Loading Now

Kesawan Medan: Arsitektur Warisan dan Akulturasi Budaya,

Kesawan: Pintu Gerbang Masa Kolonial dan Pusat Perdagangan di Medan

Kawasan Kesawan Square, yang secara administratif terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Kesawan, Medan Barat, merupakan salah satu area tertua dan paling signifikan secara historis di Kota Medan. Secara geografis, lokasi Kesawan sangat strategis, berada di jantung kota lama, dikelilingi oleh pusat-pusat administrasi dan ekonomi kolonial yang vital, termasuk Stasiun Kereta Api Medan, Kantor Pos Utama Medan, dan Gedung Bank Indonesia. Struktur spasial ini menegaskan perannya bukan sekadar sebagai pemukiman, melainkan sebagai koridor kekuasaan dan perdagangan utama selama era Hindia Belanda.

Kawasan ini memainkan peran identitas ganda yang unik. Sejak periode kolonial, Kesawan telah diakui sebagai pusat Pecinaan terbesar di wilayah Kerajaan Melayu Deli. Hal ini menunjukkan bahwa Kesawan berfungsi sebagai titik temu penting, di mana kekuasaan kolonial Belanda, Kesultanan Melayu Deli, dan modal dagang etnis Tionghoa berinteraksi secara intens. Kedekatan fisik antara institusi-institusi ini—bangunan kantor Eropa, kediaman saudagar Tionghoa terkemuka, dan fasilitas publik yang melayani keduanya—menciptakan lingkungan yang kaya akan akulturasi budaya dan dinamika sosial-ekonomi yang kompleks. Keberadaan Pecinaan yang dominan di tengah pusat kota lama ini membedakan Kesawan dari kawasan kota tua lainnya di Indonesia.

Kerangka Waktu Historis dan Evolusi Sosial-Ekonomi

Kesawan adalah saksi bisu kejayaan masa lalu Medan, terutama yang terkait dengan industri perkebunan, yang didukung oleh tokoh-tokoh besar Tionghoa seperti Tjong A Fie. Kontribusi para saudagar ini terhadap stabilitas ekonomi dan sosial Deli sangat besar. Proximity antara pusat administrasi kolonial (diwakili oleh perusahaan perkebunan besar seperti Lonsum), Kesultanan Melayu Deli (Istana Maimun, meskipun berjarak, adalah pusat kekuasaan Melayu), dan modal Tionghoa menciptakan sebuah  koridor kekuasaan yang sangat khas.

Analisis mendalam menunjukkan bahwa Kesawan tidak hanya sekadar “kota tua,” tetapi merupakan area di mana kekuasaan dan pengaruh dinegosiasikan. Modal Tionghoa yang diwakili oleh Tjong A Fie mendapatkan legitimasi karena perannya dalam filantropi dan toleransi antar-etnis dan agama, yang memungkinkannya beroperasi dekat dengan pusat kekuasaan. Ini adalah sebuah bentuk legitimasi kekuasaan yang diperantarai oleh kontribusi sosial dan ekonomi, bukan hanya kekuasaan murni yang didiktekan oleh kolonial. Melalui mekanisme ini, Kesawan dapat tumbuh sebagai pusat Pecinaan yang stabil dan makmur. Bangunan-bangunan tua seperti Rumah Tjong A Fie, Café Tip Top, dan Stasiun Kereta Api Medan menjadi bukti nyata dari kejayaan masa lalu tersebut. Meskipun terjadi transisi pasca-kemerdekaan dan modernisasi kota, bangunan-bangunan warisan di Jalan Ahmad Yani tetap dipertahankan, menjaga karakter Kesawan sebagai kota lama yang otentik dan menarik, terutama bagi mereka yang tertarik pada fotografi warisan sejarah.

ARSITEKTUR WARISAN DAN SINKRETISME BUDAYA

Tinjauan Arsitektur Kolonial Belanda dan Art-Deco di Kesawan

Kawasan Kesawan menampilkan perpaduan arsitektur yang mencerminkan berbagai fase sejarah kota. Bangunan-bangunan ini didominasi oleh gaya kolonial yang khas, mirip dengan yang ditemukan di Kota Tua Jakarta (Old Batavia) , namun disesuaikan dengan iklim tropis Medan.

Salah satu contoh arsitektur ikonik yang mewakili dominasi modal perkebunan Eropa adalah Gedung London Sumatra (Lonsum). Didirikan pada tahun 1906 oleh Harrisons & Crosfield Plc, sebuah perusahaan perdagangan umum dan jasa manajemen perkebunan dari London, Inggris, Gedung Lonsum berfungsi sebagai kantor perkebunan. Keberadaannya memperkuat peran Kesawan sebagai pusat ekonomi utama Sumatera Utara. Selain itu, Gedung Lonsum, bersama dengan bangunan-bangunan administrasi lainnya seperti Kantor Pos Utama, mencontohkan gaya arsitektur kantor bergaya Kolonial yang megah di koridor Kesawan.

Rumah Tjong A Fie: Simbol Akulturasi Tionghoa-Melayu dan Filantropi

Rumah Tjong A Fie, yang dibangun pada tahun 1900, adalah cagar budaya yang paling menonjol dan representasi fisik dari akulturasi budaya yang terjadi di Kesawan. Bangunan ini mengadopsi gaya arsitektur eklektik yang luar biasa, memadukan unsur-unsur Tionghoa (terutama dalam tata ruang dan ornamen), Eropa, Melayu, dan sentuhan Art Deco. Arsitektur fusi ini secara visual menceritakan kisah integrasi Tionghoa-Melayu di Deli.

Lebih dari sekadar keindahan arsitektur, rumah ini juga melambangkan signifikansi sosial-budaya Tjong A Fie, seorang saudagar Tionghoa yang kaya dan sangat dermawan. Ia dikenal karena toleransinya yang tinggi, memberikan sumbangan besar kepada warga kurang mampu, dan bahkan terlibat dalam pendirian tempat ibadah Muslim seperti Masjid Raya Al-Mashun dan Masjid Lama Gang Bengkok. Kehidupan Tjong A Fie yang terpatri dalam rumahnya kini menjadi destinasi wisata edukasi yang populer. Rumah Tjong A Fie beroperasi sebagai museum dan terbuka untuk publik pada hari Selasa hingga Minggu, dari pukul 09:00 hingga 16:00 atau 17:00 WIB, dengan biaya masuk sekitar 35.000 Rupiah untuk umum.

Landmark Arsitektural Krusial Lainnya

Selain Rumah Tjong A Fie dan Gedung Lonsum, kawasan Kesawan memiliki beberapa landmark lain yang mendukung narasi sejarahnya. Café Tip Top, yang telah berdiri sejak tahun 1934 dan masih beroperasi hingga kini, merupakan saksi bisu perkembangan kuliner dan interaksi sosial di Medan. Keberadaan Stasiun Kereta Api Medan, bersama dengan Kantor Pos Utama, memperkuat peran Kesawan sebagai pusat logistik, komunikasi, dan transportasi utama di Sumatera Utara, melengkapi narasi arsitektur komersial dan administrasi kolonial.

Tabel 1: Profil Arsitektural dan Signifikansi Historis Landmark Utama Kesawan
Landmark
Rumah Tjong A Fie
Gedung London Sumatra (Lonsum)
Café Tip Top
Masjid Lama Gang Bengkok

Analisis Mendalam: Akulturasi Tionghoa-Melayu pada Masjid Lama Gang Bengkok

Masjid Lama Gang Bengkok, yang terletak secara strategis di Kelurahan Kesawan, merupakan studi kasus yang luar biasa mengenai sinkretisme arsitektur dan toleransi budaya. Masjid ini didirikan oleh Tjong A Fie antara tahun 1874 hingga 1889 Masehi, dan kemudian diserahkan kepada Kesultanan Deli. Bangunan ini diakui sebagai salah satu masjid tertua di Sumatera Utara yang berada di pusat kota.

Masjid ini secara spesifik dirancang dengan konsep akulturasi budaya lokal dan non-lokal, menciptakan keseimbangan yang luar biasa antara dominasi arsitektur Tionghoa dan Melayu pada elemen-elemen bangunan inti.

Elemen Tionghoa Dominan

Bentuk bangunan didominasi oleh unsur Tionghoa, yang paling menonjol terlihat pada atapnya. Atap masjid menggunakan model Tsuan Tsien (setengah limas) yang mengadaptasi bentuk atap kelenteng (klenteng), sebuah elemen yang berbeda dari bentuk kubah masjid pada umumnya. Selain itu, warna yang digunakan juga sangat khas Tionghoa; fasad atap didominasi warna hijau, yang dalam budaya Tionghoa melambangkan keabadian, kemakmuran, kesehatan, dan harmoni. Kolom dan dinding masjid menggunakan warna kuning, yang melambangkan kekuatan. Karakteristik Tiongkok lainnya mencakup simetri dan keseimbangan, serta orientasi kiblat ke arah barat laut yang diinterpretasikan sebagai upaya menghindari arah “gerbang kejahatan”.

Elemen Melayu Dominan

Aplikasi arsitektur Melayu muncul terutama dalam detail dekorasi dan ornamen. Yang paling jelas adalah ornamen “lebah-lebah yang bergelantungan” pada dinding di antara pilar dan lisplang (fascia board) teras, yang merupakan ciri khas Melayu. Ornamen ini memiliki makna filosofis terkait kesehatan dan manfaat bagi manusia. Penggunaan warna hijau dan kuning juga konsisten dengan warna khas Melayu yang mendominasi dinding luar, kolom, dan ornamen. Selain itu, penempatan pintu di teras serambi dan jumlah anak tangga ganjil (lima) selaras dengan karakteristik rumah tradisional Melayu.

Masjid Gang Bengkok adalah bukti konkret bahwa Kesawan adalah tempat penciptaan budaya baru (sinkretisme), bukan sekadar tempat bertemunya budaya. Ketika bangunan sakral seperti masjid dibangun oleh seorang tokoh Tionghoa dan secara struktural mengadopsi bentuk atap kelenteng, namun secara dekoratif diselaraskan dengan ornamen Melayu yang memiliki makna filosofis, ini menunjukkan tingkat penerimaan dan pengakuan lintas-budaya yang sangat tinggi. Hal ini mencerminkan adanya mekanisme  cultural endorsement di tingkat elite, baik Kesultanan Deli maupun komunitas Tionghoa, yang memungkinkan warisan arsitektur ini bertahan dan menjadi simbol toleransi multietnis di Medan.

Dinamika Wisata Warisan Budaya (Cultural Heritage Tourism)

Potensi dan Daya Tarik Kesawan bagi Wisatawan

Kawasan Kesawan memiliki potensi besar sebagai destinasi Cultural Heritage Tourism. Deretan bangunan bersejarah yang terawat baik, seperti Rumah Tjong A Fie dan Gedung Lonsum, berfungsi sebagai daya tarik visual yang kuat. Bagi para pecinta fotografi, Kesawan adalah magnet utama. Seorang anggota komunitas Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (APFI) menyatakan bahwa di tengah kota modern seperti Medan, peninggalan sejarah inilah yang dicari untuk dijadikan objek foto. Kawasan Kesawan dipandang pantas untuk dijadikan ikon Kota Medan karena warisan sejarahnya yang mendalam.  Di sisi lain, landmark seperti Rumah Tjong A Fie menyediakan fungsi edukasi yang vital. Wisatawan dapat belajar tentang sejarah hidup saudagar Tionghoa, peranannya dalam perkembangan kota, dan bagaimana akulturasi budaya Tionghoa, Melayu, dan Eropa terwujud dalam satu kawasan.

Tantangan Pengelolaan Destinasi Warisan

Meskipun kaya akan sejarah, penelitian menunjukkan bahwa Kesawan Square belum dikelola secara maksimal sebagai destinasi wisata berbasis warisan budaya. Tantangan utama yang teridentifikasi adalah fragmentasi informasi. Wisatawan yang datang umumnya hanya berorientasi pada belanja atau kuliner, sering kali tanpa menyadari nilai sejarah dan signifikansi budaya yang ada di balik fasad bangunan-bangunan tua tersebut.

Selain itu, terdapat masalah kurangnya infrastruktur pariwisata yang terintegrasi. Meskipun Kesawan sudah memiliki sarana dasar seperti restoran, bank, dan akses transportasi, kawasan ini belum dilengkapi dengan pusat informasi pariwisata terpadu atau ketersediaan pemandu wisata bersertifikat yang khusus fokus pada narasi warisan Kesawan. Kurangnya interpretasi sejarah yang terstruktur ini berpotensi mereduksi Kesawan menjadi sekadar latar belakang yang menarik secara visual, tanpa menyampaikan kedalaman historisnya.

Perbandingan Konseptual dengan Kota Tua Jakarta

Upaya revitalisasi Kesawan, terutama melalui proyek Kesawan City Walk (KCW), memiliki ambisi yang mirip dengan penataan kembali Kota Tua Jakarta atau Old Batavia. Kedua kawasan berusaha mengubah area bersejarah menjadi pusat kegiatan publik, ekonomi kreatif, dan pariwisata.

Namun, fokus naratif Kesawan menunjukkan perbedaan strategis. Sementara Kota Tua Jakarta menekankan narasi arsitektur kolonial Belanda (Old Batavia) dan museum-museum bersejarah , Kesawan menonjolkan narasi multietnis (Tionghoa-Melayu-Kolonial) yang secara agresif dikawinkan dengan strategi kuliner, dengan  branding utama “The Kitchen of Asia”.

Perbedaan fokus ini memunculkan paradoks pariwisata. Proyek komersialisasi Kesawan City Walk (Bab IV) dirancang untuk mengatasi kelemahan ekonomi kawasan , tetapi peningkatan aktivitas komersial dan kuliner yang masif berpotensi memperburuk masalah fragmentasi informasi sejarah. Apabila Kesawan hanya dikenal sebagai “Kitchen of Asia,” nilai intrinsik arsitektur (sebagai cagar budaya) terancam terdegradasi menjadi dekorasi semata. Keberlanjutan kawasan ini mensyaratkan adanya keseimbangan antara menghasilkan pendapatan (melalui KCW) dan fungsi edukasi publik (heritage interpretation).

Infrastruktur Pariwisata

Kesawan berada di lokasi yang sangat sentral, tepatnya di Jln. Jendral Ahmad Yani No.105, di depan Tjong A Fie Mansion. Moda transportasi utama di Kota Medan, seperti taksi, sepeda motor, dan bus, dapat digunakan untuk mencapai kawasan ini. Namun, wisatawan dianjurkan untuk memperhatikan isu keselamatan lalu lintas dan potensi kemacetan yang umum terjadi di Medan.  Akses ke tempat-tempat ikonik tergolong mudah. Rumah Tjong A Fie Mansion umumnya terbuka untuk pengunjung pada hari Selasa hingga Minggu, dengan jam operasional dari pukul 09:00 hingga 17:00 WIB (meskipun beberapa sumber menyebutkan tutup pukul 16:00 WIB), dan ditutup setiap hari Senin.

Kuliner Kesawan: Revitalisasi Melalui Kesawan City Walk (Kcw)

Sejarah Kuliner Kesawan: Pertemuan Cita Rasa Tionghoa, Melayu, dan Nusantara

Kuliner di Kesawan, dan Medan secara umum, mencerminkan sejarah akulturasi kota yang kaya. Cita rasa Medan dipengaruhi oleh berbagai etnis, termasuk Tionghoa, India, Melayu Deli, Batak (Toba, Karo, Mandailing), Aceh, dan Minang. Pengaruh Tionghoa, misalnya, terlihat jelas dalam penggunaan bahan seperti tauco, sementara pengaruh lokal tercermin dalam penggunaan bumbu khas seperti andaliman, bawang batak, asam jungga, dan asam glugur yang menghasilkan aroma unik.

Kawasan Kesawan, berdekatan dengan pusat-pusat kuliner legendaris seperti Jalan Selat Panjang, telah lama menjadi rumah bagi hidangan-hidangan fusion Tionghoa-Indonesia. Selain Café Tip Top yang legendaris , terdapat hidangan khas seperti Kwetiau (ayam, bagan, goreng, kuah, siram) , Nasi Ayam Hainam SP 10 , dan Bihun Bebek Kumango.

Branding Kota Medan sebagai “The Kitchen of Asia” dan Peran KCW

Di bawah kepemimpinan Wali Kota Medan, Muhammad Bobby Afif Nasution, Kesawan City Walk (KCW) dicanangkan sebagai pusat kuliner ikonik, sebuah langkah strategis untuk menjadikan Medan sebagai “The Kitchen of Asia”. Revitalisasi ini merupakan bagian dari program prioritas pemerintah kota untuk menghidupkan kembali sektor pariwisata dan mendorong ekonomi kreatif lokal.

Strategi untuk memperkuat branding ini tidak hanya berfokus pada kelezatan makanan, tetapi juga pada elemen entertainment. Pemerintah kota mendorong transparansi dengan membuka dapur memasak di depan umum, memungkinkan pengunjung untuk melihat proses pembuatan kuliner secara langsung. Peningkatan nilai melalui pengalaman visual ini diharapkan dapat menambah daya tarik kuliner.

Analisis Operasional Kesawan City Walk: Konsep Kuliner Malam dan Ekonomi Kreatif

Kesawan City Walk terletak di lokasi yang sangat strategis, tepatnya di Jln. Jendral Ahmad Yani No.105, di depan Rumah Tjong A Fie. KCW dikembangkan sebagai sentra wisata kuliner malam. Jam operasional normalnya berlangsung dari pukul 18:00 hingga 24:00 WIB, meskipun pernah dibatasi hingga pukul 22:00 WIB selama masa pembatasan sosial.

Tujuan utama proyek KCW adalah menciptakan dorongan ekonomi. Revitalisasi ini dirancang untuk mendukung bisnis Usaha Kecil Menengah (UKM) lokal dan diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Proyek ini juga merupakan upaya pemerintah untuk membangun kembali sektor pariwisata yang terdampak. Namun, keberhasilan ini harus diiringi dengan manajemen yang cermat. Pembukaan kembali KCW, seperti yang terjadi pada November 2021, menunjukkan risiko manajemen kerumunan yang signifikan, di mana pengunjung berdesakan, memerlukan upaya keras dari pemerintah daerah untuk mengurai kepadatan.

Peta Kuliner Ikonik Kesawan dan Sekitarnya

Kuliner di Kesawan menawarkan spektrum hidangan yang luas, mulai dari makanan berat yang kaya rempah hingga dessert lokal.

  • Soto Medan: Hidangan yang sangat populer dan legendaris, dikenal karena kuahnya yang kuning, kental, dan kaya rempah karena menggunakan santan. Soto Udang Kesawan adalah varian yang sangat terkenal. RM Sinar Pagi, yang telah berdiri sejak tahun 1962, juga merupakan penyedia soto Medan yang legendaris.
  • Hidangan Tionghoa Khas: Selain soto, Kesawan dan sekitarnya menawarkan Bihun Bebek Kumango dan Nasi Ayam Hainam SP 10, yang menyajikan nasi gurih dengan pilihan ayam rebus atau goreng.
  • Dessert: Kota Medan terkenal dengan durian. Dessert ikonik yang mudah ditemukan termasuk Pancake Durian dan Durian Bolang. Café Tip Top juga dikenal dengan es krimnya.

Strategi “Kitchen of Asia” menggunakan Kesawan sebagai platform yang kaya sejarah untuk tujuan komersial. Meskipun ini berhasil menarik massa , keberhasilannya hanya berkelanjutan jika diimbangi dengan kebijakan konservasi arsitektur yang ketat. Jika Kesawan hanya dianggap sebagai platform ekonomi, terjadi pertarungan antara place-making yang cepat (komersialisasi) versus place-keeping yang berkelanjutan (pelestarian warisan fisik).

Table 2: Klaster Kuliner Ikonik dan Pengaruh Budaya di Kesawan

Klaster Kuliner Contoh Hidangan Ikonik Pengaruh Budaya Dominan Keterangan Sumber Data
Mie dan Kwetiau Kwetiau Siram, Kwetiau Goreng, Chow Mein Tionghoa Menu Tionghoa-Indonesia yang umum di Medan
Soto dan Sup Kaya Rempah Soto Udang Kesawan, Soto Medan Melayu Deli, Padang, India Kuah santan dan rempah khas Medan; Soto Udang spesifik Kesawan
Makanan Berat Tionghoa Nasi Ayam Hainam SP 10, Bihun Bebek Kumango Tionghoa, Melayu Bukti penggunaan bahan Tionghoa-Indonesia di pusat kuliner
Dessert Lokal Pancake Durian, Durian Bolang Lokal/Nusantara Durian sebagai ciri khas oleh-oleh Medan

Kesimpulan Dan Rekomendasi Strategis

Sintesis Temuan Kunci

Analisis mendalam terhadap Kesawan Medan menunjukkan bahwa kawasan ini adalah koridor historis dan budaya yang kompleks:

  1. Warisan Arsitektur dan Sinkretisme: Kesawan adalah gudang arsitektur kolonial (Lonsum, Tip Top) dan rumah bagi warisan Pecinaan, yang paling kentara dalam arsitektur fusi Tionghoa-Melayu pada Rumah Tjong A Fie dan, yang lebih kritis, pada Masjid Lama Gang Bengkok. Arsitektur ini membuktikan adanya  cultural endorsement lintas-etnis di masa kolonial.
  2. Paradoks Pariwisata Warisan: Meskipun memiliki potensi tinggi sebagai destinasi Cultural Heritage Tourism, kawasan ini mengalami fragmentasi informasi dan minimnya infrastruktur interpretatif. Wisatawan cenderung memprioritaskan kuliner, membuat narasi sejarah terdegradasi menjadi latar belakang visual.
  3. Strategi Komersial Agresif: Revitalisasi Kesawan City Walk (KCW) adalah strategi pemerintah untuk menciptakan brand kuliner regional (“The Kitchen of Asia”) dan mendorong ekonomi malam. Namun, strategi ini membawa risiko konflik kepentingan antara komersialisasi cepat dan mandat pelestarian warisan fisik.

Rekomendasi Pengembangan Warisan Budaya Berkelanjutan

Untuk memastikan Kesawan berkembang sebagai destinasi yang seimbang antara ekonomi dan budaya, langkah-langkah strategis berikut perlu diimplementasikan:

  1. Integrasi Narasi Sejarah dan Kuliner: Konsep The Kitchen of Asia harus dipandang sebagai sarana edukasi, bukan hanya konsumsi. Setiap tenant di KCW harus didorong atau diwajibkan untuk memasukkan narasi sejarah Kesawan ke dalam branding dan menunya, menjadikan kuliner sebagai pintu masuk menuju pemahaman sejarah dan akulturasi.
  2. Penguatan Infrastruktur Interpretatif: Diperlukan pendirian Pusat Informasi Pariwisata Terintegrasi (CITC) di Kesawan Square. Pusat ini harus menyediakan pemandu wisata bersertifikat yang fokus pada narasi multietnis yang unik, terutama kisah toleransi Tjong A Fie dan analisis arsitektur Masjid Gang Bengkok. Hal ini akan mengatasi masalah minimnya informasi wisata yang selama ini terjadi.

Usulan Model Tata Kelola Pariwisata Terpadu

Pengelolaan Kesawan harus menerapkan pendekatan yang menanggapi tantangan dan peluang yang dihadirkan oleh proyek KCW. Analisis SWOT menyoroti perlunya pengawasan ketat terhadap dampak komersial pada warisan fisik.

Table 3: Analisis SWOT Proyek Revitalisasi Kesawan City Walk (KCW)

Kategori Faktor Kunci Implikasi Strategis
Strength (Kekuatan) Aset fisik bersejarah otentik (Tjong A Fie Mansion, Lonsum), branding kuat “Kitchen of Asia”, dukungan politik Pemda. Memberikan legitimasi historis dan kecepatan eksekusi. Warisan arsitektur Tionghoa-Melayu menjadi keunikan yang tak tertandingi.
Weakness (Kelemahan) Fragmentasi narasi sejarah, kurangnya manajemen pariwisata terintegrasi, fokus dominan pada konsumsi. Risiko historical dilution, di mana arsitektur hanya berfungsi sebagai latar belakang, bukan objek utama. Membutuhkan investasi signifikan dalam interpretasi.
Opportunity (Peluang) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui UKM, menarik segmen wisata edukasi melalui narasi toleransi, menjadikan Kesawan ikon multietnis. KCW dapat menjadi mesin ekonomi yang membiayai konservasi; narasi Tjong A Fie dapat menarik investasi budaya global.
Threat (Ancaman) Konflik antara komersialisasi dan pelestarian, kemacetan, risiko manajemen kerumunan masif yang berpotensi merusak cagar budaya. Volume pengunjung yang tinggi dapat mempercepat degradasi bangunan tua. Diperlukan zonasi komersial yang jelas dan solusi mitigasi lalu lintas.

Untuk mengatasi kelemahan dan ancaman yang timbul dari komersialisasi, disarankan pembentukan Kesawan Heritage Trust (Yayasan Warisan Kesawan) dengan model Kemitraan Pemerintah-Swasta (PPP). Entitas ini harus memiliki mandat untuk mengawasi implementasi KCW, memastikan bahwa setiap lisensi komersial menyertakan klausul konservasi yang ketat, dan yang paling krusial, mengarahkan sebagian keuntungan KCW (PAD) langsung ke pemeliharaan dan konservasi fisik bangunan cagar budaya di Jalan Ahmad Yani. Dengan model ini, fungsi komersial KCW terintegrasi secara struktural dengan mandat pelestarian warisan, memastikan bahwa strategi The Kitchen of Asia benar-benar berkelanjutan dan menghormati sejarah yang menjadi fondasinya.