Martabak Street Food paling ikonik di Indonesia
Martabak: Sebuah Fenomena Kuliner dengan Identitas Ganda
Martabak merupakan salah satu makanan jalanan (street food) paling ikonik di Indonesia, dikenal karena keberhasilannya menyatukan dua entitas kuliner yang berbeda secara fundamental di bawah satu nama payung: Martabak Telur (gurih/savory) dan Martabak Manis (manis/sweet). Dualitas ini mencerminkan sejarah adaptasi dan asimilasi budaya yang kompleks di Nusantara.
Secara etimologi, istilah Martabak berakar dari bahasa Arab, yaitu moetabbak, yang memiliki makna “berlapis-lapis” atau “bertumpuk”. Penelusuran istilah ini menunjukkan bahwa pada mulanya, nama tersebut secara harfiah merujuk pada Martabak Telur, yang disajikan dengan lapisan kulit adonan tipis yang membungkus isian. Penerapan istilah “Martabak” pada Martabak Manis, yang memiliki tekstur tebal dan berongga serta sama sekali tidak berlapis, menyiratkan bahwa pada masa kolonial, Martabak telah menjadi istilah umum untuk kategori kudapan asing, khususnya kue lipat atau bertumpuk, yang masuk melalui jalur perdagangan. Hal ini membuktikan bahwa persatuan kedua jenis martabak ini lebih merupakan fenomena komersial dan temporal, bukan struktural.
Asal Usul dan Jejak Sejarah: Dua Jalur Migrasi Kuliner
Sejarah Martabak di Indonesia dapat ditelusuri melalui dua jalur migrasi yang sepenuhnya terpisah, yang membentuk dualitas identitasnya saat ini.
Jalur Martabak Telur (Savory): Dari Muttabbaq ke Nusantara
Migrasi Awal dan Pengenalan Rempah
Martabak Telur memiliki asal-usul yang jelas di Timur Tengah dan India. Hidangan ini dibawa ke Nusantara oleh pedagang Muslim dari India dan Timur Tengah yang berdagang dan kemudian menetap di daerah pesisir, terutama di Sumatera dan Jawa, sekitar abad ke-19. Versi Martabak Telur yang berkembang di Indonesia mempertahankan kemiripan struktural yang kuat dengan Muttabbaq India: menggunakan kulit tipis yang ditarik, diisi dengan daging cincang, telur, daun bawang, dan diperkaya dengan berbagai bumbu rempah.
Adaptasi Lokal Pertama: Kasus Tegal dan Palembang
Adaptasi awal Martabak Telur terjadi di sentra-sentra perdagangan. Salah satu narasi populer menyebutkan bahwa Martabak Telur bermula di Tegal, diperkenalkan oleh seorang saudagar India. Titik-titik adaptasi awal ini, seperti Tegal dan Palembang (Sumatera), merupakan kota pelabuhan atau pusat perdagangan yang intens, memungkinkan interaksi yang erat antara pedagang migran India/Arab dengan masyarakat lokal.
Martabak HAR Palembang menjadi studi kasus glokalisasi yang signifikan. Didirikan pada tahun 1947 oleh H. Abdul Rozaq, seorang warga negara Hindia, Martabak ini mengalami penyesuaian intensif. Untuk menyesuaikan cita rasa yang awalnya identik dengan India, bumbu-bumbu Martabak disesuaikan dengan rempah lokal yang familiar bagi lidah masyarakat Palembang, seperti cengkeh, kunyit, jinten, bawang putih, bawang merah, dan ketumbar. Adaptasi ini menghasilkan penerimaan yang masif, sehingga Martabak HAR kini digadang-gadang sebagai salah satu kuliner khas favorit Kota Palembang. Adaptasi yang terjadi di jalur Martabak Telur ini cenderung mempertahankan inti rasa gurih dan rempah, namun memodifikasi profil bumbu agar lebih terintegrasi dengan selera lokal.
Jalur Martabak Manis (Sweet): Evolusi Hok Lo Pan
Akar Tionghoa dan Peran Bangka Belitung
Jalur Martabak Manis sama sekali berbeda dari jalur Martabak Telur. Martabak Manis berakar dari Hok Lo Pan, yang secara harfiah berarti “Kue Etnis Hoklo”. Hidangan ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh komunitas Tionghoa (Hokkien dan Khek) di Kepulauan Bangka Belitung. Topping tradisional Hok Lo Pan umumnya sederhana, hanya terdiri dari gula dan biji wijen.
Eksistensi Sejak Era Kolonial
Martabak Manis telah eksis sejak masa kolonial. Sebuah film tahun 1921 yang merekam suasana pasar di Jawa Tengah menunjukkan penjual sedang menyiapkan sejenis panekuk—Martabak Manis—dengan cara yang identik dengan metode memasak saat ini (dituang ke wajan, dimasak, dilipat). Secara regional, Martabak Manis memiliki esensi yang sama dengan  Apam Balik yang populer di Malaysia dan Singapura, serta Ban Jian Kuih di Tiongkok. Hal ini memperkuat temuan bahwa Martabak Manis mengalami divergensi total dari jalur Martabak Timur Tengah/India dan merupakan adaptasi dari kue Tionghoa. Masyarakat Indonesia menerima dua jenis kue yang berbeda sejarahnya namun disatukan oleh waktu dan kategori makanan jajanan yang sama.
Tipologi dan Analisis Kuliner Komparatif
Martabak Telur dan Martabak Manis bukan hanya berbeda dalam rasa, tetapi juga dalam resep, tekstur adonan, dan metode memasak, yang merupakan dasar dari identitas struktural mereka.
Klasifikasi Utama dan Perbedaan Struktural Dasar
Martabak Telur diklasifikasikan sebagai hidangan gurih yang disiapkan dengan teknik menggoreng, di mana isian telur, daging, dan bumbu dibungkus dengan adonan kulit yang ditarik hingga tipis. Sebaliknya, Martabak Manis adalah jenis kue yang dimasak dengan cara dipanggang di wajan tebal (sejenis  griddle), menghasilkan tekstur yang tebal, lembut, dan berongga, mirip sponge cake atau pancake tebal.
Perbedaan Fundamental dalam Resep dan Metode Memasak
Martabak Telur membutuhkan adonan yang sangat elastis, biasanya menggunakan tepung protein tinggi, agar adonan dapat ditarik lebar dan tipis tanpa robek sebelum membungkus isian. Fokus rasa terletak pada isian rempah-rempah yang kompleks dan savory.
Sebaliknya, adonan Martabak Manis menggunakan tepung terigu , gula, telur, dan zat pengembang seperti soda kue atau  baking powder. Zat pengembang ini krusial untuk menciptakan tekstur berserat dan berongga (sering disebut “sarang lebah”) yang menjadi indikator kualitas. Metode memasaknya adalah memanggang dari bawah di wajan khusus, seringkali menghasilkan warna cokelat keemasan di dasar dan tekstur lembut di permukaan.
Perbandingan Karakteristik Utama Martabak Manis dan Martabak Telur
Karakteristik | Martabak Manis (Terang Bulan / Hok Lo Pan) | Martabak Telur (Muttabbaq Adaptasi) |
Asal Usul Primer | Tionghoa (Hok Lo Pan), Bangka Belitung | India / Timur Tengah |
Fungsi Kuliner | Makanan Penutup (Dessert) / Comfort Food | Makanan Utama / Lauk Pauk Savory |
Tekstur Adonan | Tebal, lembut, berongga (spons), difermentasi | Tipis, elastis, berlapis, renyah di luar |
Metode Pemasakan | Dipanggang di wajan besi tebal (Griddle) | Digoreng dengan minyak, dilipat cepat |
Bumbu Khas | Gula, vanila, Susu Kental Manis (SKM) | Bumbu rempah (jintan, ketumbar, kunyit) |
Batasan dan Inovasi Kuliner
Inovasi Martabak Telur umumnya terbatas pada isian, seperti penambahan keju atau daging asap, atau pada penyesuaian rempah lokal (seperti kasus Martabak HAR).
Sebaliknya, Martabak Manis menunjukkan fleksibilitas inovasi yang jauh lebih liar. Strukturnya yang menyerupai kue memungkinkan perubahan radikal pada basis adonan (misalnya, basis Red Velvet atau Martabak Prol Tape) , serta variasi bentuk (Martabak Pisang yang dibungkus kulit lumpia atau penggunaan cetakan  carabikang). Martabak Manis berfungsi sebagai kanvas yang lebih fleksibel, lebih mudah menerima inovasi rasa dasar dan warna dibandingkan Martabak Telur, yang harus mempertahankan integritas adonan tipis dan kompleksitas rasa gurihnya. Kecenderungan ini menjelaskan mengapa premiumisasi dan diversifikasi pasar rasa didominasi oleh Martabak Manis.
Sebaran Geografis dan Nomenklatur Regional: Kajian Antropologi Bahasa Kuliner
Martabak Manis, khususnya, memiliki fenomena multisintaksis yang luas di Indonesia dan Asia Tenggara, mencerminkan proses penerimaan dan lokalisasi budaya.
Fenomena Multisintaksis di Indonesia
Meskipun “Martabak Manis” menjadi istilah umum di sebagian besar Jawa, varian nama lain yang bersifat lokal dan deskriptif juga populer :
- Terang Bulan: Nama ini populer di Makassar dan Bangka. Istilah ini bersifat deskriptif, mengacu pada bentuk bundar penuh yang menyerupai bulan purnama.
- Kue Bandung: Nama ini umum digunakan di Jawa Tengah. Asal-usulnya insidental, berawal dari anekdot seorang penjual Martabak Manis dari Bangka yang membuka lapaknya tepat di samping warung yang menjual “Mie Bandung”.
- Hok Lo Pan: Ini adalah nama asli yang digunakan oleh komunitas etnis Tionghoa di Bangka Belitung, yang berarti “Kue Etnis Hoklo”.
Pergeseran nama dari “Hok Lo Pan” (yang mengidentifikasi etnis spesifik) menjadi nama-nama yang lebih netral dan deskriptif (“Terang Bulan”) atau insidental (“Kue Bandung”) merupakan mekanisme inklusi kultural. Pelepasan identitas etnis ini memuluskan jalan bagi Martabak Manis untuk diterima secara luas sebagai makanan regional dan nasional.
Konteks Regional Asia Tenggara (Nomenklatur Global)
Di luar Indonesia, Martabak Manis diakui di kawasan Asia Tenggara. Di Malaysia, Singapura, dan Brunei, hidangan ini dikenal sebagai Apam Balik. Di Tiongkok, ia dikenal dengan nama Ban Jian Kuih. Keberagaman nomenklatur ini menunjukkan bahwa meskipun hidangan ini bermigrasi dari Tiongkok, ia mengalami adaptasi bahasa dan kuliner di setiap wilayah yang disinggahinya.
Tabel 2: Nomenklatur Regional Martabak Manis di Nusantara dan Asia Tenggara
Nama Lokal/Regional | Wilayah Utama | Keterangan Asal Usul/Makna |
Martabak Manis | Umum (Mayoritas Jawa) | Istilah kontemporer, membedakan dari Martabak Telur. |
Terang Bulan | Makassar, Bangka, Jawa Timur | Bentuk yang menyerupai bulan purnama. |
Hok Lo Pan | Bangka Belitung | “Kue Etnis Hoklo,” nama asli etnis Tionghoa. |
Kue Bandung | Jawa Tengah | Berasal dari lokasi berdekatan dengan warung Mie Bandung. |
Apam Balik | Malaysia, Singapura, Brunei | Nama regional Asia Tenggara. |
Martabak sebagai Simbol Glokalisasi dan Adaptasi Budaya Mendalam
Martabak merupakan contoh yang sangat baik dari glokalisasi, konsep yang menjelaskan bagaimana proses global diinterpretasikan dan disesuaikan di tingkat lokal, seringkali didorong oleh kepentingan ekonomi.
Martabak HAR Palembang: Analisis Glokalisasi yang Kompleks
Studi kasus Martabak HAR Palembang yang didirikan sejak 1947 menawarkan model glokalisasi yang berhasil mempertahankan eksistensi. Penelitian menunjukkan bahwa glokalisasi Martabak HAR tidak terlepas dari kepentingan bisnis/ekonomi, yaitu bagaimana menarik minat beli masyarakat Palembang.  Konsep glokalisasi Martabak HAR dipetakan melalui tiga unit analisis: glokalisasi pada menu, glokalisasi pada setting tempat, dan glokalisasi proses konsumtif ke produktif.
Glokalisasi Cita Rasa (Menu)
Martabak HAR sukses karena mengadaptasi bumbu India dengan selera lokal. Penyesuaian bumbu menggunakan rempah lokal (seperti kunyit, cengkeh, dan jinten) memastikan rasa yang familiar bagi masyarakat Palembang. Lebih dari itu, adaptasi penyajian memainkan peran penting: Martabak HAR disuguhkan dengan kuah kari kental yang dilengkapi cuka, kecap asin, dan irisan cabai hijau, sebuah kombinasi penyajian yang identik dengan selera lokal Kota Palembang.
Keberhasilan glokalisasi Martabak HAR pada menu berdampak signifikan pada identitas regional. Upaya ini membuat Martabak, yang merupakan makanan migran, diakui secara luas dan bahkan diklaim sebagai salah satu kuliner khas Palembang yang paling disukai setelah pempek. Hal ini membuktikan bahwa makanan yang dimodifikasi secara mendalam sesuai dengan selera lokal dapat memperoleh identitas regional yang kuat dan mapan.
Glokalisasi Bisnis dan Teknologi (Setting Tempat dan Produktif)
Di era modern, Martabak HAR mengadopsi teknologi global untuk mempertahankan eksistensinya. Meskipun konsumen yang datang langsung ke tempat masih dominan, Martabak HAR telah memanfaatkan aplikasi pesan-antar global (seperti Grabfood dan Gofood) untuk menjangkau konsumen yang sibuk atau berlokasi jauh.
Selain itu, glokalisasi juga mengubah peran Martabak dari sekadar konsumsi menjadi produktif. Martabak, terutama dalam porsi besar, sering dijadikan alat atau strategi dalam berelasi atau berbisnis (hantaran). Kemampuan adaptasi pada saluran distribusi dan peran sosial ini memaksimalkan peranannya dalam proses ekonomi.
Martabak di Era Kontemporer (Masa Kini): Premiumisasi dan Disrupsi Digital
Fenomena Premiumisasi dan Inovasi Menu
Martabak, khususnya Martabak Manis, telah mengalami transformasi signifikan melalui premiumisasi. Tren ini ditandai dengan inovasi pada basis adonan dan topping. Dasar adonan kini tersedia dalam rasa premium (misalnya Red Velvet Base) yang dikombinasikan dengan filling impor atau gourmet seperti Nutella atau Ovomaltine.
Secara psikologis, Martabak Manis memenuhi kebutuhan bawaan manusia terhadap makanan yang “manis dan berlemak,” menjadikannya comfort food yang sangat digemari dan diterima oleh segala kalangan. Premiumisasi (menggunakan bahan-bahan mahal dan merek populer) memungkinkan Martabak meningkatkan nilai jualnya secara signifikan, mengubahnya dari makanan jalanan murah menjadi “kemewahan yang terjangkau” (affordable luxury) yang sering dijadikan hadiah atau hantaran.
Disrupsi Digital dan Distribusi
Martabak telah menjadi salah satu makanan yang paling sukses di era disrupsi digital. Data menunjukkan bahwa Martabak Manis adalah penganan yang paling banyak dipesan melalui aplikasi pesan antar daring (GrabFood pada tahun 2020).
Keberhasilan di platform digital ini bukan hanya didorong oleh popularitas rasa, tetapi juga oleh faktor logistik produk. Kedua jenis Martabak relatif stabil dan mudah dikemas untuk pengiriman—Martabak Telur dilipat rapi, dan Martabak Manis memiliki tekstur tebal dan topping yang tidak mudah berantakan. Hal ini memungkinkan produk Martabak untuk memanfaatkan efek eksternalitas jaringan dari aplikasi pesan antar secara maksimal.
Fenomena ini juga mendorong konsolidasi pasar dan munculnya merek-merek yang mengadopsi strategi variasi masif (misalnya, Martabak yang menawarkan “100 Rasa”). Tujuannya adalah untuk menguasai ceruk pasar variasi rasa dan  customization yang tinggi.
Prospek Masa Depan: Martabak sebagai Kuliner Eksportabel
Dengan latar belakang sejarahnya sebagai Ban Jian Kuih (Tiongkok) dan Apam Balik (Asia Tenggara), Martabak Manis memiliki potensi signifikan untuk diakui secara global sebagai dessert khas Asia Tenggara. Inovasi terus berjalan, mencakup kemungkinan Martabak Manis gurih atau adaptasi rasa internasional lainnya (seperti kacang, selai, dan keju), menunjukkan bahwa batas-batas kuliner Martabak masih sangat terbuka.
Kesimpulan
Martabak berdiri sebagai artefak kuliner yang unik, berhasil menyerap dua garis keturunan sejarah—India/Arab dan Tionghoa/Hoklo—ke dalam satu identitas kuliner nasional Indonesia. Kunci keberlanjutan dan eksistensi Martabak terletak pada kemampuan glokalisasi: mempertahankan fondasi esensial (kompleksitas rempah pada Telur atau tekstur sarang lebah pada Manis) sambil secara berkelanjutan berinovasi pada bahan dan saluran distribusinya.
Berdasarkan analisis pasar dan struktural yang mendalam, rekomendasi strategis untuk perkembangan Martabak di masa depan terbagi dua sesuai varian utamanya:
- Untuk Martabak Telur: Sektor ini perlu berfokus pada diferensiasi berbasis kualitas dan terroir Pengembangan Martabak Telur harus meniru keberhasilan Martabak HAR Palembang dalam menciptakan identitas regional yang kuat melalui penyesuaian bumbu lokal dan berfokus pada isian premium (misalnya, single-origin daging atau rempah nusantara). Ini penting untuk bersaing di pasar gourmet yang mencari autentisitas dan kualitas bahan baku tinggi.
- Untuk Martabak Manis: Sektor ini harus terus memimpin inovasi sebagai dessert berbasis cake yang fleksibel. Fokus harus dialihkan dari sekadar penggunaan merek cokelat premium ke kreasi variasi base dan filling yang lebih kreatif (misalnya, rasa buah-buahan lokal, fermentasi, atau tekstur yang lebih unik). Selain itu, Martabak Manis harus mengoptimalkan efisiensi pengiriman dan kualitas kemasan untuk mempertahankan dominasinya di platform digital, mengingat produk ini sangat diminati sebagai camilan yang mudah diakses dan dikonsumsi.