Loading Now

Perlindungan Satwa Liar dan Travel Bertanggung Jawab: Merangkai Etika Konservasi dan Pemberdayaan Komunitas

Membingkai Paradigma Baru dalam Wisata Satwa

Industri pariwisata global saat ini berada di persimpangan jalan etis, didorong oleh meningkatnya kesadaran konsumen dan tekanan dari organisasi nirlaba untuk pertanggungjawaban yang lebih tinggi terhadap kesejahteraan satwa liar. Wisata satwa liar didefinisikan secara luas sebagai pariwisata yang didasarkan pada perjumpaan dengan hewan non-domestikasi, mencakup pengamatan satwa liar di alam bebas (free-roaming), wisata di penangkaran (ex-situ) atau lingkungan buatan manusia seperti kebun binatang, hingga kegiatan konsumtif seperti berburu dan memancing.

Urgensi untuk mengadopsi etika pariwisata yang bertanggung jawab muncul karena praktik-praktik yang tidak etis dapat menyebabkan dampak buruk yang signifikan. Oleh karena itu, industri dan wisatawan harus secara kolektif bertransisi dari model yang didominasi interaksi di kandang ex-situ menuju praktik yang mengutamakan pengamatan di alam liar. Transisi ini merupakan fondasi untuk membedakan antara kegiatan yang berfokus pada konservasi sejati dan yang hanya mengeksploitasi satwa demi keuntungan komersial.

Mengurai Terminologi Kunci: Dasar Kebijakan yang Jelas

Untuk memastikan perumusan dan implementasi kebijakan yang efektif, pemahaman yang jelas mengenai tipologi pariwisata etis sangat diperlukan. Tiga konsep utama—Pariwisata Berkelanjutan, Ekowisata, dan Perjalanan Bertanggung Jawab—sering disamakan, namun memiliki cakupan dan fokus yang berbeda.

Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism) merupakan aspirasi global, bukan jenis pariwisata spesifik. Hal ini menuntut agar semua bentuk pariwisata memperhitungkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini dan masa depan, dengan tujuan utama menjaga kapasitas pembangunan untuk generasi mendatang. Sementara itu, Ekowisata (Ecotourism) adalah segmen khusus dari pariwisata di area alami. Ekowisata berfokus pada pengalaman dan pembelajaran tentang alam. Intinya adalah harus dikelola secara etis, berdampak rendah, non-konsumtif, berorientasi lokal, dan yang terpenting, harus berkontribusi pada konservasi atau pelestarian area alami tersebut.

Berbeda dengan dua konsep di atas, Perjalanan Bertanggung Jawab (Responsible Travel) secara spesifik mengacu pada perilaku dan gaya individu wisatawan. Perilaku ini mewujudkan tindakan mikro yang mendukung tujuan makro pariwisata berkelanjutan. Wisatawan yang bertanggung jawab secara fundamental menolak hiburan satwa di penangkaran yang kejam. Perbedaan tipologi ini menunjukkan bahwa perilaku individu (Perjalanan Bertanggung Jawab) adalah pendorong permintaan yang harus direspons oleh standar Ekowisata (niche), yang semuanya harus difasilitasi oleh kerangka kerja Pariwisata Berkelanjutan (regulasi makro). Kegagalan memahami hierarki ini dapat menyebabkan kebijakan hanya fokus pada aspek ekonomi tanpa mengatasi etika individu.

Table 1: Perbedaan Tipologi Utama dalam Pariwisata yang Bertanggung Jawab

Kriteria Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism) Ekowisata (Ecotourism) Perjalanan Bertanggung Jawab (Responsible Travel)
Fokus Utama Aspirasi; Keseimbangan 3 pilar (Ekonomi, Sosial, Lingkungan). Segmen niche; Apresiasi alam, pendidikan, dan konservasi. Perilaku individu; Memilih operator etis, menolak eksploitasi.
Lingkup Implementasi Global, Standar Organisasi Dunia (UNWTO/GSTC). Area Alami, Konservasi Berbasis Situs. Keputusan Konsumen dan Gaya Bepergian.
Tujuan Etis Satwa Melindungi keanekaragaman hayati dan sumber daya ekologi esensial. Menyumbang pada konservasi area alami, non-konsumtif. Tidak termasuk hiburan satwa di penangkaran yang kejam; Prioritas Kesejahteraan Hewan.

Tinjauan Kritis Etika Wisata Satwa Liar Eksploitatif

Definisi Wisata Satwa Liar yang Tidak Bertanggung Jawab

Wisata satwa yang tidak bertanggung jawab ditandai dengan interaksi yang memprioritaskan hiburan dan keuntungan komersial di atas kesejahteraan fisik dan mental satwa. Praktik ini seringkali memerlukan modifikasi perilaku satwa secara paksa. Penting untuk membedakan antara konservasi ex-situ yang dikelola untuk kepentingan penyelamatan atau rehabilitasi satwa  dengan penangkaran komersial yang murni untuk kepentingan bisnis. Praktik eksploitatif selalu melibatkan unsur kekerasan, kurungan yang tidak sesuai, dan pengabaian kebutuhan alami satwa.

Dampak Kesejahteraan Hewan (Animal Welfare)

Kasus Penolakan I: Menunggang Gajah dan Dampak Fisiologis

Menunggang gajah merupakan salah satu praktik yang paling ditolak oleh wisatawan bertanggung jawab dan organisasi kesejahteraan hewan. Meskipun praktik ini populer di destinasi seperti Taman Safari atau Way Kambas (meskipun beberapa tempat mulai menguranginya), bukti fisiologis menunjukkan bahaya yang melekat.

Tulang punggung gajah tidak dirancang untuk menahan beban manusia, terutama yang disertai pelana. Struktur tulang punggung gajah terdiri dari tonjolan-tonjolan tulang tajam yang hanya dilapisi jaringan tipis. Membebankan berat, khususnya dengan pelana yang menekan, dapat menyebabkan cedera serius, mengganggu kenyamanan, dan merusak kesehatan gajah secara keseluruhan. Selain dampak fisiologis, untuk membuat gajah patuh dan mudah diatur demi memuaskan keinginan pengunjung, bayi gajah harus menjalani hukuman brutal, sering disebut Phajaan. Proses ini melibatkan pukulan atau konsekuensi tidak diberi makan. Kekerasan ini merupakan pelanggaran etika fundamental kesejahteraan hewan. Meskipun wisata naik gajah menawarkan peningkatan ekonomi dan pariwisata, praktik tersebut secara intrinsik “menyakiti” hewan. Oleh karena itu, solusi etis memerlukan transisi ke model ekonomi alternatif, seperti observasi habitat yang etis (seperti yang ditunjukkan oleh ChangChill, didukung oleh WAP) , untuk mempertahankan pendapatan lokal tanpa eksploitasi fisik.

Kasus Penolakan II: Pertunjukan Satwa Laut dan Interaksi Langsung

Eksploitasi lumba-lumba untuk pertunjukan komersial merupakan contoh studi kasus lain dari wisata satwa yang tidak etis, yang seringkali dilegitimasi dengan dalih pendidikan. Organisasi seperti Jakarta Animal Aid Network (JAAN) telah mengecam keras praktik eksploitasi lumba-lumba untuk tujuan komersial di Bali, meskipun hewan tersebut merupakan satwa dilindungi.

Masalah etika utamanya adalah lumba-lumba ditempatkan di lingkungan buatan, seperti di dalam restoran, jauh dari habitat alaminya di laut. Klaim edukasi dianggap sebagai pembenaran untuk kepentingan bisnis murni, seringkali tanpa papan penjelasan yang memadai mengenai satwa tersebut. Lebih lanjut, kesejahteraan satwa terabaikan. Terdapat laporan mengenai praktik kelaparan yang sengaja dilakukan agar satwa tersebut mau menuruti keinginan pawang. Kritik JAAN menyoroti adanya “pembiaran dari pemerintah” Bali dalam memberikan izin pemanfaatan lumba-lumba di darat. Hal ini menunjukkan bahwa masalah etika satwa tidak hanya bersumber dari kurangnya kesadaran wisatawan, tetapi juga dipengaruhi oleh kelemahan dalam penegakan hukum dan inkonsistensi regulasi konservasi di tingkat daerah.

Implikasi Kesehatan Publik: Risiko Zoonosis dalam Interaksi Dekat

Wisata satwa liar yang tidak etis membawa risiko transmisi penyakit yang signifikan, yang menghubungkan kesehatan satwa, manusia, dan lingkungan—pendekatan yang dikenal sebagai One Health. Mobilitas manusia yang meningkat, misalnya wisatawan yang bertualang melintasi rawa-rawa dan hutan, serta intensitas kontak yang lebih tinggi dengan satwa liar, meningkatkan potensi transmisi zoonosis.

Contoh historis menunjukkan keterkaitan ini. Leptospirosis, dengan reservoar pada berbagai hewan domestik dan satwa liar (seperti anjing, singa laut, dan tikus), dapat ditularkan kepada wisatawan yang kontak dengan bahan terkontaminasi. Contoh global lainnya adalah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), yang kemunculannya difasilitasi oleh peningkatan kontak manusia dengan satwa liar sebagai akibat dari perdagangan dan industri daging satwa liar. Studi juga secara umum menunjukkan bahwa wisata alam dapat membawa dampak buruk bagi satwa liar , tidak hanya trauma psikologis tetapi juga risiko penularan penyakit. Oleh karena itu, batasan interaksi ketat (menjaga jarak aman)  bukan hanya isu moral, tetapi merupakan mandat kesehatan masyarakat global untuk mencegah penyebaran patogen.

Untuk memitigasi risiko ini, pedoman pencegahan di kawasan konservasi menekankan agar wisatawan tidak mendekati satwa liar untuk mengambil gambar, tidak memberi makan satwa, dan tidak makan atau minum di sekitar satwa liar dan kotorannya.

Peran Lembaga Internasional dalam Kampanye Anti-Eksploitasi

Lembaga internasional memainkan peran penting dalam menetapkan standar etika dan menekan industri pariwisata global untuk bertindak. World Animal Protection (WAP) adalah organisasi yang secara aktif berkampanye untuk mengakhiri penjualan tiket ke tempat-tempat di mana satwa menderita demi keuntungan, termasuk lumba-lumba, gajah, harimau, dan primata.

Kampanye WAP telah menghasilkan dampak korporat yang signifikan, mendesak perusahaan perjalanan besar seperti Airbnb, Booking.com, dan The Travel Corporation untuk menghapus penawaran wisata satwa eksploitatif dari platform mereka. Beberapa perusahaan, seperti Spies, telah berkomitmen untuk memandu wisatawan menghindari praktik tidak etis, seperti petting singa atau harimau, mengambil selfie dengan satwa liar, atau menyaksikan pertunjukan monyet/beruang.

Selain advokasi korporat, WAP, bersama World Cetacean Alliance, mengembangkan program Whale Heritage Sites (WHS). Program ini berfungsi sebagai skema akreditasi untuk destinasi yang mendukung dan merayakan cetacea (paus dan lumba-lumba) dan habitatnya, yang pada gilirannya membantu wisatawan dan perusahaan perjalanan memilih pengalaman yang benar-benar etis dan ramah satwa liar.

Panduan Praktis dan Etika bagi Pelaku Perjalanan Bertanggung Jawab

Prinsip Kunci: Observasi Jarak Jauh dan Non-Konsumtif

Perjalanan yang bertanggung jawab menuntut pergeseran filosofis mendasar dari penggunaan satwa menjadi penghormatan terhadap kehidupan liarnya. Prinsip etika utamanya adalah bahwa satwa liar memiliki hak untuk hidup liar dan idealnya harus dilihat di alam liar, berkembang biak di habitat alaminya. Jika perjumpaan satwa harus terjadi di penangkaran karena alasan konservasi, kesejahteraan hewan harus diprioritaskan di atas hiburan.

Wisatawan harus secara aktif menolak semua bentuk interaksi yang kejam, baik itu berupa captive wildlife entertainment maupun mendukung operator yang terbukti gagal mengatasi isu kesejahteraan satwa.

Pedoman Etis bagi Wisatawan di Kawasan Konservasi

Kepatuhan terhadap pedoman etika praktis oleh wisatawan sangat penting untuk meminimalkan gangguan terhadap ekosistem dan satwa. Pengelola kawasan konservasi seharusnya menerapkan kode etik yang jelas bagi pengunjung.

Secara praktis, wisatawan dianjurkan mengenakan pakaian berwarna netral dan menghindari warna mencolok agar tidak mengganggu satwa. Penggunaan sepatu yang kokoh juga direkomendasikan untuk keamanan diri di jalur berbatu atau berlumpur. Dalam konteks interaksi, foto etis harus selalu menghargai privasi satwa liar dan menjaga jarak aman yang tidak mengganggu perilaku alami mereka. Prinsip non-intervensi adalah mutlak: wisatawan dilarang memberi makan satwa liar. Tindakan memberi makan dapat mengubah perilaku alami satwa, menyebabkan ketergantungan pada manusia, dan meningkatkan risiko konflik manusia-satwa. Keberhasilan Perjalanan Bertanggung Jawab sangat bergantung pada sosialisasi kode etik pengunjung yang jelas oleh pengelola lokal, yang menjembatani kesenjangan antara niat baik wisatawan dan praktik yang benar.

Table 2 menyajikan perbandingan model wisata satwa untuk memandu wisatawan dalam membuat keputusan etis.

Table 2: Perbandingan Model Wisata Satwa: Eksploitatif vs. Etis

Aspek Wisata Satwa Eksploitatif (Un-ethical) Wisata Satwa Etis (Ethical Wildlife Tourism)
Kesejahteraan Satwa Rendah; Cedera fisik/trauma psikologis; Metode pelatihan paksa (Phajaan). Tinggi; Observasi di habitat alami; Kesejahteraan diprioritaskan.
Fungsi Edukasi Manipulatif; Dalih pendidikan untuk kepentingan bisnis murni; Fokus pada pertunjukan buatan. Otentik; Fokus pada interpretasi perilaku alami, peningkatan kapasitas konservasi.
Dampak Ekonomi Lokal Terkadang memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi menimbulkan pro dan kontra karena “menyakiti” hewan. Positif; Peningkatan dukungan konservasi di kalangan masyarakat lokal dan manfaat konservasi yang melebihi dampak negatif.
Risiko Zoonosis Tinggi; Kontak dekat dan interaksi meningkatkan risiko penularan penyakit. Minimal; Protokol jarak aman membatasi kontak dan mengaplikasikan prinsip One Health.

Konservasi Berbasis Komunitas (CBC): Model Kunci untuk Konservasi Satwa Liar

Konsep dan Filosofi CBC

Konservasi Berbasis Komunitas (Community-Based Conservation – CBC) telah menjadi salah satu strategi konservasi yang dominan secara global. Prinsip intinya adalah mengalihkan manajemen dan hak pengguna sumber daya alam dari badan pemerintah pusat kepada komunitas lokal yang paling bergantung pada sumber daya tersebut.

Model ini terbukti efektif. Studi menunjukkan bahwa ekowisata berbasis komunitas secara umum memberikan manfaat konservasi yang melebihi dampak negatifnya, seperti peningkatan kelangsungan hidup spesies yang sangat terancam. Selain itu, ia secara signifikan meningkatkan dukungan konservasi di kalangan masyarakat lokal. Melalui pariwisata, masyarakat setempat menyadari nilai komersial terhadap warisan alam dan budayanya, yang secara intrinsik mendorong mereka untuk mengelola dan melestarikan lingkungan tersebut.

Studi Kasus Global dan Regional Keberhasilan CBC

Dampak ekologis positif dari manajemen konservasi berbasis komunitas telah didokumentasikan. Di Tanzania, Afrika, studi menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang dikelola komunitas terbukti krusial dalam menyelamatkan spesies yang terancam punah, seperti jerapah, melengkapi peran taman nasional formal. Ini menunjukkan bahwa CBC adalah elemen penting dalam jaringan perlindungan satwa liar yang lebih luas. Di Indonesia, organisasi seperti WWF juga menunjukkan peran positifnya dalam mengembangkan ekowisata dan pendidikan lingkungan untuk perlindungan keanekaragaman hayati, seperti di Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau.

Namun, implementasi CBC di Indonesia tidak luput dari tantangan. Kasus di Kawasan Hutan Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, mengilustrasikan hambatan serius, termasuk kurangnya koordinasi antara lembaga pemerintah (Dinas Kehutanan dan UPTD), pelanggaran batas wilayah oleh perusahaan pertambangan, dan pembangunan infrastruktur komersial yang merusak, seperti pembangunan jalan tol di area hutan lindung. Hambatan ini memperjelas bahwa keberhasilan CBC tidak hanya bergantung pada kapasitas masyarakat lokal tetapi juga pada dukungan tata kelola eksternal yang kuat, termasuk kerangka hukum, koordinasi yang efektif, dan penegakan hukum untuk melindungi kawasan konservasi dari ancaman industri ekstraktif. Tata kelola yang efektif dalam konteks ini harus berupa manajemen bersama (co-management) yang kolaboratif lintas aktor.

Arsitektur Tata Kelola dan Keuangan CBC: Memastikan Keberlanjutan

Model Tata Kelola Partisipatif (Collaborative Governance)

Keberlanjutan CBC membutuhkan struktur manajemen bersama yang adil dan transparan. Tata kelola sumber daya alam mengacu pada proses, prosedur, dan aktor yang menunjukkan bagaimana sebuah keputusan dibuat dan dilaksanakan, menuntut organisasi lokal dan lingkungan yang mendukung partisipasi yang efektif. Model co-management ini harus melibatkan kemitraan antara lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah (NGO), dan komunitas lokal.

Model tata kelola kolaboratif berbasis kearifan lokal, misalnya dalam praktik Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan tambang dengan masyarakat adat, telah terbukti mampu meningkatkan legitimasi sosial, memperkuat kelembagaan masyarakat, dan meminimalkan konflik. Ini adalah kunci untuk keberlanjutan strategi pembangunan di wilayah konservasi.

Insentif Ekonomi dan Model Keuangan Berbasis Komunitas

Pariwisata yang bertanggung jawab harus dirancang untuk menjamin bahwa manfaat ekonomi mengalir langsung ke komunitas konservasi. Pengelolaan Pariwisata Berbasis Komunitas (Community-Based Tourism – CBT) harus secara eksplisit mendukung mata pencaharian lokal dan mampu menciptakan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.

Perencanaan ekowisata yang berbasis konservasi harus menjadi prioritas, mencakup identifikasi dan perlindungan habitat penting, serta penentuan batasan akses dan pembatasan jumlah pengunjung. Selain itu, model Social Enterprise (Usaha Sosial) memainkan peran penting dalam mengintegrasikan konservasi dengan ekonomi lokal, menawarkan produk lokal (e.g., AKOR) atau solusi berbasis komunitas yang menciptakan nilai ekonomi dan sosial.

Model Koperasi Konservasi (Conservation Cooperative – CC) di Kalimantan Barat: Sebuah Blueprint Integratif

Model Conservation Cooperative (CC), yang dipelopori oleh Yayasan Planet Indonesia di Kalimantan Barat, adalah blueprint yang efektif dalam menghubungkan kesejahteraan sosial-ekonomi dengan konservasi satwa dan adaptasi berbasis ekosistem (Ecosystem-based Adaptation – EbA). Model ini dirancang untuk mengatasi akar penyebab kerentanan dan kemiskinan yang mendorong eksploitasi ekosistem.

Proses pembentukan CC dimulai dengan Mendengarkan Secara Radikal (Radical Listening) untuk memahami kebutuhan, tantangan, dan solusi yang diajukan oleh masyarakat lokal. Pendekatan ini memastikan bahwa inisiatif tersebut benar-benar dipimpin masyarakat (community-led). Setelah kesepakatan, dibuat Persetujuan Konservasi (Conservation Agreement) tingkat desa yang memformalkan kemitraan tersebut.

Model ini beroperasi melalui tiga “Blok Pembangunan” yang terintegrasi:

  1. Program Simpan Pinjam Desa (Village Savings and Loans Program – VSL): VSL memberikan akses kepada anggota CC untuk pinjaman berbeban rendah dan modal yang adil, mengatasi hambatan kurangnya modal keuangan. Secara tata kelola, komite CC mengelola VSL, dan keuntungan yang diakumulasikan menjamin keberlanjutan finansial program. Secara konservasi, pertemuan bulanan VSL berfungsi sebagai platform deliberatif untuk membahas isu-isu manajemen area konservasi. VSL menyediakan insentif jangka pendek (keamanan finansial) yang memfasilitasi minat masyarakat dalam manajemen sumber daya bersama jangka panjang.
  2. Program Keluarga Sehat (Healthy Family Program): Program ini bertujuan meningkatkan akses ke layanan kesehatan dan hak reproduksi. Kesehatan yang lebih baik memungkinkan keterlibatan yang lebih luas dalam program konservasi, karena sulit bagi seseorang untuk terlibat dalam manajemen sumber daya alam jika anggota keluarganya sering sakit. Program kesehatan ini berfungsi sebagai jalur masuk integral untuk membangun kepercayaan dan hubungan positif dengan masyarakat.
  3. Program Literasi (Literacy Program): Menyediakan akses pendidikan dasar, terutama bagi perempuan pedesaan dan pemuda, yang pada gilirannya meningkatkan akses mereka ke angkatan kerja formal. Dalam konservasi, layanan pendidikan ini merupakan insentif kuat untuk partisipasi perempuan dalam skema yang dipimpin masyarakat (pengarusutamaan gender), yang vital untuk mencapai konservasi yang sukses.

Model CC secara eksplisit menunjukkan bahwa Perjalanan Bertanggung Jawab (sebagai insentif ekonomi pariwisata etis) hanya dapat berhasil jika didukung oleh infrastruktur sosial dan keuangan yang stabil. Dengan mengintegrasikan tiga blok ini, tekanan sosial-ekonomi yang sebelumnya mendorong eksploitasi ekosistem telah ditangani, membuat komunitas lebih tertarik pada konservasi.

Table 3: Komponen Kunci Model Konservasi Berbasis Komunitas (CC)

Blok Pembangunan (Contoh Model CC) Tujuan Sosial/Ekonomi Utama Mekanisme Tata Kelola Konservasi Sinergi dan Implikasi Keberlanjutan
Program Simpan Pinjam Desa (VSL) Akses ke modal yang adil, diversifikasi mata pencaharian, mengatasi kemiskinan. Pertemuan VSL berfungsi sebagai forum manajemen sumber daya bersama; Keseimbangan insentif jangka pendek dan jangka panjang. Mengurangi kebutuhan untuk eksploitasi sumber daya alam yang merusak; Membangun kapasitas literasi keuangan.
Program Keluarga Sehat Peningkatan kesehatan publik dan hak reproduksi; Mengatasi kesenjangan layanan sosial. Membangun kepercayaan dengan aktor eksternal (LSM); Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi aktif. Membuka pintu bagi keterlibatan anggota CC yang lebih luas dalam inisiatif pariwisata/konservasi.
Program Literasi Pendidikan dasar, peningkatan penempatan kerja, pengarusutamaan gender. Menyediakan insentif yang kuat untuk partisipasi perempuan; Peningkatan kapasitas lokal untuk pengelolaan teknis. Memastikan pengelolaan ekowisata dan konservasi dilakukan oleh SDM lokal yang kompeten.

Kesimpulan

Analisis menunjukkan bahwa perlindungan satwa liar dan perjalanan yang bertanggung jawab adalah dua sisi mata uang yang harus diintegrasikan secara etis dan struktural. Transisi ini menuntut penghentian total praktik eksploitatif (seperti menunggang gajah dan pertunjukan lumba-lumba) yang didorong oleh kepentingan bisnis murni. Prinsip etika harus berbasis pada penolakan terhadap penderitaan satwa  dan mitigasi risiko kesehatan publik (One Health). Keberhasilan jangka panjang bergantung pada pengalihan permintaan wisatawan ke model Konservasi Berbasis Komunitas (CBC) yang secara ekologis positif  dan didukung oleh arsitektur tata kelola dan keuangan yang inklusif, seperti model Conservation Cooperative.

Rekomendasi Kebijakan Strategis

Berdasarkan temuan di atas, laporan ini merekomendasikan tiga pilar kebijakan strategis:

Rekomendasi A: Moratorium dan Penegakan Hukum Terhadap Eksploitasi Satwa

  1. Pemerintah pusat dan daerah harus segera memberlakukan moratorium total terhadap semua bentuk interaksi fisik dengan satwa liar yang terbukti merugikan kesejahteraan hewan, termasuk menunggangi, petting, dan pertunjukan satwa sirkus.
  2. Perlu dilakukan peninjauan ulang dan pencabutan izin bagi lembaga konservasi yang terbukti menyalahgunakan statusnya sebagai dalih pendidikan untuk kepentingan bisnis murni, sejalan dengan desakan organisasi non-pemerintah.

Rekomendasi B: Integrasi Prinsip CBC dan Tata Kelola Inklusif

  1. Pemerintah dan lembaga keuangan harus mengarahkan investasi pariwisata ke destinasi ekowisata yang terbukti secara empiris meningkatkan kapasitas konservasi dan dukungan di kalangan komunitas lokal.
  2. Wajib mengadopsi dan mendukung model tata kelola terpadu, seperti model Conservation Cooperative, yang secara eksplisit menghubungkan insentif sosial-ekonomi (modal, kesehatan, pendidikan) dengan hasil konservasi sebagai prasyarat untuk keberlanjutan CBC.
  3. Memperkuat koordinasi lintas sektor (misalnya antara Kementerian Pariwisata, Kehutanan, dan Industri) untuk menjamin perlindungan kawasan CBC dari ancaman luar, seperti praktik pertambangan ilegal atau pembangunan infrastruktur komersial yang merusak.

Rekomendasi C: Standarisasi dan Edukasi Wisatawan

  1. Semua operator tur dan destinasi konservasi harus diwajibkan untuk menerapkan dan menyosialisasikan kode etik pengunjung yang ketat. Pedoman ini harus mencakup batasan jarak aman, larangan memberi makan, dan tips perilaku yang sesuai, yang tujuannya adalah membatasi kontak untuk memitigasi risiko zoonosis.
  2. Mempromosikan skema akreditasi etis yang diakui secara internasional (seperti Whale Heritage Sites) untuk memandu konsumen dan operator menuju pilihan wisata satwa liar yang benar-benar bertanggung jawab.

Arah Penelitian Masa Depan

  1. Melakukan penilaian dampak ekonomi jangka panjang dari transisi dari wisata satwa eksploitatif ke model observasi non-konsumtif terhadap keberlanjutan mata pencaharian komunitas lokal.
  2. Studi mendalam diperlukan mengenai efektivitas model Collaborative Governance dalam mengatasi konflik kepentingan yang melibatkan pariwisata dan industri ekstraktif (misalnya, analisis pemangku kepentingan di kawasan konservasi yang rentan terhadap pelanggaran batas industri).
  3. Perluasan penelitian mengenai risiko zoonosis spesifik yang didorong oleh kegiatan ekowisata di Indonesia dan pengembangan protokol mitigasi One Health yang ketat dan terstandarisasi untuk kawasan konservasi.