Loading Now

Bunaken Di Antara Dua Dunia: Surga Bawah Laut Dan Tantangan Ekowisata

Taman Nasional (TN) Bunaken, yang terletak di Sulawesi Utara, menghadapi dualitas yang kompleks: di satu sisi, ia diakui sebagai salah satu surga bawah laut terpenting di dunia, dan di sisi lain, ia bergulat dengan tantangan ekowisata, krisis lingkungan, dan konflik sosio-ekonomi. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak tahun 1991 melalui SK Menteri Kehutanan No.730/KptsII/1991. Pengakuan ini diperkuat dengan penetapannya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPSN), Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DSP), dan, yang terbaru, sebagai Cagar Biosfer UNESCO (Bunaken, Tangkoko, Minahasa) pada sidang MAB UNESCO di Paris tanggal 28 Oktober 2020.

Pengakuan strategis global ini menegaskan peran krusial Bunaken dalam konservasi keanekaragaman hayati laut dan menarik investasi serta kunjungan wisatawan. Namun, tulisan ini menunjukkan bahwa tingginya tekanan pariwisata dan isu eksternal—khususnya dampak perubahan iklim dan polusi—telah menciptakan ancaman kronis bagi ekosistem terumbu karang yang tak ternilai harganya. Analisis ini bertujuan mengurai interaksi kompleks antara kekayaan ekologis, kinerja ekonomi, dan kelemahan tata kelola yang dihadapi TN Bunaken.

Metodologi dan Pendekatan Analitis

Analisis dalam tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif yang komprehensif. Data statistik mengenai kinerja kunjungan wisatawan dan realisasi anggaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dikombinasikan dengan hasil studi kasus mengenai tata kelola kolaboratif, konflik sosial, dan degradasi lingkungan.

Pendekatan Socio-Ecological Systems (SES) diterapkan untuk memahami interaksi dinamis antara konservasi (perlindungan terumbu karang dan spesies kunci), ekowisata (pemanfaatan berkelanjutan), dan respons kelembagaan (peran Balai TN dan Dewan Pengelolaan). Penilaian ini difokuskan pada identifikasi hubungan sebab-akibat, terutama bagaimana kelemahan dalam tata kelola sosial dan penegakan hukum lokal memperburuk kerentanan ekosistem terhadap ancaman global.

Bunaken: Epik Keanekaragaman Hayati (The Underwater Paradise)

Status Ekologis dan Kontribusi Global

Bunaken adalah aset keanekaragaman hayati laut Indonesia dan dunia. Kawasan ini diakui sebagai bagian dari Coral Triangle, disebut sebagai ‘center of biodiversity’ dan ‘key of marine area’. Keanekaragaman hayati di Taman Nasional Bunaken sangat bagus dan memesona, di mana hampir 70 persen spesies yang ada di dunia, baik itu spesies ikan, terumbu karang, dan lain sebagainya, ditemukan di kawasan ini.

Integritas ekosistem terumbu karang di Bunaken memiliki nilai ekonomi dan ekologis yang tak terhitung. Fungsi ekosistem yang optimal memastikan produksi ikan-ikan karang dapat dimanfaatkan, yang secara langsung memberikan keuntungan sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal, baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang. Pengakuan internasional sebagai salah satu taman laut terbaik di dunia dan status Cagar Biosfer UNESCO semakin mengukuhkan perlunya perlindungan kawasan ini.

Ekosistem Kritis dan Spesies Unggulan (Flagship Species)

Kawasan Bunaken terdiri dari lima pulau utama—Pulau Bunaken, Pulau Manado Tua, Pulau Siladen, Pulau Mantehage, dan Pulau Nain. Kehidupan laut di sekitarnya menjadi indikator vital kesehatan perairan.

Spesies unggulan (flagship species) yang mendiami perairan ini meliputi:

  1. Penyu Laut (Tuturuga): Terdapat tiga jenis penyu yang dilaporkan mendiami perairan Bunaken, yaitu Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea). Penyu memiliki makna historis dan edukatif, bahkan diabadikan dalam mural edukatif di Pelabuhan Manado untuk mengenalkan satwa laut kepada anak-anak.
  2. Dugong (Dugong dugon): Eksistensi mamalia laut ini di kawasan TN Bunaken menjadi perhatian dan fokus Balai Taman Nasional sebagai bagian dari upaya konservasi satwa langka.

Ketergantungan Bunaken pada status keanekaragaman hayati yang tinggi (sebagai bagian dari Coral Triangle) dan pengakuan UNESCO menciptakan dilema manajemen. Di satu sisi, status DSP dan KPSN yang diperoleh Bunaken menarik perhatian pemerintah pusat (misalnya, Kementerian PUPR menyelesaikan penataan kawasan ), yang pada gilirannya meningkatkan arus investasi dan kunjungan wisatawan. Namun, peningkatan arus ini, jika tidak diimbangi dengan manajemen yang ketat, secara paradoks justru menjadi ancaman terbesar dan kronis bagi terumbu karang akibat gangguan manusia. Tekanan pembangunan ekonomi yang tinggi dari luar memaksa Balai TN Bunaken untuk bekerja keras menyeimbangkan antara tuntutan pengembangan pariwisata yang masif dan daya dukung lingkungan yang terbatas.

Dinamika Ekowisata Dan Efek Berganda Ekonomi

Kinerja Kunjungan dan Struktur Pendanaan

Ekowisata adalah sektor vital bagi Bunaken, tidak hanya sebagai penggerak ekonomi lokal tetapi juga sebagai sumber pendanaan utama untuk operasional konservasi. Balai Taman Nasional mencatat total 30.277 wisatawan mengunjungi Bunaken pada tahun 2024. Tren ini menunjukkan pemulihan pasca-pandemi, meskipun data historis mencatat fluktuasi kunjungan (misalnya, total wisatawan 28.231 pada 2010 dan 13.817 pada 2011—penurunan tajam yang mungkin disebabkan oleh faktor eksternal atau pencatatan). Kunjungan ke Sulawesi Utara secara umum didominasi oleh wisatawan mancanegara, khususnya dari Tiongkok.

Ketergantungan pada PNBP

Pendanaan konservasi di Bunaken sangat bergantung pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari jasa wisata alam. Pada tulisan kinerja tahun 2021, serapan anggaran Balai TN Bunaken dari sumber dana PNBP mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu 99,93%, dengan realisasi mencapai Rp 1.477.605.738. Selain PNBP, pendanaan juga berasal dari Rupiah Murni (DIPA APBN), namun serapan tertinggi berasal dari pendapatan pariwisata.

Pemanfaatan sumber daya alam lestari di Bunaken mencakup empat pilar utama: pemanfaatan jasa wisata alam, perikanan skala kecil dan tradisional, pemberdayaan masyarakat, serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Table: Realisasi Anggaran Balai Taman Nasional Bunaken (Studi Kasus 2021)

Sumber Dana Anggaran (Rp) Realisasi (Rp) Persentase Serapan (%)
Rupiah Murni (DIPA APBN) 8.340.112.000 8.264.932.779 99.00%
PNBP (Penerimaan Wisata) 1.478.650.000 1.477.605.738 99.93%

Tingginya serapan PNBP—hampir mencapai 100%—menunjukkan efisiensi Balai TN dalam mencapai target finansial, namun pada saat yang sama, ini juga menunjukkan fragilitas finansial dari sistem konservasi itu sendiri. Ketergantungan yang nyaris total pada pendapatan pariwisata membuat anggaran konservasi rentan terhadap gangguan eksternal. Apabila terjadi krisis mendadak, seperti pandemi global atau, yang lebih parah, coral bleaching massal yang berulang , yang merusak daya tarik ekowisata, sumber pendapatan ini akan terputus. Hal ini menciptakan lingkaran krisis: degradasi ekosistem (karena perubahan iklim) memotong pendanaan yang seharusnya digunakan untuk rehabilitasi ekosistem tersebut.

Struktur Layanan dan Kebutuhan Pengembangan Bisnis

Bunaken menyediakan spektrum akomodasi yang luas, mulai dari hotel bintang 1 hingga hotel bintang 5. Banyak akomodasi di kawasan ini telah menunjukkan komitmen terhadap praktik ramah lingkungan, seperti menggunakan program daur ulang dan energi terbarukan untuk mengurangi jejak karbon.

Analisis terhadap model bisnis ekowisata di Bunaken (menggunakan pendekatan Business Model Canvas) mengidentifikasi beberapa area kritis untuk peningkatan. Diperlukan perbaikan pada Value Proposition dengan meningkatkan fasilitas umum seperti mushola, gazebo, toilet, dan ketersediaan air bersih. Selain itu, Channels harus diperbaiki melalui kerja sama yang lebih erat dengan agen travel luar negeri. Untuk mengurangi kerentanan finansial, perlu ada diversifikasi Revenue Streams dengan menambah pemasukan dari ruang iklan dan membentuk endowment fund. Optimalisasi teknologi informasi (TI) dan pelatihan SDM juga dianggap sebagai kunci untuk meningkatkan efisiensi operasional (Cost Structure) dan Customer Relationship.

Ancaman Kritis: Degradasi Ekosistem Dan Krisis Lingkungan

Ancaman terhadap kelestarian Bunaken terbagi antara tekanan makro yang bersifat global (perubahan iklim) dan tekanan mikro yang bersifat regional dan antropogenik (polusi dan kerusakan habitat).

Ancaman Makro: Perubahan Iklim dan Fenomena Pemutihan Karang

Fenomena pemutihan karang (coral bleaching) adalah salah satu dampak paling nyata dari pemanasan global di lautan, dan hal ini telah teramati di berbagai titik snorkeling dan diving di Bunaken. Pemutihan karang terjadi ketika terumbu karang kehilangan warnanya akibat stres lingkungan, terutama karena perubahan suhu air laut.

Kasus pemutihan karang di kawasan Taman Laut Bunaken dilaporkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dampak dari fenomena ini bersifat akut dan multidimensi terhadap masyarakat lokal. Bleaching mengancam industri pariwisata karena menghilangkan daya tarik utama; melemahkan perlindungan alami pantai; dan merugikan mata pencaharian nelayan yang sangat bergantung pada kesehatan ekosistem terumbu karang.

Ancaman Mikro: Polusi, Kerusakan Habitat, dan Eksploitasi Destruktif

Bunaken menghadapi dualitas ancaman, di mana masalah global (iklim) diperparah oleh ancaman lokal yang berasal dari aktivitas manusia yang seharusnya dapat dikelola melalui tata kelola yang efektif.

  1. Polusi Sampah Kiriman: Salah satu masalah lingkungan terbesar yang dihadapi kawasan ini adalah sampah kiriman, khususnya sampah plastik, yang berasal dari limpasan Kota Manado. Polusi plastik sungai merupakan masalah global , dan untuk menanggulanginya, telah dilakukan pemasangan pembatas sungai (No-Trash River) yang ditargetkan mampu mencegah ratusan ton sampah masuk ke Taman Nasional Bunaken.
  2. Perusakan Habitat Pesisir: Meskipun Bunaken merupakan kawasan konservasi, aktivitas perusakan habitat masih terjadi. Contoh yang menonjol adalah kasus perusakan ekosistem mangrove di wilayah TN Bunaken oleh oknum pengusaha tambak udang, yang telah diproses hingga tahap persidangan.
  3. Aktivitas Destruktif: Terdapat tulisan mengenai perilaku diving yang tidak memperhatikan kawasan konservasi, yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Perilaku ini termasuk pengambilan ikan di tempat yang dilarang. Secara nasional, kerusakan terumbu karang di Indonesia mencapai 46%, sebagian besar disebabkan oleh faktor alam dan juga faktor manusia, termasuk aktivitas pengeboman ikan dan penyelundupan terumbu karang.

Analisis menunjukkan bahwa meskipun Balai TN Bunaken secara rutin melaksanakan program rehabilitasi (seperti transplantasi karang ), laju degradasi ekosistem yang disebabkan oleh peningkatan kasus coral bleaching tahunan mungkin melampaui laju pemulihan yang dilakukan. Sementara itu, masalah sampah kiriman yang kronis menyoroti kegagalan tata kelola kota dan wilayah yang berada di luar batas administrasi taman nasional. Oleh karena itu, keberhasilan konservasi Bunaken tidak hanya ditentukan oleh strategi reaktif di dalam kawasan, tetapi juga oleh efektivitas kolaborasi inter-jurisdictional dengan otoritas Kota Manado dalam manajemen limbah.

Tata Kelola Kolaboratif Dan Tantangan Sosio-Legal

Model Tata Kelola Kolaboratif (DPTNB/BNPMAB)

Pengelolaan Taman Nasional Bunaken dilaksanakan melalui model kolaboratif. Lembaga kuncinya adalah Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken (DPTNB), yang juga dikenal secara internasional sebagai Bunaken National Park Management Advisory Board (BNPMAB). Lembaga ini didirikan pada tahun 2000 dan merupakan pemenang Equator Prize pada tahun 2004.

DPTNB berfungsi sebagai wadah bersama yang melibatkan Pemerintah Daerah, Balai TN Bunaken, instansi terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat setempat, sektor bisnis, dan akademisi. Mandat utamanya mencakup mediasi dan resolusi konflik antar pihak, perencanaan program tahunan/lima tahunan, pemberian masukan kebijakan, serta membantu pengamanan dan pengawasan. Partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan ekowisata mangrove di Kecamatan Bunaken telah dinilai berada di kategori baik (rata-rata 70%), yang menunjukkan pemahaman dan peran aktif dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi.

Konflik Distribusi Manfaat dan Kesenjangan Sosial

Meskipun model kolaboratif Bunaken dipuji secara struktural dan memenangkan penghargaan internasional , secara fungsional, kawasan ini menghadapi krisis legitimasi sosial yang mendalam. Terdapat konflik signifikan antara masyarakat lokal dan investor luar. Investor dari luar mulai mendominasi investasi di sektor akomodasi dan transportasi laut bagi wisatawan.

Kesenjangan sosial ini diperparah oleh eksploitasi. Dalam forum diskusi, masyarakat lokal mengungkapkan perasaan dieksploitasi oleh pengusaha resor, yang cenderung memberikan upah di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Eksploitasi ekonomi ini sangat berkorelasi dengan rendahnya rasa kepemilikan masyarakat terhadap ekosistem. Masyarakat merasa harus memelihara sesuatu yang dirasakan bukan menjadi miliknya.

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa pengelolaan pariwisata di Bunaken belum memperlihatkan adanya keterpaduan (tidak terpadu), yang berakibat peran masyarakat lokal menjadi suboptimal dan tanggung jawab mereka terhadap lingkungan masih rendah. Situasi ini diperparah oleh lemahnya kekuatan mengikat Peraturan Daerah (Perda) terkait pengelolaan Bunaken. Kegagalan struktural DPTNB dalam secara efektif memediasi konflik dan menjamin pembagian manfaat yang adil menimbulkan risiko serius bahwa komitmen komunitas terhadap konservasi akan tergerus, yang pada akhirnya akan melemahkan efektivitas pengamanan kawasan.

Tantangan Penegakan Hukum (IUU Fishing dan Degradasi)

Penegakan hukum terhadap pelanggaran penangkapan ikan ilegal dan destruktif di Zona Perlindungan Bahari Pulau Bunaken menjadi isu penting, namun implementasinya masih menghadapi berbagai kendala.

Tantangan utama yang teridentifikasi meliputi:

  1. Koordinasi dan Sumber Daya: Kurangnya koordinasi yang efektif antar instansi terkait dan keterbatasan sumber daya (SDM terlatih, logistik) menjadi penghalang utama dalam pengawasan dan penindakan.
  2. Kesadaran Masyarakat: Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian laut juga mempersulit upaya penegakan hukum.
  3. Sanksi dan Pengawasan: Diperlukan penerapan sanksi yang lebih tegas bagi pelaku pelanggaran, serta penguatan peran pengawasan dan partisipasi masyarakat dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Pelanggaran yang sering terjadi termasuk penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak lingkungan, seperti bom ikan atau racun.

Strategi Adaptasi Dan Arah Ekowisata Masa Depan

Untuk memastikan keberlanjutan Bunaken di tengah ancaman ekologis dan sosial, diperlukan pergeseran dari strategi reaktif konservasi teknis menjadi pendekatan adaptif yang berfokus pada pembangunan ketahanan sosio-ekologis.

Program Konservasi Proaktif dan Pemulihan Ekosistem

Balai TN Bunaken telah melaksanakan berbagai program untuk mitigasi kerusakan dan pemulihan ekosistem:

  1. Rehabilitasi Karang: Kegiatan transplantasi karang merupakan program rutin tahunan yang selaras dengan tiga fungsi TN Bunaken: Perlindungan, Pengawetan, dan Pemanfaatan. Upaya ini didukung oleh berbagai pihak (APBN, APBD, TNI, Swasta, Perguruan Tinggi). Misalnya, Universitas Gadjah Mada (UGM) berkolaborasi dalam konservasi penyu dan mangrove , sementara pihak swasta membantu patroli dan pelepasan penyu.
  2. Ekowisata Edukatif: Balai TN mengupayakan agar wisatawan dapat terlibat secara langsung dalam konservasi melalui inisiatif “adopsi dan penanaman karang”. Ini adalah produk cerdas yang mengintegrasikan pendanaan, rehabilitasi, dan edukasi publik.
  3. Pengendalian Spesies Invasif: Program pengendalian spesies invasif pada ekosistem terumbu karang juga menjadi fokus Balai TN Bunaken.

Blueprint Penguatan Ekowisata Berbasis Komunitas

Arah pengembangan ekowisata masa depan perlu memastikan bahwa masyarakat lokal menjadi subjek ekonomi, bukan sekadar objek konservasi atau tenaga kerja yang tereksploitasi.

  1. Konsep Ecotourism Village: Penataan kawasan diarahkan pada konsep Ecotourism Village. Strategi pengembangan ini harus mencakup pengadaan fasilitas ekowisata seminimal mungkin, mengingat Bunaken adalah area intensif konservasi, sekaligus meningkatkan keamanan.
  2. Peningkatan Kapasitas SDM: Pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) lokal, termasuk pamandu wisata, harus diprioritaskan untuk meningkatkan kualitas layanan, efisiensi operasional, dan pada akhirnya, mengurangi cost structure. Peningkatan SDM ini harus memastikan bahwa manfaat ekonomi terdistribusi secara lebih adil.
  3. Optimalisasi Teknologi: Pemanfaatan teknologi informasi dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas Customer Relationship dan mencapai efisiensi dalam pengelolaan.

Reformasi Tata Kelola Kelembagaan

Untuk mengatasi masalah konflik sosial dan penegakan hukum yang lemah, reformasi kelembagaan adalah keharusan.

  1. Klarifikasi Legalitas dan Peran: Diperlukan legalitas kelembagaan yang lebih jelas untuk memperkuat DPTNB, yang berfungsi memperjelas pembagian tugas dan tanggung jawab antar pihak.
  2. Penguatan Fungsi DPTNB: DPTNB harus secara tegas menjalankan tugas mediasi dan resolusi konflik , khususnya terkait isu krusial distribusi manfaat ekonomi, upah yang adil, dan akses investasi yang merugikan masyarakat lokal.
  3. Peningkatan Kapasitas Penegakan Hukum: Mengatasi kendala penegakan hukum memerlukan pelatihan khusus. Balai TN Bunaken telah menjalankan Bimbingan Teknis (BIMTEK) SMART MOBILE untuk penguatan kapasitas petugas, sebuah langkah penting untuk meningkatkan efektivitas pengawasan. Penegakan hukum yang lebih terkoordinasi dan efektif adalah kunci perlindungan jangka panjang.

Kesimpulan

Bunaken berdiri di persimpangan antara potensi ekologis yang tak tertandingi dan ancaman keberlanjutan yang nyata. Statusnya sebagai ‘Surga Bawah Laut’ diuji oleh tantangan dari dua dunia: tekanan pemanasan global (pemutihan karang) dan kegagalan tata kelola sosial dan spasial (polusi sampah dan konflik pembagian manfaat). Untuk mempertahankan status globalnya, Bunaken harus memprioritaskan ketahanan sosio-ekologis.

Tiga rekomendasi strategis berikut disajikan untuk mengatasi dualitas Bunaken:

Reformasi Tata Kelola Kemitraan Inklusif

Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken (DPTNB/BNPMAB) harus mengalami penguatan struktural dan fungsional. Perlu adanya kejelasan legalitas yang lebih kuat untuk memastikan implementasi kebijakan yang terpadu, mengatasi masalah pengelolaan yang suboptimal. Prioritas utama adalah resolusi konflik investasi/sosial, memastikan bahwa DPTNB menjalankan fungsi mediasi secara imparsial untuk menghilangkan praktik eksploitasi, seperti pemberian upah di bawah UMR kepada masyarakat lokal , yang dapat merusak komitmen komunitas terhadap konservasi.

Diversifikasi Mekanisme Pembiayaan Konservasi

Ketergantungan hampir 100% pada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pariwisata membuat program konservasi rentan terhadap fluktuasi pasar dan bencana lingkungan. Bunaken harus mendiversifikasi sumber pendanaan dengan menerapkan skema yang lebih tahan guncangan. Ini termasuk eksplorasi pembentukan endowment fund dan perluasan program adopsi karang yang melibatkan wisatawan, yang mengubah donasi menjadi pengalaman ekowisata edukatif.

Pengurangan Tekanan Eksternal Melalui Kolaborasi Lintas Jurisdiksi

Ancaman polusi sampah kiriman dari Kota Manado secara fundamental merusak integritas Bunaken sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Keberhasilan konservasi memerlukan kerja sama yang wajib dan terikat (komitmen politik dan anggaran) dengan Pemerintah Kota Manado. Pemasangan pembatas sungai (No-Trash River) adalah langkah awal, tetapi harus didukung oleh reformasi total manajemen limbah di wilayah penyangga luar taman nasional untuk mengatasi sumber masalah polusi. Selain itu, peningkatan kapasitas penegakan hukum dan pengawasan di zona konservasi harus dipertahankan secara berkelanjutan untuk menanggulangi penangkapan ilegal dan perusakan habitat pesisir.