Tentang Tari Saman: Warisan Budaya dari Tanah Gayo
Tari Saman, sebuah warisan budaya takbenda dari suku Gayo, Aceh, yang diakui secara global. Dikenal sebagai “tarian seribu tangan,” Tari Saman lebih dari sekadar pertunjukan; ia adalah manifestasi dari sejarah, spiritualitas, dan identitas komunal. Dokumen ini mengeksplorasi asal-usul historisnya yang kompleks, anatomi pertunjukannya yang unik dan kaya simbol, fungsi multifasetnya sebagai perekat sosial dan media dakwah, serta tantangan pelestariannya di tengah arus globalisasi.
Analisis ini menemukan adanya narasi historis yang saling melengkapi tentang asal-usul tarian ini, yang berakar pada tradisi pra-Islam dan kemudian diadaptasi secara cerdas sebagai alat penyebaran Islam. Setiap elemen pertunjukan—dari gerakan tangan yang serentak hingga formasi horizontal yang rapat—memiliki makna simbolis mendalam, mencerminkan nilai-nilai Islami dan filosofi Gayo. Tulisan ini juga menyoroti peran ganda globalisasi, yang di satu sisi memberikan panggung dunia bagi Saman, namun di sisi lain berpotensi mengancam otentisitasnya. Sebagai respon terhadap tantangan ini, rekomendasi strategis diajukan untuk menciptakan pendekatan pelestarian holistik, yang mengintegrasikan metode transmisi tradisional dengan pemanfaatan teknologi digital dan integrasi dalam kurikulum pendidikan formal, guna memastikan keberlanjutan warisan budaya ini.
Tari Saman, yang sering dijuluki “tarian seribu tangan,” adalah salah satu tarian tradisional paling terkenal dari Indonesia. Berasal dari kelompok etnis Gayo di Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, tarian ini secara historis dilakukan untuk merayakan momen-momen penting dalam masyarakat. Keunikan dan popularitasnya tidak lepas dari ritme yang cepat, energik, serta harmoni yang luar biasa di antara para penarinya. Elemen-elemen ini tidak hanya membuat Tari Saman mudah dikenal, tetapi juga relatif mudah dipelajari.
Pentingnya Tari Saman diakui secara global melalui pengakuan resmi oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Pada 24 November 2011, UNESCO secara resmi memasukkan Tari Saman ke dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda yang Membutuhkan Perlindungan Mendesak. Pengakuan ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki nilai budaya yang tinggi, keberlangsungan tarian ini menghadapi ancaman signifikan yang memerlukan upaya konservasi yang terkoordinasi dan segera. Selain pengakuan UNESCO, statusnya di panggung internasional semakin dikukuhkan ketika ASEAN Tourism Association ASEANTA) menobatkannya sebagai upaya pelestarian budaya ASEAN terbaik pada ASEANTA Awards for Excellence ke-25 pada tahun 2012.
Tujuan, Ruang Lingkup, dan Metodologi Penulisan Tulisan
Tujuan utama tulisan ini adalah untuk menyajikan ulasan yang mendalam dan multidimensional tentang Tari Saman. Dokumen ini berusaha melampaui deskripsi permukaan untuk mengeksplorasi lapisan-lapisan makna, fungsi, dan tantangan yang melekat pada tarian ini. Ruang lingkup tulisan mencakup analisis sejarah asal-usulnya, anatomi pertunjukan dengan elemen-elemen teknis dan simbolisnya, fungsi sosial dan keagamaannya, serta isu-isu kritis terkait pelestariannya di era modern.
Metodologi yang digunakan adalah analisis kualitatif deskriptif. Pendekatan ini melibatkan sintesis dan interpretasi data yang dikumpulkan dari berbagai sumber kredibel, termasuk artikel ilmiah, tulisan resmi UNESCO, dan publikasi media terpercaya. Dengan menggabungkan informasi ini, tulisan ini berupaya membangun narasi yang koheren dan bernuansa, yang mampu menjelaskan kompleksitas Tari Saman dari berbagai perspektif, dari warisan lokal hingga fenomena global.
Sejarah dan Genealogi: Antara Legenda dan Realitas
Asal-Usul Kultural dari Suku Gayo
Tari Saman berakar kuat pada budaya suku Gayo, yang sebagian besar mendiami wilayah Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Bener Meriah. Masyarakat Gayo dikenal sebagai kelompok yang suka berkelompok, dan tarian ini secara tradisional ditampilkan pada perayaan-perayaan penting, seperti acara adat dan hari-hari besar. Meskipun tidak ada pendapat yang sepenuhnya pasti mengenai waktu pasti tarian ini diciptakan, komunitas Gayo meyakini bahwa Tari Saman telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tarian ini pada awalnya merupakan sebuah permainan rakyat yang dikenal sebagai PokAne, yang diiringi oleh puisi-puisi yang berisi pujian kepada Allah SWT.
Peran Syekh Saman sebagai Katalis Dakwah dan Pembentuk Identitas
Narasi yang paling dominan mengenai sejarah Tari Saman adalah perannya dalam penyebaran agama Islam. Nama “Saman” itu sendiri berasal dari seorang ulama terkemuka dari Gayo, Aceh, bernama Syekh Saman. Sekitar abad ke-14 Masehi, Syekh Saman mengembangkan tarian ini sebagai media dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam di Tanah Gayo. Pilihan tarian sebagai medium ini sangat strategis, mengingat tarian adalah bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat Gayo pada saat itu. Dengan menggabungkan seni pertunjukan yang sudah ada dengan pesan-pesan religius yang baru, Syekh Saman mampu menjangkau khalayak luas dan mentransmisikan nilai-nilai Islam secara efektif.
Narasi Berbeda: Eksplorasi Tari Pra-Islam dan Transformasi Islami
Analisis lebih mendalam mengungkapkan adanya lapisan sejarah yang lebih kompleks, di mana Tari Saman bukanlah sebuah kreasi yang sepenuhnya baru, melainkan hasil dari akulturasi budaya yang cerdas. Beberapa sumber menyatakan bahwa Tari Saman telah hidup di tengah masyarakat Gayo jauh sebelum kedatangan Islam. Tarian ini, yang pada masa pra-Islam dikenal sebagai  PokAne, merupakan sebuah ekspresi rasa syukur kepada Allah SWT atas berkah dan kekayaan, seperti kelahiran anggota keluarga baru. Gerakannya bahkan meniru langkah-langkah kaki gajah putih.
Penggunaan tarian sebagai media dakwah oleh Syekh Saman tidak dapat dilihat sebagai sebuah tindakan yang murni menciptakan sesuatu dari nol, melainkan sebuah adaptasi yang brilian. Ia melihat potensi besar pada tarian yang sudah ada dan menginfusinya dengan syair-syair yang berisi sholawat kepada Nabi Muhammad dan gagasan tentang keesaan Tuhan (syahadat). Proses ini menunjukkan bahwa Tari Saman adalah contoh sempurna bagaimana budaya lokal tidaklah statis. Sebaliknya, ia sangat adaptif dan mampu menginternalisasi unsur-unsur baru, dalam hal ini Islam, untuk bertahan dan berkembang. Kemampuan adaptasi inilah yang menjadi kunci untuk memahami mengapa tarian ini tetap relevan dan menghadapi tantangan pelestarian di era modern. Dinamika ini memperjelas bahwa Tari Saman adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu pra-Islam dengan masa kini yang sarat nilai-nilai religius.
Anatomi Pertunjukan Tari Saman: Gerak, Bunyi, dan Simbolisme
Gerakan dan Kekompakan
Tari Saman memiliki ciri khas yang sangat menonjol, yaitu ritme yang cepat dan dinamis, yang menuntut kekompakan dan harmoni yang tinggi dari seluruh penari. Gerakan tarian ini unik karena penari hanya menggunakan tangan, badan, dan kepala, sementara kaki tetap berada dalam posisi duduk. Gerakan dilakukan secara serentak, menciptakan “garis gerakan yang homogen dan kontinu” yang menjadi ciri khas penentu Tari Saman. Gerakan spesifik dalam tarian ini tidak hanya estetis, tetapi juga sarat makna filosofis. Misalnya, gerakan selaku, di mana penari meletakkan satu tangan di dada, melambangkan kerendahan hati sebagai hamba yang taat kepada Allah SWT. Gerakan tunduk bermakna penghormatan kepada sesama manusia.
Girik, atau kepala berputar, melambangkan bahwa dunia selalu berputar dan kehidupan senantiasa bergerak dan berubah. Sementara itu, tepukan tangan, dada, dan paha menjadi elemen kunci yang menciptakan irama, mencerminkan semangat patriotisme, kegembiraan, dan kekompakan.
Pola Lantai dan Formasi
Formasi utama dalam Tari Saman adalah sebuah barisan horizontal, yang secara umum disebut shaf. Setiap penari duduk rapat dan sejajar satu sama lain, menciptakan barisan yang solid. Formasi ini tidak dipilih secara kebetulan atau hanya untuk tujuan estetika semata. Pola lantai shaf merupakan refleksi langsung dari formasi barisan shalat berjamaah dalam Islam.
Keseragaman fisik yang ditampilkan dalam tarian ini mencerminkan kesatuan spiritual dan kebersamaan dalam komunitas Gayo. Melalui pola shaf ini, tarian Saman secara simbolis mengubah ruang pertunjukan menjadi ruang sakral, di mana setiap gerakan dan posisi memiliki makna spiritual yang mendalam. Penggunaan pola shaf ini secara fisik dan visual memperkuat identitas komunal dan religius, menunjukkan bahwa tarian ini adalah perwujudan fisik dari nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh masyarakat.
Iringan Vokal dan Non-Instrumen
Keunikan paling mencolok dari Tari Saman adalah tidak adanya iringan alat musik. Seluruh irama dan ritme berasal dari suara penari itu sendiri, yang diciptakan melalui tepukan tangan, tepukan dada, dan teriakan vokal. Pertunjukan Saman dipimpin oleh seorang tokoh sentral yang disebut  penangkat, yang duduk di tengah barisan penari.
Penangkat bertanggung jawab untuk melantunkan syair-syair, memberikan aba-aba, dan mengendalikan kecepatan serta perpindahan gerakan. Peran penangkat dibantu oleh pengapit. Secara umum, syair-syair dalam Tari Saman dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis lagu, yaitu: Â Rengum, sebuah auman vokal yang belum berbentuk kata; Dering, suara yang menjadi bagian dari Rengum; Redet, nyanyian yang dilantunkan secara tunggal oleh penangkat; Saur, nyanyian yang diulang bersama oleh semua penari setelah Redet; dan Sek, sebuah suara melengking yang menandakan perubahan gerakan.
Tata Busana dan Atribut
Busana Tari Saman didominasi warna hitam dengan sulaman motif Gayo yang berwarna-warni. Busana ini disebut  baju kerawang atau baju pokok, dan sulamannya biasanya menggunakan benang berwarna putih, merah, dan hijau. Motif-motif tersebut secara simbolis melambangkan nilai-nilai luhur dan alam sekitar. Penari juga mengenakan beberapa atribut pelengkap, seperti  bulu teleng, sejenis penutup kepala bersulam yang dikenakan oleh penari pria. Selain itu, mereka menggunakan  stagen atau ikat pinggang berwarna hitam untuk menjaga agar baju tidak kendur dan postur tubuh tetap tegak.
Tabel berikut merangkum elemen-elemen teknis dan makna simbolis yang terkandung di dalamnya:
Elemen Pertunjukan | Deskripsi Gerakan/Elemen | Makna Simbolis |
Gerakan | Selaku (meletakkan satu tangan di dada) | Kerendahan hati sebagai hamba yang taat kepada Allah SWT |
Tunduk (menundukkan badan) | Penghormatan terhadap sesama manusia | |
Girik (kepala berputar) | Dunia yang selalu berputar dan kehidupan yang terus berubah | |
Tepukan tangan, dada, paha | Patriotisme, kegembiraan, dan kekompakan | |
Pola Lantai | Garis horizontal atau shaf yang rapat dan sejajar | Refleksi barisan shalat berjamaah; kesatuan dan kebersamaan |
Iringan Vokal | Rengum, Dering, Redet, Saur, dan Sek | Penyampaian pesan-pesan religius, nasihat, hingga humor tanpa alat musik |
Tata Busana | Baju kerawang berwarna hitam dengan sulaman Gayo yang cerah | Simbolisme alam dan nilai-nilai luhur masyarakat Gayo |
Fungsi Multidimensi: Perekat Sosial, Media Dakwah, dan Ekspresi Budaya
Tari Saman sebagai Pilar Integrasi Sosial dan Identitas Komunitas
Secara fundamental, Tari Saman berfungsi sebagai perekat sosial yang kuat dalam masyarakat Gayo. Tarian ini memperkuat ikatan komunal dan menciptakan hubungan yang lebih baik di antara warga. Lebih dari sekadar hiburan, Tari Saman juga digunakan untuk membangun hubungan yang bersahabat antara kelompok-kelompok desa, yang sering kali saling mengundang untuk mengadakan kompetisi Saman. Semangat gotong royong dan kekompakan yang ditampilkan dalam tarian ini mencerminkan budaya etnik Gayo yang menghargai persatuan dan kebersamaan. Dengan demikian, Saman menjadi alat yang efektif untuk menyatukan masyarakat dan memperkuat identitas etnik mereka secara keseluruhan.
Nilai-Nilai Keagamaan: Refleksi Dakwah dan Falsafah Islam
Salah satu fungsi terpenting Tari Saman adalah sebagai media dakwah atau penyebaran ajaran Islam. Awalnya, tarian ini ditampilkan di bawah  meunasah (surau panggung) dan syair-syair yang mengiringinya dirancang untuk mengandung pesan-pesan religius. Lantunan syair ini sering kali berisi pujian kepada Tuhan, sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, serta konsep syahadat. Beberapa analisis bahkan menghubungkan pola zikir Tarekat Sammaniyah yang ada di dalam syairnya, menunjukkan kedalaman nilai keislaman yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai ini juga tercermin dalam gerakan dan formasi tarian, seperti pola  shaf yang menyerupai barisan shalat. Dengan demikian, Tari Saman tidak hanya menyampaikan pesan agama melalui lirik, tetapi juga melalui perwujudan fisik dari nilai-nilai tersebut, menjadikannya sebuah pengalaman spiritual yang komprehensif.
Fungsi Non-Tradisional: Hiburan, Ekonomi, dan Diplomasi Budaya
Seiring waktu, fungsi Tari Saman telah berkembang melampaui peran tradisionalnya. Tarian ini kini berfungsi sebagai hiburan yang ditampilkan di berbagai acara seperti di kedai dan hotel. Di tingkat yang lebih luas, Saman juga berperan dalam diplomasi budaya, seperti yang terlihat saat ditampilkan dalam acara kenegaraan. Selain itu, pertunjukan Tari Saman dapat berfungsi sebagai pemicu kegiatan ekonomi. Keramaian yang timbul dari pertunjukan menarik pengunjung dan memungkinkan terjadinya transaksi jual beli di sekitarnya.
Perkembangan Tari Saman di luar Aceh, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, telah mengubahnya menjadi “seni urban” yang berkembang di tengah masyarakat multikultural. Pergeseran ini telah mengarah pada komodifikasi dan komersialisasi tarian, menjadikannya produk budaya yang dikemas sebagai daya tarik wisata. Hal ini menimbulkan sebuah dilema signifikan. Ketika Tari Saman menjadi komoditas untuk pariwisata, maknanya berpotensi bergeser dari sebuah ritual komunal yang sakral menjadi sebuah pertunjukan yang dikemas secara dangkal. Transformasi ini dapat menyebabkan hilangnya karakteristik unik yang membuat Tari Saman menjadi warisan budaya yang berharga. Oleh karena itu, penting untuk menyeimbangkan kebutuhan untuk menghasilkan pendapatan dan menjangkau audiens global dengan tanggung jawab untuk menjaga otentisitas dan identitas kulturalnya yang mendalam.
Tabel berikut menyajikan ringkasan fungsi-fungsi utama Tari Saman dan peranannya dalam masyarakat:
Kategori Fungsi | Penjelasan Peran | Contoh atau Bukti Pendukung |
Dakwah | Media penyebaran ajaran dan nilai-nilai Islam | Syair yang berisi pujian kepada Allah dan sholawat Nabi |
Sosial | Perekat sosial yang memperkuat ikatan masyarakat | Kompetisi antar desa untuk membangun hubungan yang bersahabat |
Budaya | Pelestarian budaya dan identitas etnik | Mengandung nilai sejarah, mitos, dan legenda masyarakat Gayo |
Ekonomi | Peningkatan kegiatan ekonomi di sekitar pertunjukan | Menarik pengunjung dan memicu transaksi jual beli |
Tantangan dan Visi Ke Depan: Pelestarian di Era Globalisasi
Tari Saman di Panggung Dunia: Makna Pengakuan UNESCO dan Implikasinya
Pengakuan UNESCO pada tahun 2011 sebagai Warisan Budaya Takbenda yang Membutuhkan Perlindungan Mendesak membawa Tari Saman ke panggung dunia, tetapi pada saat yang sama, menggarisbawahi kondisi gentingnya. Pengakuan ini bukanlah sekadar kehormatan, melainkan sebuah peringatan dan panggilan darurat untuk bertindak. Artinya, tanpa intervensi dan upaya pelestarian yang serius, Tari Saman berisiko kehilangan karakteristik aslinya, atau bahkan musnah sama sekali. Pengakuan ini secara resmi menempatkan Tari Saman di bawah perhatian internasional dan memicu berbagai inisiatif pelestarian yang terkoordinasi.
Ancaman Otentisitas dan Regenerasi
Tari Saman menghadapi berbagai ancaman yang mengancam keberlangsungan dan otentisitasnya. Ancaman-ancaman ini, yang juga dicatat oleh UNESCO, meliputi: penurunan frekuensi pertunjukan dan transmisi, banyak pemimpin (penangkat) yang berusia lanjut tanpa penerus yang memadai, dan persaingan dari bentuk-bentuk hiburan modern dan permainan baru. Selain itu, migrasi kaum muda Gayo ke kota-kota untuk pendidikan menyebabkan transmisi informal di desa-desa melemah. Keterbatasan dana juga menjadi kendala, karena biaya untuk kostum dan pertunjukan Tari Saman cukup besar.
Globalisasi memunculkan sebuah paradoks. Di satu sisi, ia memungkinkan Tari Saman menjangkau audiens global melalui media digital, tetapi di sisi lain, ia juga menjadi sumber ancaman. Tren digital dan hiburan modern menarik minat generasi muda, berpotensi menggerus tradisi transmisi informal yang menjadi fondasi keberlangsungan tarian ini. Adaptasi untuk menarik audiens global juga dapat menyebabkan tarian kehilangan karakteristik uniknya, memprioritaskan estetika visual yang dikemas daripada nilai-nilai filosofis dan religius yang mendalam. Paradoks ini menuntut pendekatan pelestarian yang inovatif, yang tidak hanya berfokus pada komunitas Gayo, tetapi juga mampu menghadapi tantangan global yang memengaruhinya secara langsung.
Strategi Pelestarian Berkelanjutan
Untuk mengatasi tantangan ini, berbagai pihak telah mengembangkan strategi pelestarian yang komprehensif. Dokumen UNESCO menguraikan rencana aksi mendesak, termasuk: revitalisasi transmisi dengan memberikan insentif kepada pelatih dan membantu kelompok Saman, integrasi Tari Saman ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal, dan penyelenggaraan festival reguler untuk memotivasi kelompok penari dan meningkatkan kesadaran publik.
Di era digital, upaya pelestarian juga telah memanfaatkan teknologi modern. Platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok digunakan untuk mempromosikan Tari Saman kepada audiens muda yang lebih luas. Pemerintah dan lembaga budaya juga mulai melibatkan  influencer dan content creator untuk menyajikan Tari Saman dalam format yang lebih kreatif, bahkan dengan menggabungkan elemen-elemen modern seperti musik populer atau street dance. Selain itu, komunitas seperti EDSAMAN dan komitmen dari pemerintah daerah memainkan peran krusial dalam memastikan upaya pelestarian ini terus berlanjut.
Tabel berikut menyajikan ringkasan ancaman terhadap Tari Saman dan strategi pelestarian yang diusulkan:
Ancaman | Penjelasan | Strategi Terkait (Dokumen UNESCO) | Pihak Pelaksana |
Penurunan Frekuensi Transmisi | Penampilan dan transmisi Tari Saman menurun, terutama secara informal di desa-desa. | Revitalisasi Transmisi: Memberikan insentif untuk pelatih dan bantuan untuk kelompok Saman/Mersah. | Komunitas dan Pemerintah Distrik Gayo Lues |
Kurangnya Regenerasi | Banyak pemimpin (penangkat) berusia lanjut tanpa penerus yang sistematis. | Integrasi Kurikulum: Memasukkan Tari Saman ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal. | Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Pemerintah Provinsi, Sekolah |
Persaingan Hiburan Modern | Minat generasi muda beralih ke aktivitas budaya dan hiburan digital modern. | Organisasi Festival dan Promosi: Mengadakan festival reguler dan mempromosikan melalui media digital. | Pemerintah, Media Digital, Komunitas |
Keterbatasan Dana | Kostum dan pertunjukan Saman membutuhkan biaya yang cukup besar, menjadi kendala. | Revitalisasi Transmisi: Memberikan bantuan dana untuk kelompok Saman dan sekolah. | Sponsor, UNESCO, Pemerintah |
Ancaman Otentisitas | Adaptasi untuk pasar global berisiko mengikis karakteristik asli tarian. | Revitalisasi Transmisi: Memperkuat metode pengajaran tradisional yang otentik di desa. | Komunitas Saman dan Pemerhati Budaya |
Kesimpulan
Tari Saman adalah sebuah warisan budaya yang kompleks, kaya akan lapisan makna historis, spiritual, dan sosial. Analisis ini menunjukkan bahwa sejarahnya bukan sekadar sebuah kreasi baru oleh Syekh Saman, melainkan sebuah akulturasi yang cerdas antara tradisi pra-Islam (PokAne) dengan ajaran dakwah Islam. Setiap gerakan, formasi shaf, dan lantunan syairnya adalah perwujudan fisik dari nilai-nilai filosofis dan keagamaan yang mendalam, menjadikan tarian ini sebagai sebuah entitas yang hidup dan bernyawa bagi masyarakat Gayo.
Meskipun Saman telah diakui secara global oleh UNESCO, statusnya dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda yang Membutuhkan Perlindungan Mendesak menandakan adanya tantangan serius yang perlu diatasi. Ancaman dari modernisasi, kurangnya regenerasi, dan komodifikasi berlebihan menuntut sebuah pendekatan yang lebih proaktif dan inovatif. Adopsi fungsi-fungsi non-tradisional, seperti hiburan dan pariwisata, menciptakan dilema antara popularitas global dan pemeliharaan otentisitas, yang memerlukan pertimbangan yang cermat.
Berdasarkan analisis yang mendalam, beberapa rekomendasi strategis diusulkan untuk menjamin kelangsungan dan vitalitas Tari Saman di masa depan:
- Penguatan Pendanaan dan Dukungan Infrastruktur: Diperlukan komitmen pendanaan yang lebih besar, baik dari pemerintah maupun sektor swasta, untuk mendukung kelompok-kelompok Tari Saman. Dana ini harus dialokasikan untuk membiayai produksi kostum yang otentik, memfasilitasi pertunjukan reguler, dan memberikan insentif kepada para pelatih senior.
- Integrasi Kurikulum Pendidikan yang Berkelanjutan: Program untuk memasukkan Tari Saman sebagai muatan lokal di sekolah harus dilanjutkan dan diperluas. Ini akan memastikan bahwa transmisi tarian dilakukan secara sistematis kepada generasi muda, membentuk basis pengetahuan yang kuat sejak dini.
- Promosi Digital yang Bertanggung Jawab: Inovasi dalam promosi digital harus didorong, tetapi dengan panduan yang jelas untuk menjaga otentisitas. Penggunaan platform media sosial perlu memprioritaskan penyampaian nilai-nilai filosofis dan sejarah di balik tarian, bukan hanya estetika visual semata.
- Pengembangan Program Regenerasi yang Sistematis: Mengingat banyaknya pemimpin (penangkat) yang berusia lanjut, perlu adanya program pelatihan yang terstruktur untuk mengidentifikasi dan mempersiapkan pemimpin muda. Program ini harus mencakup penguasaan gerakan, hafalan syair, dan pemahaman mendalam tentang makna spiritual Tari Saman.
Dengan mengimplementasikan strategi-strategi ini secara terpadu, Tari Saman dapat terus berkembang, mempertahankan identitas uniknya sebagai jembatan antara tradisi, spiritualitas, dan modernitas, serta tetap menjadi pilar budaya kebanggaan Indonesia di kancah global.