Loading Now

Wisata Kebun Binatang di Indonesia

Wisata Kebun Binatang di Indonesia:Lembaga Konservasi (LK), termasuk kebun binatang dan taman safari, memegang peran fundamental dalam strategi pelestarian keanekaragaman hayati nasional. Peran ini diwujudkan melalui mandat tripartit yang mencakup Konservasi Ex Situ, Edukasi Publik, dan Rekreasi yang Mendidik. Konservasi  Ex Situ melibatkan upaya penangkaran satwa di luar habitat alaminya, menjadikannya benteng terakhir bagi spesies terancam punah. Program ini sangat krusial, misalnya, dalam penangkaran Harimau Sumatera atau Jalak Bali, yang populasinya berhasil diselamatkan dari ambang kepunahan dan dilepasliarkan kembali ke alam.

Selain fungsi konservasi, LK modern berperan sebagai pusat edukasi yang berupaya membangun kesadaran lingkungan sejak dini melalui pengamatan langsung dan wahana interaktif. Aspek ekonomi dari LK juga menghasilkan dampak ganda (double effect). Keberadaan kebun binatang tidak hanya sebagai tujuan hiburan, tetapi juga sebagai motor ekonomi lokal. Kebutuhan operasional, terutama pakan satwa, menciptakan rantai pasok yang menghubungkan LK dengan petani, peternak, dan nelayan di wilayah sekitar, yang menjadi penyedia hasil bumi.

Kerangka Regulasi dan Lembaga Penyangga

Tata kelola kebun binatang di Indonesia dipayungi oleh kerangka regulasi yang diawasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan didukung oleh Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI). PKBSI berfungsi sebagai wadah kolaborasi utama, membawahi 58 Lembaga Konservasi anggota yang menampung 4.912 jenis satwa dan mempekerjakan sekitar 23.000 tenaga kerja. Organisasi ini aktif dalam memfasilitasi pertukaran satwa dan program konservasi, seperti kasus keberhasilan penangkaran Jalak Bali yang populasinya kini berhasil dipulihkan.

Pemerintah berencana meningkatkan kualitas industri ini melalui inisiatif standarisasi nasional tata kelola kebun binatang. KLHK berupaya mengadopsi standar internasional (seperti yang diterapkan oleh WAZA) dan menyesuaikannya dengan konteks lokal Indonesia, mencakup teknis manajemen dan pemeliharaan hewan. Regulasi LK telah mengamanatkan standar kepatuhan teknis minimal, termasuk harus memiliki fasilitas pengelolaan limbah, serta sarana pemeliharaan dan perawatan satwa yang terdiri dari kandang pemeliharaan, kandang perawatan, kandang pengembangbiakan, kandang sapih, kandang peragaan, areal bermain, klinik, karantina satwa (permanen), dan kemampuan pengukuhan diagnosa laboratorium.

Meskipun kerangka regulasi teknis yang ketat telah tersedia, terutama terkait kesehatan satwa dan prosedur karantina , terdapat kesenjangan signifikan antara standar ideal dan implementasi di lapangan. Kritik dari aktivis satwa yang menyatakan bahwa mayoritas, hingga 90%, kebun binatang di Indonesia “tidak layak” menggarisbawahi adanya masalah penegakan standar yang lemah atau tidak merata. Hal ini menunjukkan bahwa inisiatif standarisasi baru oleh KLHK harus menekankan pada mekanisme audit yang independen dan sanksi yang tegas bagi LK yang gagal memenuhi persyaratan dasar kesejahteraan satwa, bukan sekadar penerbitan pedoman baru.

Isu pendanaan juga menjadi faktor pemisah kualitas LK. Lembaga konservasi swasta seperti Taman Safari Indonesia Group cenderung lebih mandiri dan tidak bergantung pada anggaran pemerintah. Sebaliknya, LK milik pemerintah daerah (LK Publik) seringkali harus menopang beban operasional konservasi yang mahal hanya dengan mengandalkan pendapatan tiket yang rendah. PKBSI menegaskan bahwa LK publik memerlukan dukungan alokasi APBN atau APBD untuk biaya perawatan satwa, karena mengandalkan harga tiket saja tidak berkelanjutan, apalagi untuk tarif yang sangat murah. Hingga saat ini, DKI Jakarta menjadi salah satu contoh positif yang secara eksplisit mengalokasikan anggaran untuk kebun binatangnya. Kegagalan pemerintah daerah lain untuk memberikan subsidi yang memadai untuk biaya konservasi LK lokal menunjukkan de-prioritasi mandat konservasi. Ini membuat LK BUMD, seperti Kebun Binatang Surabaya (KBS), rentan terhadap krisis keuangan yang dapat memengaruhi kesejahteraan satwa.

Profil Komparatif Lembaga Konservasi Populer (Studi Kasus Regional)

Analisis komparatif terhadap beberapa LK terpopuler di Indonesia menunjukkan adanya disparitas signifikan dalam model operasional, harga, dan fokus konservasi.

Taman Margasatwa Ragunan (TMR), Jakarta: Simbol Akses Publik

Taman Margasatwa Ragunan adalah LK ikonik milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan luas mencapai 147 hektar, TMR merupakan salah satu kebun binatang terbesar di Indonesia yang menampung lebih dari 3.600 spesies hewan, termasuk satwa endemik penting seperti Harimau Sumatera, orangutan, dan Gajah Sumatera.

Daya tarik utama Ragunan terletak pada fungsi sosial dan aksesibilitasnya. Ragunan dikenal karena menetapkan harga tiket yang sangat rendah (Rp4.000 untuk dewasa dan Rp3.000 untuk anak-anak) , menjadikannya pilihan rekreasi dan edukasi yang paling terjangkau bagi masyarakat luas (model  Social Access). Akses menuju lokasi juga sangat mudah menggunakan transportasi publik seperti Transjakarta dan KRL, yang membantu pengunjung menghindari kemacetan dan kesulitan mencari parkir. Dari sisi fasilitas, Ragunan dipuji karena lingkungan yang bersih, rapi, dan fasilitas pendukung yang lengkap, termasuk museum zoologi, kebun raya, dan wahana edukatif.

TMR saat ini berada di ambang perubahan besar melalui program revitalisasi yang direncanakan pada tahun 2025. Rencana ini mencakup penataan manajemen, kenaikan tarif tiket, dan perbaikan infrastruktur yang signifikan. Salah satu langkah krusial adalah pembangunan parkir bertingkat dan larangan masuknya kendaraan roda empat ke dalam area kebun binatang untuk mengatasi kemacetan dan mengganggu lalu lintas internal. Sebagai gantinya, akan diadakan bus keliling internal. Revitalisasi juga mencakup penataan zonasi satwa sesuai habitat, yang diyakini akan meningkatkan kenyamanan satwa. Terdapat pula wacana untuk memperpanjang jam operasional hingga malam hari, meniru model wisata malam yang populer.   Kebun Binatang Surabaya (KBS): Warisan Konservasi dan Dilema Manajemen Didirikan pada tahun 1916, Kebun Binatang Surabaya (KBS) adalah salah satu yang tertua dan terbesar di Asia Tenggara. KBS mengoleksi lebih dari 2.000 satwa dari sekitar 300 spesies, termasuk Komodo, Gajah Sumatera, Harimau Benggala, dan Macan Tutul Jawa.

KBS dikenal sebagai pusat penting dalam konservasi Komodo, bahkan memegang koleksi terbesar di Indonesia, yang mencapai 142 ekor. Fasilitas edukasi yang disediakan mencakup Zoo School interaktif dan pusat informasi satwa yang dilengkapi papan informatif. Harga tiket masuk KBS relatif terjangkau, yaitu sekitar Rp15.000.

Namun, KBS menghadapi krisis tata kelola yang serius. Salah satu masalah utama adalah overpopulasi, khususnya Komodo, yang jumlahnya mencapai 135 ekor, melebihi kapasitas ideal. Kondisi ini meningkatkan risiko  inbreeding yang merusak genetik satwa, serta membengkaknya biaya pakan. Selain itu, manajemen sumber daya manusia juga disorot, dengan klaim bahwa 60% dari 200 pegawai bersifat non-produktif, tidak terlibat langsung dalam konservasi maupun pelayanan publik. Kekhawatiran juga muncul mengenai kemampuan finansial LK ini untuk menjaga kesejahteraan satwa, terutama saat terjadi penurunan pengunjung.   Taman Safari Indonesia (TSI) Group: Standar Kualitas Internasional

Taman Safari Indonesia (TSI) di Cisarua, Bogor, adalah pelopor model open zoo atau safari drive-thru di Indonesia. Dengan luas 170 hektar, TSI menawarkan pengalaman unik di mana pengunjung dapat menjelajahi area dengan mobil pribadi atau bus safari, melihat satwa (sekitar 7.000 ekor dari 300 spesies, termasuk koleksi panda dari Tiongkok) yang dibiarkan bebas di wilayahnya, tanpa dipisahkan oleh kandang kurungan. Model ini memberikan pengalaman yang lebih mendalam dan seringkali dianggap lebih etis untuk kesejahteraan satwa dibandingkan model caged zoo tradisional.

TSI Group diakui secara global atas komitmennya terhadap konservasi dan pariwisata berkelanjutan. Buktinya adalah pengakuan internasional, termasuk penghargaan dari World Association of Zoos and Aquariums (WAZA) dan ASEAN Tourism Awards. Reputasi ini memungkinkan TSI untuk menerapkan model bisnis premium dengan harga tiket yang jauh lebih tinggi (mulai dari Rp200.000 hingga Rp550.000 ke atas). Diferensiasi premium ini didukung oleh inovasi atraksi seperti  Night Safari, di mana pengunjung dapat menyaksikan atau bahkan memberi makan predator secara langsung dari dalam tram berjeruji, memberikan pengalaman petualangan yang mendebarkan.   Bali Safari and Marine Park (BSMP)

Bali Safari and Marine Park adalah LK yang menonjol di Pulau Dewata. BSMP menawarkan kombinasi unik antara pengalaman safari darat dengan elemen maritim, yang menampilkan atraksi lumba-lumba, hiu, dan spesies laut lainnya. BSMP memiliki lebih dari 120 spesies, termasuk spesies langka dan terancam punah seperti Komodo, Orangutan, dan Jalak Bali.

BSMP tidak hanya berfungsi sebagai taman margasatwa, tetapi juga sebagai lembaga dengan visi edukasi dan budaya yang kuat. Konsep dasarnya mengintegrasikan pengalaman safari dengan showcase kehidupan Bali kuno, termasuk filosofi, mitos, dan sejarah yang terkait erat dengan satwa liar. BSMP aktif terlibat dalam upaya konservasi Indonesia, khususnya dalam penangkaran Jalak Bali, dan menawarkan pengalaman interaktif seperti memberi makan hewan predator.

Gembira Loka Zoo (GL Zoo), Yogyakarta

Terletak di Yogyakarta, Kebun Binatang Gembira Loka (GL Zoo) mengadopsi model yang menekankan pada edukasi dan rekreasi. Dengan akses yang mudah dicapai menggunakan Trans Jogja , GL Zoo melayani segmen pasar menengah dengan harga tiket yang bervariasi antara Rp60.000 (hari kerja) hingga Rp75.000 (akhir pekan).

GL Zoo berfokus pada pengalaman interaktif, termasuk Presentasi Edukasi Satwa (PES) untuk Mamalia dan Aves, yang bertujuan mengenalkan perilaku satwa di habitat aslinya. Koleksi satwa GL Zoo mencakup Gajah Sumatera, Buaya Muara, Kura-kura Aldabra, serta berbagai jenis burung langka seperti Elang-laut Perut-putih dan Nuri Abu-abu Afrika.

Tabel 1: Perbandingan Metrik Operasional dan Daya Tarik Wisata Lima LK Utama

Lembaga Konservasi Model Utama Luas (Ha) Status Manajemen Estimasi Harga Tiket (Domestik) Fokus Konservasi Kunci
Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Tradisional (Transisi Habitat) 147 Pemerintah Daerah (DKI Jakarta) Rp4.000 – Rp5.000 Akses Sosial, Harimau Sumatera
Kebun Binatang Surabaya (KBS) Tradisional/Sejarah 15 Pemerintah Daerah (Surabaya) Sekitar Rp15.000 Koleksi Komodo Terbesar
Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor Open Safari Park 170 Swasta Premium (Rp200.000 – Rp550.000+) Standar WAZA, Panda, Night Safari
Bali Safari Marine Park (BSMP) Safari & Bahari N/A Swasta Premium (Sesuai Paket) Konservasi Jalak Bali, Pengalaman Malam
Gembira Loka Zoo (GL Zoo) Zoo Modern/Edukasi N/A BUMD/Swasta (Yogyakarta) Mid-Range (Rp60.000 – Rp75.000) Edukasi Interaktif, Gajah Sumatera

Analisis Model Bisnis: Disparitas Harga dan Keberlanjutan Finansial

Polaritas Harga dan Fungsi Sosial

Terdapat polarisasi ekstrem dalam model penetapan harga di antara LK populer di Indonesia. Di satu sisi, model Social Access yang diwakili oleh Ragunan dengan tarif sangat rendah (Rp4.000) memastikan bahwa LK memenuhi mandat sosialnya sebagai sarana rekreasi yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Di sisi lain, model Premium Sustainability yang diadopsi oleh TSI Group menetapkan harga tiket yang jauh lebih tinggi. Harga premium ini memberikan margin finansial yang dibutuhkan untuk investasi berkelanjutan dalam infrastruktur kandang yang lebih luas (sesuai konsep Open Zoo), program konservasi, dan operasional yang memenuhi standar internasional. Model ini menunjukkan bahwa biaya konservasi yang efektif dan pemeliharaan satwa yang berkualitas tinggi memerlukan pembiayaan yang substansial.

Keunggulan Kompetitif Model Safari

Model Open Zoo (Safari) terbukti memiliki keunggulan kompetitif ganda: meningkatkan kesejahteraan satwa dan memberikan pengalaman pengunjung yang lebih baik. Dalam model ini, satwa dapat bergerak lebih bebas dibandingkan dalam caged zoo tradisional, yang secara etis lebih disukai dan meningkatkan kualitas kunjungan. TSI Group memanfaatkan konsep ini dengan menawarkan diferensiasi melalui atraksi premium seperti Night Safari, yang memungkinkan diversifikasi pendapatan di luar jam operasional standar. Atraksi ini, yang menawarkan pengalaman melihat predator di malam hari atau memberi makan hewan buas dari tram berjeruji, menarik segmen pasar premium dan mengurangi ketergantungan pada volume pengunjung massal.

Analisis terhadap LK publik menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk mengadopsi model pendanaan gabungan (blended funding). Ragunan tidak dapat mempertahankan tarif Rp4.000 sambil secara bersamaan berupaya mencapai standar kesejahteraan satwa dan infrastruktur yang lebih tinggi melalui revitalisasi. Rencana Pemerintah Provinsi DKI untuk menaikkan tarif masuk adalah pengakuan eksplisit bahwa mandat konservasi membutuhkan pembiayaan yang lebih realistis. Oleh karena itu, LK publik di seluruh Indonesia perlu menaikkan tarif secara moderat untuk menopang biaya operasional dan memastikan adanya alokasi subsidi APBD yang dijamin, khusus dialokasikan untuk perawatan satwa dan infrastruktur vital, bukan hanya mengandalkan pendapatan tiket yang fluktuatif.   Lebih lanjut, transformasi legalitas LK di daerah seringkali menjadi prasyarat untuk investasi besar. Contoh signifikan terlihat pada Semarang Zoo (Bonbin Mangkang), yang mengubah statusnya dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pariwisata menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) berbadan hukum PT Taman Satwa Semarang. Perubahan status ini membuka jalan bagi rencana transformasi ambisius menjadi taman safari megah dengan anggaran investasi yang mencapai Rp100 Miliar. Hubungan sebab akibat ini menunjukkan bahwa perubahan status hukum (dari unit dinas menjadi BUMD/PT) memungkinkan pencarian modal swasta atau pinjaman yang lebih agresif, yang pada akhirnya mendorong modernisasi model operasional (Safari) dan peningkatan kualitas LK secara keseluruhan.   Mandat Konservasi: Studi Kasus Spesies Endemik dan Manajemen Populasi

Upaya Konservasi Ex Situ Spesies Kunci

Lembaga konservasi di Indonesia memainkan peran sentral dalam upaya menyelamatkan spesies endemik yang terancam punah. Fokus utama adalah pada satwa kunci seperti Harimau Sumatera, yang termasuk dalam daftar hewan dilindungi. Program penangkaran Harimau Sumatera aktif dilakukan di beberapa LK, termasuk upaya di Kebun Binatang Surabaya yang melibatkan peminjaman satwa betina untuk pengembangbiakan , serta keberhasilan kelahiran anak Harimau Sumatera di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) Bukittinggi.

Komodo adalah indikator konservasi LK yang penting. Kebun Binatang Surabaya (KBS) menonjol karena mengoleksi Komodo terbanyak di Indonesia, mencapai 142 ekor. Kebun Binatang Ragunan juga menyadari pentingnya koleksi ini dan berencana menambah jumlah Komodo sebagai bagian dari upaya pelestarian. Keberhasilan LK secara kolektif dalam program penangkaran juga ditunjukkan oleh pemulihan populasi Jalak Bali, yang kini telah berhasil dilepasliarkan setelah hampir punah.

Krisis Manajemen Metapopulasi

Meskipun LK mencatat keberhasilan dalam penangkaran (breeding), keberhasilan ini kadang menciptakan dilema manajemen populasi. KBS, dengan keberhasilan penangkaran Komodo, kini menghadapi masalah serius overpopulasi, dengan jumlah Komodo (135 ekor) yang jauh melampaui kapasitas ideal.

Overpopulasi ini menimbulkan ancaman ganda. Pertama, meningkatkan risiko inbreeding atau perkawinan sedarah, yang berpotensi merusak genetik populasi jangka panjang. Kedua, overpopulasi mengakibatkan pembengkakan biaya pakan dan meningkatnya risiko penyakit di ruang terbatas. Solusi teknis untuk mengatasi masalah ini telah diidentifikasi, meliputi pelepasliaran ke habitat asli setelah kajian ekosistem, hibah/peminjaman ke LK lain, atau sebagai opsi terakhir, eutanasia dengan pendekatan etis. Namun, implementasi solusi-solusi ini terhambat oleh kurangnya sinergi antar-lembaga konservasi dan absennya perencanaan populasi nasional yang terpusat.

Hal ini menunjukkan bahwa fokus konservasi saat ini terlalu berat pada proses penangkaran dan menghasilkan populasi (kuantitas), tanpa memiliki mekanisme yang memadai untuk pengelolaan populasi berlebih (off-ramp). Overpopulasi di KBS membuktikan bahwa keberhasilan penangkaran harus diiringi oleh keberhasilan manajemen populasi melalui relokasi atau pelepasliaran. Untuk itu, perlu dibentuk sistem Studbook Keeper nasional yang terpusat di bawah naungan PKBSI atau KLHK, yang bertanggung jawab mengelola silsilah genetik dan memfasilitasi transfer satwa berlebih secara wajib, sehingga kesehatan genetik koleksi nasional diprioritaskan di atas kepemilikan koleksi individu oleh satu LK.

Isu Kritis: Kesejahteraan Satwa, Pendanaan, dan Kualitas SDM

Ancaman Kesejahteraan Akibat Krisis Finansial

Isu kesejahteraan satwa telah menjadi kritik kronis yang membayangi industri kebun binatang di Indonesia. Secara historis, beberapa kebun binatang dinilai sangat buruk dan bahkan disebut sebagai “tempat pembunuhan satwa”. Contoh kasus yang parah termasuk kematian jerapah di KBS akibat menelan 20 kilogram plastik , dan kasus beruang yang terlihat kurus di Kebun Binatang Bandung.

Saat ini, krisis finansial terus menjadi ancaman utama kesejahteraan satwa, terutama di LK yang dikelola daerah. Penurunan jumlah pengunjung, seperti yang dialami KBS pada tahun 2024 , berdampak langsung pada pendapatan operasional. Jika LK publik dipaksa bertahan hanya mengandalkan tiket yang murah, mereka terancam melakukan penghematan biaya, yang paling rentan dikorbankan adalah kualitas atau kuantitas pakan satwa. Kekhawatiran ini, yang sering disebut sebagai “ngirit pakan,” secara langsung melanggar standar kesejahteraan satwa. PKBSI berulang kali menekankan bahwa LK membutuhkan alokasi APBN atau APBD yang stabil untuk perawatan satwa, karena mengandalkan pendapatan dari tiket saja tidak realistis bagi LK yang menjalankan mandat konservasi vital.

Tantangan Manajemen dan Sumber Daya Manusia

Selain masalah finansial, kualitas manajemen dan Sumber Daya Manusia (SDM) di LK publik juga menjadi sorotan. Kasus Kebun Binatang Surabaya menyoroti masalah inefisiensi SDM yang signifikan, di mana 60% dari total 200 pegawai diklaim sebagai tenaga non-produktif. Situasi ini menghasilkan pembengkakan biaya operasional tanpa adanya peningkatan fokus pada konservasi atau pelayanan publik inti. Kurangnya kompetensi SDM teknis (seperti  keeper dan medik veteriner) berkorelasi langsung dengan masalah kesejahteraan dan manajemen populasi.

Maka, diperlukan restrukturisasi organisasi secara menyeluruh, modernisasi manajemen berbasis teknologi, dan peningkatan transparansi dalam pengelolaan dana dan satwa, khususnya di LK milik daerah.

Tabel 2: Matriks Isu Kritis Kesejahteraan dan Tata Kelola Satwa (2024-2025)

Isu Kritis LK Terkait/Contoh Kasus Dampak Kesejahteraan Satwa Rekomendasi Intervensi Kebijakan
Overpopulasi/Inbreeding Kebun Binatang Surabaya (Komodo) Kerusakan genetik jangka panjang, biaya pakan membengkak Wajib Adopsi Studbook Management Nasional dan Rencana Relokasi Satwa Berlebih
Defisit Finansial & Welfare LK Publik (KBS) Risiko pengurangan pakan, fasilitas kandang tidak terawat Pengikatan Subsidi APBD/APBN dengan Audit Kesejahteraan Satwa (Welfare Auditing)
Disparitas Kualitas Pelayanan Seluruh LK Anggota PKBSI Citra negatif industri, mengancam status LK sebagai pusat konservasi Sertifikasi LK berjenjang (A, B, C) dengan standar internasional (WAZA) sebagai tolok ukur KLHK
Manajemen SDM Non-Produktif Kebun Binatang Surabaya Inefisiensi biaya dan kurangnya fokus pada konservasi/pelayanan publik Restrukturisasi Organisasi dan Pelatihan Teknis (Keeper & Veteriner)

Outlook Masa Depan: Arah Revitalisasi dan Transformasi Model

Revitalisasi LK Publik sebagai Peningkatan Kualitas Ekosistem Satwa

Beberapa LK publik kini bergerak menuju modernisasi melalui program revitalisasi besar-besaran, yang didorong oleh tuntutan etis dan kebutuhan untuk meningkatkan daya tarik pariwisata. Rencana Ragunan adalah yang paling ambisius. Revitalisasi TMR akan berfokus pada pembangunan infrastruktur yang mendukung kesejahteraan satwa dan pengelolaan pengunjung. Ini termasuk pembangunan parkir bertingkat, meniadakan mobil di dalam area, dan menata zonasi satwa sesuai habitat alaminya. Penataan zonasi habitat adalah kunci untuk memperbaiki kondisi kandang, menjadikannya lebih mirip habitat asli satwa. Pengelola menjamin bahwa proses revitalisasi ini tidak akan mengganggu kenyamanan satwa.

Upaya perbaikan ini, seperti pelarangan kendaraan pribadi di dalam Ragunan, menunjukkan kesediaan untuk mengorbankan akses mudah demi kualitas pengalaman dan kesejahteraan satwa. Revitalisasi semacam ini menjadi respons langsung terhadap kritik historis mengenai standar kesejahteraan satwa yang rendah , sekaligus upaya strategis untuk meningkatkan daya saing ekonomi sektor pariwisata.

Tren Transformasi Menuju Model Safari

Tren pergerakan menuju model konservasi berbasis habitat (mirip taman safari) terlihat jelas di tingkat daerah. Kasus Semarang Zoo yang bertransformasi statusnya menjadi BUMD dan merencanakan investasi Rp100 Miliar untuk berubah menjadi taman safari megah merupakan indikasi bahwa LK daerah juga menyadari bahwa model  caged zoo yang usang tidak lagi berkelanjutan.

Revitalisasi Ragunan yang juga mencakup penataan zonasi habitat dan kemungkinan operasional malam hari meniru model sukses TSI, menunjukkan bahwa inovasi operasional diperlukan untuk diversifikasi pendapatan. LK yang gagal mengadopsi konsep zonasi berbasis habitat akan dianggap ketinggalan zaman dan kurang etis, sehingga berpotensi kehilangan pangsa pasar dan dukungan publik di masa depan. Revitalisasi ini tidak hanya tentang peningkatan fasilitas, tetapi tentang perubahan filosofi tata kelola menuju standar etika global yang lebih tinggi.

Kesimpulan 

Sektor lembaga konservasi di Indonesia menunjukkan polarisasi kualitas dan model bisnis yang tajam. Di satu sisi, entitas swasta seperti Taman Safari Indonesia Group telah mencapai standar konservasi dan tata kelola internasional, didukung oleh model bisnis premium yang berkelanjutan. Di sisi lain, LK publik, meskipun memenuhi mandat sosial melalui harga yang sangat terjangkau (Ragunan ), bergulat dengan krisis pendanaan, inefisiensi manajemen (KBS ), dan dilema populasi (overpopulasi Komodo ). Isu overpopulasi di KBS menunjukkan bahwa fokus konservasi saat ini terlalu berat pada penangkaran tanpa pengelolaan metapopulasi yang memadai.

Namun, program revitalisasi masif yang direncanakan di LK publik seperti Ragunan, yang berfokus pada zonasi habitat dan peningkatan infrastruktur pengunjung, memberikan harapan akan modernisasi dan peningkatan kualitas yang dapat menjadi benchmark nasional bagi LK lainnya.