Aneka Ragam Manisan di Indonesia
Mengenai manisan sebagai produk pangan olahan tradisional di Indonesia, meliputi aspek historis, klasifikasi teknis, potensi ekonomi, dan tantangan pengembangan. Analisis menunjukkan bahwa industri manisan, yang didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), memiliki kelayakan finansial yang sangat kuat, dibuktikan dengan nilai rasio pengembalian terhadap biaya (R/C Ratio) yang mencapai 2,24. Secara historis, manisan berakar pada akulturasi budaya perdagangan maritim, menjadikannya produk dengan narasi kultural yang kaya.
Manisan memegang peranan vital dalam ekonomi sirkular pertanian karena kemampuannya memanfaatkan surplus hasil panen dan komoditas yang secara tradisional dianggap limbah, seperti tomat atau pala. Untuk mewujudkan potensi ekonomi ini, strategi harus difokuskan pada transisi dari Manisan Basah ke Manisan Kering, yang lebih stabil secara logistik dan sesuai dengan permintaan pasar global. Pasar Eropa, misalnya, memproyeksikan pertumbuhan volume buah tropis kering sebesar 5–7% setiap tahunnya. Tantangan utama terletak pada standardisasi mutu, di mana UMKM harus didorong untuk bergerak melampaui kepatuhan Izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) menuju praktik manufaktur yang baik (Good Manufacturing Practices—GMP) untuk mengakses rantai nilai domestik modern dan pasar ekspor berstandar tinggi. Pengembangan manisan yang terintegrasi dengan pariwisata daerah juga diidentifikasi sebagai katalisator ekonomi pedesaan yang efektif.
Pendalaman Gastronomi Manisan: Definisi, Klasifikasi, Dan Keragaman Bahan Baku
Manisan sebagai Teknik Pengawetan Buah Tropis: Prinsip Dasar Osmosis
Manisan didefinisikan sebagai makanan olahan, setara dengan preserved food atau confit dalam terminologi global, yang dicirikan oleh rasa manis dan kesegaran yang disukai masyarakat. Secara teknis, manisan adalah produk yang diolah dari buah-buahan melalui proses pemasakan dan perendaman dalam larutan gula pekat selama minimal 24 jam.
Prinsip dasar yang bekerja di balik pengawetan ini adalah osmosis, di mana konsentrasi gula yang tinggi bertindak sebagai agen penarik air dari sel buah, secara efektif menurunkan aktivitas air (aw​) dalam bahan pangan. Penurunan aw​ ini menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak, sehingga memperpanjang masa simpan produk. Lebih dari sekadar fungsi pengawetan, proses manisan juga menawarkan beberapa keuntungan logistik: bentuk buah menjadi lebih menarik, volume dan bobotnya berkurang secara signifikan, yang pada gilirannya mempermudah proses pengangkutan dan distribusi. Teknik ini merupakan salah satu bentuk pengawetan alami yang paling kuno dan efektif di wilayah tropis yang kaya akan buah-buahan.
Taksonomi Manisan Indonesia: Klasifikasi Berdasarkan Kadar Air dan Proses
Keragaman manisan di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kadar air akhir dan metode konsentrasi gula yang digunakan. Terdapat tiga hingga empat kategori utama yang menentukan karakteristik tekstur dan daya simpan produk.
Kategori pertama adalah Manisan Basah, di mana buah dilarutkan dalam larutan gula encer dan memiliki kandungan air yang relatif tinggi, sehingga memberikan sensasi segar. Contoh populer termasuk Mangga, Jambu, Salak, Kedondong, dan Kolang Kaling. Kategori kedua adalah Manisan Semi Basah atau Kental, dicirikan oleh larutan gula yang lebih pekat dan menempel pada permukaan buah. Jenis ini termasuk Pala, Lobi-lobi, dan Ceremai. Kategori ketiga dan yang paling stabil adalah Manisan Kering, di mana buah mengalami pengeringan intensif dan gula utuh (kristal) menempel pada permukaan. Proses dehidrasi ini membuat bobotnya kecil dan daya simpannya sangat panjang, menjadikannya ideal untuk pasar hantaran dan logistik jarak jauh. Selain manisan berbasis gula, ada juga kelompok produk terkait seperti Acar atau Manisan Asin, yang menggunakan pengawetan melalui garam, cuka, atau pengasaman, dengan bahan seperti Mentimum, Wortel, Nanas, atau Cabai.
Tabel 1: Klasifikasi Manisan Tradisional Indonesia Berdasarkan Teknik Pengolahan
Jenis Manisan | Karakteristik Fisik Utama | Metode Pengawetan Kunci | Contoh Bahan Baku Lokal |
Basah | Buah terendam dalam larutan gula encer | Osmosis gula (Aktivitas Air Tinggi) | Mangga, Kedondong, Kolang Kaling |
Kental/Semi-Basah | Larutan gula kental menempel pada buah | Osmosis gula (Aktivitas Air Menengah) | Pala, Ceremai, Lobi-lobi |
Kering | Gula utuh (kristal) menempel pada buah | Dehidrasi/Pengeringan + Kristalisasi gula | Tomat, Buah Tropis Kering |
Acar/Asin | Direndam larutan garam/cuka/asam | Penggaraman/Pengasaman | Mentimum, Wortel, Cabai, Rambutan |
Keanekaragaman Bahan Baku: Inventarisasi Produk Agro Lokal
Industri manisan di Indonesia menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memanfaatkan keanekaragaman komoditas pertanian tropis. Bahan baku yang digunakan melampaui buah-buahan umum. Selain Mangga, Salak, dan Pepaya , komoditas spesifik daerah telah diidentifikasi, seperti Pala yang menjadi unggulan di Bogor dan Carica di dataran tinggi.
Secara strategis, manisan juga telah berkembang menjadi solusi pemanfaatan komoditas non-tradisional atau yang menghadapi masalah surplus panen. Manisan Halua dari Langkat, Sumatera Utara, misalnya, secara unik menggunakan lebih dari sepuluh jenis bahan, termasuk sayuran seperti cabai, labu, terong, wortel, daun pepaya, hingga buah gundur. Inovasi ini merupakan bentuk kearifan lokal dalam mengelola kelimpahan pertanian. Perkembangan paling mutakhir adalah pengolahan buah tomat surplus menjadi Manisan Tomat Kering, yang dimodifikasi menyerupai kurma. Pendekatan ini merupakan strategi agribisnis yang efektif untuk mengatasi kerugian pasca panen (post-harvest loss) dan mendiversifikasi produk pertanian, memastikan bahwa hasil pertanian yang melimpah dan musiman dapat diubah menjadi produk bernilai tambah yang stabil dan kompetitif.
Asal-Usul Kultural Dan Geografi Manisan Di Nusantara (Asal)
Akulturasi Historis: Peran Jalur Sutra dan Pengaruh Asing
Keberadaan manisan di Nusantara tidak terlepas dari proses akulturasi yang intensif melalui jalur perdagangan maritim, khususnya Selat Malaka. Pengaruh Tionghoa sangat kental dalam sejarah kuliner Indonesia, memperkenalkan teknik pengolahan dan jenis makanan yang kemudian berasimilasi dengan budaya lokal. Manisan Tionghoa, seperti manisan kulit jeruk kering , sering disajikan pada perayaan hari besar seperti Imlek , dan memiliki kemiripan fungsional dengan manisan lokal, terutama dalam penggunaan bahan seperti bligo (kundur) dan kolang kaling.
Selain itu, pengaruh Melayu-Arab sangat terlihat pada manisan khas Melayu Langkat, yaitu Halua. Secara etimologi, Halua berasal dari bahasa Arab halwa yang berarti manisan. Keberadaan Halua diperkirakan sudah ada sejak Abad ke-11, dipengaruhi oleh posisi Kesultanan Melayu yang strategis di pesisir timur Sumatera, yang menjadi bagian integral dari Jalur Sutra. Melalui jalur ini, teknik pengawetan gula ini terasimilasi. Meskipun demikian, Halua Melayu menunjukkan kearifan lokal yang kuat, di mana ia berbeda dengan halwa dari Jazirah Arab yang berbasis tepung/gandum, melainkan menonjolkan aneka ragam bahan baku lokal, termasuk sayuran. Halua, dengan demikian, diposisikan sebagai cerminan sejarah maritim dan titik pertemuan budaya di Nusantara.
Manisan sebagai Warisan Kuliner Regional (WBTB)
Manisan seringkali menjadi produk ikonik yang mengikat identitas geografis dan budaya suatu wilayah. Beberapa contoh menunjukkan bagaimana manisan menjadi warisan kuliner yang dihargai.
Halua Langkat, Sumatera Utara telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Manisan ini terkenal karena komposisinya yang multisayuran dan buah, dan secara tradisional hanya disajikan pada momen-momen sakral seperti hari raya Lebaran.
Manisan Bogor, di Jawa Barat, dikenal sebagai pusat oleh-oleh dengan varian yang populer seperti Manisan Pala Basah dan Manisan Anggur Hijau Segar. Sementara itu, di  Bali, manisan diintegrasikan ke dalam pengalaman bersantap yang lebih modern, di mana restorannya mempromosikan nuansa Golden Age of Taste Indonesia, mengikat produk tradisional dengan pariwisata berkelas.
Fungsi Sosial dan Signifikansi Tradisional
Di luar konteks kuliner komersial, manisan juga memiliki makna sosial dan ritual yang mendalam. Di Dusun Tanggung, Temanggung, Jawa Tengah, terdapat Tradisi Manisan yang dilakukan oleh masyarakat petani setelah masa tanam padi. Tradisi ini diyakini berasal dari kata  Sumo Manis (Senin Legi) dalam penanggalan Jawa. Ritual ini adalah manifestasi rasa syukur dan harapan agar tanaman tumbuh subur dan panen melimpah.
Pelaksanaan tradisi melibatkan aktivitas komunal seperti begadang semalaman (lek-lekan) oleh kaum lelaki di rumah kepala dusun, diikuti dengan berkumpulnya para kepala keluarga membawa makanan utama seperti Tahu Kupat. Manisan dalam konteks ini berfungsi sebagai simbol manajemen kelimpahan dan keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan sesama. Fungsi serupa juga ditemukan dalam konteks Umat Buddha di Dusun Legok, Banjarnegara, menunjukkan bahwa manisan dan tradisi terkait berperan penting dalam konteks agraris dan keagamaan lokal. Strategi pengembangan industri harus memanfaatkan kekayaan narasi historis dan budaya ini—sebuah pendekatan yang dikenal sebagai Heritage Branding—untuk memberikan nilai premium dan diferensiasi pasar.
Analisis Kelayakan Dan Potensi Ekonomi Manisan (Potensi)
Manisan dalam Ekonomi Sirkular Pertanian
Manisan merupakan produk yang sangat relevan dalam kerangka ekonomi sirkular pertanian. Di Indonesia, di mana tingkat kerugian pasca panen masih menjadi masalah signifikan, kemampuan manisan untuk mengolah hasil surplus menjadi produk stabil sangat bernilai.
Proses pengolahan manisan memungkinkan pemanfaatan buah-buahan yang secara visual tidak memenuhi standar pasar segar, atau saat terjadi panen raya yang mengakibatkan harga anjlok. Misalnya, buah pala di Pulau Lemukutan, yang tadinya dibiarkan jatuh dan busuk di tanah, kini diolah menjadi manisan oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis) setempat. Demikian pula, inovasi Manisan Tomat Kering muncul sebagai solusi langsung untuk meningkatkan daya guna dan pendapatan petani tomat di tengah surplus produksi. Dengan mengubah limbah atau hasil kelas bawah menjadi produk olahan bernilai tinggi, industri manisan secara langsung meningkatkan pendapatan petani dan memperkuat stabilitas ekonomi di tingkat hulu.
Profil Ekonomi UMKM Manisan: Analisis Kelayakan Finansial
Pada skala UMKM, bisnis manisan menunjukkan prospek ekonomi yang sangat menjanjikan. Studi kelayakan finansial pada produksi manisan skala industri rumah tangga mengungkapkan profitabilitas yang solid.
Tabel 2: Analisis Kelayakan Usaha Manisan (Contoh Kasus Produksi UMKM)
Uraian Metrik Keuangan | Nilai (Rupiah) | Interpretasi Signifikan | Sumber |
Produksi (kg) | 198 | Volume produksi rata-rata per siklus | |
Harga Jual Rata-rata (Rp/kg) | 43.173 | Harga yang relatif tinggi untuk produk olahan | |
Total Penerimaan (Rp) | 8.548.254 | Pendapatan kotor yang dihasilkan | |
Total Biaya (Rp) | 3.804.472 | Mencakup Biaya Eksplisit dan Implisit | |
Pendapatan Bersih (Rp) | 5.172.138 | Keuntungan (Net Profit) per siklus | |
Nilai R/C (Return/Cost Ratio) | 2,24 | Indikasi Kelayakan Usaha Tinggi (Profitabilitas) |
Data menunjukkan bahwa nilai R/C Ratio mencapai 2,24 per siklus produksi. Nilai ini jauh di atas angka 1, yang merupakan ambang batas kelayakan finansial, menunjukkan bahwa setiap Rupiah yang diinvestasikan menghasilkan pengembalian sebesar Rp2,24. Pada volume produksi 198 kg, UMKM mampu menghasilkan Pendapatan Bersih sebesar Rp5.172.138. Meskipun profitabilitasnya tinggi, pengembangan industri ini seringkali terhambat oleh keterbatasan modal usaha (W3) dan kurangnya variasi rasa (W4) di kalangan UMKM.
Permasalahan ini berimplikasi pada kebutuhan akan intervensi strategis untuk memfasilitasi investasi dalam teknologi (misalnya, peralatan pengeringan yang efisien) dan mendorong inovasi rasa. Dengan mengarahkan UMKM pada produksi Manisan Kering, yang memiliki harga jual lebih tinggi dan efisiensi logistik superior, sektor ini dapat memaksimalkan return dari kelayakan finansial yang sudah terbukti.
Potensi Pasar Global: Fokus pada Manisan Kering
Potensi pasar manisan tidak terbatas pada konsumsi domestik, melainkan memiliki prospek ekspor yang signifikan, khususnya melalui format buah tropis kering. Pasar Eropa, sebagai salah satu target utama, diperkirakan akan menunjukkan pertumbuhan volume yang stabil sebesar 5–7% setiap tahunnya dalam jangka menengah hingga panjang.
Indonesia, sebagai negara penghasil buah tropis terbesar, berada pada posisi strategis untuk memanfaatkan tren ini. Manisan Kering, dengan stabilitas dan bobotnya yang rendah, adalah format produk yang paling ideal untuk menembus pasar ekspor. Di pasar domestik, manisan sudah memiliki pasar yang luas, melayani kebutuhan camilan sehari-hari maupun sebagai produk hantaran (gift) di momen-momen spesial. Oleh karena itu, investasi pada standardisasi produk kering adalah langkah strategis untuk membuka akses ke segmen pasar bernilai tinggi, baik di dalam maupun luar negeri.
Perkembangan Industri: Inovasi, Teknologi, Dan Mutu (Perkembangan)
Evolusi Teknik Pengolahan: Dari Tradisional ke Standardisasi Mutu
Proses pembuatan manisan secara tradisional telah berevolusi seiring dengan tuntutan keamanan pangan. Tahapan awal, seperti sorting, pengupasan, dan pengecilan ukuran, diikuti dengan langkah pra-perlakuan untuk memodifikasi tekstur. Secara tradisional, perendaman dalam larutan kapur sirih atau natrium metabisulfit digunakan untuk mengeraskan buah sebelum perendaman gula. Contohnya, dalam pembuatan Manisan Tomat Kering, tomat direndam dalam larutan kapur sirih 2% selama 12 jam untuk mendapatkan tekstur yang diinginkan.
Perkembangan industri menuntut adopsi standar mutu yang lebih tinggi. Beberapa UMKM telah mulai mengimplementasikan Good Manufacturing Practices (GMP). Penerapan GMP sangat penting untuk menjamin konsistensi kualitas, keamanan pangan, dan efisiensi produksi. Transisi dari metode tradisional yang bergantung pada intuisi ke proses terstandar GMP merupakan prasyarat krusial untuk UMKM yang ingin menembus rantai pasok modern.
Inovasi Produk Bernilai Tambah Tinggi
Inovasi produk berfokus pada diferensiasi, peningkatan fungsionalitas, dan respons terhadap tren kesehatan konsumen. Salah satu inovasi paling signifikan adalah pengembangan Manisan Tomat Kering yang dibuat menyerupai kurma. Inovasi ini tidak hanya mengatasi masalah surplus tomat tetapi juga menciptakan produk premium yang menargetkan segmen pasar baru. Selain itu, UMKM juga merespons selera konsumen modern dengan menawarkan varian tekstur seperti Manisan Kedondong  Crunchy , serta varian rasa yang lebih beragam, seperti Mangga Pedas dan Kedondong Thailand.
Adopsi tren gaya hidup sehat mendorong strategi “Health-Oriented Preservation.” Konsumen kini lebih memilih produk yang menggunakan pengawet alami dibandingkan bahan buatan. Manisan secara intrinsik menggunakan gula dan garam sebagai pengawet utama, yang juga termasuk dalam kategori pengawet alami yang aman. Bahan alami lain yang dapat digunakan mencakup cuka, bawang putih, lemon, dan rosemary, yang tidak hanya mengawetkan tetapi juga menambah rasa dan nilai antioksidan. UMKM yang mampu mempromosikan produk mereka sebagai  tanpa pengawet buatan atau pewarna memiliki keunggulan kompetitif yang kuat di pasar kesehatan.
Tantangan Regulasi Mutu dan Keamanan Pangan (PIRT dan BPOM)
Peningkatan mutu produk harus sejalan dengan kepatuhan regulasi. Legalitas operasional industri rumah tangga diatur melalui perizinan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), yang merupakan izin edar wajib bagi UMKM. Pengurusan PIRT mensyaratkan pemenuhan standar keamanan pangan dasar dan seringkali difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Namun, implementasi izin edar PIRT masih menghadapi tantangan serius, di mana banyak produk pangan industri rumah tangga beredar tanpa legalitas ini. Hal ini menghambat upaya perlindungan konsumen dan menyulitkan produk untuk masuk ke rantai distribusi formal. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus berupaya mengatasi tantangan pengawasan mutu pangan di era modern. Kesiapan UMKM dalam menerapkan GMP dan mendapatkan PIRT adalah critical success factor untuk menangguk potensi ekonomi yang tinggi dan mengakses pasar yang lebih luas dan premium. Tanpa legalitas yang memadai, potensi R/C sebesar 2,24 tidak akan sepenuhnya terwujudkan.
Strategi Ekspansi Pasar Dan Integrasi Pariwisata
Integrasi Manisan dalam Rantai Nilai Pariwisata
Manisan merupakan produk oleh-oleh ideal yang berfungsi sebagai media promosi komoditas lokal dan memperkuat citra destinasi wisata. Model pengembangan yang sukses terlihat pada Manisan Pala di Pulau Lemukutan. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dewi Rancak berhasil mengubah buah pala yang sebelumnya merupakan limbah menjadi produk manisan unggulan. Dengan pengemasan yang menarik, produk ini berhasil dijual hingga ke luar pulau, menunjukkan bagaimana manisan dapat menjadi katalisator ekonomi pedesaan dengan menghubungkan pertanian dan pariwisata.
Pemerintah perlu mendorong skema Link and Match di mana desa-desa wisata berbasis pertanian, seperti Desa Wisata Pasir Bungur di Banten dengan Manisan Pepaya-nya , menjadi etalase utama dan pasar langsung bagi manisan lokal. Integrasi ini memberikan produk manisan narasi yang autentik, mengikat branding manisan erat dengan identitas geografis dan kisah budayanya.
Strategi Penetapan Harga dan Pemasaran Digital
Pemasaran manisan kini sangat bergantung pada saluran digital. Platform e-commerce telah menjadi kanal utama untuk penjualan produk regional, seperti Manisan Bogor dan bahkan Manisan Cina impor.
Untuk segmen Manisan Kering, strategi pemasaran harus diselaraskan dengan tren gaya hidup sehat. Produk harus diposisikan sebagai camilan sehat, bukan sekadar makanan manis tradisional. Diferensiasi melalui inovasi (misalnya, Kurma Tomat sebagai alternatif camilan tinggi serat) dan kemasan yang profesional adalah kunci untuk menembus pasar digital yang kompetitif. Selain itu, fokus pada produk manisan yang berfungsi sebagai hantaran atau hadiah pada momen-momen spesial meningkatkan nilai persepsinya.
Hambatan Non-Tarif dan Syarat Standardisasi Ekspor
Meskipun potensi pasar ekspor untuk buah tropis kering sangat besar (pertumbuhan 5–7% di Eropa) , hambatan non-tarif merupakan tantangan signifikan. Persyaratan ekspor pangan olahan sangat ketat, melampaui standar PIRT domestik. Pasar global menuntut sertifikasi mutu internasional seperti HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) atau ISO 22000, yang menjamin keamanan pangan dari hulu ke hilir.
Untuk membantu UMKM manisan memanfaatkan peluang ekspor, diperlukan program inkubasi berjenjang. Program ini harus memfasilitasi transisi dari standar dasar (PIRT) ke standar nasional (BPOM MD, Halal) dan akhirnya ke sertifikasi ekspor (HACCP). Manisan Kering harus menjadi fokus utama dukungan ekspor karena stabilitas dan daya saingnya di pasar internasional.
Kesimpulan
Manisan Indonesia adalah produk olahan yang kompleks, memiliki nilai historis sebagai hasil akulturasi budaya perdagangan maritim (Tionghoa dan Melayu/Arab) dan signifikansi agraris (Tradisi Manisan Temanggung). Industri ini menawarkan peluang ekonomi yang tinggi bagi UMKM, dibuktikan dengan rasio profitabilitas R/C 2,24 , dan memiliki peran vital dalam mitigasi kerugian pasca panen. Prospek pertumbuhan terbesar terletak pada Manisan Kering, yang memiliki permintaan ekspor yang stabil, diproyeksikan tumbuh 5–7% di pasar utama. Realisasi potensi ini sangat bergantung pada keberhasilan peningkatan mutu, adopsi teknologi pengolahan modern, dan kepatuhan terhadap standar keamanan pangan global.
Rekomendasi Strategis (5 Pilar Utama)
Berdasarkan analisis komprehensif rantai nilai manisan, lima pilar strategis direkomendasikan untuk pengembangan berkelanjutan:
- Penguatan Mutu dan Regulasi Berjenjang (PIRT ke GMP): Pemerintah dan otoritas terkait harus mengintensifkan program pendampingan untuk memastikan seluruh UMKM manisan memiliki Izin Edar PIRT. Ini harus diikuti dengan pelatihan dan investasi dalam implementasi Good Manufacturing Practices (GMP) sebagai langkah awal untuk mencapai standar BPOM MD dan memenuhi persyaratan rantai pasok modern.
- Inovasi Produk Berbasis Kesehatan (Health-Oriented): Diperlukan investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) untuk menciptakan Manisan Kering dengan kandungan gula yang diminimalisir, serta varian fungsional (misalnya, Kurma Tomat) yang menggunakan pengawet alami (seperti gula, cuka, atau rempah). Strategi ini akan menargetkan konsumen yang sadar kesehatan dan meningkatkan nilai jual premium.
- Optimalisasi Rantai Pasok (Ekonomi Sirkular): Manisan harus diposisikan sebagai solusi utama untuk pengolahan hasil surplus dan limbah pertanian (misalnya, tomat dan pala), memastikan peningkatan pendapatan petani dan stabilitas harga komoditas musiman.
- Branding Kultural dan Geografis: Pemasaran harus memanfaatkan narasi historis dan signifikansi budaya, seperti Halua Langkat sebagai Warisan Budaya Tak Benda , dan mengaitkan manisan dengan skema  Desa Wisata. Pendekatan Geographical Indication Branding akan meningkatkan daya tarik dan harga jual produk.
- Dukungan Akses Ekspor dan Sertifikasi (HACCP): Untuk memanfaatkan pertumbuhan ekspor buah kering, pemerintah harus menyediakan dukungan modal dan pendampingan khusus untuk UMKM Manisan Kering agar mereka dapat memperoleh sertifikasi internasional (HACCP, ISO) yang diperlukan untuk mengatasi hambatan non-tarif di pasar utama seperti Eropa.
Area Penelitian Lanjutan
Dua area penelitian lanjutan yang diidentifikasi sebagai prioritas untuk mendukung pengembangan strategis industri manisan meliputi:
- Studi teknis-ekonomi mengenai dampak teknologi pengeringan modern (misalnya, pengering vakum atau freeze-drying) terhadap kandungan nutrisi, efisiensi energi, dan biaya produksi jangka panjang pada Manisan Kering.
- Analisis mendalam mengenai jenis-jenis hambatan non-tarif (Non-Tariff Barriers) spesifik, terutama terkait residu bahan kimia dan standar kebersihan, yang dihadapi oleh eksportir manisan buah kering Indonesia saat memasuki pasar Uni Eropa dan Amerika Utara.