Mengenal Tradisi Tabuik Pariaman, Sumatera Barat
Tulisan ini menyajikan tinjauan mendalam terhadap tradisi Tabuik, sebuah manifestasi lokal dari peringatan Asyura yang berpusat di Kota Pariaman, Sumatera Barat. Tradisi tahunan ini, yang dilakukan untuk mengenang kesyahidan Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, di Karbala, merupakan salah satu artefak budaya paling kompleks dan dinamis di Indonesia. Analisis menunjukkan bahwa Tabuik bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi sebuah hibrida budaya yang kaya, berakar pada sejarah migrasi komunitas luar (Cipei/Sepoy) dan mengalami adaptasi mendalam dalam matriks sosio-kultural Minangkabau yang unik.
Tulisan ini mengupas tiga lapisan kompleksitas Tabuik: asal usul historisnya yang kontroversial di tengah mayoritas Sunni Minangkabau; anatomi ritual sembilan fasenya yang membentuk sebuah dramaturgi kolektif; dan pergeseran fungsinya di era kontemporer, dari upacara sakral menjadi aset pariwisata yang mampu menarik ratusan ribu pengunjung, sebuah transformasi yang menciptakan paradoks antara pelestarian budaya dan komodifikasi nilai-nilai spiritual. Penemuan kunci menunjukkan bahwa dualisme kubu (Tabuik Pasa dan Subarang) dan irama musik tradisional (Gandang Tasa) berperan sebagai mekanisme vital yang mendorong vitalitas komunal, bahkan melalui persaingan yang terkadang berujung pada konflik fisik.
Konteks Geografis-Budaya dan Matriks Matrilineal Minangkabau
Definisi Tabuik dan Simbolisme Karbala
Tabuik adalah tradisi tahunan masyarakat Pariaman yang dilaksanakan setiap bulan Muharram untuk memperingati tragedi Karbala, di mana Husain bin Ali syahid pada tanggal 10 Muharram. Manifestasi fisik Tabuik adalah sebuah representasi arsitektural dari makhluk legenda Buraq, yang digambarkan sebagai sosok bersayap dengan kepala manusia, yang diyakini membawa peti jenazah Husain bin Ali menuju surga setelah kesyahidannya. Ritual ini, yang juga dikenal sebagai Tabot di Bengkulu , secara historis merupakan manifestasi lokal dari tradisi Mourning of Muharram dalam Islam Syi’ah Dua Belas Imam (Twelver Shi’a Islam). Simbolisme Tabuik melampaui ratapan duka; ia menegaskan keagungan Allah SWT dalam memuliakan hamba-Nya yang syahid di jalan kebenaran.
Minangkabau: Matriks Kultural dan Tensi Gender
Tradisi Tabuik berkembang di Pariaman, bagian dari wilayah kebudayaan Minangkabau. Minangkabau terkenal secara global sebagai masyarakat matrilineal terbesar di dunia. Sistem kekerabatan ini menentukan bahwa garis keturunan dan pewarisan harta pusaka tinggi (seperti Rumah Gadang) ditelusuri melalui garis ibu atau perempuan saja. Posisi perempuan sangat penting; mereka dijuluki Limpapeh rumah nan gadang, yang berarti pewaris dan penghuni tetap rumah gadang dalam kaumnya.
Meskipun sistem pewarisan dan garis keturunan dipegang oleh perempuan, otoritas struktural dan kepemimpinan adat dipegang oleh laki-laki, terutama Mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu) dan Niniak Mamak (pemimpin kaum). Mamak memiliki peran ganda: sebagai kepala keluarga (tungganai) dan pemimpin dalam kaum keluarga besarnya, yang bertanggung jawab melindungi keluarga dan menjadi mediator konflik.
Terdapat ketegangan antropologis yang melekat pada keberadaan Tabuik di tengah budaya matrilineal Minangkabau. Ritual Tabuik berakar pada narasi keagamaan yang sangat menekankan martir laki-laki (Husain) dan dipimpin oleh laki-laki (pengarak dan pendukung kubu Tabuik). Dalam struktur Minangkabau di mana peran laki-laki dalam pewarisan harta pusaka tinggi sangat terbatas—hanya sebagai penjaga dan pengembang harta pusaka —tradisi Tabuik secara efektif menyediakan arena yang dilegitimasi secara kultural bagi laki-laki Minangkabau untuk memimpin, menunjukkan kekuatan fisik, dan meraih status sosial, terutama melalui persaingan antar kubu. Ritual ini, yang secara tematis bersifat patrifokal (fokus pada martir laki-laki), secara fungsional menyediakan saluran penting bagi ekspresi identitas dan otoritas laki-laki di dalam masyarakat yang didominasi oleh kekerabatan maternal.
Geografi Pariaman: Dualisme Tabuik Pasa dan Subarang
Perayaan Tabuik di Pariaman dicirikan oleh pembagian komunal yang tegas menjadi dua kubu yang saling bersaing:
- Tabuik Pasa (Pasar): Berpusat di kawasan pasar kota.
- Tabuik Subarang (Seberang): Berpusat di seberang sungai Batang Piaman, misalnya di sekitar Desa Pauh Timur dan Kelurahan Alai Galombang.
Kedua kubu ini menjalankan seluruh rangkaian sembilan tahapan ritual secara terpisah dan independen. Fenomena dualisme ini tidak hanya menciptakan dinamika ritual, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme self-preservation kultural. Persaingan antar kubu memotivasi setiap komunitas untuk menjaga kualitas, kemegahan, dan antusiasme dalam pelaksanaan Tabuik mereka. Meskipun persaingan ini terbukti memicu ketegangan sosial yang terkadang berujung pada konflik fisik, termasuk insiden baku hantam antar kubu setelah prosesi penebangan batang pisang , ketegangan kreatif ini justru menjamin tradisi Tabuik tetap hidup dan menjadi tontonan massal yang spektakuler.
Asal Usul dan Evolusi Historis Tradisi Tabuik
Jejak Sejarah: Tautan Karbala dan Pengaruh Syi’ah
Tradisi Tabuik adalah manifestasi kultural dari peringatan Asyura di kawasan pesisir Sumatera, yang menunjukkan adanya pengaruh Islam Syi’ah dalam sejarah akulturasi Islam di Nusantara.
Secara eksplisit, ritual ini berkisah tentang kematian tragis Husain bin Ali di Karbala. Meskipun mazhab Syafi’i (Sunni) kini dominan di Minangkabau, beberapa penelitian historis menyiratkan adanya pengaruh Syi’ah di masa lampau sebelum dominasi mazhab saat ini. Keterkaitan simbolis peti jenazah, Buraq, dan ratapan (Maatam) secara struktural sangat mirip dengan tradisi Muharram Mourning yang dipraktikkan oleh komunitas Syi’ah di berbagai belahan dunia.
Kedatangan Tradisi: Pengaruh Komunitas Cipei (Sepoy)
Temuan historis menunjukkan bahwa tradisi Tabuik bukanlah tradisi asli Minangkabau, melainkan dibawa oleh komunitas migran.
Asal usul geografis Tabuik dapat ditelusuri dari Bengkulu, di mana ia dikenal sebagai Tabot. Tradisi ini dibawa ke Pariaman oleh komunitas Cipei (Sepoy), yang merupakan tentara muslim dari India yang bekerja untuk Kerajaan Inggris. Setelah penandatanganan Traktat London pada tahun 1824, Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda. Sejumlah komunitas yang terkait dengan Inggris, termasuk orang Cipei, kemudian bermigrasi ke wilayah-wilayah yang dikuasai Inggris atau yang memiliki koneksi maritim, termasuk Pariaman.
Diperkirakan tradisi ini mulai dilaksanakan di Pariaman antara tahun 1826 hingga 1828 Masehi. Mak Sakaradan dan Mak Sakaujana adalah tokoh yang disebut-sebut pertama kali memperkenalkan tradisi ini di dua lokasi yang kemudian menjadi kubu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang.
Pariaman, sebagai kota pesisir, terbukti menjadi locus yang ideal untuk adaptasi warisan migran ini. Wilayah pesisir (Pariaman) secara historis jauh lebih terbuka terhadap pengaruh luar (seperti India, Inggris, dan Belanda) dibandingkan dengan kawasan Darek (pedalaman Minangkabau). Mobilitas sosial dan budaya yang tinggi di wilayah pantai memungkinkan sinkretisme ritual yang berbasis Syi’ah untuk beradaptasi dan diinternalisasi melalui penambahan unsur budaya lokal (seperti musik dan tari Indang), sehingga menghindari penolakan total dari mayoritas Sunni Minangkabau.
Dinamika Dualisme dan Mekanisme Sosial
Pembagian menjadi dua kubu (Pasa dan Subarang) telah menjadi bagian integral dari identitas komunal di Pariaman. Pembagian ini bukan sekadar urusan geografis; ia memicu persaingan komunal yang mendalam.
Dualisme Tabuik berfungsi sebagai mekanisme sosio-politik yang unik. Meskipun persaingan ini terkadang memicu pertikaian yang melibatkan baku hantam , ketegangan ini mendorong mobilisasi sumber daya dan gotong royong di masing-masing pihak. Jika hanya ada satu Tabuik, semangat komunal dan kompetisi untuk mencapai kemegahan ritual mungkin berkurang, yang pada akhirnya dapat mengurangi kualitas perayaan dan daya tarik massalnya. Dengan demikian, adanya dualisme yang kompetitif memastikan vitalitas dan keberlanjutan tradisi ini melalui dialektika antara fragmentasi sosial dan kohesi ritual internal dalam setiap kubu.
Anatomi Ritual: Sembilan Tahap Prosesi Tabuik
Siklus perayaan Tabuik berlangsung selama sepuluh hari pertama bulan Muharram. Struktur ritual ini membentuk sebuah dramaturgi kolektif yang kompleks, berpindah dari tema dekonstruksi dan duka, menuju penyatuan dan apoteosis (pengangkatan menuju kemuliaan).
Sembilan Fase Ritual: Simbolisme dan Pelaksanaan
Berikut adalah analisis mendalam tentang sembilan tahapan utama ritual Tabuik Pariaman:
- Maambiak Tanah (Pengambilan Tanah) – 1 Muharram: Ritual dimulai pada malam 1 Muharram. Kubu Tabuik Subarang mengambil tanah di aliran Sungai Batang Piaman di Jembatan Pauh, sementara Tabuik Pasa mengambil di sungai kecil di Kelurahan Alai Galombang. Tanah diambil oleh individu yang dituakan. Tahap ini melambangkan awal mula penciptaan manusia, serta secara simbolis, kembalinya tubuh Husain ke tanah setelah tragedi Karbala.
- Manabang Batang Pisang (Penebangan Batang Pisang) – 5 Muharram: Pada tahap ini, batang pisang ditebang. Batang pisang digunakan sebagai bahan dasar Tabuik. Tindakan penebangan ini secara metaforis melambangkan pemotongan bagian tubuh manusia, merujuk pada pemenggalan Husain di Karbala.
- Maradai (Pengumpulan Dana) – 6 Muharram: Fase ini berfokus pada pengumpulan dana secara swadaya dari masyarakat. Biaya besar yang dibutuhkan untuk membuat Tabuik ditanggung bersama, memperkuat nilai gotong royong dan ikatan sosial tanpa memandang perbedaan status.
- Turun Panja – 7 Muharram: Dilaksanakan pada siang hari. Ritual ini melibatkan penurunan dan perakitan panja. Panja melambangkan jari-jari tangan Husain yang terpotong dan perlengkapan perang Karbala.
- Maatam (Ratapan) – 7 Muharram: Dilaksanakan pada malam hari. Ini adalah upacara ratapan yang khusyuk untuk mengenang kesyahidan Husain. Ritual ini diiringi oleh musik Gandang Tasa dengan pola irama duka. Maatam berfungsi sebagai ekspresi duka kolektif yang menghubungkan komunitas Pariaman secara emosional dengan peristiwa Karbala.
- Maarak Jari-Jari (Pawai Rangka Tabuik) – 8 Muharram: Rangka Tabuik bagian bawah (jari-jari) diarak keliling kota , disertai dengan iringan musik Gandang Tasa.
- Maarak Saroban (Pawai Sorban Simbolis) – 9 Muharram: Prosesi pawai yang membawa sorban simbolis milik Husain. Sorban ini melambangkan kehormatan atau kepala Husain.
- Tabuik Naiak Pangkek (Penyatuan Menara Buraq) – 10 Muharram Pagi: Puncak konstruksi. Semua bagian Tabuik disatukan menjadi replika Buraq yang utuh. Simbolisme utamanya adalah Buraq yang kini siap membawa martir menuju surga.
- Hoyak Tabuik dan Pelarungan ke Laut (Puncak) – 10 Muharram Sore: Acara puncak terjadi setelah waktu Ashar. Kedua Tabuik (Pasa dan Subarang) diarak keliling kota dan digoyangkan (Hoyak) di tengah ratusan ribu orang. Masing-masing Tabuik dibawa oleh delapan pria. Prosesi diakhiri menjelang senja dengan pelarungan Tabuik ke laut di Pantai Gandoriah. Pelarungan ini melambangkan penghormatan terakhir, pelepasan kesialan, dan kembalinya martir ke Rahmatullah.
Dramaturgi Ritual: Dari Duka Menuju Apoteosis
Urutan sembilan ritual ini secara jelas mengikuti skema naratif yang kuat, yang berfungsi sebagai dramaturgi kematian dan kebangkitan. Tahap awal ritual (Maambiak Tanah hingga Manabang Batang Pisang) fokus pada simbol-simbol dekonstruksi dan kematian. Kemudian, melalui ratapan (Maatam) dan arak-arakan (Maarak Jari-Jari), emosi kolektif dibangun. Puncaknya pada Tabuik Naiak Pangkek dan Hoyak Tabuik adalah fokus pada apoteosis—pengangkatan Husain ke surga melalui Buraq.
Struktur ini memungkinkan masyarakat Minangkabau yang menganut Islam Sunni, yang secara doktrinal menghindari praktik ratapan Syi’ah yang berlebihan, untuk berpartisipasi dalam ekspresi duka yang terkontrol dan kolektif. Ritual ini menawarkan keseimbangan paskah kultural, di mana penderitaan dan duka berakhir dengan perayaan publik dan pelepasan (Hoyak Tabuik), menjadikannya sebuah tradisi yang diterima secara budaya di lingkungan Minangkabau.
Tabel 2: Sembilan Tahapan Utama Ritual Tabuik Pariaman
| Hari ke- | Tahapan Ritual | Fungsi Ritual | Simbolisme Utama |
| 1 Muharram | Maambiak Tanah | Mengawali ritual dengan kesadaran akan asal-usul. | Penciptaan manusia, kembalinya jasad Husain ke tanah. |
| 5 Muharram | Manabang Batang Pisang | Mengumpulkan bahan baku, simbol pengorbanan. | Pemenggalan Husain, pemotongan bagian tubuh. |
| 6 Muharram | Maradai | Memobilisasi sumber daya dan gotong royong komunal. | Solidaritas dan dukungan finansial. |
| 7 Muharram | Turun Panja | Perakitan dan visualisasi bagian Tabuik. | Jari-jari Husain, perlengkapan perang. |
| 7 Muharram | Maatam | Ekspresi duka kolektif yang khusyuk. | Ratapan atas kesyahidan Husain. |
| 8 Muharram | Maarak Jari-Jari | Memamerkan rangka awal Tabuik. | Fase pengangkatan rangka. |
| 9 Muharram | Maarak Saroban | Pawai simbol kehormatan. | Representasi kehormatan dan kepala Husain. |
| 10 Muharram (Pagi) | Tabuik Naiak Pangkek | Penyatuan semua elemen Tabuik. | Puncak konstruksi, Buraq siap menuju surga. |
| 10 Muharram (Sore) | Hoyak Tabuik & Pelarungan | Puncak arak-arakan, pelepasan, dan perayaan massal. | Penghormatan terakhir, pelepasan kesialan, kembalinya martir. |
Simbolisme, Kinerja Budaya, dan Polemik Sosio-Religius
Estetika dan Kinerja Musik Tradisional
Kinerja budaya, khususnya melalui musik dan tari, merupakan elemen krusial yang mengikat masyarakat dalam narasi emosional Tabuik.
- Gandang Tasa (Tambua/Tasa): Instrumen perkusi ini memegang peran sentral dalam menciptakan atmosfer selama ritual. Gandang Tasa dapat memainkan pola irama yang menimbulkan suasana sedih, khidmat, gembira, atau bahkan frenzy yang disertai dimensi kekerasan. Pada fase Maatam, Gandang Tasa mendukung suasana duka. Sebaliknya, pada fase Hoyak Tabuik, musik ini berfungsi untuk menyemangati para pengarak, memicu energi tinggi yang diperlukan untuk menggoyangkan Tabuik. Irama Gandang Tasa yang intens dan kadang agresif ini juga dapat ditinjau sebagai cerminan dari ketegangan komunal yang mendasari persaingan Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Ritme ini mungkin berfungsi untuk memobilisasi dan melegitimasi agresi komunal yang terpendam, memberikan katarsis yang terkontrol bagi komunitas.
- Tari Indang: Tari Indang, yang berasal dari Pariaman, secara historis dikembangkan di surau (pusat pengajian) oleh Syekh Burhanuddin pada abad ke-13 untuk menyebarkan ajaran Islam. Tari ini sering diintegrasikan ke dalam arak-arakan Tabuik. Dengan gerakan persembahan dan pesan moral, Tari Indang berfungsi sebagai jembatan budaya yang menghubungkan narasi Tabuik yang berakar pada tradisi Asyura Syi’ah dengan konteks keislaman Minangkabau yang lokal dan dominan.
Polemik Agama dan Strategi Pembingkaian Budaya
Tabuik selalu menjadi subjek polemik di Minangkabau, wilayah yang sangat kuat menganut Islam mazhab Syafi’i. Isu utama yang diangkat oleh sebagian ulama adalah tuduhan bid’ah. Mereka berpendapat bahwa ritual tersebut tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta tidak dipraktikkan oleh Salafus Shalih (generasi awal umat Islam).
Namun, tradisi ini berhasil bertahan dan berkembang melalui strategi pembingkaian ulang (cultural framing). Pemerintah daerah dan komunitas pelaku Tabuik secara efektif memposisikan Tabuik sebagai “Pesta Budaya Hoyak Tabuik Piaman” atau adat. Strategi ini memanfaatkan filosofi Minangkabau yang berbunyi: Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah. Dengan menempatkan Tabuik di bawah payung “adat” atau “budaya,” tradisi ini berhasil memindahkan dirinya dari domain agama (yang rentan terhadap kritik teologis) ke domain warisan budaya (yang dilindungi dan didukung oleh negara). Strategi ini krusial dalam memastikan kelangsungan Tabuik di tengah pluralisme hukum dan agama di Indonesia.
Tabuik di Masa Kontemporer: Pariwisata dan Pelestarian
Pergeseran Fungsi: Komodifikasi Warisan
Dalam beberapa dekade terakhir, fungsi Tabuik telah bertransformasi secara drastis, bergeser dari ritual sakral menjadi atraksi pariwisata regional dan nasional.
Pada masa awal, Tabuik merupakan upacara yang sangat sakral dan khidmat. Namun, seiring dengan promosi yang gencar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pariaman, pelaksanaan Tabuik kini cenderung lebih kepada memperlihatkan nilai hiburan atau pariwisata.
Pemerintah daerah secara eksplisit menggunakan Pesta Budaya Tabuik sebagai alat untuk menarik wisatawan dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, sejalan dengan kerangka hukum kepariwisataan di Indonesia. Transformasi ini, meskipun membawa manfaat ekonomi, memunculkan paradoks komodifikasi warisan: pelestarian Tabuik kini didukung oleh motivasi ekonomi dan jumlah pengunjung (lebih dari 200.000 orang antusias menyaksikan puncak acara Hoyak Tabuik 2025) , namun hal ini berisiko menggerus nilai sakral dan makna metafisik yang mendalam bagi generasi muda dan komunitas pelaku aslinya.
Upaya Pelestarian dan Internasionalisasi
Melihat signifikansi budaya dan potensi ekonominya, upaya pelestarian formal terus dilakukan:
- Dukungan Institusional: Pesta Budaya Tabuik telah menjadi agenda tahunan resmi pemerintah Kota Pariaman. Sebagai bagian dari upaya dokumentasi dan pendidikan sejarah, telah diresmikan museum kebudayaan di Rumah Tabuik Pasa.
- Aspirasi UNESCO: Terdapat inisiatif kuat untuk mendaftarkan Budaya Tabuik ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Jika berhasil, pengakuan internasional ini akan memberikan perlindungan hukum dan status pelestarian yang lebih tinggi, mengukuhkan posisinya sebagai warisan dunia dan memastikan tradisi ini tidak akan hilang.
- Edukasi dan Inovasi: Komunitas budaya juga melakukan inovasi seperti promosi digital, dokumentasi film, dan edukasi makna Tabuik di sekolah-sekolah untuk memastikan transfer pengetahuan yang tepat kepada generasi mendatang.
Ancaman Homogenisasi Kultural
Meskipun upaya pelestarian dan komersialisasi menjamin kelangsungan Tabuik, ada risiko signifikan dari ancaman homogenisasi kultural. Vitalitas Tabuik selama ini didorong oleh adanya dua entitas yang saling bersaing—Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Persaingan ini, meskipun kadang-kadang menghasilkan konflik nyata , adalah sumber kreativitas dan intensitas dalam ritual.
Jika pemerintah daerah atau badan pelestarian internasional terlalu menstandardisasi atau menengahi perayaan demi keamanan dan kenyamanan pariwisata, “ketegangan kreatif” yang merupakan bagian intrinsik dari tradisi tersebut dapat hilang. Hilangnya otonomi dan persaingan ketat antara dua kubu ini berpotensi mereduksi Tabuik menjadi pertunjukan yang steril, menghilangkan energi, gairah, dan kepemilikan komunal yang selama ini menjadi mesin penggerak utamanya.
Kesimpulan
Tradisi Tabuik Pariaman adalah fenomena budaya yang luar biasa kompleks: sebuah artefak Syi’ah abad ke-19, dipertahankan oleh keturunan migran Sepoy, yang kini berkembang pesat dalam konteks Minangkabau matrilineal mayoritas Sunni, dan disokong oleh industri pariwisata abad ke-21.
Sistem matrilineal Minangkabau menyediakan ruang sosial bagi Tabuik untuk bertahan, secara paradoks memberikan kesempatan bagi ekspresi identitas dan kepemimpinan laki-laki dalam bentuk ritual. Sementara itu, dualisme antara Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang, didukung oleh irama Gandang Tasa yang intens, menjaga tradisi tetap dinamis dan kompetitif.
Meskipun sukses besar dalam aspek pariwisata (menarik lebih dari 200.000 pengunjung), Tabuik menghadapi tantangan serius terkait keseimbangan antara nilai sakral dan komersialisasi, serta polemik agama dari sudut pandang mayoritas Sunni.
Rekomendasi untuk Pengelolaan Budaya dan Mitigasi Konflik:
- Penguatan Narasi Ganda: Dokumentasi dan promosi Tabuik harus secara eksplisit mengakui dan memelihara dua narasi: nilai spiritual (penghormatan terhadap martir Husain) dan nilai budaya-komunal (gotong royong dan identitas Pariaman). Edukasi formal harus difokuskan untuk melawan kritik bid’ah dengan membingkai Tabuik sebagai praktik adat yang sejalan dengan filosofi lokal.
- Perlindungan Otonomi Kubu: Kebijakan pengelolaan harus dirancang untuk melindungi otonomi dan “ketegangan kreatif” antara Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Upaya standardisasi harus dibatasi pada aspek keamanan dan jadwal, sementara persaingan artistik dan komunal harus didorong sebagai elemen vital.
- Manajemen Konflik Komunal: Mengingat potensi konflik fisik, diperlukan kerangka kerja mitigasi yang melibatkan tokoh adat (Niniak Mamak) dan aparat keamanan secara ketat, terutama selama fase-fase ritual yang paling memicu emosi (seperti Manabang Batang Pisang dan Hoyak Tabuik), untuk memastikan persaingan tetap bersifat sehat tanpa merusak integritas pariwisata.
- Optimalisasi Warisan UNESCO: Jika Tabuik berhasil terdaftar di UNESCO, dana dan perlindungan yang diperoleh harus diarahkan tidak hanya untuk kemegahan tontonan, tetapi juga untuk pendalaman kajian akademis, antropologis, dan pelestarian bahasa/musik ritual yang autentik.


