Loading Now

Wina dan Kopenhagen, Kota Yang Paling “Bahagia” di Bumi

“Kota paling bahagia di bumi.” Alih-alih mengidentifikasi satu kota tunggal, investigasi mendalam terhadap data dan metodologi yang ada menunjukkan bahwa konsep ini merupakan konstruksi berlapis yang tidak dapat dijawab dengan satu nama. Laporan ini akan melampaui peringkat sederhana untuk mengeksplorasi paradigma berbeda yang mendasari pengukuran kesejahteraan dan kualitas hidup di perkotaan.

Materi penelitian yang dikumpulkan menyingkap dua narasi utama yang sering tumpang tindih. Yang pertama adalah World Happiness Report (WHR), yang memeringkat negara-negara berdasarkan evaluasi kebahagiaan subjektif warganya. Yang kedua adalah EIU Global Liveability Index, yang menilai kelayakan huni di tingkat kota, berfokus pada kondisi objektif. Kesenjangan fundamental antara dua pendekatan ini, yaitu antara kebahagiaan yang dirasakan dan kualitas hidup yang diukur, membuat pencarian satu “kota paling bahagia” menjadi sebuah upaya yang kompleks.

Dalam laporan ini, Wina, Austria, dan Kopenhagen, Denmark, dipilih sebagai studi kasus utama. Wina sering disebut sebagai kota paling layak huni, sebuah penghargaan yang didapat melalui perencanaan kota yang disengaja. Sementara itu, Kopenhagen merupakan ibu kota dari salah satu negara paling bahagia di dunia, yang kebahagiaannya sangat terikat pada model kesejahteraan nasional yang kuat. Melalui perbandingan kedua kota ini, laporan ini berpendapat bahwa kebahagiaan urban yang sejati adalah produk dari konvergensi antara kebijakan kota yang cerdas, seperti perumahan dan transportasi yang terjangkau, dan kerangka kerja sistemik yang lebih luas di tingkat nasional, seperti jaring pengaman sosial yang kuat.

Metodologi Pengukuran Kesejahteraan Global: Paradigma yang Berbeda

Pengukuran kebahagiaan dan kualitas hidup di tingkat global dilakukan oleh berbagai lembaga dengan metodologi dan fokus yang berbeda, yang menghasilkan peringkat yang bervariasi. Hal ini menggarisbawahi mengapa tidak ada satu jawaban tunggal untuk pertanyaan tentang “kota paling bahagia.”

World Happiness Report (WHR): Mengukur Kebahagiaan Subjektif di Tingkat Negara

World Happiness Report adalah publikasi terkemuka yang berfokus pada kesejahteraan global. Laporan ini memeringkat negara, bukan kota, dan secara konsisten menempatkan Finlandia di peringkat pertama dan Denmark di peringkat kedua. Metodologi inti dari laporan ini adalah pertanyaan sederhana yang diajukan dalam Gallup World Poll yang dikenal sebagai Cantril Ladder. Responden diminta untuk membayangkan sebuah tangga dengan anak tangga bernomor 0 (hidup terburuk) hingga 10 (hidup terbaik) dan kemudian menentukan di mana mereka merasakan posisi mereka saat ini.

Meskipun evaluasi diri ini adalah metrik utama, laporan tersebut mengaitkan peringkat kebahagiaan dengan enam variabel penjelas kunci. Faktor-faktor tersebut adalah Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan untuk membuat pilihan hidup, kemurahan hati, dan persepsi terhadap korupsi. Faktor-faktor ini, yang sebagian besar bersifat makro-ekonomi dan politik, menunjukkan bahwa WHR melihat kebahagiaan sebagai hasil dari kondisi sosial ekonomi yang stabil dan kondusif.

EIU Global Liveability Index: Mengukur Kualitas Hidup Objektif di Tingkat Kota

Di sisi lain, EIU Global Liveability Index mengambil pendekatan yang lebih objektif dan spesifik pada kota. Laporan ini secara konsisten menempatkan Wina, Austria, sebagai kota paling layak huni di dunia. Kriteria penilaiannya berfokus pada lima kategori utama: stabilitas, layanan kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan, dan infrastruktur, yang terdiri dari 30 indikator. Wina meraih skor hampir sempurna, termasuk skor 100 untuk stabilitas, layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Meskipun kedua laporan ini tampak serupa, perbedaan mendasar antara “kebahagiaan” (perasaan) dan “kelayakan huni” (kondisi hidup) menghasilkan peringkat yang berbeda secara signifikan, di mana WHR berfokus pada negara dan EIU berfokus pada kota.

Kritik dan Keterbatasan Metodologis: Mengapa Angka Tidak Bercerita Seluruhnya

Metodologi yang ada tidak luput dari kritik, yang menyoroti keterbatasan dalam upaya mengukur konsep yang begitu kompleks seperti kebahagiaan. Salah satu kritik yang disampaikan oleh seorang psikolog Indonesia terhadap WHR adalah fokusnya yang berlebihan pada elemen ekonomi, dan mengabaikan faktor non-ekonomi yang penting, seperti hubungan antarmanusia atau silaturahmi. Berdasarkan kritik ini, metrik kebahagiaan yang dikembangkan di negara-negara Barat mungkin tidak sepenuhnya menangkap esensi kebahagiaan di budaya kolektif. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan gambaran yang benar-benar holistik, laporan harus diperluas untuk mencakup faktor-faktor yang berakar pada nilai-nilai budaya dan sosial.

Selain itu, sebuah kritik lain menunjukkan bahwa kriteria Gallup Poll tidak mencakup aspek fundamental seperti Hak Asasi Manusia (HAM) dan partisipasi politik. Ini menimbulkan pertanyaan filosofis yang mendalam: apakah sebuah populasi dapat benar-benar bahagia tanpa adanya kebebasan fundamental dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan? Hal ini menunjukkan bahwa metrik kebahagiaan harus mencakup elemen-elemen fundamental yang mendukung kebebasan dan keadilan, di luar variabel ekonomi yang lebih mudah diukur.

Tabel berikut menyajikan perbandingan mendalam tentang berbagai metodologi yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan, yang membantu menjelaskan mengapa peringkat yang berbeda dihasilkan:

Kategori World Happiness Report (WHR) EIU Global Liveability Index Institute for Quality of Life
Fokus Pengukuran Negara Kota Kota
Kriteria Kunci PDB per kapita, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan, kemurahan hati, persepsi korupsi. Stabilitas, layanan kesehatan, budaya & lingkungan, pendidikan, dan infrastruktur. Kebahagiaan warga, tata kelola, lingkungan, ekonomi, kesehatan, akses mobilitas.
Contoh Peringkat Atas Finlandia, Denmark, Islandia Wina, Kopenhagen, Zurich Kopenhagen
Sifat Pengukuran Subjektif (Cantril Ladder) & Kausal Objektif (30 indikator) Indeks gabungan

Studi Kasus Utama: Wina, Austria – Model Kelayakan Huni yang Dibuat dengan Sengaja

Wina, sebagai kota paling layak huni, merupakan contoh bagaimana perencanaan urban yang visioner dan berorientasi pada kesejahteraan sosial dapat menciptakan lingkungan hidup yang luar biasa. Modelnya didasarkan pada kebijakan jangka panjang yang memprioritaskan kebutuhan penduduk daripada dinamika pasar.

Pilar-Pilar Kualitas Hidup Wina: Dari Teori ke Implementasi

Wina memiliki fondasi yang kuat, dimulai dengan sistem perumahan sosialnya yang dikenal sebagai Gemeindebau. Lebih dari 60% penduduk Wina tinggal di perumahan yang didanai publik atau disubsidi. Kebijakan ini memiliki akar sejarah yang kuat sejak tahun 1928 dan dirancang untuk mencegah spekulasi properti yang merajalela di banyak kota besar di dunia. Dengan mempertahankan sebagian besar lahannya di bawah kepemilikan publik atau koperasi, Wina secara efektif melindungi pasar perumahan dari tekanan inflasi, menjadikan perumahan sebagai prioritas sosial dan bukan sekadar komoditas. Pendekatan proaktif ini menjadi contoh nyata bagaimana hak atas perumahan dapat dijamin melalui intervensi kebijakan yang terencana.

Infrastruktur transportasi publik Wina berfungsi sebagai tulang punggung mobilitas kota. Sistem ini dikenal karena efisiensinya, kebersihannya, dan yang terpenting, keterjangkauannya. Tiket tahunan hanya seharga €365, yang berarti biayanya hanya sekitar €1 per hari, dan lebih dari satu juta warga Wina memanfaatkannya. Biaya yang sangat rendah ini secara signifikan mengurangi tekanan finansial dan stres komuter bagi penduduk, sekaligus meningkatkan akses ke berbagai fasilitas, dan menjadi contoh konkret bagaimana infrastruktur yang dirancang dengan baik dapat berfungsi sebagai layanan sosial yang esensial.

Kualitas hidup di Wina juga didukung oleh budaya kerja-hidup yang sehat. Jalanan kota yang sepi pada hari Minggu, saat banyak toko tutup, adalah bukti nyata dari budaya yang menghargai istirahat dan waktu luang. Selain itu, Wina telah mengintegrasikan ruang hijau secara cerdas ke dalam lanskap perkotaannya. Warga kota tidak pernah jauh dari taman atau ruang terbuka, yang mendukung relaksasi dan kebugaran. Kekayaan budaya seperti museum, istana, dan kafe-kafe klasik semakin memperkaya pengalaman hidup, memastikan bahwa penduduk memiliki akses ke rekreasi dan pemulihan, yang melengkapi aspek kerja dalam kehidupan mereka.

Tantangan yang Dihadapi: Keterbatasan di Balik Kesempurnaan Statistik

Meskipun Wina memiliki peringkat yang sempurna dalam metrik kelayakan huni, kota ini juga menghadapi tantangan yang menguji kekuatan modelnya. Salah satu isu yang muncul adalah tantangan sosial terkait inklusivitas. Meskipun peringkat Wina dalam hal “stabilitas” sangat tinggi, laporan dari penduduk kota menunjukkan adanya insiden xenofobia dan rasisme. Bagi komunitas minoritas, seperti umat Muslim, ada tantangan spesifik dalam menemukan makanan halal dan tempat ibadah. Kritik ini menunjukkan bahwa stabilitas yang diukur dalam metrik kelayakan huni mungkin lebih mencerminkan ketertiban dan keamanan makro daripada kohesi sosial yang inklusif di tingkat mikro. Ini adalah pengingat bahwa metrik kebahagiaan dan kelayakan huni perlu lebih peka terhadap pengalaman minoritas untuk memberikan gambaran yang lebih akurat.

Selain itu, model Wina yang bergantung pada subsidi dan layanan publik yang kuat rentan terhadap tekanan ekonomi makro. Laporan menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi, seperti kenaikan hingga 8,7% pada Juni 2022, memberikan tekanan signifikan pada bisnis lokal dan biaya hidup. Kenaikan biaya operasional dan biaya bahan baku mengancam keberlanjutan model ekonomi yang ada, yang pada gilirannya berpotensi mengikis manfaat dari kebijakan pro-sosial Wina.

Studi Kasus Kopenhagen, Denmark – Simbol Kebahagiaan Nordik

Kopenhagen, sebagai jantung dari salah satu negara paling bahagia, menawarkan model yang sedikit berbeda dari Wina, di mana kebahagiaan warganya berakar kuat pada model politik dan sosial Nordik yang unik.

Fondasi Kebahagiaan Berbasis Kebijakan

Kunci utama kebahagiaan Denmark terletak pada Model Kesejahteraan Nordiknya. Model ini didasarkan pada kontrak sosial yang mendalam: warga bersedia membayar pajak yang sangat tinggi—beberapa yang tertinggi di dunia—karena mereka memiliki kepercayaan yang sangat tinggi terhadap pemerintah dan melihat manfaatnya secara langsung. Tingkat kepercayaan ini memungkinkan kebijakan-kebijakan yang berani untuk diterapkan, seperti penyediaan layanan publik universal, termasuk pendidikan dan perawatan kesehatan gratis, serta jaring pengaman sosial yang kuat yang menjamin tunjangan bagi pengangguran dan pensiun bagi warga senior.

Kopenhagen juga dikenal sebagai pelopor dalam inovasi lingkungan. Kota ini secara luas diakui sebagai “ibu kota sepeda dunia,” dengan lebih dari 50% penduduknya bepergian dengan sepeda untuk bekerja atau belajar. Pemerintah kota telah menginvestasikan banyak uang dalam infrastruktur, termasuk pembangunan jembatan khusus sepeda seperti Cykelslangen, untuk mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan. Selain itu, perairan di pelabuhan Kopenhagen begitu bersih sehingga dapat digunakan untuk berenang, sebuah pencapaian yang mencerminkan komitmen terhadap keberlanjutan. Bahkan ada program inovatif seperti CopenPay yang memberikan insentif dan hadiah kepada wisatawan yang memilih moda transportasi berkelanjutan atau bahkan membantu membersihkan sampah di kota.

Tantangan yang Dihadapi: Biaya Kesejahteraan dan Dampak Ketenaran

Meskipun kesuksesannya luar biasa, model Kopenhagen menghadapi tantangan yang unik. Salah satu yang paling signifikan adalah tingginya biaya hidup dan krisis perumahan.2Kesuksesan model kesejahteraan sosial Denmark membuat Kopenhagen menjadi tempat yang sangat menarik untuk ditinggali, yang secara paradoks mendorong urbanisasi dan meningkatkan permintaan perumahan. Hal ini pada gilirannya memicu harga properti yang tinggi dan krisis perumahan.

Tantangan lainnya adalah masalah overtourism. Program-program inovatif yang dirancang untuk mempromosikan pariwisata yang lebih bertanggung jawab, seperti CopenPay, secara tidak sengaja dapat meningkatkan popularitas Kopenhagen di mata turis, memperburuk masalah utama yang ingin mereka selesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang berhasil dalam satu aspek dapat menciptakan tantangan di aspek lain.

Analisis Komparatif: Wina vs. Kopenhagen

Perbandingan antara Wina dan Kopenhagen mengungkapkan dua jalur yang berbeda namun sama-sama berhasil untuk mencapai kesejahteraan urban. Wina mengadopsi pendekatan yang didasarkan pada perencanaan fisik yang visioner, di mana perumahan dan transportasi dirancang secara eksplisit sebagai layanan sosial universal. Wina memprioritaskan menciptakan lingkungan fisik yang stabil dan terjangkau melalui kepemilikan lahan publik dan investasi pada infrastruktur. Sebaliknya, kebahagiaan Kopenhagen sangat berakar pada model politik dan sosial Nordik, yang mendefinisikan hubungan antara warga dan negara.

Tabel di bawah ini merangkum perbandingan pendekatan kedua kota:

Kategori Model Wina Model Kopenhagen
Perumahan Perumahan sosial ekstensif (Gemeindebau) yang didanai publik dan koperasi. Krisis perumahan dan harga properti tinggi akibat urbanisasi.
Transportasi Sistem transportasi publik yang sangat terjangkau (€365/tahun). “Ibu kota sepeda dunia” dengan infrastruktur sepeda yang luar biasa.
Lingkungan Ruang hijau melimpah, keseimbangan kerja-hidup yang sehat. Komitmen tinggi terhadap keberlanjutan, perairan pelabuhan yang bersih.
Kebijakan Sosial Berfokus pada perencanaan fisik dan layanan sosial terjangkau. Berfokus pada model kesejahteraan Nordik dengan pajak tinggi dan jaring pengaman sosial.
Tantangan Utama Tantangan sosial (xenofobia) dan ekonomi (inflasi). Tantangan ekonomi (biaya hidup tinggi) dan sosial (overtourism).

Keduanya membuktikan bahwa investasi publik jangka panjang di bidang perumahan, transportasi, dan kesejahteraan sosial merupakan prasyarat mutlak untuk menciptakan lingkungan urban yang makmur. Namun, relevansi dari setiap model bergantung pada konteks politik, sejarah, dan ekonomi sebuah kota.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi untuk Masa Depan Urban

Laporan ini menyimpulkan bahwa tidak ada satu “kota paling bahagia” tunggal, melainkan sebuah konstruksi ideal yang menggabungkan kekuatan dari model Wina dan Kopenhagen. Untuk kota-kota di seluruh dunia yang ingin meningkatkan kesejahteraan warganya, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan kunci yang dapat dipertimbangkan.

Pertama, kota-kota dapat mengadopsi model Wina yang berani dalam mengatasi krisis perumahan dengan mempertahankan kepemilikan lahan publik dan mempromosikan perumahan sosial yang didanai pemerintah. Pendekatan ini secara efektif menetralkan spekulasi properti dan memastikan bahwa perumahan yang terjangkau tetap tersedia. Kedua, implementasi prinsip-prinsip dari model sosial Nordik, seperti yang terlihat di Kopenhagen, yang menekankan transparansi pemerintah dan partisipasi warga, dapat membangun kepercayaan sosial yang penting. Kepercayaan ini adalah aset yang memungkinkan kebijakan jangka panjang dan progresif untuk disahkan dan didukung oleh masyarakat.

Pentingnya data yang lebih kaya juga menjadi poin utama. Laporan ini mendorong pengembangan metrik kesejahteraan urban yang lebih holistik, yang tidak hanya mengukur faktor ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga elemen-elemen sosial, budaya, dan Hak Asasi Manusia. Ini akan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang pengalaman hidup di sebuah kota, terutama bagi komunitas minoritas, dan menghindari bias yang dapat mengaburkan masalah sosial yang tersembunyi.

Terakhir, penting untuk diakui bahwa tidak ada satu model yang cocok untuk semua. Materi penelitian menunjukkan bahwa model Nordik mungkin tidak dapat diterapkan pada ekonomi yang memiliki populasi besar dengan sektor informal yang dominan. Oleh karena itu, kota-kota harus berfokus pada prinsip-prinsip dasar yang berhasil—investasi publik yang berani, transparansi, partisipasi warga, dan keberlanjutan—dan mengadaptasi mereka sesuai dengan konteks lokal, politik, dan sejarah mereka.

Kesimpulan

Kesimpulannya, “kota paling bahagia di bumi” adalah sebuah ideal yang kompleks, bukan lokasi geografis tunggal. Kebahagiaan urban sejati adalah produk dari interaksi antara kualitas hidup objektif, yang diukur melalui infrastruktur dan layanan publik yang efektif, dan kebahagiaan subjektif yang dirasakan oleh individu, yang dipengaruhi oleh budaya, hubungan sosial, dan kepercayaan terhadap institusi. Wina dan Kopenhagen mewakili pendekatan yang berhasil, tetapi juga menunjukkan bahwa keberhasilan menciptakan tantangan baru—seperti tekanan inflasi dan overtourism.

Pembangunan urban di masa depan harus berfokus pada kesejahteraan holistik, di mana aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan budaya dipertimbangkan secara terpadu. Dengan menggabungkan pelajaran dari model-model sukses ini dan mengadaptasinya dengan realitas lokal, kota-kota dapat bergerak melampaui peringkat dan menuju penciptaan lingkungan yang benar-benar makmur, inklusif, dan berkelanjutan bagi semua penduduknya.

Post Comment

CAPTCHA ImageChange Image