Loading Now

Kota Lama Semarang: Saat Kolonialisme Menyisakan Estetika

Latar Belakang dan Positioning Kota Lama Semarang

Kota Lama Semarang (KLS) diposisikan sebagai salah satu kawasan cagar budaya kolonial paling istimewa dan terpelihara di Indonesia. Kawasan ini melingkupi area seluas sekitar 31 hektar dan merupakan bekas kawasan berbenteng (fortified area) yang strategis pada masa kolonial. Saking kentalnya nuansa arsitektur Belanda, kawasan ini dikenal dengan julukan Little Netherlands atau Little Holland.

KLS bukan sekadar koleksi bangunan tua; ia melambangkan kontradiksi mendalam antara sejarah dan estetika. Secara historis, kawasan ini adalah produk langsung dari kekuasaan opresif kolonialisme Belanda, berfungsi sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan eksklusif bagi masyarakat Eropa. Namun, secara fisik, KLS kini dihargai sebagai aset arsitektur yang megah, yang setelah revitalisasi, bertransformasi menjadi ruang publik, destinasi wisata sejarah favorit, dan pusat ekonomi kreatif yang dinamis. Transformasi ini menggarisbawahi adanya pergeseran nilai: warisan kekuasaan pahit kini diperdagangkan sebagai komoditas estetika.

Pernyataan Masalah dan Fokus Analisis Kritis

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai pergeseran interpretasi nilai KLS, dari situs kekuasaan kolonial menjadi komoditas pariwisata dan warisan budaya. Analisis ini melampaui deskripsi fisik menuju kritik kebijakan dan budaya, dengan menyoroti tiga aspek krusial: (a) adaptasi arsitektur kolonial terhadap iklim tropis yang menciptakan gaya hibrid, (b) kegagalan implementasi tata kelola dalam menjaga integritas historis di tengah tekanan komersialisasi, dan (c) kritik pascakolonial terhadap pengapropriasian estetika kolonial sebagai nostalgia yang tersentralisasi.

Analisis kritis ini diperlukan untuk memahami bahwa pelestarian KLS tidak dapat hanya berfokus pada pemeliharaan fasad bangunan, melainkan harus mencakup konteks sejarah dan sosial yang terkandung di dalamnya. KLS menjadi studi kasus penting mengenai bagaimana sebuah kota pascakolonial menghadapi peninggalan masa lalunya di tengah dorongan modernitas dan globalisasi.

Jejak Historis dan Pembentukan Identitas Little Netherlands

Genealogi Kota dan Pengambilalihan VOC

Asal usul nama Semarang secara tradisional dikaitkan dengan Ki Pandan Arang, seorang tokoh yang diutus oleh Kerajaan Demak pada tahun 1475 M untuk membuka daerah baru di pesisir utara Jawa. Ia menamai wilayah tersebut “Semarang,” yang berasal dari kata “asem” dan “arang,” merujuk pada pohon asam yang jumlahnya jarang.

Namun, pembentukan Kota Lama sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan Belanda baru dimulai secara definitif pada paruh kedua abad ke-17. Pembentukan ini merupakan konsekuensi langsung dari situasi geopolitik yang penuh tekanan. Pada tahun 1678, Kerajaan Mataram Islam sedang menghadapi Pemberontakan Trunojoyo dan meminta bantuan militer dari VOC. Sebagai imbalan atas bantuan tersebut, Kesultanan Mataram menyerahkan wilayah Semarang kepada VOC. Penyerahan ini menandai awal pengaruh kolonial Belanda dan memungkinkan VOC mengembangkan wilayah tersebut menjadi pusat perdagangan penting di Asia Tenggara. Struktur fisik KLS yang kini kita saksikan adalah artefak perjanjian yang dipaksakan, menjadikannya simbol teritorialisasi kekuasaan VOC di Jawa.

Kota Benteng (Fortified City) dan Lanskap Spasial Kolonial

Kawasan Kota Lama dikenal sebagai Oudestad dan Little Netherlands karena upaya Belanda untuk menciptakan lingkungan yang menyerupai kota-kota di Eropa, lengkap dengan sistem pertahanan dan tata ruang khas kolonial. KLS awalnya berfungsi sebagai area berbenteng, menunjukkan peran vitalnya sebagai enklaf (benteng) yang harus dilindungi dari potensi serangan lokal.

Salah satu elemen tata ruang yang paling mencolok adalah sistem kanal air dan drainase. Kanal-kanal ini tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetika yang mengingatkan pada Belanda, tetapi juga sebagai mekanisme pertahanan dan, yang paling penting, sebagai solusi penanganan lingkungan tropis. Fungsi drainase kota adalah untuk membebaskan wilayah padat pemukiman dari genangan air atau banjir, serta memperkecil risiko penyakit seperti malaria. Keberadaan kanal-kanal ini, bersama dengan benteng pertahanan, menegaskan fungsi KLS sebagai kawasan yang terisolasi dan diprioritaskan oleh VOC.

Dari sisi tata ruang saat ini, data menunjukkan bahwa pasca-revitalisasi, penggunaan lahan Kawasan Kota Lama didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa. Pusat kawasan (terutama di sekitar Jl. Letjen Suprapto) secara spesifik diperuntukkan sebagai kawasan wisata, sementara permukiman masyarakat tersebar di bagian selatan dan barat area KLS.

Analisis Estetika Arsitektur Kolonial: Fasad Peninggalan Kekuasaan

Karakteristik Gaya Indische Empire dan Neo-Klasik

Arsitektur yang mendominasi KLS sebagian besar merupakan hasil dari periode pasca-VOC. Setelah VOC bangkrut pada 1799, pemerintah kolonial di bawah Daendels mengambil alih dan memerintahkan agar bangunan-bangunan baru, terutama gedung-gedung negara, memiliki langgam Neo-Klasik. Gaya ini kemudian menyebar luas ke seluruh Hindia Belanda, termasuk Semarang, dan dikenal sebagai Indische Empire Style.

Estetika ini dicirikan oleh elemen-elemen simbolis kekuasaan. Bangunan-bangunan menampilkan barisan kolom monumental, sering kali bergaya Yunani (seperti pilar Ionik, Dorik, atau Korintian), yang dirancang secara eksplisit untuk menunjukkan kewibawaan dan keagungan pemerintah kolonial di mata penduduk lokal.

Namun, arsitektur ini adalah bentuk hibridisasi. Meskipun ambisi kolonial adalah menancapkan citra monumen Eropa di atas tanah jajahan, adaptasi struktural yang masif terhadap iklim tropis lembab harus dilakukan. Karakteristik bangunan KLS menunjukkan atap yang tinggi, jendela yang besar, pintu yang lebar, dan serambi/teras yang sangat luas. Fitur-fitur ini dirancang untuk memfasilitasi sirkulasi udara yang optimal, mendinginkan interior, dan memberikan keteduhan di tengah iklim panas. Estetika yang tersisa di KLS, oleh karena itu, adalah kompromi struktural antara kekuatan simbolis arsitektur Neo-Klasik Eropa dan realitas lingkungan Hindia Belanda.

Katalog Ikon Arsitektural dan Analisis Fungsi

Kota Lama Semarang menyimpan sekitar 50 bangunan kuno dengan nilai sejarah tinggi, yang menampilkan perpaduan berbagai gaya arsitektur, termasuk Abad Pertengahan, Barok, dan Neoklasik. Analisis mendalam terhadap beberapa bangunan ikonik menunjukkan keragaman ini:

  • Gereja Blenduk (Protestantse Koepelkerk): Gereja ini adalah landmark utama KLS, dikenal karena kubah besarnya yang unik (dome). Interiornya menampilkan gaya arsitektur Neoklasik yang megah, lengkap dengan tiang-tiang besar dan organ tua. Gereja ini telah berdiri kokoh setidaknya sejak tahun 1915, yang memenuhi kriteria usia minimal cagar budaya (>50 tahun).
  • Stasiun Tawang: Sebagai salah satu stasiun kereta api tertua di Indonesia, Stasiun Tawang menampilkan gaya arsitektur kolonial yang elegan, dicirikan oleh atap tinggi dan jendela besar. Keberadaannya mencerminkan fungsionalitas transportasi dan ekonomi yang sentral pada era kolonial.
  • Gedung Marabunta: Gedung ini menonjol dengan perpaduan elemen Barok dan sentuhan artistik modern. Ciri khasnya adalah ornamen patung semut raksasa di atapnya, yang menambah kesan unik.
  • Gedung Marba: Bangunan ini, yang dulunya berfungsi sebagai toko kelontong , seringkali disoroti dalam konteks konservasi. Studi menunjukkan bahwa Gedung Marba juga menampilkan integrasi arsitektur modern, seperti penggunaan material canggih (kaca dan baja) pada fasadnya, yang menimbulkan tantangan dalam mempertahankan keaslian kolonial di tengah tren desain kontemporer.

Tabel 1: Katalog Bangunan Ikonik dan Indikator Estetika Kolonial

Nama Bangunan Gaya Arsitektur Dominan Fungsi Asli/Awal Ciri Estetika Kunci
Gereja Blenduk Neoklasik/Barok Tempat Ibadah Kubah besar, pilar monumental, desain interior megah
Stasiun Tawang Kolonial/Indische Pusat Transportasi Kereta Atap tinggi, jendela besar yang elegan
Gedung Marabunta Barok/Modern Tempat Hiburan/Gedung Pertemuan Ornamen artistik, patung semut raksasa
Gedung Marba Kolonial/Modern Toko Kelontong/Gudang Integrasi material kaca dan baja modern

Kerangka Pelestarian: Ambisi UNESCO dan Tantangan Regulasi

Legalisasi Status Cagar Budaya dan Ambisi Global

Kawasan Kota Lama Semarang telah memenuhi kriteria hukum untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, kriteria usia minimal 50 tahun telah terpenuhi secara signifikan. KLS mulai terbentuk pada abad ke-17, yang berarti usia bangunannya diperkirakan mencapai sekitar 300 tahun.

Dalam kerangka pelestarian internasional, Kota Lama Semarang memiliki visi strategis yang ambisius: “Mewujudkan Situs Kota Lama Menuju Kota Warisan Dunia”. KLS telah ditetapkan sebagai tentative world heritage site oleh UNESCO. Meskipun target awal untuk masuk daftar tetap Warisan Dunia UNESCO dicanangkan pada tahun 2020, realisasinya bergeser dan terus diupayakan setelah melewati revitalisasi dalam dua tahap besar pada tahun 2017 dan 2020. Status ini memerlukan upaya pelestarian yang berfokus pada authenticity (keaslian), manajemen perlindungan, penyelamatan, dan pemanfaatan demi kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan dan Upaya Konservasi Teknis

Pelestarian di KLS diatur melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Situs Kota Lama yang berfungsi sebagai pedoman baku. Secara teknis, pelestarian melibatkan dua kegiatan utama: Preservasi (pencegahan pengaruh lingkungan yang dapat menyebabkan pelapukan atau kerusakan struktur) dan Konservasi (merawat dan mengawetkan peninggalan yang telah mengalami kerusakan).

Upaya teknis ini menghadapi ancaman yang kompleks dan berkelanjutan. Ancaman fisik meliputi faktor alam seperti Rob (banjir pasang air laut) dan proses pelapukan material penyusun bangunan, yang secara signifikan mengurangi keawetan struktur. Selain itu, ancaman dari aktivitas manusia juga krusial, seperti pengrusakan, vandalisme, dan pembangunan yang tidak mengindahkan kaidah pelestarian cagar budaya. Kerusakan dan kerawanan robohnya bangunan juga diperburuk oleh usia yang menua, perubahan fungsi yang tidak sesuai, dan minimnya perawatan, terutama pada bangunan yang terabaikan.

Revitalisasi Kontemporer: Kritik Tata Kelola, Alih Fungsi, dan Komersialisasi

Kegagalan Tata Kelola (Governance) BPK2L

Pengelolaan kawasan Kota Lama Semarang dijalankan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2020 (revisi dari Perda No. 8 Tahun 2003) dan didukung oleh pembentukan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) pada tahun 2007. BPK2L diisi oleh perwakilan dari pemerintah, swasta, masyarakat, dan akademisi.

Namun, studi analisis kebijakan menunjukkan bahwa revitalisasi di KLS seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kegagalan tata kelola ditemukan pada aspek Responsibilitas dan Akuntabilitas. Permasalahan ini muncul karena konflik kepentingan dan kurangnya inisiatif penuh dari pemerintah dalam menjalankan aturan. BPK2L terbukti tidak mampu melakukan filtering terhadap investor yang masuk. Terdapat kelompok-kelompok yang mencari celah dalam peraturan guna mendapatkan hak izin berusaha, memprioritaskan keuntungan bisnis tanpa melibatkan masyarakat atau penduduk asli secara bermakna.  Sistem tata kelola yang kontradiktif ini menunjukkan adanya risiko pengambilan keputusan yang bias kepentingan non-pelestarian. Kurangnya transparansi dalam pengelolaan dan pelaksanaan revitalisasi menjadi bentuk kegagalan pertanggungjawaban antar-sektor, sehingga berdampak negatif pada tujuan konservasi otentik.

Konflik Alih Fungsi (Adaptive Reuse) dan Erosi Historis

Isu krusial yang mengancam integritas historis KLS adalah komersialisasi dan alih fungsi bangunan cagar budaya yang tidak sesuai peruntukannya. Adaptive reuse (pengembangan fungsi baru sambil mempertahankan keaslian obyek) adalah strategi yang diakui dalam pelestarian. Beberapa bangunan memang berhasil dialihfungsikan, seperti menjadi galeri seni atau kafe.

Namun, implementasi di lapangan belum berjalan optimal. Banyak gedung kuno yang beralih fungsi menjadi gudang, kantor, kafe, atau restoran, seringkali tanpa pertimbangan pelestarian arsitektur aslinya. Contoh paling konkret dari erosi historis adalah perubahan salah satu landmark di Jl. Letjen Suprapto—yang dulunya gedung pengadilan negeri era kolonial dan pernah menjadi gedung dewan pertama—kini dialihfungsikan menjadi restoran. Transformasi ini mengikis nilai sejarah dan keunikan arsitektur secara langsung. Alih fungsi yang berlebihan dan tidak terkontrol menjadi bukti bahwa tujuan peningkatan ekonomi sering kali menggerus ciri khas dan muatan historis bangunan awal.

Tabel 2: Kritik Tata Kelola dan Konflik Integritas Historis di KLS

Aspek Kritik Temuan Utama (Berdasarkan Penelitian) Kausalitas/Hubungan Kritis Implikasi terhadap Estetika Warisan
Akuntabilitas BPK2L Gagal optimal, kurang transparansi dalam pengelolaan Kebijakan revitalisasi tidak dijalankan secara bertanggung jawab. Pengambilan keputusan bias kepentingan non-pelestarian.
Konflik Alih Fungsi Perubahan fungsi dari historis (pengadilan) menjadi bisnis (restoran) Prioritas keuntungan bisnis mengalahkan integritas historis; BPK2L gagal menyaring investor. Erosi historis yang cepat; bangunan menjadi sekadar fasad tanpa konteks.
Kondisi Fisik Bangunan Banyak bangunan roboh/rusak karena usia dan kurang perawatan Minimnya pengawasan konstruksi dan status hukum kepemilikan yang tidak jelas. Hilangnya warisan fisik tak tergantikan.

Dampak Revitalisasi terhadap Ekonomi Spasial

Pasca-revitalisasi, Kawasan Kota Lama mengalami perubahan signifikan dalam pola penggunaan lahan, dengan dominasi sektor perdagangan dan jasa. Peningkatan status kawasan menjadi destinasi wisata telah memengaruhi dinamika ekonomi spasial.

Meskipun revitalisasi bertujuan meningkatkan nilai ekonomi, dampaknya terhadap masyarakat yang sudah tinggal jauh sebelum revitalisasi perlu diperhatikan. Mayoritas masyarakat yang tinggal di KLS adalah pribumi. Kenaikan harga sewa dan lahan setelah kawasan menjadi populer berpotensi menimbulkan masalah sosial-ekonomi bagi penduduk asli. Revitalisasi harus dipastikan memberikan dampak positif bagi seluruh pihak, dan bukan hanya bagi investor baru yang memanfaatkan estetika kolonial sebagai komoditas.

Kritik Budaya: Kolonialisme Menyisakan Nostalgia atau Pembelajaran?

Perspektif Pascakolonial terhadap Estetika Heritage

Penghargaan terhadap warisan bangunan kolonial di Indonesia, termasuk KLS, merupakan fenomena pascakolonial yang kompleks. Estetika kolonial menimbulkan asosiasi yang ambivalen, mulai dari rasa sakit dan malu atas sejarah penindasan hingga kekaguman terhadap arsitektur yang megah.

Pergeseran perspektif ini sangat terasa. Pada masa Orde Baru, periode kolonial sering dideskripsikan secara simplistik sebagai masa penderitaan. Namun, ironisnya, ancaman pembangunan modern dan eksploitasi lahan yang gencar pada 1980-an dan 1990-an justru memicu munculnya gerakan pelestarian yang bertujuan menyelamatkan bangunan kolonial—simbol rezim yang pernah menindas.

Fenomena Little Netherlands yang kini menjadi tujuan wisata populer menunjukkan bahwa memori opresi telah disterilkan dan diubah menjadi komoditas nostalgia yang menarik. Masyarakat kontemporer mengapropriasi warisan fisik kolonial bukan sebagai pengingat pahit, tetapi sebagai citra kemewahan Eropa yang dapat dijual sebagai pariwisata budaya. Risiko terbesar adalah komodifikasi ini menghilangkan konteks penderitaan demi keuntungan pariwisata. Analisis yang mendalam menegaskan bahwa pelestarian harus berpegangan pada konteks sejarah dan sosial, dan tidak hanya pada aspek estetika fasad semata.

Interpretasi Pengunjung dan Fungsi Baru

Kota Lama Semarang saat ini berfungsi ganda: sebagai ruang konservasi sejarah dan sekaligus pusat aktivitas ekonomi kreatif yang dinamis, seni, dan budaya. Kawasan ini menawarkan pengunjung pengalaman “berjalan di lorong waktu”.

Meskipun fungsionalitasnya telah beradaptasi, masih dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai bagaimana interpretasi desain kolonial di museum dan ruang publik memengaruhi pemahaman masyarakat tentang sejarah kolonial Indonesia. Penting untuk memastikan bahwa desain kolonial, yang menampilkan kemegahan kekuasaan, tidak secara tidak sengaja menumbuhkan nostalgia terhadap era yang penuh opresi, melainkan berfungsi sebagai media pembelajaran sejarah kritis.

Perbandingan Kontekstual dengan Kota Tua Lain di Indonesia

Model pelestarian KLS menunjukkan diferensiasi yang unik dibandingkan kawasan kota tua lain di Indonesia, seperti Kota Tua Jakarta atau Surabaya. Semarang telah mengambil langkah terstruktur dengan menetapkan Perda khusus dan membentuk BPK2L sejak 2007.

Di sisi lain, upaya pelestarian di Surabaya, misalnya, menunjukkan model yang berbeda dengan pengintegrasian taman-taman memorial dan upaya pelibatan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Destination Management Organization (DMO). Perbedaan ini menegaskan bahwa setiap kota pusaka menghadapi tantangan tata kelola yang berbeda. Kasus Semarang menyoroti tantangan menjaga akuntabilitas BPK2L dalam menghadapi tekanan komersialisasi yang sangat tinggi dari sektor swasta.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Analisis ini menyimpulkan bahwa estetika Kota Lama Semarang adalah warisan hibrid: cerminan otoritas Neo-Klasik Eropa yang dipaksakan, namun dimodifikasi oleh kebutuhan ekologis iklim tropis. Meskipun KLS memiliki kerangka legal yang kuat (UU Cagar Budaya dan Perda) dan ambisi untuk menjadi Warisan Dunia UNESCO, implementasi revitalisasi terhambat oleh konflik kepentingan. Kegagalan tata kelola, terutama dalam aspek akuntabilitas dan responsibilitas BPK2L, memungkinkan komersialisasi yang tidak terkontrol, mengakibatkan alih fungsi yang menghilangkan muatan historis bangunan. Apresiasi kontemporer terhadap estetika kolonial berisiko mengkomodifikasi nostalgia dan mensterilkan narasi penderitaan pascakolonial, mereduksi KLS menjadi sekadar latar belakang estetika.

Rekomendasi Kebijakan dan Teknis

Untuk menjamin kelestarian KLS yang otentik dan berkelanjutan, diperlukan langkah-langkah strategis:

  1. Audit Tata Kelola dan Transparansi: Pemerintah Kota Semarang dan BPK2L harus meninjau kembali Perda No. 2 Tahun 2020. Mekanisme transparansi dalam seluruh bentuk pengelolaan dan pelaksanaan revitalisasi harus ditingkatkan untuk menjamin pertanggungjawaban publik.
  2. Pengetatan Integritas Adaptive Reuse: Prioritas perizinan harus diberikan pada model adaptive reuse yang secara ketat mewajibkan pemeliharaan muatan historis dan nilai keaslian obyek, melampaui sekadar pelestarian fasad. Izin alih fungsi yang berpotensi menghilangkan narasi sejarah, seperti perubahan gedung pengadilan menjadi restoran, harus dihindari.
  3. Penanganan Ancaman Fisik dan Legal: Diperlukan investasi infrastruktur segera untuk menanggulangi ancaman Rob dan permasalahan drainase yang mengancam kawasan Little Netherlands ini. Selain itu, penyelesaian status hukum kepemilikan bangunan dan lahan yang tidak jelas harus segera diselesaikan untuk mendorong pemilik melakukan perawatan yang memadai dan mencegah robohnya struktur tua.

Visi Kota Pusaka Berkelanjutan

Kota Lama Semarang harus diposisikan kembali sebagai ruang pembelajaran sejarah kritis, bukan sekadar ruang estetik untuk konsumsi pariwisata. Hal ini menuntut pengintegrasian narasi penderitaan dan perjuangan pascakolonial ke dalam pengalaman wisata dan edukasi budaya. Dengan demikian, estetika kolonial yang tersisa dapat menjadi jembatan untuk memahami sejarah yang kompleks, memastikan bahwa KLS benar-benar menjadi warisan berharga yang dijaga integritasnya untuk generasi mendatang, dan bukan sekadar ikon kota yang berkelas dunia semata.