Loading Now

Keberadaan Kuda di Indonesia

Potret Komprehensif Keberadaan Kuda di Nusantara

Keberadaan kuda di Indonesia bukanlah sekadar fakta zoologis, melainkan sebuah narasi yang terjalin erat dengan sejarah, budaya, dan struktur sosial masyarakatnya. Dari hewan penarik kereta pada masa peradaban kuno hingga menjadi simbol status sosial dan aset ekonomi di era modern, kuda telah memainkan peran yang multidimensi dan terus berevolusi. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan sebuah tinjauan mendalam yang mengurai kompleksitas tersebut, mencakup jejak historis, kekayaan mitologi, keunikan ras lokal, peran kontemporer dalam ekonomi dan olahraga, serta tantangan yang dihadapi di masa kini.

Dengan menganalisis berbagai aspek—mulai dari bukti arkeologis dan tradisi adat, hingga data ilmiah morfometrik dan dinamika industri—laporan ini akan menampilkan potret holistik tentang kuda di Indonesia. Hal ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana kuda telah terintegrasi begitu dalam ke dalam kain masyarakat Nusantara, melampaui peran fungsionalnya dan menjadi entitas yang memiliki makna yang mendalam dan beragam di setiap daerah.

Jejak Sejarah dan Dimensi Mitologis

Asal-Usul dan Bukti Historis: Jejak Kuda di Sepanjang Peradaban Nusantara

Keberadaan kuda di Nusantara memiliki akar yang sangat dalam, jauh sebelum interaksi modern. Bukti historis tertua ditemukan pada relief-relief kuno Candi Borobudur, sebuah mahakarya batu yang dikerjakan pada abad ke-8 Masehi. Dalam relief tersebut, kuda tergambar bersama satwa lain seperti gajah dan harimau, umumnya berada di permukiman atau pedesaan. Beberapa relief bahkan secara spesifik menggambarkan kuda sebagai hewan penarik kereta, memberikan indikasi jelas bahwa kuda telah menjadi bagian akrab dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Jawa pada masa itu.

Introduksi kuda ke Nusantara diperkirakan berasal dari berbagai gelombang migrasi dan perdagangan. Kuda-kuda yang dibawa ke Jawa, misalnya, diyakini merupakan keturunan kuda jenis Tibet atau Mongol. Terdapat dugaan bahwa stok kuda kuno pertama kali dibawa oleh dinasti Tang Tiongkok pada abad ke-7, yang tercatat memberikannya kepada beberapa kerajaan di Nusantara, termasuk Kerajaan Kalingga dan Bali. Kedatangan kuda Mongolia dalam jumlah besar kemungkinan terjadi pada invasi Mongol ke Jawa pada tahun 1293. Aliran genetik ini, yang juga mencakup kuda dari wilayah Asia barat seperti India dan Turkmenistan, menjadi fondasi bagi pembentukan ras-ras lokal di kemudian hari.

Pada abad ke-14, peran kuda di Jawa mengalami transisi signifikan. Selama masa Kerajaan Majapahit, Jawa tidak hanya menjadi pusat domestikasi dan penggunaan kuda, tetapi juga berkembang menjadi “peternak kuda penting” yang bahkan terdaftar sebagai salah satu pemasok kuda ke Tiongkok. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran peran kuda dari sekadar alat transportasi domestik menjadi komoditas strategis dan industri yang terorganisir. Industri inilah yang kemudian memfasilitasi persebaran kuda ke pulau-pulau lain, seperti Sumba dan Sumbawa, yang ditaklukkan oleh Majapahit pada abad ke-14.

Kuda dalam Lanskap Budaya dan Mitologi: Simbolisme yang Mendalam

Kuda di Indonesia tidak hanya memiliki peran praktis, tetapi juga tertanam kuat dalam narasi budaya dan mitologi. Salah satu yang paling terkenal adalah legenda Kuda Sembrani, seekor kuda bersayap dari mitologi Jawa yang dapat terbang dan sangat berani. Kisah ini banyak dikaitkan dengan masa pemerintahan Sultan Agung, raja terbesar Mataram Islam, dan tokoh-tokoh spiritual. Kuda Sembrani melampaui identitasnya sebagai hewan dan menjadi simbol spiritual yang mewakili perjalanan manusia menuju kesempurnaan, kebebasan, ilmu tinggi, dan kemenangan atas diri sendiri.

Meskipun tidak ada bukti fisik yang menunjukkan keberadaan Kuda Sembrani secara nyata, mitos ini terus hidup dan berfungsi sebagai arketipe spiritual dalam alam bawah sadar kolektif masyarakat Jawa. Relevansinya berlanjut hingga kini, di mana nama “Sembrani” diadaptasi untuk berbagai lini, mulai dari nama kereta api seperti “Argo Sembrani” hingga nama komunitas seni dan sekolah bela diri. Penggunaan nama ini menunjukkan bagaimana simbolisme kuno terus direplikasi dan dipertahankan dalam budaya modern, memastikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap relevan di era digital.

Kuda Sebagai Ikon Lokal dan Penentu Status Sosial

Di berbagai daerah, kuda memiliki fungsi simbolis yang lebih spesifik dan mendalam. Di Kuningan, Jawa Barat, kuda telah digunakan sebagai ikon dan simbol Pemerintah Kabupaten, menunjukkan perannya sebagai lambang kebanggaan komunal.

Di Sumba, peran kuda bahkan terintegrasi jauh lebih dalam ke dalam struktur sosial dan spiritual. Patung kuda kayu (Kuda) diukir oleh perajin lokal sebagai simbol kemakmuran ilahi dan status sosial keluarga. Kuda juga berfungsi sebagai aset seremonial yang penting, digunakan sebagai mas kawin dalam ritual pernikahan dan persembahan selama upacara pemakaman. Masyarakat Sumba meyakini kuda memungkinkan arwah yang meninggal untuk melakukan perjalanan ke alam leluhur (ancestors) di alam baka. Dengan demikian, jumlah kuda yang dimiliki sebuah keluarga secara langsung merepresentasikan kekayaan dan status sosial mereka. Kuda di Sumba adalah representasi dari sistem ekonomi dan hierarki non-moneter, di mana nilai tidak diukur dari uang, melainkan dari kepemilikan aset budaya dan ritual.

Di Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, kuda juga memegang peran ritual yang unik melalui Pacuan Kuda/Tarian Kuda (Pehere Jara). Ritual ini tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga memiliki akar historis yang dalam. Sebuah ritual  Pehere Jara di Bodo, misalnya, berfungsi sebagai pengingat akan serangan hama belalang berabad-abad yang lalu, di mana para pria menunggang kuda untuk mengusir hama dari ladang mereka. Hal ini menunjukkan bahwa peran kuda dalam masyarakat adat tidak hanya terbatas pada simbolisme, tetapi juga sebagai bagian dari narasi kolektif tentang perjuangan dan kelangsungan hidup.

Kuda-Kuda Asli Indonesia: Karakteristik dan Keunikan

Indonesia memiliki beberapa ras kuda asli yang telah beradaptasi dengan kondisi geografis dan iklim lokal, dengan Kuda Sandelwood dan Kuda Batak menjadi yang paling terkenal.

Kuda Sandelwood: Perpaduan Kualitas dan Daya Tahan

Kuda Sandelwood (Sandalwood Pony) adalah ras kuda poni yang berasal dari Pulau Sumba dan Sumbawa. Nama kuda ini diambil dari pohon Cendana (Sandalwood trees), komoditas ekspor utama di sana. Kuda Sandelwood dianggap sebagai salah satu kuda terbaik di Indonesia, sebagian karena jumlah darah Arabian yang mengalir di dalamnya.

Secara fisik, kuda ini memiliki tinggi rata-rata 122–132 cm (12-13 hands) dan dapat memiliki warna apa pun. Penelitian terhadap 102 ekor kuda Sandelwood menunjukkan keragaman warna yang tinggi, dengan warna merah (bay) mendominasi (22,56%), diikuti oleh warna chestnut (18,63%), dan hitam (black) (14,71%). Data ilmiah ini memberikan gambaran yang jelas mengenai variasi genetik dalam populasi.

Morfologi kuda Sandelwood dicirikan oleh kepala yang bagus dengan telinga kecil, leher pendek dan berotot, serta dada dalam dengan bahu miring. Kuda ini memiliki daya tahan yang baik dan dianggap mudah diatur. Kuda Sandelwood sangat serbaguna; digunakan untuk pekerjaan ringan seperti pertanian dan angkutan, tetapi juga sangat populer untuk balapan, termasuk balapan bareback yang seringkali diadakan di pulau asalnya. Kualitasnya yang unggul menjadikannya komoditas ekspor, bahkan diekspor ke Australia sebagai kuda tunggang anak-anak dan ke negara-negara Asia Tenggara sebagai kuda balap.

Penelitian morfometrik memberikan data kuantitatif yang lebih rinci tentang karakteristik fisik kuda Sandelwood:

Tabel 1: Data Morfometrik Kuda Sandelwood

Parameter Rata-Rata Kuda Jantan Rata-Rata Kuda Betina Sumber
Berat Badan 320,94 kg 286,76 kg
Tinggi Badan 115 cm 124 cm
Panjang Badan 107,26 cm 116,82 cm
Lingkar Dada 140,47 cm 159,21 cm

Kuda Batak: Ras yang Tangguh dan Kuat

Ras lain yang tak kalah penting adalah Kuda Batak, atau yang juga dikenal sebagai Kuda Deli. Berasal dari Sumatra Tengah, ras ini juga diyakini memiliki keturunan dari kuda Mongolia dan Arabian. Kuda Batak dikenal karena kekuatannya yang luar biasa meskipun memiliki tubuh yang ramping. Kuda ini dipilih dan dikembangbiakkan secara selektif oleh masyarakat lokal, dan darah Arabian terus disuntikkan untuk meningkatkan kualitasnya.

Secara fisik, Kuda Batak memiliki tinggi rata-rata 119 cm (11,3 hands). Kepala mereka halus dengan profil lurus atau sedikit cembung, dan lehernya pendek serta tipis. Salah satu karakteristik utamanya adalah sifatnya yang penurut dan kuat, menjadikannya ideal sebagai kuda tunggang untuk anak-anak. Meskipun demikian, karena pengaruh darah Arabian, kuda ini juga dapat menunjukkan semangat yang tinggi saat diperlukan. Kuda Batak digunakan sebagai kuda tunggang dan sangat populer untuk balapan di kalangan penduduk setempat. Menariknya, sumber menyebutkan bahwa Kuda Batak adalah satu-satunya ras di Indonesia yang kualitasnya dianggap lebih baik daripada Kuda Sandelwood.

Berikut adalah perbandingan ringkas antara kedua ras kuda asli Indonesia tersebut:

Tabel 2: Perbandingan Ras Kuda Sandelwood dan Batak

Kriteria Kuda Sandelwood Kuda Batak
Asal-Usul Pulau Sumba & Sumbawa Sumatra Tengah
Pengaruh Genetik Mongolia & Arabian Mongolia & Arabian
Ciri Fisik Utama Tinggi 122–132 cm, punggung panjang, dada dalam Tinggi rata-rata 119 cm, tubuh ramping namun kuat, leher pendek
Sifat Daya tahan baik, mudah diatur Penurut dan kuat
Penggunaan Balap, angkutan ringan, tunggang anak Balap, tunggang
Kualitas Relatif Salah satu yang terbaik di Indonesia Dianggap lebih baik dari Kuda Sandelwood

Peran Multidimensi Kuda dalam Kehidupan Kontemporer

Peran Ekonomi dan Transportasi: Delman sebagai Jembatan Antara Tradisi dan Pariwisata

Kuda telah lama menjadi tulang punggung transportasi dan ekonomi di Indonesia melalui penggunaan delman. Meskipun perannya sebagai alat angkut utama telah digantikan oleh kendaraan bermotor, delman berhasil menemukan peran baru yang relevan di era modern. Fungsi utamanya kini bergeser menjadi pendukung sektor pariwisata dan pelestarian budaya.

Di banyak kota seperti Solo, Jakarta, dan Yogyakarta, delman secara khusus dioperasikan sebagai atraksi wisata, seringkali dirancang dengan tampilan yang menarik dan dikendalikan oleh kusir yang mengenakan pakaian tradisional. Penggunaan ini tidak hanya memperkenalkan wisatawan pada alat transportasi tradisional, tetapi juga memberikan penghasilan tambahan bagi pemilik kuda dan para kusir, yang pada gilirannya menopang ekonomi lokal. Keberadaan delman sebagai ikon budaya menunjukkan kemampuan adaptasi kuda dan pemiliknya terhadap perubahan zaman, di mana peran fungsional digantikan oleh peran seremonial dan ekonomi. Namun, pergeseran ini juga membawa tantangan, terutama terkait isu kesejahteraan kuda yang digunakan untuk pekerjaan dan pariwisata.

Kuda dalam Olahraga dan Rekreasi: Dari Tradisi Lokal hingga Skala Nasional

Dunia berkuda di Indonesia terbagi menjadi dua ranah utama: tradisi lokal yang kental dengan nilai-nilai budaya dan olahraga modern yang semakin profesional.

  1. Pacuan Tradisional: Di berbagai daerah, pacuan kuda adalah tradisi yang sangat mengakar, menjadi bagian integral dari identitas komunitas. Di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, Pacuan Kuda Tradisional Gayo merupakan agenda rutin yang digelar dua kali dalam setahun, yaitu untuk memperingati HUT Kota Takengon dan HUT Kemerdekaan RI. Tradisi ini dikenal unik karena joki yang digunakan seringkali adalah joki cilik yang masih duduk di bangku SMP. Kuda-kuda peserta diklasifikasikan berdasarkan tinggi dan usia, dengan kelas-kelas mulai dari Kelas D (tinggi 115-124,9 cm) hingga Kelas A Super (tinggi 150 cm). Tradisi serupa juga ditemukan di Sumba melalui Humba Cup.
  2. Olahraga Modern dan Rekreasi: Olahraga berkuda profesional (equestrian) terus berkembang di bawah naungan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI). Cabang olahraga yang diakui secara internasional seperti dressage, eventing, dan jumping semakin populer. Selain olahraga kompetitif, industri pariwisata berkuda juga menjadi sektor ekonomi yang berkembang pesat. Di Bali, Kuda P Stables menawarkan pengalaman berkuda melintasi sawah, desa, dan pantai berpasir hitam. Di Bogor, terdapat berbagai tempat yang menawarkan aktivitas berkuda bagi pemula hingga profesional di tengah suasana pedesaan atau alam terbuka, dengan harga sewa yang terjangkau. Perkembangan ini menunjukkan diversifikasi peran kuda dari hewan kerja menjadi atlet dan pendukung industri pariwisata.

Tantangan dan Masa Depan Kuda di Indonesia

Dinamika Populasi dan Industri Pacuan Modern

Data menunjukkan bahwa populasi kuda di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2022, populasi mencapai 394.341 ekor, naik 3,23% dari tahun sebelumnya. Populasi ini tersebar luas di seluruh 34 provinsi , yang mencerminkan keberadaan kuda yang merata di berbagai daerah. Peningkatan populasi ini menunjukkan bahwa sektor peternakan kuda masih aktif dan memiliki potensi.

Namun, industri pacuan kuda, sebagai salah satu sektor ekonomi utama yang melibatkan kuda, menghadapi tantangan modernisasi dan persaingan global yang ketat. Tantangan ini mencakup perubahan perilaku konsumen, persaingan dari sportainment lain, dan kebutuhan untuk berinovasi di era digital. Guna mengatasi hal ini, diperlukan kolaborasi dan inovasi untuk menarik minat generasi muda. Konferensi seperti Asian Racing Conference (ARC) menjadi platform penting bagi pemangku kepentingan untuk membahas bagaimana sains, teknologi, dan riset dapat meningkatkan potensi industri pacuan kuda di Indonesia. Pembongkaran fasilitas pacuan kuda di Singapura juga menciptakan peluang strategis yang besar bagi Indonesia untuk menjadi pusat pacuan kuda regional, namun hal ini menuntut respons proaktif dari para pelaku industri.

Isu Kesejahteraan Hewan dan Perlindungan Hukum

Dengan beralihnya peran kuda, muncul pula perhatian yang lebih besar terhadap isu kesejahteraan hewan. Kuda pekerja, terutama kuda delman, seringkali menjadi sorotan publik akibat kasus penyimpangan dan perlakuan buruk. Permasalahan ini telah mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Pada tahun 2019, kesejahteraan kuda pekerja menjadi fokus khusus dalam lokakarya  Asia-Pacific Focal Point for Animal Welfare yang diselenggarakan di Bali. Kementerian Pertanian RI juga telah menerbitkan panduan kesejahteraan kuda pekerja sebagai acuan bagi pejabat dan masyarakat.

Secara hukum, perlakuan buruk terhadap hewan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan sanksi yang jelas. Aturan ini, yang semula terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, telah direvisi dan diperbarui ke dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023. Peran aktif juga dimainkan oleh organisasi nirlaba seperti  Jakarta Animal Aid Network (JAAN) yang memiliki program spesifik “AID FOR CARRIAGE HORSE INDONESIA”. Organisasi ini bahkan meluncurkan mobil klinik keliling, menunjukkan pergeseran paradigma sosial di mana kuda tidak lagi hanya dilihat sebagai alat, tetapi sebagai makhluk yang memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik.

Kesimpulan

Keberadaan kuda di Indonesia merupakan sebuah narasi yang kaya dan dinamis, mencerminkan sinergi antara warisan masa lalu dan adaptasi di masa kini. Laporan ini telah menguraikan bagaimana kuda, yang diperkenalkan ke Nusantara sejak abad ke-7, tidak hanya bertahan tetapi juga terintegrasi secara mendalam ke dalam berbagai aspek kehidupan—dari ukiran kuno di Borobudur hingga legenda spiritual Kuda Sembrani. Perbedaan fungsi simbolisnya di berbagai daerah, seperti sebagai penentu status sosial di Sumba atau sebagai ikon budaya di Kuningan, menunjukkan bagaimana makna kuda sangat terpolarisasi dan dilokalkan sesuai dengan konteks budaya masing-masing.

Secara biologis, Indonesia memiliki ras-ras unik seperti Kuda Sandelwood dan Kuda Batak yang telah dikembangkan secara selektif, menghasilkan kualitas yang diakui baik di tingkat lokal maupun internasional. Di sektor ekonomi, kuda telah beradaptasi dari alat transportasi primer menjadi penopang industri pariwisata dan rekreasi, sementara pacuan kuda tradisional dan modern hidup berdampingan, menciptakan ruang bagi pelestarian budaya dan profesionalisme.

Masa depan kuda di Indonesia bergantung pada kemampuan untuk menyeimbangkan tiga pilar utama: pelestarian budaya, inovasi ekonomi, dan penegakan kesejahteraan. Peningkatan populasi kuda menunjukkan potensi yang menjanjikan, namun tantangan modernisasi menuntut industri untuk berkolaborasi dan mengadopsi teknologi untuk tetap relevan. Pada saat yang sama, pengakuan hukum dan peran aktif masyarakat sipil dalam isu kesejahteraan hewan adalah indikator penting dari kemajuan etika dalam masyarakat. Dengan demikian, kuda di Indonesia akan terus menjadi jembatan antara masa lalu yang kaya dan masa depan yang penuh tantangan, di mana tradisi, inovasi, dan etika harus berjalan beriringan untuk memastikan kelestarian spesies dan warisannya.