Fenomena dan Budaya Belanja Online dan Pasar Tradisional
Pergeseran fundamental dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia, yang ditandai oleh dualisme antara pertumbuhan pesat belanja online dan peran historis pasar tradisional. Belanja online muncul sebagai kekuatan pendorong utama ekonomi digital, dengan proyeksi nilai pasar yang diperkirakan mencapai $185,71 miliar pada tahun 2030, didukung oleh penetrasi masif perangkat bergerak, model pembayaran inovatif seperti Buy Now, Pay Later (BNPL), dan daya tarik insentif promosi. Fenomena ini telah mengubah perilaku konsumen secara signifikan, menempatkan kenyamanan, pilihan produk yang luas, dan harga kompetitif sebagai prioritas utama.
Di sisi lain, tulisan ini menegaskan bahwa pasar tradisional tetap menjadi pilar vital dalam struktur ekonomi dan budaya lokal. Pasar tradisional berfungsi sebagai pusat interaksi sosial, pelestarian tradisi, dan penggerak ekonomi bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Meskipun menghadapi tantangan berat—terutama penurunan omzet dan persaingan harga dari platform daring —pasar tradisional memiliki nilai unik yang tidak dapat direplikasi oleh e-commerce, seperti budaya tawar-menawar yang menciptakan sistem sosial dan pengalaman berbelanja interaktif.
Tulisan ini menyimpulkan bahwa belanja online dan pasar tradisional bukanlah entitas yang saling menggantikan, melainkan dua pilar yang membentuk lanskap ritel yang lebih kompleks. Belanja online akan terus mendominasi transaksi volume tinggi dan produk-produk non-esensial, sementara pasar tradisional akan mempertahankan perannya sebagai pusat budaya, destinasi wisata niaga, dan simpul ekonomi inklusif. Transformasi yang berhasil bergantung pada adaptasi yang cerdas, didukung oleh program digitalisasi pemerintah yang terstruktur dan kolaborasi strategis dengan sektor swasta. Selain itu, tulisan ini menggarisbawahi pentingnya mengatasi dampak negatif e-commerce, termasuk perilaku konsumtif dan isu lingkungan dari limbah kemasan dan emisi logistik, untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Pergeseran lanskap ritel di Indonesia merupakan salah satu fenomena sosio-ekonomi terpenting dalam dekade terakhir. Didorong oleh adopsi teknologi yang masif dan perubahan demografi, pola konsumsi masyarakat beralih dari transaksi tatap muka ke interaksi digital. Tulisan ini dirancang untuk menganalisis secara mendalam perbandingan antara belanja online dan belanja konvensional di pasar tradisional. Analisis ini tidak hanya berfokus pada data kuantitatif, tetapi juga menggali aspek kualitatif, termasuk perubahan budaya dan perilaku yang menyertai pergeseran ini.
Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk menyajikan pandangan holistik mengenai dinamika pasar yang sedang berlangsung. Dengan mengintegrasikan data statistik dari tulisan industri, temuan riset, serta studi kasus, tulisan ini akan membedah karakteristik unik dari masing-masing model belanja. Kami akan menyoroti faktor-faktor pendorong adopsi e-commerce, peran sosial dan ekonomi pasar tradisional, tantangan yang dihadapi pedagang, serta dampak transformasional terhadap seluruh ekosistem. Pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang lebih bernuansa, yang dapat menjadi landasan strategis bagi pembuat kebijakan, pelaku bisnis, dan akademisi dalam menavigasi masa depan ritel Indonesia yang semakin kompleks.
Fenomena Belanja Online: Gelombang Transformasi Digital
Gambaran Umum dan Statistik Makro Pasar E-commerce Indonesia
Pasar e-commerce Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang eksponensial, menjadikannya salah satu mesin pertumbuhan utama ekonomi digital di Asia Tenggara. Analisis pasar oleh Mordor Intelligence memproyeksikan nilai pasar akan melonjak dari $90,35 miliar pada tahun 2025 menjadi $185,71 miliar pada tahun 2030, dengan laju pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sebesar 15,51%. Sementara itu, data dari PCMI memproyeksikan nilai pasar mencapai $125 miliar pada tahun 2027 dengan CAGR 19%. Perbedaan angka ini, alih-alih menunjukkan inkonsistensi, justru menggarisbawahi sifat dinamis dan tantangan dalam mengukur ekonomi digital secara akurat. Variasi ini dapat disebabkan oleh perbedaan metodologi, cakupan data—misalnya, apakah sektor  ride-hailing atau travel turut dihitung—dan rentang waktu proyeksi. Meskipun demikian, tren pertumbuhan yang kuat adalah konsisten di semua sumber data, mengindikasikan ekspansi yang tidak terbendung.
Analisis segmentasi pasar mengungkapkan dominasi yang jelas di berbagai sektor. Berdasarkan model bisnis, transaksi Business-to-Consumer (B2C) menguasai 87,5% pangsa pasar pada tahun 2024, meskipun segmen Business-to-Business (B2B) diproyeksikan tumbuh lebih cepat dengan CAGR 19,1% hingga tahun 2030. Dominasi B2C menunjukkan bahwa kekuatan pendorong utama pasar adalah konsumen individu. Dari sisi perangkat,  smartphone memegang peranan krusial, menyumbang 70% dari volume transaksi e-commerce pada tahun 2024 dan diproyeksikan tumbuh pada CAGR 18,7%. Penggunaan  smartphone yang masif ini menunjukkan bahwa akses digital telah berhasil didemokratisasi hingga ke tingkat individu, menciptakan basis konsumen yang luas dan siap untuk bertransaksi secara digital.
Pasar ini didominasi oleh segelintir pemain besar yang telah mengkonsolidasikan pangsa pasar yang signifikan. Perusahaan seperti Shopee, Tokopedia, Blibli, Lazada, dan TikTok Shop memimpin persaingan. Data menunjukkan bahwa Shopee dan Tokopedia, bahkan setelah akuisisi 75% saham oleh TikTok , secara kolektif mengendalikan lebih dari 80% pangsa pasar, mengindikasikan lanskap kompetitif yang moderat namun sangat terkonsentrasi. Akuisisi ini juga menjadi contoh nyata adaptasi platform terhadap regulasi pemerintah, menunjukkan fleksibilitas dan sumber daya yang besar dari para pemain utama.
Analisis Perilaku Konsumen Digital: Dinamika yang Mendorong Adopsi
Pergeseran perilaku konsumen menuju belanja online didorong oleh kombinasi insentif ekonomi dan faktor sosial. Menurut tulisan We Are Social, tiga faktor pendorong utama pada Januari 2024 adalah kupon dan diskon (52,3%), ulasan konsumen (48,2%), dan gratis ongkir (47,4%). Keberadaan insentif ini menciptakan siklus umpan balik strategis: penawaran menarik seperti gratis ongkir tidak hanya menarik konsumen awal, tetapi juga melatih mereka untuk mengharapkan kemudahan ini sebagai standar. Perilaku yang terlatih ini kemudian dimanfaatkan oleh platform untuk memperkenalkan fitur-fitur baru yang semakin mengikat konsumen ke dalam ekosistem digital.
Perilaku ini memicu adopsi tren-tren baru yang berkembang pesat. Salah satunya adalah live shopping, yang telah diadopsi oleh 6 dari 10 konsumen di Indonesia. Tren ini menggabungkan hiburan dan belanja, menciptakan urgensi dan pengalaman interaktif yang memicu pembelian seketika. Selain itu, metode pembayaran inovatif seperti  Buy Now, Pay Later (BNPL) mengalami pertumbuhan tercepat dengan CAGR 28,3%. BNPL secara signifikan mengurangi hambatan finansial, memungkinkan konsumen untuk membeli barang dengan nilai pesanan rata-rata (AOV) yang lebih tinggi, bahkan hingga 50%. Kombinasi  live shopping yang menciptakan urgensi dan BNPL yang menyediakan kemudahan pembayaran merepresentasikan perubahan budaya yang krusial dari belanja yang terencana menjadi pembelian impulsif dan instan.
Demografi konsumen e-commerce di Indonesia didominasi oleh kelompok usia 26–35 tahun atau milenial, yang menyumbang 46% dari total pasar. Kategori produk yang paling populer di kalangan Gen Z dan milenial adalah  skincare dan bodycare (73% Gen Z dan 65% milenial) serta pakaian (70% Gen Z dan 68% milenial), terutama di kalangan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa industri kecantikan dan mode telah berhasil memanfaatkan secara efektif platform digital untuk menjangkau audiens inti mereka.
Manfaat dan Kemudahan Belanja Online
Belanja online menawarkan serangkaian manfaat yang secara fundamental mengubah pengalaman berbelanja. Salah satu daya tarik utamanya adalah kemudahan dan aksesibilitas yang tak tertandingi. Konsumen dapat mengakses berbagai produk dan toko dari mana saja dan kapan saja, tanpa harus meninggalkan rumah atau menghadapi keramaian, kemacetan, atau kendala cuaca. Kemudahan ini menghemat waktu dan tenaga, menjadikannya pilihan favorit bagi banyak orang dalam kehidupan sehari-hari yang sibuk.
Selain kemudahan, e-commerce juga menyediakan pilihan produk yang jauh lebih luas dibandingkan toko fisik. Konsumen dapat menemukan berbagai macam barang, termasuk produk lokal dan internasional, serta membandingkan harga dari berbagai penjual dengan cepat dan mudah. Kemampuan untuk melakukan perbandingan harga secara instan ini memungkinkan konsumen untuk mendapatkan harga yang lebih kompetitif, didukung oleh biaya operasional yang lebih rendah bagi penjual online. Promosi dan diskon reguler, seperti potongan harga dan  cashback, semakin menambah daya tarik belanja online.
Pasar Tradisional: Jantung Ekonomi dan Budaya Lokal
Peran Sosial dan Budaya Pasar
Berlawanan dengan sifat transaksional e-commerce, pasar tradisional di Indonesia berfungsi sebagai pilar penting dalam struktur sosial dan budaya masyarakat. Pasar tidak hanya sekadar tempat jual-beli, melainkan pusat interaksi sosial di mana pedagang dan pembeli berbagi berita, cerita, dan membangun hubungan personal. Kegiatan sosial dan festival lokal sering kali diadakan di pasar, memperkuat rasa kebersamaan dan identitas komunitas.
Pasar tradisional juga merupakan cerminan nyata dari kekayaan budaya dan tradisi lokal. Keragaman produk yang dijual—mulai dari makanan segar, rempah-rempah, hingga kerajinan tangan—mencerminkan kekayaan sumber daya alam dan kearifan lokal. Pasar adalah surga bagi pecinta kuliner, tempat di mana jajanan dan makanan khas daerah dapat ditemukan, memungkinkan pengunjung tidak hanya menikmati rasa unik tetapi juga merasakan sejarah di baliknya. Selain itu, pasar juga menampilkan kerajinan tangan yang dibuat oleh pengrajin lokal, mencerminkan seni budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di beberapa daerah, pasar bahkan diwarnai oleh ritual dan kebiasaan unik, seperti doa bersama sebelum pasar dibuka, yang memperkuat dimensi spiritual dan sosialnya. Dengan demikian, pasar tradisional juga berfungsi sebagai ruang edukasi bagi generasi muda, di mana mereka dapat belajar tentang nilai-nilai, keterampilan sosial, dan pentingnya keberagaman budaya melalui pengalaman berinteraksi langsung.
Budaya Tawar-Menawar: Sistem Sosial yang Khas
Salah satu karakteristik yang paling membedakan pasar tradisional adalah budaya tawar-menawar. Tawar-menawar bukan sekadar proses negosiasi harga, tetapi sebuah interaksi sosial yang membentuk sistem unik antara pedagang dan pembeli. Proses ini membangun kepercayaan dan hubungan personal yang mendalam, yang secara fundamental berbeda dari pengalaman belanja online yang bersifat otomatis, transaksional, dan tanpa interaksi personal. Nilai budaya ini adalah aset tak berwujud yang menciptakan pengalaman berbelanja yang menyenangkan dan memuaskan bagi pembeli. Upaya revitalisasi pasar tradisional oleh pemerintah daerah, seperti yang dilakukan oleh Pemkot Denpasar, bertekad untuk mempertahankan tradisi ini karena dianggap sebagai identitas dan nilai lebih yang membedakan pasar tradisional dari ritel modern.
Fungsi Ekonomi Pasar Tradisional
Di luar perannya sebagai pusat budaya, pasar tradisional juga memainkan fungsi ekonomi yang vital. Pasar berfungsi sebagai penggerak ekonomi lokal yang kuat, menyediakan wadah bagi pedagang kecil dan UMKM untuk berdagang dan memperluas jangkauan pasar mereka. Sektor UMKM sendiri memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, terbukti tangguh terhadap guncangan ekonomi dan berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) serta penciptaan lapangan kerja. Dengan demikian, pasar tradisional tidak hanya menciptakan lapangan kerja bagi pedagang, tetapi juga bagi pekerja pendukung lainnya, memperkuat perannya sebagai pilar ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di tingkat lokal.
Analisis Komparatif: Kesenjangan, Sinergi, dan Pergeseran Perilaku
Perbandingan Pengalaman Belanja
Belanja online dan pasar tradisional menawarkan pengalaman yang sangat kontras, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Di satu sisi, belanja online unggul dalam hal kenyamanan, pilihan, dan harga. Konsumen dapat membandingkan ribuan produk dari berbagai penjual, mendapatkan harga kompetitif, dan menyelesaikan transaksi dengan cepat dari mana saja. Di sisi lain, pengalaman di pasar tradisional bersifat interaktif, sensorik, dan personal. Pembeli dapat menyentuh, mencium, dan merasakan langsung produk, berinteraksi dengan pedagang, serta menikmati suasana komunitas yang khas.
Tabel 1: Perbandingan Karakteristik Belanja Online vs. Pasar Tradisional
Karakteristik | Belanja Online | Pasar Tradisional |
Kemudahan dan Akses | Sangat mudah, 24/7, dari mana saja | Terbatas oleh jam operasional dan lokasi fisik |
Pilihan Produk | Sangat luas, termasuk produk lokal dan internasional | Terbatas pada produk lokal dan khas daerah |
Harga | Kompetitif, didukung promo dan diskon reguler | Fleksibel, ditentukan oleh tawar-menawar |
Interaksi Sosial | Minimal, bersifat transaksional | Berlimpah, membangun hubungan personal |
Pengalaman Sensorik | Tidak ada, hanya visual dan deskripsi | Penuh, dapat menyentuh dan merasakan produk |
Dampak Lingkungan | Tinggi (limbah kemasan, emisi karbon) | Relatif rendah, penggunaan plastik dan kemasan minimal |
Tantangan dan Peluang Bagi Pedagang di Tengah Pergeseran
Meskipun e-commerce memberikan banyak manfaat bagi konsumen, dampaknya terhadap pedagang pasar tradisional sangat kompleks. Tulisan menunjukkan adanya penurunan volume penjualan dan omzet bagi banyak pedagang, didorong oleh perubahan perilaku konsumen yang mengurangi kunjungan ke toko fisik. Salah satu tantangan terbesar adalah persaingan harga yang tak terhindarkan, di mana toko daring besar sering kali dapat menawarkan produk dengan harga lebih rendah karena biaya operasional yang minim.
Persaingan ini diperparah oleh kesenjangan keterampilan digital. Banyak pedagang tradisional, terutama UMKM, kesulitan beradaptasi karena keterbatasan pengetahuan teknologi, kurangnya modal, dan ketidakmampuan untuk memahami cara promosi digital secara maksimal. Fenomena ini menciptakan “jurang kompetensi” atau  digital divide yang memisahkan UMKM yang melek digital—yang dapat memanfaatkan e-commerce untuk meningkatkan penjualan dan efisiensi —dengan pedagang tradisional yang paling marginal. Jurang ini bukan hanya tentang ketersediaan platform, melainkan tentang kemampuan mendasar untuk beradaptasi dengan model bisnis dan tuntutan pasar yang berubah.
Transformasi Menuju Masa Depan: Adaptasi dan Arah Perubahan
Upaya Adaptasi Pedagang dan Pasar Tradisional
Untuk tetap relevan, pedagang dan pengelola pasar tradisional harus beradaptasi dengan tren digital. Beberapa pedagang telah mulai beralih ke media sosial dan e-commerce untuk memperluas jangkauan pemasaran mereka. Studi kasus seperti yang terjadi di Pasar Wage menunjukkan bahwa pedagang baju bekas kehilangan pelanggan karena konsumen beralih ke toko online yang menawarkan kemudahan dan kenyamanan. Hal ini menunjukkan pentingnya pelatihan digital untuk mengatasi kesenjangan kompetensi dan mendorong pedagang untuk mengubah strategi pemasaran mereka.
Adaptasi yang paling efektif tidak hanya berfokus pada digitalisasi transaksi, tetapi juga pada penguatan nilai unik pasar tradisional. Dengan pengelolaan yang inovatif, pasar dapat bertransformasi menjadi “pusat wisata niaga” berbasis budaya lokal. Dalam model ini, pasar tidak hanya menjadi ruang transaksi jual-beli, tetapi juga berfungsi sebagai destinasi rekreasi yang menarik pengunjung melalui acara-acara festival dan pengalaman kuliner yang autentik. Dengan demikian, transaksi digital dapat menjadi pelengkap, bukan pengganti, dari pengalaman fisik yang berpusat pada budaya.
Peran Pemerintah dan Sektor Swasta
Adaptasi ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh pedagang. Diperlukan dukungan kuat dari pemerintah dan sektor swasta. Pemerintah telah meluncurkan berbagai inisiatif, seperti program “Digitalisasi Sejuta Pedagang UMKM dan Seribu Pasar Rakyat,” yang bertujuan untuk mempromosikan pembayaran digital melalui QRIS. Kolaborasi antara regulator dan pelaku industri, seperti kehadiran Co-Founder Tokopedia dalam acara pemerintah, menunjukkan sinergi yang diperlukan untuk mendorong transformasi ini.
Program-program ini, seperti yang diimplementasikan di Kabupaten Batang, menyediakan pelatihan khusus untuk membantu pedagang menggunakan aplikasi pemasaran digital dan sistem pembayaran online. Namun, keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada kemampuannya untuk menjangkau pedagang yang paling marginal dan mengatasi tantangan mendasar seperti kurangnya literasi digital dan akses ke modal.
Dampak E-commerce terhadap Sektor Logistik dan Ketenagakerjaan
Pertumbuhan e-commerce telah memicu transformasi struktural di industri logistik. Pola distribusi barang telah bergeser secara signifikan dari model grosir dan toko fisik ke model direct-to-consumer. Perubahan ini meningkatkan permintaan terhadap layanan  last-mile delivery, yang merupakan tahap paling krusial dan paling mahal, menyumbang sekitar 28% dari total biaya pengiriman. Sebagai respons, muncul model bisnis baru seperti  on-demand transport dan quick-commerce yang menawarkan pengiriman cepat dan fleksibel.
Meskipun demikian, sektor logistik masih menghadapi tantangan yang signifikan. Selain biaya pengiriman yang tinggi, tantangan lain termasuk kurangnya transparansi dalam pelacakan barang dan kekurangan tenaga ahli dalam logistik rantai dingin. Transformasi ini juga menciptakan peluang kerja baru di sektor logistik dan transportasi digital, tetapi pada saat yang sama, dapat mengubah pola mobilitas dan lapangan kerja di sektor transportasi konvensional.
Dampak Sosial, Perilaku, dan Lingkungan
Perilaku Konsumtif dan Risiko Keuangan
Kemudahan dan aksesibilitas belanja online, diperkuat oleh diskon dan BNPL, membawa dampak negatif yang signifikan, terutama dalam memicu perilaku konsumtif dan impulsif. Konsumen sering kali tergoda untuk membeli barang yang tidak dibutuhkan karena adanya promosi, yang dapat menyebabkan gangguan keuangan pribadi, utang konsumtif, bahkan kecanduan belanja jika tidak diatur dengan baik. Sifat transaksional e-commerce yang mudah dan tanpa interaksi tatap muka membuat kontrol terhadap pengeluaran menjadi lebih sulit.
Isu Lingkungan
Pertumbuhan e-commerce juga memiliki biaya lingkungan yang besar. Aktivitas belanja online secara masif menghasilkan limbah kemasan dalam jumlah yang signifikan, termasuk plastik, kardus, dan bubble wrap yang digunakan setiap hari dalam skala besar. Selain itu, peningkatan aktivitas logistik, terutama  last-mile delivery, berkontribusi pada emisi karbon yang tinggi. Menurut Media Sembilan, emisi CO2​ dari logistik e-commerce telah meningkat sebesar 17% sejak tahun 2022, menimbulkan tantangan lingkungan yang serius. Ini merupakan  trade-off krusial yang menunjukkan bahwa efisiensi dan kenyamanan ekonomi yang dihasilkan oleh e-commerce datang dengan biaya lingkungan yang substansial.
Keamanan dan Penipuan Online
Belanja online juga membawa risiko keamanan dan penipuan. Konsumen menghadapi ancaman seperti penipuan pengiriman barang, produk yang tidak sesuai dengan deskripsi atau gambar, serta pencurian data pribadi. Kejahatan siber dan penipuan semakin canggih, menuntut kewaspadaan lebih dari konsumen dan sistem keamanan yang lebih ketat dari platform.
Kesimpulan
Analisis ini menunjukkan bahwa lanskap ritel Indonesia berada pada titik krusial transformasi. Belanja online dan pasar tradisional bukanlah dua entitas yang saling menggantikan, melainkan dua pilar yang akan terus berinteraksi dan membentuk ekosistem yang lebih kompleks. Pertumbuhan e-commerce diproyeksikan akan terus menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi, didorong oleh kemudahan, efisiensi, dan inovasi seperti BNPL dan live shopping. Sementara itu, pasar tradisional akan bertahan dan tetap relevan dengan beradaptasi dan mengukuhkan nilai uniknya sebagai pusat sosial, budaya, dan ekonomi lokal yang tidak dapat direplikasi.
Berdasarkan temuan-temuan ini, berikut adalah rekomendasi strategis untuk para pemangku kepentingan:
- Untuk Pemerintah: Menerapkan kebijakan yang mendukung digitalisasi yang inklusif dan merata. Fokus harus diletakkan pada penyediaan pelatihan literasi digital bagi UMKM tradisional, memfasilitasi akses ke modal dan infrastruktur logistik, serta mendorong program revitalisasi pasar yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga berbasis teknologi dan budaya.
- Untuk Pelaku Industri E-commerce: Mendorong inisiatif berkelanjutan untuk mengatasi dampak lingkungan, seperti mengurangi limbah kemasan dan mengoptimalkan rute logistik untuk meminimalkan emisi. Platform juga harus berkolaborasi dengan pedagang tradisional, menciptakan fitur yang memungkinkan model “phygital” (gabungan fisik dan digital) untuk menjembatani kesenjangan antara kedua dunia ritel.
- Untuk Pengelola Pasar Tradisional: Mengimplementasikan program revitalisasi yang berfokus pada peningkatan pengalaman pelanggan, mengubah pasar menjadi destinasi wisata niaga yang menarik. Hal ini dapat dicapai melalui penataan yang lebih baik, diversifikasi produk lokal, penyelenggaraan festival budaya, dan pemberdayaan pedagang melalui pelatihan digital untuk mengintegrasikan layanan online dan pembayaran nontunai tanpa menghilangkan tradisi unik seperti tawar-menawar.
Dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif, Indonesia dapat memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi digital berjalan seiring dengan pelestarian budaya dan keberlanjutan sosial.