Gastronomi Lintas Benua: Analisis Komparatif Valorasi Kuliner Sebagai Ekspresi Seni Dan Strategi Diplomasi Budaya Global
Kuliner Sebagai Arena Pertarungan Nilai Global
Kontekstualisasi dan Definisi Pergeseran Paradigma Kuliner
Dalam dua dekade terakhir, kuliner telah bertransformasi dari sekadar kebutuhan fisiologis menjadi arena yang kompleks untuk ekspresi seni, narasi budaya, dan kekuatan strategis di panggung internasional. Pergeseran paradigma ini membawa makanan melampaui fungsi utamanya sebagai kebutuhan fisik, mengangkatnya menjadi disiplin ilmu, pernyataan estetika, dan cerminan narasi sejarah yang mendalam—sebuah konsep yang dipayungi oleh Gastronomi.
Gastronomi tidak hanya berfokus pada produk akhir yang dikonsumsi, tetapi juga studi dan apresiasi mendalam terhadap semua makanan dan minuman, termasuk sejarah, filosofi setiap tahapan proses memasak, serta budaya yang melatarinya. Perbedaan esensial terlihat jelas antara Culinary Tourism—yang semata-mata merupakan kegiatan pariwisata untuk mengunjungi restoran dan mencicipi makanan—dan Gastronomy Tourism yang memerlukan pengalaman lebih dalam, seperti mengulik sejarah, budaya, proses, dan filosofi di balik makanan di destinasi tersebut. Dengan demikian, gastronomi berfungsi sebagai lensa untuk memahami manusia melalui cita rasa.
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana masakan tradisional diangkat menjadi seni bernilai tinggi di panggung global melalui dua mekanisme valorasi utama yang kontras: standardisasi top-down yang diwakili oleh Michelin Guide, dan konservasi bottom-up yang digerakkan oleh Slow Food Movement. Analisis ini akan membandingkan bagaimana Michelin menyajikan kuliner sebagai seni performa (berbasis teknik dan kreativitas), dan bagaimana Slow Food menyajikan kuliner sebagai seni konservasi (berbasis warisan, etika, dan lingkungan).
Definisi Filosofis: Gastronomi sebagai Seni dan Ilmu
Gastronomi, yang berasal dari akar kata Yunani γαστρονομία (aturan tentang perut), kini melampaui pengertian harfiah tersebut. Gastronomi adalah perpaduan antara seni dan ilmu, merangkum sejarah makanan, proses memasak ilmiah, estetika penyajian, dan hubungan mendalam antara makanan dengan nilai-nilai budaya dan spiritual manusia. Dalam konteks pariwisata dan perhotelan, gastronomi adalah jiwa dari destinasi dan wajah pelayanan, menjadikannya kunci untuk menciptakan pengalaman yang dikenang oleh tamu. Hal ini sejalan dengan adagium bahwa makan adalah suatu keharusan, tetapi makan dengan cerdas adalah sebuah seni (“To eat is a necessity, but to eat intelligently is an art.”).
Gastronomi Sebagai Disiplin Ilmu, Estetika, Dan Identitas Budaya
Pilar-Pilar Gastronomi: Estetika, Etika, dan Filosofi
Pengangkatan kuliner tradisional menjadi seni bernilai tinggi di panggung global sangat bergantung pada kedalaman narasi dan filosofi yang menyertainya. Lebih dari sekadar cita rasa, gastronomi adalah gabungan ilmu, estetika, sejarah, dan identitas budaya yang secara kolektif membentuk pengalaman pariwisata berkelas dunia.
Dalam praktik seni kuliner, estetika piring yang memesona harus diimbangi dengan narasi sejarah yang kuat. Tindakan penyajian berubah dari sekadar dimasak atau dikonsumsi, menjadi dipersembahkan dan dikenang, sebuah inti dari pelayanan sejati. Hubungan antara budaya dan lingkungan juga tak terpisahkan, karena gastronomi dianggap sebagai produk budidaya pada kegiatan pertanian. Ini berarti warna, aroma, dan rasa suatu makanan dapat ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan, mencerminkan kaitan yang erat antara ekologi dan budaya. Masyarakat memproduksi makanan yang unik karena terinspirasi oleh sumber daya alam yang tersedia di lingkungan mereka.
Di beberapa budaya, filosofi di balik makanan telah lama menjadi landasan spiritual. Sebagai contoh, budaya Jawa mengajarkan pepatah mangan ora mung ngisi weteng, nanging ngisi budi lan rasa (makan bukan hanya mengisi perut, tetapi mengisi budi dan rasa). Refleksi ini menunjukkan bahwa makanan tradisional diyakini sebagai laku spiritual. Landasan filosofis yang mendalam ini sangat penting dalam proses valorasi global, karena kuliner yang diakui sebagai seni tinggi harus memiliki jiwa dari destinasi dan ruh dari setiap pengalaman , menunjukkan bahwa nilai seni masakan diukur dari keberhasilan narasi yang terjalin.
Ketika gastronomi dianggap sebagai ekspresi total yang ditunjukkan dalam berbagai sajian, cita rasa, dan aroma masyarakat , ini menjadikan gastronomi sebagai praksis non-verbal dari politik identitas. Setiap sajian tradisional yang dimuliakan di panggung global secara efektif berfungsi sebagai alat narasi non-verbal yang kuat yang mengkomunikasikan sejarah dan budaya tanpa kata-kata.
Peningkatan status chef juga menjadi vital dalam proses valorasi ini. Profesi chef kontemporer kini diakui sebagai pencipta karya seni yang lahir dari paduan kreativitas, inovasi, dan keahlian. Chef modern berfungsi sebagai kurator budaya, yang tidak hanya berinovasi tetapi juga mempromosikan kembali narasi tradisi, seperti upaya celebrity chef William Wongso dalam mempromosikan resep Nusantara melalui berbagai acara demo memasak.
Kuliner Sebagai Instrumen Strategis: Diplomasi Budaya (Gastrodiplomasi)
Kerangka Teoritis: Soft Power dan Nation Branding
Gastronomi telah diakui sebagai instrumen strategis yang efektif dalam diplomasi publik, dikenal sebagai gastrodiplomasi. Gastrodiplomasi adalah diplomasi budaya yang menggunakan makanan sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran merek bangsa (nation brand awareness), memfasilitasi pemahaman, dan meningkatkan interaksi serta kerja sama internasional.
Para peneliti gastrodiplomasi menyadari bahwa masakan dan makanan secara unik terkait dengan budaya, sejarah, dan geografi suatu negara. Penggunaan makanan dalam praktik diplomasi dianggap lebih mudah untuk mendekati seluruh lapisan masyarakat asing, menawarkan cara untuk berinteraksi dengan budaya lain tanpa perlu melakukan perjalanan fisik.
Studi Kasus Global dalam Gastrodiplomasi
Keberhasilan gastrodiplomasi di tingkat global menunjukkan bahwa kuliner tidak hanya berfungsi sebagai alat promosi, tetapi juga sebagai alat manajemen krisis reputasi dan penegasan identitas.
Thailand: Global Thai Campaign (Pionir)
Thailand adalah negara pertama yang secara formal menerapkan gastrodiplomasi melalui program Global Thai Campaign yang diluncurkan pada tahun 2002. Tujuan utamanya adalah peningkatan citra bangsa dan pemulihan ekonomi. Secara khusus, kampanye ini termotivasi untuk mengubah citra negatif Thailand yang identik dengan promosi pekerja seks sebagai pariwisata, dengan cara meningkatkan jumlah restoran Thailand di seluruh dunia.
Program ini berhasil mendukung sektor pariwisata secara signifikan, menjadikan kuliner sebagai salah satu faktor pendorong utama kunjungan wisatawan asing. Survei menunjukkan bahwa aktivitas kuliner adalah kegiatan yang paling sering dilakukan turis asing, dengan street food menjadi tempat yang sering dikunjungi. Keberhasilan Global Thai Campaign menunjukkan bahwa diplomasi budaya dapat langsung diterjemahkan menjadi metrik ekonomi yang terukur, mengkonfirmasi korelasi kuat antara peningkatan citra kuliner (seni) dan keuntungan finansial.
Jepang: Pemulihan Citra dan Pemanfaatan UNESCO
Gastrodiplomasi Jepang mencontohkan fungsinya sebagai alat manajemen krisis reputasi. Setelah kecelakaan PLTN Fukushima pada Maret 2011, muncul kekhawatiran dan spekulasi internasional mengenai kontaminasi radioaktif pada bahan makanan produksi Jepang. Pemerintah Jepang harus memulihkan citra makanannya, yang sebelumnya terkenal atas kesehatan dan kualitasnya.
Jepang menggunakan kerangka teori gastrodiplomasi, diplomasi publik, dan soft power untuk mengatasi ketakutan ini. Strategi yang menonjol adalah komunikasi strategis dan pembangunan hubungan. Sebagai pesan simbolis untuk menekankan bahwa makanan Jepang aman, berkualitas, dan sehat pasca-Fukushima, pemerintah mendaftarkan washoku (masakan tradisional Jepang) ke dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Pengakuan UNESCO berfungsi sebagai validasi budaya tingkat tertinggi, memberikan bobot narasi yang lebih kuat daripada sekadar kampanye pemasaran komersial.
Malaysia: Malaysia Kitchen for the World
Malaysia juga mengikuti jejak Thailand dengan program Malaysia Kitchen for the World. Program diplomasi publik ini bertujuan untuk menginformasikan dan mengedukasi masyarakat internasional tentang kuliner Malaysia. Tantangan utama yang dihadapi Malaysia adalah perlunya tindakan agresif untuk mempertahankan keunikan masakan mereka, mengingat adanya kesamaan dengan makanan khas negara-negara tetangga seperti Indonesia, Singapura, dan Thailand.
Tabel Perbandingan Strategi Gastrodiplomasi di Asia
| Negara | Program Utama | Tujuan Strategis | Mekanisme Valorasi |
| Thailand | Global Thai Campaign (2002) | Pemulihan Citra (menanggapi stereotip negatif), Peningkatan Ekonomi | Standardisasi Restoran Global, Promosi 5F’s (Soft Power) |
| Jepang | Washoku Loved Around The World | Pemulihan Keamanan Pangan Pasca-Fukushima, Peningkatan Citra Kualitas | Pendaftaran UNESCO Warisan Budaya Takbenda, Komunikasi Strategis (G2P) |
| Malaysia | Malaysia Kitchen for the World | Edukasi Internasional, Memperjelas Identitas Kuliner | Promosi Agresif di Negara Target, Penguatan Keunikan Nilai Masakan |
Mekanisme Valorasi Elit: Pengaruh Michelin Guide
Standardisasi Seni Kuliner di Panggung Global
Michelin Guide adalah sistem standardisasi top-down yang paling berpengaruh dalam mengangkat kuliner ke tingkat seni elit. Michelin menyampaikan ulasan restoran melalui sistem simbol yang ketat, di mana bintang diberikan murni berdasarkan kualitas makanan. Kriteria ini secara eksplisit menekankan keterampilan teknis dan ekspresi kreatif, yang secara efektif menempatkan memasak di tingkat seni performa.
Lima kriteria utama yang digunakan inspektur anonim Michelin untuk menganugerahkan bintang adalah:
- Kualitas bahan baku yang digunakan (kesegaran dan asal-usul).
- Penguasaan rasa dan teknik memasak.
- Kepribadian chef dalam masakan (ekspresi unik dan kreatif).
- Harmoni rasa.
- Konsistensi antara kunjungan.
Penting untuk dicatat bahwa dekorasi interior, penataan meja, atau kualitas layanan tidak memengaruhi pemberian bintang. Fokus tunggal pada makanan dan kepribadian chef menegaskan bahwa penilaian ini adalah apresiasi terhadap karya seni yang dapat diciptakan di dalam dapur. Selain Bintang, Michelin juga memberikan penghargaan seperti Bib Gourmand (yang mengakui makanan berkualitas baik dengan harga moderat), menunjukkan perluasan apresiasi di luar lingkup fine dining tradisional.
Elevasi Makanan Tradisional: Street Food dan Gentrifikasi
Michelin Guide telah berevolusi, mendekonstruksi stereotip bahwa seni kuliner hanya ada di restoran mewah. Pengakuan street food dalam Guide membuktikan bahwa keunggulan kuliner (seni) tidak terikat pada suasana mewah. Pengakuan ini adalah tentang mengakui seni kuliner, otentisitas, dan aksesibilitas, tanpa memandang lokasi.
Studi kasus ikonik termasuk Hawker Chan di Singapura, yang menjadi vendor street food pertama yang mendapat bintang Michelin untuk hidangan nasi ayam kecapnya yang terjangkau. Demikian pula, Raan Jay Fai di Bangkok, Thailand, yang terkenal dengan masakan shophouse tradisionalnya, juga dianugerahi satu bintang Michelin. Pengakuan ini menunjukkan bahwa street food adalah jiwa kota yang menawarkan cita rasa otentik yang mencerminkan tradisi dan budaya lokal.
Kritik Terhadap Standardisasi dan Dampak Sosial Ekonomi
Meskipun Michelin adalah panduan yang paling dihormati, sistem ini tidak luput dari kritik, terutama terkait dampaknya di Asia Tenggara. Terdapat pendapat bahwa akurasi Guide paling tepat di Eropa (khususnya Prancis) dan Jepang, tetapi akurasinya menurun di wilayah lain. Hal ini menimbulkan risiko bahwa standardisasi global Michelin secara implisit memaksakan standar estetika dan teknis yang didominasi Euro-sentris atau Asia Timur, yang dapat mengaburkan atau salah menilai otentisitas masakan regional yang berbeda.
Di tingkat sosial ekonomi, pengakuan Michelin terhadap street food dapat memicu gentrifikasi, yaitu peningkatan harga yang berpotensi mengubah lanskap sosial dan aksesibilitas makanan lokal yang tadinya terjangkau.
Terdapat juga ketegangan mengenai batas-batas seni kuliner. Restoran fine dining berbintang tiga, seperti Alinea di Chicago, yang dikenal dengan teknik molecular gastronomy dan kuliner avant-garde, pernah menuai kritik tajam setelah chef menyajikan makanan (seperti hidangan penutup) langsung di atas taplak meja tanpa piring. Walaupun dimaksudkan sebagai pengalaman artistik yang imersif, publik menilai penyajian tersebut “konyol” dan “menjijikkan,” menunjukkan bahwa ketika seni melayani estetika yang didorong oleh chef (kepribadian chef), ia dapat berbenturan dengan etika budaya universal tentang makanan dan etika pelayanan. Hal ini menguji batasan di mana seni kuliner dapat berinovasi tanpa kehilangan konteks sosial.
Terakhir, kasus Indonesia yang, meskipun memiliki warisan kuliner yang tak tertandingi (Pantheon of Flavors) dan keragaman regional yang kaya, namun masih absen dari Michelin Guide, menyoroti adanya paradoks. Hal ini menunjukkan bahwa standardisasi Michelin adalah sistem validasi elit yang berakar pada kapital pariwisata berkelas dunia, dan bukan hanya murni penilaian seni kuliner. Valorasi elit membutuhkan upaya proaktif, kohesi infrastruktur, dan ambisi pemerintah yang terpadu, seperti yang ditunjukkan oleh Filipina yang diprediksi akan segera debut.
Mekanisme Valorasi Etika: Slow Food Movement
Filosofi Gerakan Lambat (Slow Food)
Berlawanan dengan sistem standardisasi elit, Slow Food Movement menawarkan definisi seni yang berakar pada etika, warisan, dan konservasi. Slow Food muncul sebagai reaksi filosofis terhadap fast food, industrialisasi, hilangnya akses terhadap bahan segar, dan laju hidup modern yang menyebabkan peningkatan konsumsi makanan cepat saji.
Prinsip inti dari Slow Food adalah menghargai pengalaman makan yang lebih lambat, yang memungkinkan penikmat untuk mengalami lebih banyak rasa, tekstur, dan aroma alami dari makanan. Berbeda dengan cita rasa cepat dan terkonsentrasi pada fast food, Slow Food menggunakan bahan baku terbaik dan produk yang penuh dengan rasa alami. Tujuannya adalah menciptakan hubungan yang lebih erat dengan makanan, serta memperkuat ikatan dengan keluarga dan teman melalui tindakan berbagi.
The Ark of Taste (Bahtera Rasa): Seni Konservasi Pangan
Nilai seni tertinggi bagi Slow Food Movement diwujudkan dalam program The Ark of Taste. Program ini berfungsi sebagai katalog internasional yang mendokumentasikan produk pangan warisan yang terancam punah di seluruh dunia, termasuk varietas sayuran, buah, dan ras hewan yang unik dalam cita rasa dan merupakan bagian dari ecoregion tertentu.
Ancaman terhadap warisan pangan ini sangat besar, didorong oleh industrialisasi, erosi genetik, perubahan pola konsumsi, perubahan iklim, dan konflik. Dengan kata lain, Slow Food mendefinisikan “seni” kuliner sebagai pelestarian keanekaragaman hayati dan warisan budaya (biocultural heritage). Oleh karena itu, nilai seni masakan tidak terletak pada piring akhir, tetapi pada integritas rantai makanan dan ekosistem tempat bahan baku itu berasal.
Setiap entri dalam Ark of Taste adalah narasi tentang ekosistem, budaya, dan komunitas yang telah memelihara varietas tersebut selama beberapa generasi. Daripada standardisasi produk terbaik, Ark of Taste secara aktif memerangi keseragaman genetik, menyoroti keunikan yang terancam punah, dan menentang tren komersial yang mendorong makanan massal. Ini adalah sistem kontra-hegemonik terhadap standardisasi.
Program ini adalah call to action (ajakan bertindak) bagi komunitas. Ark of Taste mendorong semua pihak—petani, juru masak, dan konsumen—untuk secara aktif menanam, memasak, membeli, dan mendukung produk-produk yang terancam punah tersebut. Melalui tindakan ini, Slow Food menciptakan diplomasi budaya non-negara yang sangat terdesentralisasi, di mana tindakan makan sehari-hari menjadi pernyataan aktivisme dan etika, membantu menjaga keragaman planet, baik dalam aspek alam maupun budaya.
Analisis Komparatif Sistem Valorasi Dan Dilema Keberlanjutan
Titik Temu dan Kontradiksi Utama
Michelin Guide dan Slow Food Movement mewakili dua jalur fundamental yang berbeda dalam menilai dan memuliakan kuliner. Michelin (validasi berbasis estetika dan pasar) berorientasi top-down dan menekankan kualitas teknik chef, yang secara tidak langsung mendorong inovasi. Sebaliknya, Slow Food (validasi berbasis etika dan konservasi) berorientasi bottom-up, menekankan integritas rantai pasokan, warisan biokultural, dan resistensi terhadap homogenisasi. Meskipun tujuannya berbeda, keduanya berkontribusi pada peningkatan nilai kuliner global—Michelin meningkatkan nilai komersial (pariwisata elit), sementara Slow Food meningkatkan nilai kultural dan ekologis (kedaulatan pangan lokal).
Perbandingan Kriteria Valorasi: Michelin Guide vs. Slow Food Movement
| Dimensi Kunci | Michelin Guide | Slow Food Movement (Ark of Taste) |
| Fokus Valorasi | Kualitas Makanan dan Kreativitas Teknik Chef | Pelestarian Keanekaragaman Hayati Pertanian |
| Mekanisme Pengakuan | Penilaian Anonim (Bintang, Bib Gourmand) | Dokumentasi Katalog Terancam Punah, Aksi Komunitas |
| Orientasi Ekonomi | Peningkatan Harga, Fine Dining, Pariwisata Elit (Peningkatan Value Komersial) | Dukungan Produsen Skala Kecil, Kedaulatan Pangan Lokal (Peningkatan Value Kultural) |
| Sifat Gerakan | Top-Down (Standardisasi Industri Global) | Bottom-Up (Aktivisme dan Konservasi Akar Rumput) |
Keberlanjutan sebagai Kriteria Baru: Green Star vs. Ark of Taste
Pengenalan kriteria keberlanjutan menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam industri elit, memaksa sistem standardisasi seperti Michelin untuk memasukkan pertimbangan etika yang selama ini diadvokasi oleh Slow Food.
MICHELIN Green Star adalah penghargaan tahunan yang diluncurkan pada tahun 2020 untuk menyoroti restoran yang berada di garis depan praktik berkelanjutan, termasuk standar etika dan lingkungan. Kriterianya mencakup asal usul bahan, penggunaan produk musiman, jejak lingkungan, dan sistem pengelolaan limbah makanan. Penghargaan ini terbuka untuk semua restoran di Guide, termasuk yang berbintang dan Bib Gourmand.
Pengenalan Green Star adalah pengakuan implisit bahwa keunggulan kuliner modern tidak dapat lagi diukur hanya dengan rasa dan teknik; etika dan lingkungan harus dipertimbangkan. Namun, Green Star menuai kritik signifikan. Sistem ini dikritik karena kurangnya formula spesifik atau verifikasi mendalam, sering dianggap menggunakan kata-kata kunci yang samar (buzzwords), seperti hanya mengatakan “memelihara hubungan erat dengan penyedia”.
Terdapat sinisme bahwa Green Star mungkin hanyalah upaya simbolis (greenwashing) untuk membuat konsumen kaya merasa nyaman dengan dampak lingkungan yang disebabkan oleh pariwisata kuliner elit global (misalnya, penerbangan lintas benua untuk makan malam). Bahkan, standar verifikasi pihak ketiga seperti Food Made Good (The Sustainable Restaurant Association) dinilai lebih holistik dan relevan karena mereka mengevaluasi perilaku, mengukur tindakan praktis di tiga pilar (Sourcing, Society, Environment), dan memberikan peta jalan perbaikan yang kontras dengan sifat penghargaan Green Star.
Dalam perbandingan etika, Green Star mengakui praktik keberlanjutan yang baik di tingkat operasional restoran (Mikro), sementara Ark of Taste berfokus pada ancaman sistemik dan pelestarian rantai pasokan dan biokultural (Makro). Kontras ini menunjukkan adanya kesulitan dalam mengintegrasikan kriteria etis yang kualitatif dan terdesentralisasi ke dalam sistem penilaian yang pada dasarnya teknokratis dan terpusat seperti Michelin. Meskipun demikian, kedua sistem ini menegaskan bahwa masa depan seni kuliner global akan diukur tidak hanya dari penguasaan teknik, tetapi juga dari tanggung jawab etis dan ekologisnya.
KESIMPULAN
Analisis ini menyimpulkan bahwa makanan tradisional diangkat menjadi seni bernilai tinggi melalui dua kekuatan validasi yang saling melengkapi dan terkadang berkonflik. Pertama, standardisasi teknis dan estetika (Michelin Guide) yang menyediakan platform pengakuan elit yang didorong oleh chef dan inovasi. Kedua, konservasi etis dan naratif (Slow Food Movement) yang menyediakan validasi budaya dan ekologi, berfokus pada pelestarian warisan pangan yang terancam.
Ekspresi seni kuliner bernilai tinggi tercipta pada titik temu antara penguasaan teknik (yang diprioritaskan Michelin), kedalaman filosofis (inti dari Gastronomi), dan kesadaran etis (yang ditekankan oleh Slow Food dan Ark of Taste). Negara-negara yang berhasil dalam gastrodiplomasi, seperti Jepang, mampu menggabungkan kualitas teknis (masakan sehat, berkualitas) dengan validasi naratif tingkat tinggi (pengakuan UNESCO).
Masa Depan Valorasi Kuliner: Integrasi Strategis
Masa depan pengakuan kuliner global akan bergantung pada kemampuan suatu negara untuk menyelaraskan kualitas seni yang diukur oleh sistem pasar (Michelin) dengan nilai-nilai keberlanjutan dan warisan yang diadvokasi oleh gerakan etis (Slow Food). Dualitas antara dorongan Michelin menuju inovasi dan mahal, dan dorongan Slow Food untuk mempertahankan akar yang terjangkau dan berkelanjutan, merupakan tantangan struktural yang harus dikelola.
Rekomendasi Strategis untuk Memperkuat Pengakuan Global
Bagi negara-negara yang memiliki warisan kuliner yang kuat namun menghadapi kelambatan dalam pengakuan global (seperti yang diamati dalam kasus Indonesia), beberapa langkah strategis direkomendasikan untuk memperkuat posisi kuliner sebagai seni dan alat diplomasi:
- Penguatan Infrastruktur Institusional: Diperlukan langkah-langkah proaktif untuk mengatasi inersia sistemik dengan membentuk badan publik-swasta yang berfokus pada standardisasi kualitas, konsistensi bahan, dan kebersihan operasional. Ini adalah prasyarat dasar yang diperlukan agar masakan lokal dapat diukur dan divalidasi oleh sistem elit global seperti Michelin.
- Pengelolaan Narasi Biokultural: Investasi strategis harus diarahkan pada penelitian gastronomi untuk memperkaya narasi masakan tradisional, menjelaskan sejarah dan filosofi di baliknya. Narasi yang kuat ini harus didukung dengan tindakan konservasi konkret, seperti menominasikan produk pangan lokal yang terancam punah ke dalam Ark of Taste atau mengupayakan pengakuan UNESCO, meniru strategi Jepang.
- Gastrodiplomasi yang Bertujuan Ganda: Program diplomasi publik harus dirancang untuk tidak hanya berfokus pada promosi Soft Power (misalnya, peningkatan restoran di luar negeri) tetapi juga pada manajemen citra (seperti yang dilakukan Jepang pasca-Fukushima) dan penegasan identitas untuk mengatasi tantangan kesamaan kuliner regional (seperti yang dihadapi Malaysia). Diplomasi harus menargetkan pemahaman G2P (Government to People) melalui komunikasi strategis untuk membangun citra masakan yang kuat, otentik, dan etis.


