Di Balik Tenun Sumba: Kisah Perempuan, Warisan Budaya, Dan Strategi Keberlanjutan
Tenun Ikat Sumba merupakan manifestasi kearifan lokal bangsa Indonesia yang memiliki kedudukan istimewa melampaui fungsi tekstil biasa. Kain ini adalah cerminan mendalam dari kehidupan, sejarah, dan sistem kepercayaan masyarakat adat Sumba, yang sebagian besar menganut ajaran leluhur Marapu. Lahir dari kekayaan alam Pulau Sumba, setiap helai tenun merupakan inti dari identitas kultural masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Proses penciptaan tenun ini melibatkan rangkaian tahap yang panjang dan rumit, menjadikannya simbol kesabaran dan ketekunan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Latar Belakang Warisan Tak Benda: Pengakuan Nasional dan Perjuangan UNESCO
Nilai signifikansi Tenun Ikat Sumba telah diakui baik di tingkat domestik maupun internasional, memicu upaya perlindungan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Secara nasional, Tenun Ikat Sumba telah ditetapkan sebagai Karya Budaya Indonesia pada tahun 2013 melalui Surat Keputusan (SK) No. 238/M/2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Karya ini dikategorikan dalam domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional.
Di kancah global, upaya pengakuan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) telah berlangsung sejak lama. Tenun Sumba telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda sejak tahun 2012. Namun, proses pengajuan sebagai Warisan Budaya Dunia (Intangible Cultural Heritage of Humanity) menghadapi tantangan. Pengajuan pertama pada tahun 2013 dilaporkan tidak membuahkan hasil. Pada saat nominasi 2013, statusnya terdaftar di bawah Urgent Safeguarding List. Klasifikasi ini mengindikasikan pengakuan bahwa meskipun nilai budayanya diakui secara luas, kelangsungan praktik tradisional inti, seperti transmisi pengetahuan informal dan penggunaan bahan baku alami, sedang menghadapi risiko serius.
Melihat urgensi ini, upaya pengajuan kedua dilakukan kembali pada tahun 2022. Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT, dalam usulan yang digabungkan dengan budaya lain se-Indonesia, mengajukan Tenun Ikat Sumba sebagai perwakilan NTT, di bawah nominasi kolektif “Tenun Indonesia” bersama Ulos. Optimisme tinggi menyertai pengajuan kedua ini setelah melalui seleksi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia di tingkat nasional.
Struktur Laporan dan Pendekatan Analisis
Laporan ini disusun menggunakan kerangka multidisiplin, menganalisis pilar-pilar utama keberlanjutan Tenun Sumba: Simbolisme Kultural, Teknik Ekologis, Peran Sosial dan Ekonomi Perempuan, serta Tantangan Kontemporer. Analisis berupaya mengaitkan antropologi budaya, ekonomi kreatif, dan aspek perlindungan hukum untuk menyajikan gambaran komprehensif mengenai kondisi warisan ini.
Filosofi Tenun Dan Struktur Sosial Masyarakat Adat
Tenun sebagai Cermin Kepercayaan Marapu dan Alam Semesta
Dalam pandangan masyarakat Sumba, kain tenun bukan sekadar pakaian; ia adalah medium narasi yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan alam spiritual. Kain ini menceritakan tradisi, sejarah, alam, dan terutama sistem kepercayaan Marapu. Proses menenun dijiwai oleh praktik sakral. Misalnya, penenun meyakini adanya syarat dan pantangan ritual yang harus dipatuhi, seperti larangan bagi perempuan yang sedang haid untuk melakukan proses pewarnaan, karena dikhawatirkan warna yang diinginkan tidak akan didapatkan. Keterikatan antara praktik teknis dan keyakinan spiritual ini menjadikan tenun sebagai cerminan kehidupan kosmologis Sumba.
Semiotika Motif: Simbol Status Sosial dan Kekuatan
Motif adalah jantung dari filosofi Tenun Sumba. Setiap corak mengandung makna mendalam yang merujuk pada aspek-aspek kehidupan, mulai dari konsep kesuburan, kedamaian, hingga kematian. Motif-motif ini secara eksplisit mencerminkan strata sosial dan kekuatan dalam masyarakat.
Terdapat keragaman motif yang signifikan di Sumba berdasarkan wilayah geografis. Tenun dari Sumba Timur cenderung menampilkan gambar makhluk hidup yang dinamis, seperti kuda (njara), rusa, singa, burung, ikan, dan tengkorak. Jenis kain yang terkenal dari Timur termasuk Hinggi (untuk pria) dan Lau (sarung wanita), serta Tenun Kaliuda dan Rende. Sebaliknya, Tenun Sumba Barat secara umum menggunakan motif statis dan lebih sederhana, seperti bentuk geometris, garis-garis, dan anting-anting. Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya juga mulai dikenal seiring dengan meningkatnya popularitas tenun.
Motif fauna, seperti kuda atau burung elang, secara tradisional menggambarkan kekuatan, keberanian, dan status sosial yang tinggi. Motif kuda (njara) Sumba Timur adalah salah satu corak yang paling khas dan bernilai. Sementara itu, motif tumbuhan seperti bunga mawar merah dapat melambangkan keindahan dan cinta. Beberapa motif memiliki makna ritual yang sangat spesifik, contohnya Motif Pohon Tengkorak (Andungu) di Sumba Timur yang melambangkan pohon lontar tempat menggantung tengkorak musuh atau penjahat di halaman rumah raja. Motif Andungu ini secara langsung merefleksikan struktur sosial dan sejarah peperangan adat.
Analisis membandingkan teknik dan fungsi utama tenun Sumba menghasilkan pemahaman yang lebih dalam mengenai spesialisasi regional:
Table 1: Komparasi Teknik Tenun Utama Sumba Berdasarkan Motif dan Fungsi
| Jenis Tenun/Teknik | Ciri Khas Geografis | Teknik Dominan | Fungsi Utama | Simbolisme Utama (Contoh Motif) |
| Hinggi Ikat | Sumba Timur | Ikat Lungsi (Warp Ikat) | Pakaian Adat Pria, Alat Tukar (Mahar/Kematian) | Kuda (Njara), Rusa, Pohon Tengkorak (Andungu) |
| Lau | Sumba Timur | Ikat, bisa ditambah teknik Pahudu (emboss) atau manik (Hada)/cangkang (Witikau) | Pakaian Adat Wanita (Sarung tabung) | Geometris, Tumbuhan |
| Pahikung | Sumba Barat/Barat Daya | Teknik Lungsi Tambahan (Supplementary Warp Weaving) | Pakaian Adat, Busana Harian, Adaptasi Ready-to-Wear | Geometris, Garis-garis, Anting-anting |
Peran Ritual Tenun: Dari Kelahiran hingga Upacara Kematian
Kain tenun Sumba memegang peran sentral dalam setiap tahap siklus hidup masyarakat Sumba. Selain digunakan sebagai pakaian adat dalam upacara penting seperti pernikahan , tenun memiliki nilai ekonomi yang signifikan karena sering dijadikan barang tukar bernilai ekonomis dalam perdagangan tradisional, mas kawin (belis), atau cerminan strata sosial.
Peran paling krusial tenun Sumba terlihat dalam upacara pemakaman, yang dianggap sebagai salah satu ritual terpenting dalam budaya Sumba. Dalam ritual ini, kain tenun digunakan untuk menghias peti mati, sebagai bendera, dan yang terpenting, sebagai pembungkus jenazah. Kepercayaan yang melandasinya adalah bahwa kain tenun memiliki kekuatan magis untuk melindungi roh orang yang meninggal dan membantu mereka dalam perjalanan ke alam lain. Nilai kain pembungkus jenazah ini mencerminkan tingginya penghargaan adat terhadap tenun, di mana harganya dapat mencapai puluhan juta rupiah.
Nilai ekonomi yang sangat tinggi dalam konteks ritual (kapitalisasi kultural) ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara nilai jual kain di pasar UMKM dan nilai yang dipertahankan oleh sistem adat. Harga jual busana ready-to-wear yang menggunakan tenun Pahikung berkisar antara Rp 850.000,00 hingga Rp 1.100.000,00 , jauh lebih rendah dibandingkan nilai kain yang digunakan sebagai bekal mati. Hal ini mengimplikasikan bahwa sistem adat secara tidak langsung berfungsi sebagai mekanisme pertahanan budaya, menjaga nilai tertinggi kain tetap berada dalam lingkup ritual, meskipun fenomena ini dapat mempersulit penenun untuk mendapatkan keuntungan yang stabil dari pasar luar yang mencari harga murah.
Teknik Dan Kearifan Ekologis Dalam Proses Tenun
Proses penciptaan Tenun Ikat Sumba dikenal karena kompleksitasnya, melibatkan hingga 42 tahapan yang membutuhkan waktu berbulan-bulan, mencerminkan komitmen terhadap kualitas dan tradisi.
Anatomi Proses Pembuatan: Rantai Nilai Keterampilan Tradisional
Secara umum, rangkaian proses dimulai dari perencanaan motif, memintal benang, mewarnai, menenun, mengeringkan, dan menutup kain. Rantai nilai ini sepenuhnya bergantung pada transfer pengetahuan dan keterampilan yang diwariskan secara informal, khususnya dari ibu kepada anak perempuan. Tahap awal melibatkan penyiapan benang, di mana secara tradisional, kapas dipintal sendiri. Namun, dalam konteks modern, penenun cenderung menggunakan benang pabrik karena lebih mudah didapat dan lebih efisien, meskipun benang pintalan tangan menghasilkan kain yang lebih tebal dan kasar.
Teknik Ikat (Resist Dyeing) Sumba: Sebuah Proses Kesabaran
Teknik inti yang memberikan identitas visual unik pada tenun Sumba adalah teknik ikat (resist dyeing), di mana benang ditali ketat sebelum proses pencelupan. Setelah benang lungsi (benang vertikal) disiapkan, tahap ikat atau gewang dilakukan, menggunakan tali untuk mengikat area benang yang tidak diinginkan terkena pewarna. Akurasi pengikatan ini menentukan ketajaman dan kompleksitas motif. Setelah proses perendaman warna selesai, barulah dilakukan katahu, yaitu proses pelepasan semua ikatan tali gewang, yang akan menampakkan motif kain tenun ikat secara keseluruhan. Proses yang panjang dan bertahap ini membedakan tenun ikat Sumba dari teknik tenun lainnya.
Kekuatan Pewarna Alam (Natural Dyes): Indigofera dan Akar Mengkudu
Salah satu aspek yang paling dihargai dari Tenun Sumba adalah penggunaannya yang konsisten terhadap pewarna alami, menjadikannya produk yang ramah lingkungan (ecofriendly). Pewarna alami ini memberikan palet warna yang khas dan memiliki makna mendalam.
Dua sumber pewarna alami utama yang digunakan adalah:
- Biru/Nila: Diperoleh dari daun Indigofera tinctoria (nila). Ekstrak daun ini mengandung glukosida indikan, yang kemudian dihidrolisis menjadi indoksil. Indoksil yang tak berwarna ini, ketika berada dalam suasana alkali (pH 8-9), akan teroksidasi oleh udara menjadi pigmen indigo berwarna biru.
- Merah/Cokelat Kemerahan: Diperoleh dari akar atau kulit kayu pohon mengkudu (Morinda citrifolia).
Warna-warna lain diperoleh dari bahan alami seperti kunyit (kuning), akar tanaman tertentu (cokelat), atau lumpur. Seperti halnya proses ikat, pewarnaan juga terikat pada ritual; larangan bagi perempuan haid untuk mewarnai benang menunjukkan integrasi kuat antara teknik, alam, dan keyakinan spiritual.
Meskipun pewarna alami sangat disukai oleh wisatawan asing yang menghargai keotentikan, dan bahkan rela membayar lebih untuk tenun dengan warna yang tidak secerah pewarna tekstil , penggunaan pewarna sintetis dan benang pabrik semakin umum. Ketergantungan pada bahan-bahan modern ini, meskipun merespons kebutuhan efisiensi pasar, mengancam kearifan ekologis dalam Merawat Alam Sumba dan berpotensi mengurangi nilai otentik produk dalam jangka panjang.
Table 2: Analisis Sumber Pewarna Alam Tradisional Sumba dan Makna Warna
| Sumber Daya Alam | Warna yang Dihasilkan | Proses Kunci | Makna Filosofis/Budaya | Relevansi Pasar |
| Daun Indigo (Indigofera tinctoria) | Biru (Nila) | Fermentasi & Oksidasi (alkali) | Kedalaman, Kebenaran, Kepercayaan | Paling disukai wisatawan, identik dengan tenun otentik |
| Akar Pohon Mengkudu (Morinda citrifolia) | Merah (Merah Bata/Kemerahan) | Pemanasan/Perendaman | Darah, Kekuatan, Kematian (Vital dalam upacara) | Menarik bagi pasar premium/tradisional |
| Tumbuhan Kunyit | Kuning | Ekstraksi | Keagungan, Kekayaan | Nilai tambah produk alami |
| Tanah dan Lumpur | Coklat/Hitam | Perendaman/Pencelupan | Bumi, Kesuburan, Kekuatan Leluhur | Menciptakan palet warna khas Sumba |
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM): Backstrap Loom sebagai Warisan Teknologi
Penenun Sumba hingga kini masih mengandalkan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Alat yang digunakan, terutama di desa-desa tradisional seperti Rende dan Waitabar, adalah backstrap loom atau alat tenun gendong.
Alat tenun gendong ini sangat sederhana, portabel, dan mudah disimpan. Kekhasannya terletak pada cara penenun menjaga ketegangan benang lungsi, yaitu menggunakan tali yang diikatkan di pinggangnya, menjadikan tubuh penenun itu sendiri sebagai bagian integral dari mesin tenun. Selain teknik Ikat yang dominan menggunakan backstrap loom (umumnya di Sumba Timur), Sumba juga mengenal teknik Pahikung atau Pahudu di wilayah Barat, yang menggunakan teknik lungsi tambahan untuk menciptakan efek timbul. Keterampilan dalam menggunakan alat tradisional ini menunjukkan ketelitian tinggi yang menjadi prasyarat utama menenun.
Kisah Perempuan: Penenun Sebagai Penjaga Kearifan Dan Penggerak Ekonomi
Tenun sebagai Domain Gender: Ketekunan, Keuletan, dan Pewarisan Pengetahuan
Menenun adalah domain kultural yang secara tradisional didominasi oleh perempuan Sumba. Keahlian ini dianggap memerlukan ketelitian, keuletan, dan ketekunan yang tinggi, yang secara umum dianggap sebagai atribut yang lebih cocok dilakukan oleh wanita.
Perempuan Sumba memegang kunci dalam pewarisan pengetahuan ini. Keterampilan ini diwariskan secara informal, dari ibu kepada anak perempuannya. Pentingnya peran ini sangat ditekankan, mengingat kelanjutan budaya tenun ikat sangat bergantung pada inisiatif orang tua dan komunitas adat untuk terus mengajarkannya kepada generasi muda perempuan, khususnya ibu rumah tangga, sebagai fondasi pelestarian budaya dan penguatan ekonomi. Laki-laki dalam komunitas biasanya hanya membantu dalam aspek non-teknis, terutama dalam pemasaran hasil tenun.
Kontribusi Ekonomi Perempuan: Pergeseran dari Ritual ke Komoditas Kreatif
Meskipun awalnya menenun di NTT lebih berorientasi pada ritual adat dan menjaga tradisi daripada aktivitas ekonomi , aktivitas ini kini telah bertransformasi menjadi sumber pendapatan vital.
Bagi perempuan pengrajin di berbagai wilayah Sumba, seperti di Desa Waiholo (Sumba Barat Daya), menenun menjadi pekerjaan yang signifikan dalam membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Usaha kerajinan tenun ikat telah mengubah peran ibu rumah tangga dari sekadar bersifat konsumtif menjadi produktif dan bernilai ekonomis, memberdayakan mereka untuk berkontribusi secara mandiri pada kesejahteraan keluarga.
Meskipun tenun telah menjadi aktivitas ekonomi kreatif, realitas di lapangan menunjukkan bahwa menenun masih sering dianggap sebagai kegiatan sampingan. Analisis ini menemukan bahwa anggapan tersebut menyebabkan kurangnya dukungan struktural, seperti bantuan modal dan pelatihan manajemen usaha, yang sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu penenun. Meskipun faktanya, kerajinan tenun ikat sangat dominan dan strategis untuk menunjang ekonomi masyarakat Sumba yang kering. Ketika kontribusi ini dianggap sekunder, potensi untuk memperbaiki relasi gender di dalam keluarga juga cenderung stagnan, dan perempuan terus memikul beban ganda (tugas domestik dan tugas produktif).
Tantangan Modern Dan Dinamika Keberlanjutan
Permasalahan Bahan Baku dan Regenerasi Keterampilan
Warisan Tenun Sumba menghadapi tantangan internal yang mengancam keotentikannya. Kelangkaan benang asli dari kapas semakin menjadi masalah substansial. Perpindahan ke benang dan pewarna pabrik mengurangi pengetahuan tradisional yang kompleks mengenai pemintalan dan pewarnaan alami.
Masalah terbesar lainnya adalah regenerasi. Transmisi pengetahuan informal dari generasi tua ke generasi muda perempuan sedang melemah. Hal ini disebabkan oleh semakin sibuknya anak-anak dengan studi dan gangguan modernitas. Jika transmisi ini terputus, kearifan lokal yang tertanam dalam setiap tahapan proses tenun akan hilang.
Hambatan Struktural UMKM Tenun: Modal, Manajemen, dan Pemasaran
Pengrajin tenun ikat, meskipun memiliki potensi besar sebagai sumber pendapatan, menghadapi hambatan ekonomi klasik UMKM. Keterbatasan modal usaha menjadi kendala utama, di mana penenun masih sangat mengandalkan dana pribadi hasil penjualan atau bantuan pemerintah yang minim. Selain itu, sistem pengelolaan hasil tenun ikat masih dilakukan secara manual dan belum profesional, sehingga menghambat peningkatan nilai jual dan skala usaha.
Fluktuasi pasar juga sangat mempengaruhi penenun. Ketika pandemi COVID-19 melanda, misalnya, perputaran kain tenun menjadi sangat lambat karena minimnya wisatawan dan tertundanya acara adat. Dampaknya, harga jual kain tenun menjadi sangat rendah meskipun proses pembuatannya tetap membutuhkan waktu dan kesulitan yang sama.
Ancaman Pemalsuan dan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual Komunal (KIK)
Komodifikasi tenun di pasar global telah memicu isu apropriasi budaya dan pelanggaran HAKI. Motif tenun Sumba Timur, yang merupakan hasil daya cipta dan karsa leluhur , sering ditiru. Terdapat kasus pelanggaran KIK motif spesifik, seperti motif kuda (njara), yang ditiru oleh pihak luar untuk tujuan komersial, bahkan diklaim sebagai milik daerah lain dalam acara internasional seperti peragaan busana di Paris. Peniruan motif ini juga terjadi di platform digital seperti Instagram untuk mendapatkan keuntungan pribadi tanpa bekerja sama dengan pencipta asli.
Kasus pelanggaran HAKI ini menunjukkan bahwa perlindungan secara deklaratif yang diamanatkan oleh UU Merek dan Indikasi Geografis (yaitu pencantuman tenun ikat Sumba dalam keputusan pemerintah daerah) tidaklah cukup. Diperlukan tindakan represif dan edukasi hukum untuk mencegah apropriasi budaya. Kegagalan melindungi KIK motif sakral ini bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merusak makna filosofis dan identitas masyarakat adat Sumba yang terkandung dalam karya tersebut.
Table 3: Analisis SWOT Pemberdayaan Perempuan Penenun Sumba
| Kekuatan (Strength) | Kelemahan (Weakness) | Peluang (Opportunity) | Ancaman (Threat) |
| Keterampilan otentik diwariskan turun-temurun. | Keterbatasan modal usaha dan ketergantungan pada dana minim. | Daya tarik pasar ecofriendly global (pewarna alami). | Pemalsuan motif dan pelanggaran HAKI Komunal (motif njara). |
| Nilai magis/ritual yang tinggi, menopang harga di pasar adat. | Manajemen usaha yang masih manual/belum profesional. | Dukungan Program CSR (Bakti BCA, WARLAMI) dan organisasi pemberdayaan (Tenun.in). | Kelangkaan bahan baku asli (kapas, pewarna alami). |
| Peran vital dalam menunjang ekonomi keluarga (mandiri). | Melemahnya transmisi pengetahuan informal (regenerasi). | Potensi branding sebagai karya seni/art (UMKM strategis). | Fluktuasi pasar (pandemi) dan kurangnya perhatian pemerintah struktural. |
Rekomendasi Dan Strategi Masa Depan
Penguatan Perlindungan Hukum dan Indikasi Geografis
Untuk mengatasi ancaman pemalsuan dan apropriasi, pemerintah daerah dan pusat harus mempercepat perlindungan hukum. Perlindungan indikasi asal harus diusahakan melalui pencantuman Tenun Ikat Sumba dalam keputusan daerah sebagai upaya deklaratif sesuai UU Nomor 20 Tahun 2016. Selain itu, perlindungan harus diperluas untuk mencakup pencatatan motif-motif spesifik (seperti njara dan Andungu) sebagai Hak Kekayaan Intelektual Komunal (KIK).
Sangat penting untuk mengembangkan sistem sertifikasi Indikasi Geografis (IG) yang ketat. Sistem ini harus mencakup pelabelan yang menjamin otentisitas, termasuk verifikasi penggunaan pewarna alami dan teknik tenun tradisional. Sertifikasi IG akan memberikan insentif ekonomi bagi penenun yang menjaga kemurnian tradisi.
Strategi Pemberdayaan Berbasis Gender dan Fair Trade
Status menenun harus diakui sebagai industri mikro utama, bukan hanya sebagai kegiatan sampingan, agar dukungan struktural dapat diberikan. Strategi harus berfokus pada pemberdayaan perempuan penenun.
Pertama, pemerintah dan lembaga terkait harus menyediakan pelatihan dan pendampingan yang mencakup manajemen usaha, strategi pemasaran, dan branding kain tenun sebagai karya seni. Ini krusial untuk mengatasi hambatan modal dan manajemen yang masih manual. Kedua, dukungan modal harus ditingkatkan dan difasilitasi, baik melalui bantuan pemerintah maupun program CSR. Kolaborasi dengan lembaga seperti Bakti BCA dan WARLAMI yang berfokus pada produksi wastra otentik dan ecofriendly perlu diperluas. Terakhir, dukungan berupa Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi produksi semi-tradisional.
Integrasi Tenun Sumba dalam Ekosistem Pariwisata Berkelanjutan
Untuk memastikan penenun mendapat harga yang adil, diperlukan integrasi yang lebih erat antara kerajinan tenun dan sektor pariwisata berkelanjutan. Wisatawan harus didorong untuk mengunjungi langsung desa-desa penenun untuk menyaksikan proses tradisional menggunakan backstrap loom dan pewarnaan alam. Model ini tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pemasaran Fair Trade yang memberikan harga premium, tetapi juga sebagai media pewarisan pengetahuan yang otentik kepada publik.
Upaya Percepatan Pengajuan UNESCO: Diplomasi Budaya
Mengingat status Tenun Ikat Sumba pernah berada di Urgent Safeguarding List UNESCO , Dekranasda NTT dan Kementerian terkait harus memperkuat narasi pengajuan nominasi “Tenun Indonesia”. Narasi ini harus secara eksplisit menyoroti peran sentral perempuan Sumba sebagai penjaga pengetahuan yang terancam punah (pewarnaan alam, pemintalan kapas, dan transmisi informal) sebagai dasar urgensi pelestarian.
Penutup Dan Kesimpulan
Tenun Ikat Sumba adalah simfoni keterampilan teknis dan narasi kosmologis yang dihela oleh ketekunan para perempuan Sumba. Mereka adalah garda terdepan yang menopang tradisi sekaligus ekonomi keluarga. Namun, warisan ini berada pada persimpangan kritis antara kapitalisasi kultural yang tinggi (dalam konteks ritual) dan kerentanan ekonomi yang rendah (dalam konteks pasar UMKM), diperburuk oleh ancaman pemalsuan dan hilangnya bahan baku alami.
Perlindungan Tenun Sumba memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Hal ini mencakup penguatan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) untuk motif, penerapan sistem Indikasi Geografis yang menjamin keotentikan ecofriendly, dan peningkatan kapasitas manajerial dan modal bagi perempuan penenun. Hanya dengan mengakui menenun sebagai aset strategis utama dan memberikan dukungan struktural yang memadai, nilai budaya Tenun Ikat Sumba yang abadi akan dapat dipertahankan, dan kesejahteraan perempuan penenun akan meningkat secara berkelanjutan.


