Loading Now

Fungsi Sosial Musik Dalam Masyarakat Adat: Kajian Etnomusikologi Tentang Identitas, Ritual, Dan Dinamika Kultural

Musik tradisional merupakan suatu bentuk kesenian yang mengakar kuat dalam struktur sosial masyarakat pendukungnya. Secara konseptual, musik tradisional didefinisikan sebagai kesenian yang tumbuh dan berkembang di suatu lokalitas, didukung oleh masyarakat yang terikat pada aturan adat yang telah disepakati, dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Musik jenis ini berfungsi sebagai cerminan nilai-nilai dan kebijaksanaan yang diwariskan oleh leluhur, sekaligus memperkuat solidaritas sosial dan membentuk identitas budaya yang unik di tengah keragaman.

Dalam konteks perbandingan dengan musik modern, terdapat perbedaan orientasi fundamental. Kesenian modern cenderung mudah berubah dan mengadopsi unsur-unsur luar. Sebaliknya, musik tradisional menunjukkan kecenderungan yang lebih lambat dalam mengalami perubahan. Penciptaannya terikat erat pada aturan, nilai, dan estetika tradisional, di mana inovasi umumnya terjadi dalam batas-batas yang diterima oleh tradisi itu sendiri. Oleh karena itu, paradigma fungsionalitas sangat dominan: musik adat secara inheren bersifat fungsional, diciptakan untuk tujuan spesifik seperti ritual, upacara, atau kegiatan sehari-hari, dan melodi serta liriknya sering mencerminkan kearifan lokal.

Fungsi Sosial Musik: Paradigma Fungsionalis vs. Estetik Murni

Fungsi sosial seni musik, terutama dalam masyarakat adat, melampaui sekadar sarana hiburan. Musik memiliki peranan yang sangat penting dalam pengesahan lembaga sosial dan ritual religius. Paradigma fungsionalis ini membedakannya dari konsep estetika murni ala Barat (art for art’s sake).

Meskipun musik adat diciptakan untuk tujuan utilitas—sebagai pengiring tarian, sarana komunikasi, atau ritual—menganggapnya tidak estetis adalah pandangan yang keliru. Estetika dalam musik adat bersifat fungsional. Musik adat digunakan sebagai media untuk merealisasikan nilai artistik yang terintegrasi secara mendalam dengan konteks budaya. Keindahan dan kerumitan pola ritme Gamelan Jawa atau irama

Becanang Aceh adalah keindahan yang terikat langsung pada kesempurnaan pelaksanaannya dalam fungsi sosial atau ritual yang diemban. Musik adat berfungsi ganda: ia adalah konfigurasi gagasan yang melampaui batas realitas kehidupan, yang pada saat yang sama wajib memiliki kegunaan sosial atau spiritual tertentu. Musik tradisional yang disajikan dalam suatu upacara keagamaan maupun adat budaya memiliki signifikansi yang vital, baik sebagai pengiring, pembentuk suasana, maupun sebagai bagian integral dari ritual itu sendiri.

Musik sebagai Pilar Identitas Kolektif dan Kohesi Sosial

Musik sebagai Cermin Masyarakat dan Narasi Kultural

Musik tradisional tidak hanya menjadi artefak budaya, tetapi juga cermin hidup masyarakat pendukungnya. Ia mencerminkan nilai-nilai dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikannya wahana edukatif dan reflektif dalam menjaga keberlangsungan budaya lokal.

Lagu-lagu tradisional berfungsi sebagai repositori memori kolektif yang mendalam. Sebagai studi kasus, lagu “Tanah Bengkulu” dianalisis sebagai medium artistik yang memuat narasi kultural masyarakat Bengkulu secara autentik. Lagu ini membangun narasi identitas Bengkulu melalui tiga representasi utama: penanaman nilai-nilai adat dan etika Melayu (sebagai pagar moral masyarakat), budaya merantau (dipahami sebagai proses sosial dan spiritual), serta ikatan emosional dan spiritual terhadap tanah kelahiran sebagai sumber jati diri. Lebih lanjut, musik tradisional telah lama diakui sebagai identitas Indonesia secara umum, menunjukkan ciri khas yang unik di setiap daerah.

Penguatan Solidaritas dan Kohesi Sosial

Peran penting musik adat adalah memperkuat solidaritas sosial dan menciptakan kohesi di tengah keragaman masyarakat. Kesenian tradisional berfungsi untuk menyatukan masyarakat pendukungnya, berbeda dengan kesenian modern yang cenderung individualistik.

Melalui pelaksanaan musik dan tarian adat, masyarakat adat merayakan kebahagiaan, dan lebih penting lagi, mengukuhkan harga diri sebuah suku. Dengan mempertahankan dan mendukung kekhasan musik tradisional, komunitas tidak hanya menjaga keberagaman budaya yang berharga, tetapi juga memastikan warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi dapat terus hidup dan diperkaya.

Transmisi Warisan Budaya dan Edukasi Moral

Musik adat merupakan alat transmisi nilai yang luar biasa. Ia membantu melestarikan dan menghormati nilai-nilai, cerita, dan identitas budaya suatu komunitas. Selain itu, musik tradisional sering digunakan sebagai media untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan etika, seringkali mengandung pesan-pesan didaktik tentang kehidupan dan alam semesta.

Apabila musik berfungsi sebagai media transmisi nilai, maka ia secara langsung membentuk identitas kolektif. Kehilangan konteks fungsional musik, seperti yang terjadi ketika tradisi mulai pudar, akan mengakibatkan disintegrasi narasi kolektif masyarakat. Musik adat tidak hanya menyimpan informasi tentang tradisi; ia mengajarkan filosofi hidup (misalnya etika Melayu dan filosofi Merantau yang terkandung dalam lagu Bengkulu ). Ini adalah mekanisme penjagaan (safeguarding) kultural yang jauh lebih kuat daripada sekadar pendokumentasian fisik, karena memastikan nilai-nilai tersebut diinternalisasi secara emosional dan praktis oleh generasi penerus.

Fungsi Musik dalam Ranah Ritual Sakral dan Upacara Adat

Musik sebagai Medium Magis dan Komunikasi Spiritual

Musik merupakan aspek esensial yang digunakan dalam berbagai upacara keagamaan dan budaya masyarakat, meliputi upacara kelahiran, pernikahan, kematian, dan upacara inisiasi, baik yang bersifat sakral maupun sekuler. Dalam banyak tradisi, musik melampaui fungsi pengiring; ia memiliki aspek spiritual dan diyakini sebagai alat untuk berkomunikasi dengan Tuhan atau kekuatan spiritual yang lebih tinggi.

Dalam beberapa komunitas, bunyi yang dihasilkan oleh instrumen atau alat musik tertentu diyakini memiliki kekuatan magis dan berperan sebagai pelengkap tradisi yang dipercaya sangat sakral. Kepercayaan ini menempatkan musik sebagai teknologi spiritual, di mana kehadirannya menandakan dibukanya batas antara realitas fisik dan spiritual. Musik menjadi instrumen ontologis yang memungkinkan interaksi dengan entitas non-manusia atau kontrol atas alam gaib.

Studi Kasus I: Musik dalam Ritual Inisiasi dan Peralihan Status

Peran musik sangat menonjol dalam upacara peralihan status, yang secara formal menandai perubahan kedudukan individu dalam masyarakat.

  1. Upacara Posuo Wolio (Tolandona-Buton Tengah): Upacara Posuo adalah upacara peralihan status dari wanita remaja menuju wanita dewasa. Dalam ritual ini, instrumen musik perkusi disajikan dalam bentuk instrumental, berfungsi sebagai pengiring dan pembentuk suasana. Musik di sini memiliki makna dan signifikansi kultural yang mendalam, berfungsi sebagai validator resmi transisi status.
  2. Komparasi Global (Suku Maasai, Afrika): Musik vokal memainkan peran sentral dalam upacara Eunoto, yakni upacara kedewasaan bagi morans (pejuang) Maasai. Musik (yang biasanya tanpa instrumen, kecuali tanduk Greater Kudu yang digunakan untuk memanggil pejuang) melibatkan harmonisasi ritmis dari paduan suara vokal dan melodi yang dibawakan oleh pemimpin lagu (olaranyani). Musik ini menciptakan irama sinkopasi yang menghipnotis dan membutuhkan partisipasi total, secara formal menandai transisi status pejuang menjadi pria dewasa senior.

Studi Kasus II: Musik dalam Ritual Pemujaan atau Penyembuhan

Fungsi musik sebagai media ritual aktif dapat dilihat dari contoh berikut:

  1. Ritual Besiak (Melayu Sambas): Ritual Besiak dilakukan pada upacara adat Melayu Sambas, yaitu Upacara Antar Ajong. Tujuannya adalah menangkap makhluk halus jahat untuk dimasukkan ke dalam ajong. Proses ini diiringi oleh musik dari alat musik pukul. Musik Besiak dipercaya memanggil makhluk halus baik penguasa alam gaib agar merasuki dukun, menunjukkan bahwa musik berfungsi sebagai media ritual yang secara aktif memengaruhi alam gaib.
  2. Musik Penyembuhan (Yawanawa, Brazil): Di tingkat global, musik shamanik di Amazon, seperti yang dimainkan oleh suku Yawanawa, dikenal sebagai healing music. Musik ini digunakan dalam upacara Ayahuasca dan diyakini memiliki fungsi terapi spiritual yang melampaui batasan sosial biasa.

Fungsi-fungsi ini menegaskan bahwa dalam masyarakat adat, musik dalam ritual tidak sekadar mengiringi, melainkan melakukan tindakan ritual itu sendiri. Musik adalah instrumen ontologis yang esensial, dan signifikansinya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya dan falsafah hidup masyarakat tersebut.

Untuk memberikan tinjauan terstruktur mengenai peran musik dalam ritual peralihan status, berikut disajikan komparasi etnomusikologi:

Komparasi Etnomusikologi Peran Musik Adat dalam Ritual Peralihan

Masyarakat Adat Ritual Utama Peran Kunci Musik Instrumentasi/Pelaku Implikasi Sosial/Gender
Tolandona-Buton Tengah (Indonesia) Posuo (Inisiasi Kedewasaan Perempuan) Pembentuk suasana sakral, signifikansi kultural ritual peralihan status. Instrumen perkusi instrumental. Inisiasi perempuan, penanda status sosial yang ditinggikan pasca-pingitan.
Suku Maasai (Afrika) Eunoto (Inisiasi Pejuang – Morans) Pengobar semangat, sinkronisasi gerakan tarian (Adumu), komunikasi spiritual/panggilan. Vokal Polifonik (guttural polyrhythms), Tanduk Greater Kudu (panggilan). Dominasi peran laki-laki (warrior culture).
Suku Xavante (Brazil) Ritus Peralihan Kedewasaan Laki-laki Koneksi ketat dengan leluhur/roh, disiplin spiritual/kultural. Vokal/Shamanik (Implisit). Laki-laki adalah penjaga ritual ketat; perempuan dilarang dalam ritual yang menuntut kedisiplinan spiritual.

Fungsi Praktis, Regulatif, dan Kekuasaan dalam Musik Adat

Musik sebagai Sarana Komunikasi Non-Verbal

Di luar konteks ritual, musik juga menjalankan fungsi praktis yang vital, khususnya sebagai sarana komunikasi. Alat musik tradisional dapat berfungsi sebagai pemberi tanda atau panggilan. Sebagai contoh, Amyen, alat musik tiup sejenis terompet yang terbuat dari kayu putih (Suku Web di Keerom, Papua), digunakan untuk mengiringi kesenian tari-tarian daerah dan, secara historis, sebagai alat komunikasi, terutama untuk memberikan tanda bahaya ketika berperang melawan musuh.

Selain itu, musik juga berfungsi sebagai simulasi lingkungan. Dalam tradisi Maasai, suara guttural para morani (pejuang) saat bernyanyi seringkali terdengar seperti suara ternak. Suara ini menciptakan dasar sonik yang terpisah dari keheningan, menunjukkan koneksi erat antara musik, lingkungan, dan mata pencaharian utama masyarakat (ekologi).

Musik Kerja (Work Songs): Sinkronisasi dan Stimulasi Aktivitas

Musik kerja (work songs) adalah genre fungsional yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan etos kerja kolektif. Musik ini berfungsi sebagai penyemangat bekerja, seperti pada tradisi musik Becanang di Bener Meriah, Aceh, yang dihidupkan oleh kaum perempuan.

Dalam konteks pertanian, lagu-lagu tani, seperti lirik lagu penanaman padi atau tembang Pari Anyar dalam laras pelog pathet lima di Jawa, digunakan untuk mengatur ritme kerja kolektif di sawah. Lagu-lagu ini berfungsi untuk mengurangi rasa lelah, mensinkronkan gerakan (misalnya saat menanam padi), dan secara filosofis menanamkan nilai kesabaran (“golek bojo milih sing sabar”). Fungsi-fungsi ini menunjukkan dimensi biopolitik musik, di mana musik digunakan untuk meregulasi tubuh dan perilaku kolektif, yang berdampak langsung pada efisiensi produksi dan kelangsungan hidup ekonomi masyarakat.

Musik dan Konflik/Pertahanan Diri

Dalam situasi konflik, musik adat memiliki fungsi regulatif untuk mobilisasi emosi. Musik yang mengiringi tarian perang, seperti Tari Perang Papua (Tari Falabea atau Tari Mambri), memiliki fungsi utama mengobarkan semangat para pejuang (warriors) dan menjaga harga diri suku.

Tarian perang di Papua, yang merupakan karya seni pertunjukan yang dilestarikan sejak periode prasejarah, bukan sekadar hiburan. Ia adalah ritual yang dipertahankan sebagai penghormatan terhadap nenek moyang dan penegasan harga diri suku. Penggunaan alat komunikasi seperti  Amyen sebagai tanda bahaya dan tarian yang secara emosional memobilisasi masyarakat menunjukkan bagaimana musik berfungsi untuk memaksimalkan keberanian dan pertahanan kolektif, menjadikannya elemen kunci dalam kelangsungan hidup fisik komunitas.

Dinamika Sosial: Musik, Gender, dan Hierarki

Analisis Kesenjangan dan Peran Gender dalam Warisan Budaya

Meskipun musik adalah bahasa universal yang kompleks, penelitian menunjukkan bahwa dalam lingkup budaya masih terjadi kesenjangan gender. Lembaga global seperti UNESCO telah memperingatkan bahwa prasangka gender dalam proses mengidentifikasi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) berisiko menyebabkan warisan yang diciptakan atau dipelihara oleh kelompok gender tertentu diabaikan. Keterlibatan penuh dari komunitas, termasuk representasi gender yang setara, sangat diperlukan dalam inventarisasi WBTb untuk menghindari pengabaian sumbangsih kelompok yang terpinggirkan.

Studi Kasus III: Keberadaan dan Peranan Perempuan

Musik adat seringkali menjadi arena di mana peran gender dinegosiasikan, atau bahkan didobrak.

  1. Musik Becanang (Bener Meriah, Aceh): Musik perunggu ini merupakan contoh etnomusikologi yang penting karena tradisinya dihidupkan dan didominasi oleh perempuan. Dalam konteks Aceh, di mana banyak aktivitas seni pertunjukan Islami didominasi oleh laki-laki, Becanang menjadi ruang ekspresi, hiburan, dan penyemangat kerja yang secara eksklusif dikendalikan oleh perempuan.
  2. Pionir di Miangas: Kisah Oma Halena di Pulau Miangas, yang menjadi pemusik perempuan pertama dalam kelompok musik Hawaiian Kalvari, menunjukkan bagaimana upaya dan kerja keras individu dapat mendobrak stigma gender dalam ruang kebudayaan dan ritual, menghasilkan dominasi perempuan dalam kelompok musik tersebut di kemudian hari.

Fenomena ini menunjukkan bahwa musik menyediakan “ruang beroperasi” yang diizinkan oleh struktur adat bagi kelompok yang secara sosial terpinggirkan. Melalui musik, perempuan dapat menegaskan identitas, peran sosial, dan agensi mereka (kekuasaan untuk bertindak) tanpa perlu secara eksplisit menentang struktur patriarki yang lebih besar dalam masyarakat.

Musik sebagai Penanda Status

Musik ritual adalah penanda status yang kuat. Ritual inisiasi, seperti Posuo Buton atau  Eunoto Maasai , didukung oleh musik untuk secara formal dan sakral menandai perubahan status individu, dari remaja menjadi dewasa atau dari prajurit menjadi pemimpin. Musik menjadi validator yang mendalam atas transisi ini, mengukuhkan hierarki baru dalam struktur sosial.

Selain itu, dalam tahapan adat pernikahan, meskipun bukan musik vokal atau instrumental, prosesi adat seperti mopotilantahu (malam pertunangan) di Gorontalo melibatkan peran dominan perempuan (hulango atau nenek) dalam pendampingan dan pemberian nasihat. Peran ini, yang erat kaitannya dengan tradisi lisan dan ritual yang dibingkai oleh konteks seni pertunjukan, menggarisbawahi bagaimana peran gender dan status sosial direfleksikan dan divalidasi melalui urutan ritual adat.

Tantangan Modernisasi, Digitalisasi, dan Masa Depan Fungsionalitas

Dampak Media Digital dan Globalisasi

Musik tradisional menghadapi tantangan serius di era modernisasi dan globalisasi. Perkembangan media sosial telah membawa pengaruh besar terhadap media penyampaian informasi publik. Saat ini, media digital lebih diminati oleh masyarakat, terutama kaum milenial, dibandingkan menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seni tradisional secara langsung.

Pergeseran ini mengancam fungsi sosial musik tradisional, yang bergantung pada pertunjukan sebagai media rakyat dan sarana komunikasi massa. Masalah yang lebih serius adalah krisis regenerasi. Kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari budaya dan musik tradisional di setiap daerah menyebabkan terbatasnya pengembangan seni budaya. Di tengah tantangan modernisasi, musik tradisional membutuhkan dukungan masyarakat dan pemerintah agar tetap hidup dan relevan.

Strategi Inovasi dan Adaptasi Kultural

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi inovasi yang cerdas. Salah satu pendekatan adalah kolaborasi genre. Banyak seniman muda mulai menggabungkan musik tradisional dengan genre modern, seperti jazz dan pop (misalnya kolaborasi gamelan dengan jazz). Pendekatan ini bertujuan untuk menarik minat generasi muda dan membuat musik tradisional lebih mudah diterima tanpa kehilangan esensi budayanya.

Selain itu, pemanfaatan teknologi digital juga krusial. Pengembangan e-learning untuk musik tradisional dirancang untuk mempermudah akses anggota terhadap materi pembelajaran (teori, sejarah instrumen, instrumen virtual) kapan saja dan di mana saja. Di tingkat lokal, komunitas memainkan peran krusial dalam menggali kembali kesenian yang sempat terlupakan, mendorong inovasi, serta memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan acara seni dan terhubung dengan audiens yang lebih luas.

Isu Hukum, Safeguarding, dan Sengketa Budaya

Di tingkat internasional, nilai musik tradisional dapat memicu sengketa. Kasus sengketa klaim lagu daerah Rasa Sayange antara Indonesia dan Malaysia menyoroti kerentanan ekspresi budaya tradisional dalam kancah hukum global.

Penyelesaian sengketa budaya sering merujuk pada Konvensi UNESCO 2003, yang menekankan pada safeguarding (penjagaan) yang bersifat non-ekonomi dan inklusif, bukan perlindungan eksklusif. Perlindungan ini bertujuan agar warisan budaya dapat bebas dinikmati oleh publik, sehingga fungsi musik adat sebagai identitas kolektif dan warisan yang hidup dapat terus terjaga.

Namun, upaya inovasi seperti kolaborasi dengan genre modern (Gamelan-Jazz) memunculkan dilema: meskipun strategi ini membantu kelangsungan hidup musik dari segi estetika dan popularitas, ia berisiko memisahkan musik dari konteks sosial atau ritual aslinya, sebuah proses yang disebut delocalization. Ketika musik tradisional diubah menjadi komoditas hiburan semata, fungsi magis, ritual, dan edukatifnya dapat terdegradasi. Oleh karena itu, pelestarian harus fokus pada penjagaan fungsi, bukan hanya bentuk, agar nilai sakralnya tidak hilang.

Kesimpulan, Implikasi Kebijakan, dan Rekomendasi

Sintesis Fungsi Sosial Musik Adat yang Multidimensional

Analisis etnomusikologi menunjukkan bahwa fungsi musik dalam masyarakat adat bersifat multidimensional dan terintegrasi secara holistik dalam kehidupan sehari-hari, melampaui konsep hiburan. Musik adat mencakup dimensi Ontologis (sebagai teknologi spiritual dalam ritual Besiak dan Posuo), Sosiologis (sebagai perekat kohesi sosial dan regulator kerja/konflik), Kultural (sebagai cermin dan transmitor identitas kolektif dan kearifan lokal), serta Praktis (sebagai sarana komunikasi dan penyemangat produksi).

Keberadaan dan kegunaan musik bagi suatu masyarakat dipengaruhi secara fundamental oleh pemahaman kolektif mereka tentang arti musik itu sendiri dalam konteks sosial dan falsafah hidup. Ketika musik memiliki signifikansi ritual yang mendalam, ia menjadi bagian dari ritual itu sendiri, bukan hanya pelengkap.

Kategorisasi Fungsi Sosial Musik dalam Masyarakat Adat Nusantara

Kategori Fungsi Utama Deskripsi Fungsional Peran dalam Komunitas Contoh Relevan (Nusantara)
Fungsi Ritual/Sakral Musik sebagai media penghubung spiritual, pengesahan ritual, atau pengiring upacara magis. Menetapkan suasana sakral, memanggil entitas, menandai transisi kehidupan (siklus hidup). Musik Posuo (Inisiasi perempuan Buton) , Gamelan (Upacara Keagamaan Bali) , Musik Besiak (Panggilan makhluk halus Melayu Sambas).
Fungsi Identitas & Kohesi Musik sebagai representasi budaya, identitas kolektif, dan penguat solidaritas sosial. Mempertegas batasan kelompok, melestarikan warisan, memperkuat ikatan sosial dan memori kolektif. Lagu Tanah Bengkulu (Narasi identitas kultural dan etika Melayu) , Angklung (Jawa Barat) , Gamelan Jawa/Bali.
Fungsi Regulatif & Praktis Musik yang mengiringi aktivitas kerja, komunikasi, atau menstimulasi aksi spesifik (perang/pertahanan). Sinkronisasi kerja/produksi, sarana pesan jarak jauh, pemicu emosi kolektif dan pertahanan. Amyen (Papua-tanda bahaya/komunikasi) , Musik Becanang (Penyemangat kerja Aceh) , Lagu Kerja Tani (Pari Anyar Jawa).

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi untuk Penguatan Fungsi Sosial

Berdasarkan tantangan modernisasi dan perlunya pelestarian fungsi, bukan hanya bentuk, laporan ini menyajikan beberapa rekomendasi strategis:

  1. Penguatan Ruang Komunitas dan Digitalisasi Terarah: Pemerintah dan organisasi perlu memberikan dukungan struktural kepada sanggar dan komunitas desa untuk mempertahankan pertunjukan tradisional sebagai “media rakyat”. Pada saat yang sama, pemanfaatan media digital (seperti e-learning dan media sosial) harus diarahkan untuk tidak hanya mempromosikan, tetapi juga mengajarkan konteks dan filosofi di balik musik tersebut.
  2. Edukasi Kontekstual untuk Mencegah Delokalisasi: Kurikulum pendidikan harus diperkaya agar tidak hanya mengajarkan cara memainkan alat musik tradisional, tetapi juga konteks sosial, magis, dan filosofisnya. Tujuannya adalah melawan pemisahan musik dari fungsi aslinya, memastikan generasi muda memahami bahwa kolaborasi genre harus tetap menghormati esensi dan kegunaan kulturalnya.
  3. Kebijakan Safeguarding Berbasis Gender: Dalam inventarisasi Warisan Budaya Takbenda, perlu didorong pelatihan dan dukungan berbasis komunitas yang secara eksplisit mempertimbangkan representasi gender secara penuh. Hal ini penting untuk memastikan warisan yang didominasi oleh perempuan—yang seringkali mewakili narasi penegasan peran sosial (seperti Becanang di Aceh)—tidak terabaikan.