Fenomena Sound Horeg di Indonesia
Latar Belakang Fenomena Sound Horeg di Indonesia
Indonesia, sebuah negara yang kaya akan perayaan budaya dan pertemuan komunal, telah menyaksikan peningkatan fenomena yang tidak biasa namun menarik, yaitu “Sound Horeg”. Fenomena ini merujuk pada penggunaan sistem suara bertenaga sangat tinggi dalam konteks karnaval, arak-arakan, dan pementasan kesenian nusantara, yang secara spesifik menargetkan intensitas suara yang ekstrem, terutama pada frekuensi rendah, untuk menciptakan sensasi getaran fisik yang kuat.
Sound horeg telah menjadi tren sosial-budaya yang meluas, khususnya di wilayah Jawa Timur, di mana acara-acara seperti karnaval Agustusan dan pementasan seni desa menjadi wadah utamanya. Acara-acara ini berhasil menarik puluhan ribu penonton dan melibatkan belasan sistem suara raksasa yang diangkut menggunakan truk dari berbagai daerah. Popularitas yang cepat ini menunjukkan bahwa sound horeg mengisi kebutuhan masyarakat kontemporer untuk mengekspresikan identitas komunal dan kreativitas melalui teknologi sound system canggih.
Analisis menunjukkan bahwa fenomena ini melampaui sekadar hiburan desa. Sound horeg telah bertransformasi menjadi sebuah statement budaya. Popularitasnya di Jawa Timur, yang memiliki tradisi karnaval yang kuat, menunjukkan bahwa fenomena ini menyediakan bentuk ekspresi yang dinamis dan berteknologi tinggi yang mungkin tidak sepenuhnya terakomodasi oleh media seni tradisional. Ini adalah wujud dari kebutuhan akan validasi sosial dan pengakuan teknis di antara komunitas sound system, yang secara signifikan mengubah motif acara komunal dari perayaan semata menjadi ajang unjuk kekuatan akustik.
Tujuan dan Ruang Lingkup Kajian
Kajian ini bertujuan untuk menyajikan analisis mendalam mengenai kompleksitas dualitas fenomena sound horeg: di satu sisi, sound horeg adalah penggerak ekonomi kreatif berbasis komunitas , namun di sisi lain, ia merupakan ancaman serius terhadap kesehatan publik dan ketertiban sosial.
Ruang lingkup laporan ini mencakup telaah mendalam terhadap dimensi akustik dan teknis sound horeg, patofisiologi kerusakan pendengaran, dinamika konflik sosial-ekonomi yang ditimbulkannya, dan tinjauan kritis terhadap kerangka regulasi yang ada. Laporan ini juga akan menyajikan rekomendasi strategis untuk menjembatani hak ekspresi budaya dengan hak atas lingkungan yang aman dan sehat.
Anatomi Sound Horeg: Definisi, Sejarah, dan Konteks Budaya Populer
Definisi dan Karakteristik Akustik (Konteks “Horeg”)
Istilah “Horeg” dalam konteks sound system di Indonesia merujuk pada pengalaman audio yang imersif dan memberikan sensasi getaran fisik yang intens. Fenomena ini tidak hanya berfokus pada volume suara yang tinggi, tetapi pada kemampuan sistem suara untuk menghasilkan Sound Pressure Level (SPL) yang sangat ekstrem, didominasi oleh frekuensi rendah (bass) yang menggelegar.
Para ahli medis mencatat bahwa daya tarik sound horeg terletak pada sensasi fisik yang menyenangkan yang ditimbulkan oleh getaran tersebut, bukan hanya pada pengalaman pendengaran murni. Sensasi vibrasi fisik yang energik ini sangat menarik bagi sebagian orang, khususnya anak muda, di tengah keramaian acara. Analisis ini menyiratkan bahwa keterikatan emosional dan fisik terhadap sound horeg menjadikan isu ini lebih sulit diatur hanya melalui pelarangan kebisingan. Bagi partisipan aktif, sensasi “horor/getaran” adalah tujuan utama dari aktivitas tersebut. Resistensi terhadap regulasi kebisingan terjadi karena melarang kebisingan ekstrem secara otomatis berarti melarang pengalaman fisik yang dicari oleh komunitas tersebut.
Jejak Historis dan Evolusi dalam Perayaan Komunal
Sound horeg telah muncul sebagai tren sosial-budaya yang menjamur, seringkali dipadukan dengan kesenian nusantara, terutama dalam arak-arakan dan karnaval yang ramai di Jawa Timur. Fenomena ini merupakan evolusi dari sound system tradisional. Perubahan signifikan terlihat dari segi peralatan yang kini semakin besar dan kuat, umumnya diangkut dengan truk. Hal ini menunjukkan adanya tren kapitalisasi dan kompetisi yang kian intens dalam ekonomi kreatif lokal.
Peningkatan daya dan ukuran sound system—seperti yang diwujudkan dalam komunitas seperti BOS SOUND HOREG—bukan hanya didorong oleh kebutuhan hiburan, tetapi juga oleh perlombaan untuk mencapai SPL tertinggi sebagai simbol status, kemampuan teknis, dan validasi sosial di antara komunitas. Sound horeg telah berubah menjadi arena kompetisi teknologi. Ajang-ajang seperti lomba Agustusan dan Festival Sound Pressure Level (SPL) menjadi ruang di mana komunitas bersaing. Pergeseran ini menunjukkan bahwa motif di balik sound horeg telah beranjak dari sekadar perayaan budaya menjadi unjuk kekuatan akustik, sebuah dinamika yang menjadi akar utama dari konflik sosial yang muncul kemudian.
Analisis Teknis dan Risiko Fisika Akustik
Spesifikasi Teknis Sound System Horeg: Intensitas Suara (SPL) dan Dominasi Frekuensi Rendah
Karakteristik utama sound horeg adalah intensitas suara yang jauh melampaui batas toleransi pendengaran manusia. Intensitas suara yang dihasilkan sound horeg rata-rata mencapai 100 hingga 120 desibel (dB). Dalam beberapa kasus ekstrem, sistem ini bahkan mampu mencapai level 135 dB.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan ambang batas aman paparan suara bagi manusia adalah antara 60 dB hingga 80 dB. Suara di tingkat ini masih dapat ditoleransi tanpa menimbulkan risiko jangka panjang yang signifikan.
Perbandingan antara intensitas sound horeg dengan ambang batas aman menyoroti risiko serius yang dihadapi publik. Paparan suara 80 dB direkomendasikan aman jika durasinya kurang dari 8 jam. Namun, suara dengan intensitas 100–120 dB—tingkat rata-rata sound horeg—hanya aman untuk paparan kurang dari 15 menit. Jika paparan melampaui batas durasi yang sangat singkat ini, risiko kerusakan pendengaran jangka panjang dan permanen meningkat secara eksponensial.
Untuk memberikan perspektif yang jelas mengenai tingkat risiko, berikut adalah perbandingan antara aktivitas sumber suara dan durasi paparan aman maksimal:
Tabel Kunci 1: Perbandingan Intensitas Suara Sound Horeg vs. Ambang Batas Aman
Aktivitas Sumber Suara | Intensitas Suara (dB) | Durasi Paparan Aman Maksimal | Konteks Risiko |
Percakapan Normal | 60 dB | Aman Sepanjang Hari | Rendah |
Jalan Raya Padat | 80 dB | Kurang dari 8 Jam | Moderat |
Batas Maksimum WHO (Rekomendasi) | 80 dB | Kurang dari 8 Jam | Timbul Kerusakan (Jangka Panjang) |
Sound Horeg Rata-rata | 100 – 120 dB | Kurang dari 15 Menit | Tinggi (NIHL Cepat) |
Sound Horeg Ekstrem | Mencapai 135 dB | Paparan Instan | Sangat Tinggi (Akustik Trauma/Permanen) |
Ancaman Operasional dan Logistik
Pengoperasian sound horeg menuntut kebutuhan daya listrik yang sangat besar, sehingga sistem ini sangat bergantung pada generator set (genset) berkapasitas tinggi. Terdapat risiko operasional yang signifikan terkait dengan kebutuhan daya ini. Ketika musik sound horeg mencapai bass yang menggelegar, amplifier secara tiba-tiba menarik lonjakan permintaan daya listrik yang sangat besar dari genset.
Untuk mengimbangi permintaan daya yang tiba-tiba ini, genset harus segera dan cepat meningkatkan pasokan bahan bakar. Karena proses peningkatan bahan bakar dan permintaan daya terjadi dalam waktu yang sangat cepat dan singkat, pembakaran bahan bakar menjadi tidak seimbang, dan bahan bakar tidak sempat terbakar secara sempurna. Pembakaran yang tidak sempurna inilah yang menyebabkan asap tebal mengepul dari genset.
Risiko operasional ini merupakan bahaya keselamatan publik yang kerap terabaikan. Ketika genset yang mengeluarkan asap tebal dan berpotensi mengalami kegagalan sistem beroperasi di jalan umum selama karnaval yang dipadati puluhan ribu penonton, potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menjadi sangat tinggi. Dalam konteks ini, masalah sound horeg bergeser dari isu kebisingan semata menjadi isu keselamatan lalu lintas dan K3. Regulasi oleh pemerintah harus mencakup standar operasional yang ketat untuk genset dan penempatan yang aman di ruang publik.
Dampak Fisik terhadap Lingkungan
Dampak sound horeg tidak hanya terbatas pada polusi suara. Getaran bass ekstrem yang dihasilkan oleh subwoofer mampu menghasilkan gelombang udara yang sangat kuat. Analisis menunjukkan bahwa getaran ini secara fisik dapat merusak properti, termasuk merobohkan genteng, memecahkan kaca jendela, dan merusak pagar warga.
Kerusakan properti ini meningkatkan biaya sosial dan ekonomi dari fenomena sound horeg. Konflik sosial seringkali dipicu oleh kerugian finansial langsung yang diderita warga. Sebagai contoh, telah dilaporkan kasus di mana rombongan sound horeg merusak pagar warga agar kendaraan truk pengangkut dapat melintas. Kerusakan properti ini bukan hanya masalah teknis, tetapi menjadi katalisator bagi eskalasi konflik dari sekadar keluhan kebisingan menjadi potensi kekerasan fisik. Hal ini menguatkan urgensi sanksi administratif dan pidana yang tegas bagi pelaku yang mengakibatkan kerusakan fisik pada properti publik atau pribadi.
Dampak Kesehatan Publik: Ancaman Permanen dan Risiko Mental
Mekanisme Kerusakan Pendengaran: Patofisiologi Tuli Permanen
Paparan terhadap SPL yang sangat tinggi, seperti yang dihasilkan sound horeg, menimbulkan ancaman serius dan permanen bagi kesehatan telinga. Intensitas dan frekuensi suara yang melampaui batas aman memiliki potensi menyebabkan kerusakan permanen pada struktur telinga bagian dalam.
Mekanisme kerusakan ini melibatkan serangkaian proses patofisiologis. Suara keras memicu stres oksidatif dan inflamasi pada sel-sel rambut halus di koklea, yang dikenal sebagai rumah siput. Sel-sel rambut ini memainkan peran krusial dalam mengubah gelombang suara menjadi sinyal saraf. Jika sel rambut ini rusak akibat paparan bising yang ekstrem, mereka tidak dapat beregenerasi. Karena sel-sel pendengaran ini tidak memiliki kemampuan perbaikan atau regenerasi alami, kerusakan yang terjadi bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki. Akibatnya adalah Noise-Induced Hearing Loss (NIHL) atau tuli permanen.
Implikasi medis dari NIHL sangat serius. Karena tuli permanen yang diakibatkan kebisingan tidak dapat diobati, fokus kebijakan harus dialihkan sepenuhnya pada pencegahan primer. Hal ini membenarkan regulasi yang sangat ketat mengenai level desibel dan durasi paparan, yang secara langsung dapat mengurangi risiko kesehatan masyarakat. Masyarakat yang sering berada di lingkungan bising disarankan menjalani pemeriksaan pendengaran secara berkala, termasuk tes audiometri, serta menggunakan teknologi pengukur kebisingan (seperti aplikasi DBmeter) untuk memantau level suara di sekitar.
Kelompok Paling Rentan
Beberapa kelompok masyarakat berada pada risiko yang jauh lebih tinggi terhadap dampak sound horeg. Kelompok yang paling rentan termasuk anak-anak dan remaja, yang sering tertarik pada suasana energik acara sound horeg. Anak-anak berada pada risiko yang lebih tinggi karena mereka cenderung kurang memiliki pengetahuan tentang bahaya kebisingan dan mengabaikan penggunaan alat pelindung pendengaran. Kerusakan pendengaran pada usia muda ini mengancam perkembangan sumber daya manusia (SDM) di masa depan, karena pendengaran yang baik adalah pilar penting untuk komunikasi, edukasi, dan produktivitas kerja.
Kelompok rentan lainnya adalah mereka yang terpapar secara frekuentif dan terus-menerus, seperti operator, teknisi, dan pemilik sound system yang secara langsung berada di dekat sumber suara. Perlindungan afirmatif terhadap kelompok rentan, termasuk lansia dan pasien di sekitar lokasi acara, harus menjadi inti dari setiap kebijakan inklusif yang dirancang untuk menangani sound horeg.
Korelasi Paparan Bising Kronis dengan Gangguan Kesehatan Mental
Dampak kesehatan sound horeg bersifat sistemik, meluas dari kerusakan fisik pendengaran hingga gangguan kesehatan mental. Gangguan kebisingan yang berulang, terutama pada tingkat ekstrem, terbukti dapat meningkatkan risiko paparan hormon stres yang lebih tinggi dalam tubuh.
Peningkatan kadar hormon stres ini terkait erat dengan berbagai gangguan kesehatan mental, termasuk depresi, kecemasan, dan pada anak-anak, dapat menyebabkan masalah perilaku dan pembelajaran. Ini berarti bahwa sound horeg tidak hanya mengganggu ketenangan, tetapi secara fisiologis mengancam sistem endokrin dan kesehatan mental komunitas yang terpapar secara kronis.
Analisis ini membenarkan pendekatan etika dan keagamaan yang melihat isu sound horeg sebagai ancaman kesehatan yang meluas, melampaui batas-batas hiburan semata. Pemerintah harus menginternalisasi biaya eksternal dari paparan stres kronis ini, karena hal itu akan membebani sistem kesehatan dan pendidikan di masa mendatang.
Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Konflik Komunitas
Sound Horeg sebagai Penggerak Ekonomi Kreatif Berbasis Komunitas
Di satu sisi, fenomena parade sound horeg diakui sebagai wadah penting untuk ekspresi budaya kolektif. Di sisi lain, sound horeg berfungsi sebagai penggerak ekonomi kreatif yang berbasis komunitas. Industri ini mencakup penyewaan peralatan sound system, jasa logistik, dan penyelenggaraan kompetisi yang melibatkan berbagai kelompok lokal. Pelarangan total terhadap kegiatan ini dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap lapangan kerja lokal dan industri terkait yang telah berkembang. Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah yang bijak dan terstruktur untuk mengakomodasi aspek ekonomi kreatif ini tanpa mengorbankan ketertiban umum.
Dinamika Konflik Sosial dan Pelanggaran Hak
Meskipun memiliki nilai ekonomi, praktik sound horeg yang tidak terkendali secara simultan memicu konflik sosial yang serius, menyebabkan gangguan kesehatan, dan secara eksplisit melanggar hak-hak kelompok rentan. Konflik ini seringkali bermula dari gangguan kebisingan ekstrem dan kerusakan properti. Tingkat SPL yang sangat tinggi yang bergerak di jalanan umum telah dilaporkan menimbulkan perselisihan yang berujung pada kekerasan fisik. Selain itu, kegiatan sound horeg di ruang publik juga mengganggu ketertiban lalu lintas dan membahayakan pengguna jalan lainnya, terutama ketika sistem suara diangkut dan dinyalakan di atas truk sambil berjalan.
Pelanggaran hak yang paling mendasar adalah hak warga negara atas lingkungan yang aman dan sehat. Ketika sound horeg menyebabkan kerusakan fisik properti, seperti pagar yang dirobohkan, konflik sosial meningkat pesat. Pelanggaran hak atas properti ini bertindak sebagai katalisator, mengubah keluhan kebisingan menjadi masalah hukum yang menuntut sanksi.
Tabel Kunci 2: Matriks Analisis Dampak Sound Horeg Multi-Sektor
Sektor Dampak | Aspek Positif (Ekspresi & Ekonomi) | Aspek Negatif (Risiko & Konflik) | Justifikasi Kebijakan |
Kesehatan & Keselamatan | Stimulasi fisik (vibrasi), hiburan energetik | Tuli Permanen, gangguan mental, risiko K3 operasional genset | Kewajiban Skrining Kesehatan dan Pembatasan SPL Mutlak |
Sosial & Budaya | Identitas komunitas, ajang kompetisi/kreativitas | Konflik horizontal, pelanggaran hak atas lingkungan yang sehat | Mediasi Komunitas dan Zonasi Aktivitas |
Ekonomi & Regulasi | Mendorong industri penyewaan sound system lokal | Kerusakan properti, beban biaya kesehatan publik, absennya regulasi | Penerapan Sanksi Tegas dan Skema Insentif Regulasi |
Upaya Mitigasi Mandiri
Perlu dicatat bahwa terdapat upaya mitigasi dan inovasi yang telah diinisiasi oleh industri sound system itu sendiri. Contohnya adalah Festival Sound Pressure Level (SPL) di Garut. Berbeda dengan sound horeg konvensional yang mengutamakan volume maksimal, festival SPL ini menitikberatkan pada kualitas suara yang tetap mumpuni, tetapi dengan tingkat kebisingan yang lebih terkontrol dan ramah lingkungan.
Model inovasi ini menunjukkan bahwa industri sound system memiliki kapasitas untuk beradaptasi dan berinovasi tanpa mengorbankan keamanan publik. Festival SPL Garut, yang membagi peserta berdasarkan daya watt dan menilai kualitas audio, dapat dijadikan best practice bagi pemerintah daerah. Dengan mereplikasi dan memberikan insentif untuk model kompetisi ini, fokus komunitas dapat digeser dari persaingan untuk mencapai kebisingan (dB) maksimum menjadi persaingan kualitas dan keamanan, sehingga mengubah insentif sosial dan ekonomi secara fundamental.
Kerangka Regulasi dan Tata Kelola Kebijakan Inklusif
Tinjauan Kritis Terhadap Kelemahan Regulasi Lokal
Salah satu penyebab utama eskalasi konflik terkait sound horeg adalah kelemahan dalam kerangka regulasi di tingkat daerah. Analisis literatur menunjukkan bahwa regulasi daerah seringkali tidak dirancang secara partisipatif dan tidak adaptif terhadap konteks sosial dan budaya lokal. Selain itu, sosialisasi kebijakan yang tidak efektif menciptakan kesenjangan pemahaman yang luas di masyarakat, yang pada akhirnya memicu resistensi dari pelaku usaha sound system.
Kritik tajam muncul karena pemerintah dinilai tidak hadir secara proaktif sebagai regulator yang tegas dan jelas dalam menangani polemik ini. Kekosongan regulasi ini menciptakan kondisi  hukum rimba di ruang publik, di mana kekuatan terbesar (sound system paling keras) yang secara efektif menentukan batas toleransi masyarakat. Ini adalah indikasi kegagalan negara dalam menyeimbangkan hak ekspresi dengan perlindungan hak dasar warga untuk hidup di lingkungan yang aman dan sehat.
Pentingnya Kehadiran Pemerintah Daerah sebagai Regulator
Pemerintah daerah diharapkan mengambil langkah konkret untuk mengatur dan menertibkan sound horeg. Solusi tidak terletak pada pelarangan total, tetapi pada manajemen ruang publik yang efektif. Regulasi harus mencakup penetapan zona dan waktu penggunaan yang tegas. Pertunjukan harus diizinkan hanya di lapangan terbuka yang lokasinya jauh dari pemukiman, sekolah, atau fasilitas kesehatan, serta hanya pada jam-jam tertentu yang tidak mengganggu jam istirahat warga.
Lebih lanjut, penggunaan sound system yang disusun di atas truk dan dinyalakan sambil berjalan di jalanan harus diatur secara ketat karena hal itu memasuki ranah lalu lintas dan dapat membahayakan pengguna jalan lain. Pelanggaran terhadap batasan zonasi, waktu, dan SPL harus dikenai sanksi yang tegas, baik administratif maupun pidana, terutama jika kegiatan tersebut mengakibatkan kerusakan properti atau gangguan kesehatan serius. Kehadiran pemerintah daerah yang aktif dan tegas dalam mengatasi polemik sound horeg merupakan kunci untuk menegakkan ketertiban umum.
Respons Etika dan Keagamaan (Kajian Fatwa Haram)
Kegagalan regulasi sekuler dalam melindungi hak warga atas lingkungan yang aman telah memicu respons dari lembaga keagamaan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) di beberapa daerah, termasuk MUI Jember dan MUI Jatim, telah mengeluarkan Fatwa Haram terhadap sound horeg, dengan alasan bahwa praktik tersebut mengganggu ketertiban publik dan, yang lebih penting, merupakan ancaman kesehatan.
Fatwa ini harus dipandang sebagai reaksi sosial-normatif terhadap kevakuman hukum. Ketika pemerintah tidak dapat menjamin hak warga atas ketenangan, lembaga keagamaan mengambil peran untuk mengisi kekosongan moral dan hukum tersebut. Hal ini menggarisbawahi bahwa isu sound horeg telah bertransformasi dari masalah teknis kebisingan menjadi isu etika publik dan perlindungan kesehatan mendasar. Basis argumen yang digunakan oleh fatwa ini—ancaman kesehatan permanen dan gangguan ketertiban umum—seharusnya digunakan oleh pemerintah daerah untuk memperkuat landasan hukum regulasi formal mereka.
Strategi Penyelesaian Konflik: Pendekatan Inklusif
Dalam menghadapi konflik yang melibatkan kepentingan budaya dan ekonomi komunal yang kuat, pendekatan penyelesaian konflik tidak boleh bersifat represif atau terlalu formalistik. Pendekatan restoratif, seperti mediasi komunitas, direkomendasikan sebagai strategi yang lebih berkeadilan dan adaptif.
Pergeseran paradigma kebijakan dari pendekatan represif menuju inklusif dan partisipatif adalah krusial. Pendekatan restoratif memungkinkan pelaku usaha sound system untuk memahami dan menerima dampak kesehatan dan sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas mereka. Proses mediasi ini dapat membantu menjembatani ekspresi budaya dengan hak atas lingkungan yang aman dan sehat, serta mempromosikan kesadaran hukum dan tanggung jawab sosial yang saat ini masih rendah di kalangan pelaku usaha.
Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis Multi-Sektor
Kesimpulan Utama (Dualitas Fenomena)
Fenomena sound horeg di Indonesia merupakan manifestasi budaya populer yang kuat dan penggerak ekonomi kreatif lokal yang signifikan. Namun, intensitas SPL ekstrem yang dihasilkannya, rata-rata mencapai 100–120 dB, telah mencapai ambang krisis risiko. Risiko ini bersifat sistemik, mencakup kerusakan pendengaran permanen (NIHL) akibat kerusakan sel rambut koklea, gangguan kesehatan mental (peningkatan hormon stres), serta konflik sosial horizontal dan kerusakan properti. Analisis menunjukkan bahwa masalah ini diperparah oleh absennya regulasi daerah yang adaptif dan partisipatif, yang memaksa intervensi normatif seperti Fatwa Haram MUI. Pada intinya, sound horeg adalah masalah di mana kompetisi ekonomi berbasis kekuatan akustik telah mengalahkan prinsip keselamatan dan hak asasi warga negara.
Rekomendasi Kebijakan (Akomodatif, Inklusif, Preventif)
Untuk menyeimbangkan antara hak berekspresi budaya dan kewajiban perlindungan kesehatan publik, laporan ini mengajukan lima rekomendasi strategis:
- Regulasi Akustik Berbasis Bukti Ilmiah: Pemerintah daerah wajib menetapkan dan menegakkan Batas SPL Maksimal yang ketat, idealnya di bawah 85 dB untuk acara di ruang publik terbuka yang mendekati pemukiman. Penegakan hukum harus dilakukan melalui teknologi pengukur kebisingan (DBmeter) yang digunakan oleh aparat berwenang.
- Zonasi Ketat dan Pembatasan Waktu Operasi: Menerapkan zonasi yang jelas, membatasi pertunjukan sound horeg hanya di lokasi yang terisolasi seperti lapangan terbuka yang jauh dari permukiman, sekolah, dan rumah sakit. Waktu operasi harus dibatasi secara tegas untuk menghindari gangguan jam istirahat warga. Pelanggaran berat yang mengakibatkan cedera atau kerusakan properti harus dikenai sanksi administratif dan pidana yang tegas.
- Kampanye Kesehatan Publik dan Perlindungan Kelompok Rentan: Melakukan kampanye edukasi skala besar mengenai bahaya NIHL dan risiko mental yang ditimbulkan oleh bising kronis. Wajibkan penggunaan alat pelindung diri (misalnya, ear plugs) bagi operator sound system dan penonton yang rentan. Selain itu, diperlukan program pemeriksaan audiometri berkala bagi operator dan anak-anak yang sering terpapar.
- Inovasi dan Insentif Ekonomi untuk Kualitas: Memberikan dukungan teknis, insentif finansial, dan pengakuan resmi kepada komunitas sound system yang mengadopsi model Festival SPL terkontrol (seperti Model Garut). Tujuannya adalah menggeser insentif ekonomi dan status sosial dari  loudness (dB maksimum) ke kualitas audio dan kepatuhan terhadap standar lingkungan. Pemerintah harus menjadi Fasilitator Perubahan Paradigma.
- Pendekatan Tata Kelola Restoratif dan Partisipatif: Memastikan bahwa regulasi daerah dirancang melalui proses yang partisipatif, melibatkan pelaku usaha, warga rentan, dan ahli kesehatan. Gunakan mediasi komunal (pendekatan restoratif) sebagai mekanisme utama untuk penyelesaian konflik yang melibatkan klaim properti dan kebisingan, sehingga mempromosikan tanggung jawab sosial di tingkat komunitas.