Job Hugging: Stagnasi Karier di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Pergeseran dari Era Job Hopping ke Job Hugging
Dinamika pasar tenaga kerja telah mengalami perubahan paradigma yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Di masa pasca-pandemi, terutama antara tahun 2021 hingga 2022, tren yang dominan adalah job hopping atau praktik sering berpindah pekerjaan. Pada era Great Resignation, strategi ini populer dan terbukti efektif bagi banyak profesional untuk mencapai kenaikan gaji dua digit dan percepatan kemajuan karier. Pilihan untuk “melompat” ini didorong oleh persepsi adanya kekuatan tawar-menawar yang lebih besar di pihak pekerja dan ketersediaan peluang kerja yang luas.
Namun, kondisi ini telah berbalik secara drastis. Laju pasar kerja melambat, imbalan finansial yang diperoleh dari perpindahan pekerjaan (upside of switching) telah terkikis, dan risiko mengambil langkah baru meningkat. Para pekerja kini menghadapi situasi yang oleh para ahli digambarkan sebagai  whiplash (perubahan mendadak). Dalam menghadapi kondisi yang tidak pasti ini, tren baru yang kontras muncul:  job hugging. Perubahan perilaku ini mencerminkan adaptasi pragmatis pekerja terhadap lingkungan ekonomi yang semakin hati-hati.
Definisi Job Hugging: Bertahan karena Keharusan vs. Loyalitas
Fenomena job hugging didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk tetap berada dalam pekerjaan mereka saat ini, meskipun mereka merasa tidak puas, kurang termotivasi, atau karier mereka telah mencapai stagnasi. Pilihan ini didorong oleh kebutuhan mendesak untuk bertahan di tengah tekanan ekonomi, ketidakpastian pasar kerja, dan ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Tadjuddin Noer Effendi, seorang guru besar dan pengamat ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa praktik ini bukanlah hal baru, namun semakin menonjol dalam kondisi pasar kerja yang sulit.
Motivasi utama di balik job hugging adalah keamanan finansial dan stabilitas. Prof. Effendi menyamakan situasi saat ini dengan peribahasa, “lebih baik burung di tangan daripada dua di pohon” (better a bird in the hand than two in the bush). Mempertahankan pekerjaan saat ini dianggap sebagai langkah paling logis untuk stabilitas, karena mencari pekerjaan baru membawa risiko tinggi. Para pekerja secara harfiah “memeluk” pekerjaan mereka demi kelangsungan hidup (hugging their jobs for dear life).
Penting untuk dicatat bahwa retensi ini jarang mencerminkan loyalitas afektif—ikatan emosional positif terhadap perusahaan—tetapi lebih merupakan continuance commitment, yaitu ikatan yang dipaksakan oleh biaya meninggalkan pekerjaan. Para ahli mengingatkan bahwa job hugging dapat menciptakan ilusi loyalitas, padahal yang terjadi adalah stagnasi karier. Jika imbalan dari pindah kerja menurun dan risiko PHK atau sulitnya mencari pekerjaan baru meningkat, para pekerja secara rasional memprioritaskan keamanan finansial. Oleh karena itu, bagi divisi Sumber Daya Manusia (SDM), tingkat retensi yang tinggi di tengah fenomena ini harus ditafsirkan dengan hati-hati dan tidak secara otomatis diasumsikan sebagai indikasi tingkat keterlibatan atau produktivitas yang sehat.
Analisis Akar Penyebab: Faktor Makroekonomi dan Psikologis
Fenomena job hugging adalah hasil dari konvergensi antara tekanan ekonomi makro yang tinggi dan respons psikologis individu terhadap risiko.
- Pendorong Ekonomi Makro Global dan Regional
- Ketidakpastian Pasar Kerja dan Ancaman PHK yang Meningkat Pasar kerja global telah ditandai oleh volatilitas yang persisten selama kurang lebih lima tahun terakhir. Ketidakpastian ini diperparah oleh laporan tenaga kerja yang suram, keterbatasan anggaran perusahaan, dan gelombang PHK yang menciptakan lingkungan kerja yang tidak aman. Laporan Glassdoor Worklife Trends 2025 menggarisbawahi kondisi pasar kerja yang melambat (sluggish job market) dan laju perekrutan yang lambat (slow hiring), yang secara kolektif menjebak banyak pekerja dalam peran mereka saat ini.
- Konteks Ketidakpastian Spesifik Indonesia Di Indonesia, kondisi ini diperkuat oleh data makroekonomi yang menantang. Guru Besar UGM, Tadjuddin Noer Effendi, menjelaskan bahwa tingginya angka pengangguran di Indonesia yang mencapai 7.4%—tertinggi di Asia Tenggara—disertai dengan daya beli yang lemah dan perlambatan ekonomi, menjadi faktor pendorong utama fenomena ini. Kondisi ini menghasilkan efek domino yang menghambat penyerapan tenaga kerja baru, terutama di kalangan fresh graduate. Mayoritas pengangguran di Indonesia berada pada usia pencari kerja 15 hingga 24 tahun, menyoroti kesulitan mobilitas bagi pendatang baru di pasar kerja.
- Keterkaitan Job Hugging dan Tekanan Intergenerasional Stagnasi pekerjaan yang diakibatkan oleh job hugging secara langsung memengaruhi mobilitas antar generasi. Pekerja yang sudah mapan, memilih untuk bertahan karena takut akan risiko, secara efektif mengokupasi posisi yang seharusnya menjadi jalur pengembangan karier atau pintu masuk bagi pekerja muda atau fresh graduate. Karena kurangnya pergerakan dari pekerja yang sudah ada, angka pengangguran usia muda meningkat, yang merupakan konsekuensi langsung dari stagnasi di pasar kerja.
- Risiko Teknologi dan Tawaran Kerja yang Tidak Menarik Selain ketidakpastian ekonomi, ketakutan akan otomatisasi yang didorong oleh kecerdasan buatan (AI) turut disebutkan sebagai faktor yang meningkatkan kekhawatiran kehilangan pekerjaan. Kombinasi ancaman ini dengan tawaran kerja baru yang seringkali dianggap tidak sebanding dengan risiko yang ditanggung membuat pilihan untuk mempertahankan pekerjaan saat ini, meskipun gajinya stagnan, menjadi pilihan yang paling pragmatis bagi pekerja.
Pendorong Psikologis dan Individual
- Prinsip Keengganan Mengambil Risiko (Risk Aversion) Keamanan finansial dan stabilitas adalah motivasi psikologis yang paling dominan. Dalam situasi yang tidak menentu, pekerja cenderung memilih zona yang familiar dan stabil daripada mengambil risiko dengan prospek masa depan yang tidak pasti. Prinsip keengganan mengambil risiko ini adalah respons adaptif individu terhadap lingkungan ekonomi yang dianggap rentan.
- Fenomena Merasa “Terjebak” (Feeling Trapped) Data global menguatkan dimensi psikologis ini. Laporan dari Glassdoor menunjukkan bahwa hampir dua dari tiga responden (65%) secara eksplisit menyatakan merasa “terjebak” (trapped) dalam peran mereka saat ini. Angka ini bahkan melonjak menjadi 73% di sektor teknologi, sebuah ironi mengingat sektor ini sering dianggap paling dinamis dan memiliki peluang mobilitas tinggi.
- Dampak pada Kesehatan Mental dan Gaya Hidup Tambahan Tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh rasa terjebak sangat besar. Bryan Robinson, Ph.D., mencatat bahwa ketakutan kehilangan penghasilan dapat menimbulkan dampak yang lebih serius pada kesehatan mental daripada kehilangan pekerjaan itu sendiri. Pekerja terpaksa bertahan di lingkungan kerja yang tidak memuaskan, yang mengakibatkan peningkatan stres dan potensi masalah kesehatan mental yang serius.
Untuk mengatasi stagnasi finansial tanpa mengambil risiko mencari pekerjaan baru, banyak pekerja yang melakukan job hugging mengambil jalan pintas dengan mencari pekerjaan sampingan (side jobs), seperti freelancing atau memulai usaha kecil. Perilaku ini, sementara meningkatkan pendapatan, menunjukkan bahwa meskipun secara fisik karyawan hadir dalam pekerjaan utama, fokus mental dan energi mereka terbagi. Investasi emosional dan waktu mereka dialihkan ke aktivitas sampingan yang dianggap kurang berisiko untuk menjamin kelangsungan hidup finansial. Ini merupakan ancaman tersembunyi terhadap  full engagement pada tugas dan tanggung jawab pekerjaan utama.
Perbandingan Perilaku Kerja: Diferensiasi Job Hugging, Quiet Quitting, dan Boreout
Fenomena job hugging seringkali disandingkan dengan tren disengagement lain seperti Quiet Quitting (QQ) dan Boreout. Meskipun ketiganya dapat terjadi secara simultan pada individu yang sama, motivasi dan tindakan inti yang mendorong masing-masing perilaku berbeda, menuntut strategi manajemen yang spesifik.
- Quiet Quitting (QQ) dan Boreout
- Quiet Quitting (QQ): Perilaku ini dicirikan oleh keterlibatan pasif di mana karyawan membatasi upaya mereka hanya untuk memenuhi ekspektasi minimal dan secara sengaja menghindari tugas atau tanggung jawab tambahan yang tidak secara eksplisit diwajibkan. Motivasi utama QQ seringkali bersifat internal, yaitu untuk mengatasi stres kronis, kelelahan (burnout), kurangnya pengakuan, atau ketidakselarasan antara nilai pribadi dan budaya organisasi.
- Boreout: Kondisi ini merupakan kebalikan dari burnout, terjadi ketika pekerja merasa kurang distimulasi atau kurang tertantang. Pemicu boreout termasuk tugas yang monoton, pekerjaan yang tidak menantang, atau overqualification untuk peran yang sedang diemban, yang menyebabkan kelelahan, kurangnya motivasi, dan penurunan harga diri.
Analisis Komparatif: Membedakan Aksi dan Tingkat Engagement
Perbedaan mendasar antara tren-tren ini terletak pada sumber pendorongnya. Job Hugging didorong oleh ketakutan dan kebutuhan eksternal (keamanan finansial). Sebaliknya, Quiet Quitting dan Boreout didorong oleh disfungsi internal dalam lingkungan kerja (stress berlebih atau kurangnya tantangan).
Job Hugging dapat dipandang sebagai “wadah” bagi disengagement internal. Ketika seorang karyawan merasa terpaksa bertahan secara finansial (job hugging), namun pekerjaan itu tidak memuaskan atau terlalu menantang, mereka kehilangan insentif untuk berinvestasi secara emosional atau memberikan upaya maksimal. Keadaan terjebak ini menciptakan kondisi yang optimal bagi Quiet Quitting atau Boreout untuk berkembang. Oleh karena itu, Job Hugging adalah perilaku risk-averse (menghindari risiko), sementara Quiet Quitting adalah perilaku effort-averse (menghindari upaya berlebihan).
Strategi mitigasi harus menangani kedua dimensi ini; mengatasi Job Hugging berarti menghilangkan rasa takut eksternal melalui jaminan stabilitas dan investasi internal, sedangkan mengatasi QQ/Boreout berarti memperbaiki desain pekerjaan dan mekanisme pengakuan.
Table 1: Matriks Komparatif Perilaku Kerja: Job Hugging vs. Tren Disengagement
Dimensi Pembanding | Job Hugging | Quiet Quitting (QQ) | Boreout |
Motivasi Utama | Keamanan Finansial; Takut akan Risiko Eksternal (PHK/Pasar Kerja) | Batasan Diri terhadap Stres; Kurangnya Pengakuan | Kurangnya Stimulasi/Tantangan; Pekerjaan Monoton |
Aksi Utama | Bertahan di peran saat ini, menolak peluang eksternal | Secara aktif membatasi upaya/inisiatif kerja hingga minimal | Disengagement pasif; Mengisi waktu kerja dengan aktivitas non-kerja |
Fokus Perilaku | Memeluk posisi (Fokus pada Retensi Diri) | Melepaskan upaya (Fokus pada Batasan Kerja) | Mencari stimulasi (Fokus pada Kebutuhan Pribadi) |
Dampak Multi-Level: Stagnasi Karier dan Risiko Organisasi
Konsekuensi dari job hugging bersifat sistemik, menimbulkan biaya signifikan di tingkat individu, organisasi, dan pasar tenaga kerja secara keseluruhan.
- Dampak pada Individu: Biaya Stabilitas
- Stagnasi Karier dan Keterampilan Bertahan dalam pekerjaan yang tidak memuaskan atau stagnan karena takut mengambil risiko akan membatasi peluang pengembangan keterampilan, pertumbuhan karier, dan potensi pendapatan jangka panjang. Karyawan yang bertahan karena didorong oleh rasa takut semata dinilai oleh para ahli bukanlah alasan yang sehat untuk pertumbuhan karier. Karyawan menghadapi risiko penuaan keterampilan (skill obsolescence) di masa depan ketika pasar kerja kembali dinamis.
- Penghasilan yang Tidak Berkembang dan Tekanan Ekonomi Banyak pekerja yang melakukan job hugging terpaksa bertahan meskipun penghasilan mereka tidak berkembang, memaksa mereka mengelola keuangan dengan anggaran pas-pasan di tengah kenaikan biaya hidup. Kesenjangan ini yang seringkali diatasi melalui pekerjaan sampingan , tetapi pada dasarnya meningkatkan tekanan ekonomi pada individu.
- Kesehatan Mental yang Memburuk Perasaan “terjebak” dalam peran yang tidak disukai meningkatkan tingkat stres kronis. Laporan menunjukkan bahwa ketidaknyamanan ini, jika dibiarkan, dapat memicu masalah kesehatan mental yang serius.
Dampak pada Organisasi: Ilusi Retensi
- Penurunan Inovasi dan Produktivitas Sub-Optimal Job hugging menciptakan ilusi loyalitas pada metrik turnover sukarela, tetapi secara internal, organisasi berisiko mengalami penurunan inovasi. Pekerja yang tidak termotivasi dan hanya bertahan karena keharusan memiliki insentif yang sangat rendah untuk mengambil inisiatif, berinovasi, atau mendorong perubahan. Analisis menunjukkan bahwa karyawan cenderung berfokus hanya pada tugas yang mereka kuasai untuk menghindari kesalahan, menghasilkan kinerja yang stabil tetapi minim pertumbuhan dan inisiatif. Hal ini menyebabkan organisasi beroperasi pada tingkat kinerja yang  sub-optimal.
- Kesenjangan Kualitas Retensi dan Budaya Ketakutan Dalam era job hugging, perusahaan mungkin memiliki tenaga kerja yang stabil secara kuantitas, tetapi kualitas output terancam. Stagnasi karier individu secara kolektif berujung pada stagnasi budaya organisasi. Jika sebagian besar karyawan bertahan karena takut, bukan karena inspirasi, terciptalah budaya berbasis ketakutan (fear-based culture) yang menghambat ketahanan organisasi terhadap perubahan dan memperlambat adaptasi di masa depan.
- Kesulitan Rekrutmen Talenta Terbaik Fenomena job hugging membuat proses rekrutmen menjadi semakin sulit. Kandidat terbaik dan berkinerja tinggi yang seharusnya berpindah pekerjaan untuk mendapatkan peningkatan kini memilih untuk bertahan, menjadikan mereka kandidat pasif. Hal ini mempersulit perusahaan untuk merekrut talenta eksternal yang kompetitif.
- Ancaman Gelombang Resign Tertahan (Pent-up Resignation Wave) Risiko terbesar bagi organisasi adalah potensi gelombang resign yang besar setelah kondisi ekonomi makro mulai pulih atau stabil. Pekerja yang selama ini “memeluk” pekerjaan mereka akan segera mencari peluang baru setelah risiko eksternal berkurang. Organisasi yang tidak memanfaatkan periode job hugging ini untuk berinvestasi pada keterlibatan dan pengembangan internal akan merasakan dampak terberat dari hilangnya talenta kunci secara mendadak.
Dampak pada Pasar Kerja
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, job hugging memiliki konsekuensi makroekonomi, terutama di Indonesia. Kurangnya pergerakan di antara pekerja yang sudah mapan menghasilkan hambatan penyerapan tenaga kerja baru, memperburuk tingginya angka pengangguran di kalangan fresh graduate (usia 15-24 tahun).
Tabel 2: Indikator Ketidakpastian Pasar Kerja yang Mendorong Fenomena Job Hugging
Indikator Ekonomi/Sosial | Relevansi dengan Job Hugging | Bukti Kuantitatif Kunci |
Rasa Terjebak (Feeling Trapped) | Metrik psikologis utama yang menunjukkan keengganan pekerja mengambil risiko. | 65% responden global merasa terjebak (73% di sektor teknologi) |
Volatilitas Pasar Kerja | Menguatnya prinsip risk aversion akibat PHK massal dan perlambatan ekonomi. | Pasar kerja telah volatil 5 tahun terakhir; Keamanan finansial adalah pendorong dominan |
Tingkat Pengangguran Usia Muda | Menciptakan tekanan tinggi pada sistem dan memperburuk ketidakpastian bagi pendatang baru. | Indonesia 7.4% pengangguran, tertinggi di Asia Tenggara; Mayoritas usia 15-24 tahun |
Kerangka Strategis untuk Mengatasi Stagnasi: Intervensi Organisasi
Untuk melawan dampak negatif job hugging, strategi SDM harus bergeser dari fokus pada retensi pasif menjadi pengembangan internal aktif. Tujuannya adalah mengubah continuance commitment (bertahan karena terpaksa) menjadi affective commitment (bertahan karena keinginan untuk tumbuh dan berkontribusi).
Strategi Pengembangan Karier Internal (Internal Mobility)
Periode job hugging memberikan kesempatan unik bagi perusahaan untuk berinvestasi pada talenta internal yang terjamin retensinya. Karena sulit untuk menarik talenta terbaik dari luar (external top talent) di pasar yang lambat , fokus harus beralih dari rekrutmen eksternal yang mahal menjadi pengolahan talenta internal.
- Mendorong Mobilitas Vertikal dan Lateral Perusahaan harus secara eksplisit mendukung dan berinvestasi dalam pergerakan internal, termasuk promosi vertikal atau perpindahan lateral antar tim. Langkah ini memungkinkan karyawan membangun keterampilan baru dan mendapatkan perspektif segar di dalam organisasi tanpa perlu mengambil risiko mencari pekerjaan baru di luar.
- Investasi pada Upskilling dan Jalur Karier Transparan Penyediaan pelatihan tambahan, program mentoring, kursus, atau sertifikasi yang jelas menunjukkan bahwa perusahaan peduli terhadap perkembangan karier. Hal ini tidak hanya meningkatkan kemampuan karyawan di masa depan tetapi juga mengurangi rasa “terjebak”. Bagi karyawan yang loyal, perusahaan dapat memanfaatkan job hugging sebagai periode untuk perencanaan karier yang lebih terstruktur dan matang.
Strategi Keterlibatan dan Budaya Kerja
Mengatasi job hugging menuntut perbaikan mendasar dalam cara perusahaan berkomunikasi dan berempati terhadap ketakutan karyawan.
- Meningkatkan Komunikasi Visi dan Tujuan Kepemimpinan senior harus secara konsisten menyampaikan arah strategis perusahaan dan mengartikulasikan bagaimana setiap peran individu—khususnya peran yang terancam stagnasi—mendukung tujuan besar organisasi. Rasa terhubung dengan misi yang lebih besar ini dapat menjadi sumber motivasi yang kuat, melawan disengagement.
- Menciptakan Lingkungan yang Empati dan Mendukung Para pemimpin disarankan untuk menunjukkan empati, termasuk berbagi pengalaman pribadi mengenai tantangan yang mereka hadapi. Sesi interaksi santai, seperti obrolan pagi atau rapat harian, memungkinkan karyawan merasa didengar dan membantu pemimpin memahami ketakutan dan kebutuhan tim mereka secara objektif.
- Mekanisme Feedback yang Jujur dan Responsif Perusahaan perlu secara rutin memberikan kesempatan bagi karyawan untuk memberikan masukan jujur dan, yang paling penting, harus menunjukkan tindakan nyata yang diambil untuk menanggapi feedback tersebut. Transparansi ini membangun kepercayaan dan mengurangi frustrasi yang terpendam, yang merupakan pemicu utama Quiet Quitting dan Boreout.
Pendekatan HR: Mengembalikan Fleksibilitas Kerja
Fleksibilitas kerja terbukti menjadi faktor penting dalam meningkatkan kebahagiaan dan keseimbangan hidup karyawan. Para ahli menyarankan agar perusahaan mempertimbangkan untuk mengembalikan jadwal kerja yang fleksibel atau sistem hybrid, terutama jika fleksibilitas tersebut telah dihapus setelah masa pandemi. Fleksibilitas dapat berfungsi sebagai kompensasi psikologis dan bentuk kepedulian perusahaan terhadap kebutuhan karyawan, secara langsung mengatasi kelelahan dan stres yang merupakan bagian dari sindrom  job hugging.
Tabel 3: Kerangka Intervensi Strategis HR untuk Mengatasi Stagnasi Job Hugging
Pilar Strategi | Intervensi Spesifik | Tujuan Strategis | Cakupan Dampak |
Internal Mobility & Growth | Promosi Lateral/Vertikal, Reskilling/Upskilling, Jalur Pengembangan Karier Terstruktur. | Mengubah Retensi berbasis takut menjadi investasi karier yang didukung. | Mengatasi Stagnasi Keterampilan dan Boreout. |
Culture & Communication | Sesi Feedback Jujur dan Tindak Lanjut, Komunikasi Visi Perusahaan yang Transparan, Empati Kepemimpinan. | Menghilangkan ilusi loyalitas dan menumbuhkan affective organizational commitment. | Mengatasi Disengagement dan Stres Mental. |
Well-being & Flexibility | Pengembalian Fleksibilitas Kerja (Hybrid/Flexible Scheduling), Fokus pada Kesehatan Mental. | Mengatasi kelelahan, mengurangi stres, dan meningkatkan keseimbangan kerja-hidup. | Mengatasi Kesehatan Mental dan Quiet Quitting. |
Panduan Praktis untuk Karyawan: Mengubah Hugging Menjadi Keuntungan Strategis
Para ahli menekankan bahwa bertahan di pekerjaan hanya karena takut bukanlah fondasi yang sehat untuk kemajuan karier. Karyawan harus mengambil alih kendali dan memandang job hugging bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai periode strategis untuk persiapan dan penguatan posisi.
- Asesmen Diri dan Perencanaan Karier Proaktif Langkah awal adalah menilai secara jujur apa yang terasa tidak memuaskan dalam peran saat ini. Karyawan disarankan untuk merencanakan langkah karier berikutnya dengan pandangan objektif, baik melalui pergerakan internal maupun eksternal yang terencana.
- Pemanfaatan Stabilitas untuk Pengembangan Keterampilan Karena risiko pindah pekerjaan tinggi, karyawan harus secara aktif mencari peluang untuk mempelajari peran lain yang menarik di dalam perusahaan. Karyawan dianjurkan untuk mengidentifikasi keterampilan yang perlu ditingkatkan dan memanfaatkan stabilitas saat ini untuk mengikuti pelatihan, kursus, atau sertifikasi. Strategi ini memastikan bahwa ketika pasar kerja membaik, karyawan akan memiliki keahlian yang relevan dan siap untuk transisi yang menguntungkan.
- Kesiapan Finansial dan Jaringan Pengamanan Memperkuat keamanan finansial jangka pendek dan menghangatkan jaringan profesional adalah tindakan pencegahan yang penting. Kesiapan ini tidak hanya menyediakan  buffer jika terjadi PHK yang tak terduga, tetapi juga mengurangi tingkat stres dan ketakutan yang mendorong job hugging yang tidak sehat. Diskusi terbuka dengan atasan juga disarankan untuk mencari peluang baru dan mendapatkan dukungan objektif dalam mengambil keputusan karier.
Kesimpulan
Fenomena job hugging adalah manifestasi dari ketidakpastian ekonomi global dan regional, diperburuk oleh tingginya risiko PHK dan perlambatan pasar kerja, terutama di Indonesia. Perilaku ini, yang didorong oleh kebutuhan mendesak akan stabilitas finansial, menciptakan ilusi retensi dan stagnasi karier. Dampaknya meluas dari kesehatan mental individu yang memburuk hingga penurunan inovasi dan produktivitas di tingkat organisasi, serta terhambatnya penyerapan talenta muda di pasar kerja nasional.
Organisasi yang cerdas memahami bahwa tingkat turnover yang rendah saat ini hanyalah ketenangan sementara. Kegagalan untuk mengatasi disengagement internal—yang terwujud sebagai Quiet Quitting atau Boreout di bawah payung Job Hugging—akan mengarah pada gelombang resign yang besar segera setelah kondisi ekonomi membaik.
Oleh karena itu, perusahaan harus secara radikal mendefinisikan ulang loyalitas. Loyalitas yang efektif di era job hugging bukan lagi diukur dari durasi masa kerja, melainkan dari keterlibatan aktif dan pertumbuhan internal karyawan. Strategi SDM harus berfokus pada investasi yang menjamin mobilitas internal dan pengembangan keterampilan. Dengan mengutamakan kepentingan terbaik individu—yaitu mendukung mereka dalam pengembangan karier dan keterampilan—perusahaan pada akhirnya akan mencapai hasil yang terbaik untuk organisasinya, memastikan bahwa stabilitas hari ini berujung pada vitalitas di masa depan.