paket Wisata Minat Khusus dan Experiential Learning

Inovasi dalam produk pariwisata dataran tinggi telah bergeser dari sekadar rekreasi pasif menuju pengalaman mendalam (experiential learning) dan minat khusus. Contohnya adalah pengembangan paket wisata outdoor recreation atau team building yang melibatkan kegiatan di alam terbuka.

Produk minat khusus ini menuntut standar kompetensi yang lebih tinggi bagi pemandu wisata dan fasilitator. Pemandu harus menguasai pengetahuan mendalam tentang objek destinasi (flora, fauna, materi kultural), mampu mengkoordinasikan tur secara sistemik, memiliki manajemen emosional yang baik, dan menerapkan standar Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan Kerja (K3). Kualitas layanan ini menjustifikasi harga paket wisata yang lebih tinggi (mencapai Rp 80.000 hingga Rp 100.000 per orang), yang secara langsung meningkatkan pendapatan individu pemandu lokal dan memberikan nilai tambah bagi pengalaman wisatawan.

Strategi Pengembangan dan Rekomendasi Kebijakan Lanjutan

Analisis menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata dataran tinggi di Indonesia harus bertransformasi dari pendekatan berbasis volume menjadi model berbasis nilai yang mengutamakan keberlanjutan.

Penguatan Kebijakan Tata Ruang Berbasis Risiko (KLHS)

Langkah paling krusial adalah penegakan hukum dan kebijakan terkait tata ruang. Pemerintah harus segera mempercepat dan menegakkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di seluruh kawasan dataran tinggi, terutama di wilayah yang rawan bencana dan konflik tata ruang seperti Puncak.  Penerapan zonasi yang didasarkan pada Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) harus menjadi prioritas. Zonasi ini wajib membedakan secara ketat antara kawasan lindung, yang hanya cocok untuk ekowisata minimalis berdasarkan kestabilan lereng, dan kawasan budidaya pariwisata. Tujuannya adalah memastikan bahwa pembangunan fasilitas tidak mengorbankan fungsi kelestarian lingkungan demi keuntungan ekonomi jangka pendek.

Strategi Peningkatan Aksesibilitas dan Konektivitas

Investasi infrastruktur harus difokuskan pada penanganan titik-titik kemacetan (bottlenecks) yang menghambat arus wisatawan (misalnya rute Medan-Danau Toba) dan pada perbaikan prasarana jalan lokal/desa yang menghubungkan akomodasi dan atraksi.

Sejalan dengan itu, optimalisasi E-Tourism harus didukung penuh, termasuk pengembangan website destinasi yang profesional, interaktif, dan terintegrasi dengan sistem pemesanan. E-Tourism tidak hanya mempermudah akses informasi, tetapi juga meningkatkan citra profesional dan efisiensi operasional bagi penyedia jasa wisata.

Penguatan Kelembagaan Lokal dan Kapasitas SDM

Komunitas lokal, melalui Pokdarwis, adalah pengelola sumber daya pariwisata yang paling efektif. Pemerintah perlu memperkuat formalisasi kelembagaan Pokdarwis, memberikan mereka kewenangan yang jelas dalam mengelola retribusi dan pembangunan fasilitas.

Program peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) harus ditingkatkan kualitasnya, berfokus pada pelatihan pemanduan minat khusus (termasuk penguasaan pengetahuan obyek secara holistik, mencakup flora, fauna, dan budaya, serta standar K3). Selain itu, edukasi lingkungan dan pelatihan promosi/pemasaran yang efektif (melalui media sosial dan event) perlu diberikan untuk menarik lebih banyak wisatawan yang menghargai nilai tinggi dan menjaga kelestarian alam.

Rekomendasi Konservasi dan Manajemen Lingkungan

Untuk mengatasi krisis limbah, regulasi yang membatasi penggunaan produk sekali pakai di kawasan wisata harus diterapkan, sejalan dengan investasi pada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang memiliki teknologi pengolahan yang memadai (mekanis, kimia, atau biologis). Tujuan jangka panjang adalah transisi menuju model  zero waste di destinasi dataran tinggi, yang secara langsung mencegah pencemaran air, tanah, dan udara yang merusak ekosistem.

Pengelolaan daya dukung lingkungan (carrying capacity) wajib diterapkan di destinasi ikonik yang rawan over-tourism (seperti Bromo dan Dieng). Hal ini dapat dilakukan melalui sistem reservasi yang membatasi jumlah kunjungan harian, memastikan bahwa pengalaman wisatawan tetap berkualitas tinggi dan tekanan ekologis tetap terkendali.

Kesimpulan

Pariwisata dataran tinggi di Indonesia memiliki potensi ekonomi dan budaya yang tak tertandingi. Namun, pengembangan di masa depan harus menjauhi pendekatan eksploitatif dan rentan. Transisi menuju pariwisata berkelanjutan—yang mengedepankan otentisitas budaya (seperti di Toraja), konservasi lingkungan (seperti di Kerinci), dan pemberdayaan ekonomi lokal melalui agrowisata dan CBT—adalah keharusan. Kegagalan dalam menegakkan perencanaan berbasis risiko (KLHS dan SKL), seperti yang terlihat di Puncak, menunjukkan bahwa investasi di infrastruktur fisik harus selalu didampingi oleh investasi dalam tata kelola lingkungan yang kokoh dan partisipasi komunitas yang terstruktur.