Loading Now

Mengurai Korea Utara: Juche, Realitas Warga, dan Industri Pariwisata

Republik Demokratik Rakyat Korea (RDRK), mengeksplorasi keterkaitan antara ideologi negara Juche, realitas kehidupan sehari-hari warganya, dan industri pariwisata yang dikelola secara ketat. Analisis menunjukkan bahwa Juche, sebagai ideologi nasionalistik dan mandiri, tidak hanya berfungsi sebagai fondasi politik, tetapi juga sebagai alat utama untuk mengendalikan masyarakat dan mengelola citra global. Laporan ini mengungkap kontras tajam antara narasi “sosialisme utopis” yang dipromosikan kepada turis dan kesulitan hidup yang dihadapi warga lokal, seperti kekurangan pangan, akses terbatas terhadap layanan dasar, dan pengawasan sosial yang ketat. Pariwisata, yang sepenuhnya di bawah kendali negara, tidak hanya berfungsi sebagai sumber devisa yang krusial, melainkan juga sebagai platform propaganda yang mempromosikan citra palsu dan terisolasi dari realitas. Kesimpulan utama menunjukkan bahwa pengalaman turis di Korea Utara adalah sebuah curated reality—sebuah pertunjukan yang dirancang untuk memperkuat propaganda rezim—dan setiap kunjungan membawa dilema etis yang signifikan bagi para wisatawan.

Pendahuluan: Korea Utara—Sebuah Paradoks Ideologis dan Realitas

Korea Utara sering digambarkan sebagai negara paling tertutup dan misterius di dunia, sebuah “Kerajaan Pertapa” yang dikelilingi oleh narasi ketakutan dan kontrol total. Namun, laporan ini bertujuan untuk melampaui deskripsi dangkal tersebut. Laporan ini akan menganalisis secara mendalam bagaimana ideologi Juche menjadi fondasi tunggal yang membentuk politik, ekonomi, dan kehidupan sosial di Korea Utara. Selanjutnya, laporan akan membedah realitas kehidupan warga sehari-hari yang sering kali tersembunyi dari pandangan publik. Terakhir, laporan akan mengulas industri pariwisata, menyoroti bagaimana industri ini direkayasa untuk mendukung narasi negara.

Tiga elemen ini—ideologi, kehidupan warga, dan pariwisata—tidak dapat dipahami secara terpisah. Mereka adalah manifestasi dari sebuah sistem yang dirancang untuk mengisolasi, mengendalikan, dan mengelola citra diri di tengah sanksi dan krisis.

Fondasi Ideologis dan Politik: Juche dan Kontrol Negara

Asal-usul dan Evolusi Gagasan Juche

Ideologi negara Korea Utara, Juche, atau Juche sasang (주체사상) dalam bahasa Korea, secara harfiah berarti “gagasan subjek” atau “ide pokok”. Secara resmi, ideologi ini adalah komponen dari Kimilsungism–Kimjongilism . Sumber-sumber Korea Utara mengaitkan konseptualisasinya dengan Kim Il Sung, pendiri dan pemimpin pertama negara itu, yang disebut-sebut berasal dari pengalamannya dalam perjuangan pembebasan Korea melawan Jepang. Awalnya, Juche dianggap sebagai varian dari Marxisme-Leninisme, tetapi pada tahun 1970-an, Kim Jong Il, putra dan penerus Kim Il Sung, mendeklarasikannya sebagai ideologi yang berbeda dan unik.

Juche mengintegrasikan gagasan materialisme historis dari Marxisme-Leninisme namun dengan penekanan kuat pada individualisme, negara-bangsa, dan kedaulatan nasional. Ideologi ini secara esensial adalah antitesis dari Sadae (사대), sebuah konsep Korea yang berarti ketergantungan pada kekuatan besar. Seiring dengan naiknya Kim Jong Il sebagai penerus, loyalitas yang mutlak kepada pemimpin semakin ditekankan sebagai bagian esensial dari Juche, yang secara eksplisit diungkapkan dalam “Sepuluh Prinsip untuk Pembentukan Sistem Ideologis Monolitik”. Para kritikus telah berulang kali menyebut Juche sebagai ideologi kuasi-religius, nasionalistik, atau bahkan fasistik, yang menyimpang dari prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme. Di sisi lain, beberapa sejarawan melihatnya sebagai prinsip panduan yang memungkinkan Korea Utara bertahan dari gejolak dan kehancuran Blok Timur.

Evolusi Juche dari Marxisme-Leninisme menjadi ideologi nasionalistik yang unik dapat dipahami sebagai respons strategis terhadap peristiwa politik global, terutama proses de-Stalinisasi di Uni Soviet pada tahun 1956. Peristiwa ini mendorong Korea Utara untuk mencari jalan ideologisnya sendiri, membedakan dirinya dari sekutu komunis lainnya. Perkembangan ini tidak hanya mengubah Juche secara doktrinal, tetapi juga secara fundamental mengubahnya menjadi alat untuk membenarkan kekuasaan dinasti Kim. Dengan Juche sebagai ideologi dinasti, loyalitas tidak lagi ditujukan kepada proletariat global atau negara sosialis, melainkan kepada “manusia super” Kim Il Sung dan keluarganya, yang diposisikan sebagai “penguasa revolusi Korea”. Hal ini mengarah pada penciptaan kultus individu yang berpusat pada dinasti, di mana Juche menjadi pembenaran ideologis untuk kontrol kekuasaan yang absolut dan hereditas politik, secara efektif mengesampingkan prinsip-prinsip komunisme yang egaliter.

Prinsip Kunci Juche dan Implementasinya

Ideologi Juche didasarkan pada tiga pilar utama: kemandirian politik, swasembada ekonomi, dan kemandirian militer. Pertama, kemandirian politik (Jaju 자주) adalah prinsip inti yang menekankan kedaulatan dan hak setiap negara untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa campur tangan asing. Prinsip ini berfungsi sebagai landasan ideologis bagi kebijakan isolasi Korea Utara dari dunia luar. Kedua, swasembada ekonomi (Jarip 자립) diperlukan untuk mencapai kemandirian politik. Menurut Juche, suatu negara harus membangun ekonomi nasional yang mandiri, terutama yang berbasis pada industri berat, untuk memastikan kemandiriannya. Sistem ekonomi yang diterapkan adalah ekonomi komando (terpusat), di mana pemerintah mengendalikan semua alat produksi dan menetapkan prioritas ekonomi. Ketiga, kemandirian militer (Chawi 자위) dianggap penting bagi suatu negara untuk mempertahankan kedaulatan politiknya. Untuk mencapainya, negara harus mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, sehingga tidak bergantung pada pemasok senjata asing. Pilar ini menjadi fondasi bagi program senjata rudal dan nuklir Korea Utara.

Meskipun bertujuan untuk kemandirian, implementasi prinsip-prinsip Juche telah menghasilkan konsekuensi yang ironis. Fokus yang berlebihan pada industri berat dan pengembangan militer telah mengalihkan sumber daya dari sektor-sektor vital seperti pertanian, menyebabkan standar hidup menurun. Upaya untuk mencapai kemandirian melalui Juche justru menciptakan kerapuhan ekonomi yang kronis. Situasi ini diperparah setelah runtuhnya Uni Soviet, sekutu utama Korea Utara, yang memicu krisis ekonomi dan kelaparan yang berkepanjangan. Krisis ini semakin mendalam akibat sanksi internasional yang diberlakukan sebagai respons terhadap program militer negara. Alhasil, sistem yang dirancang untuk melindungi kedaulatan negara secara tidak langsung menyebabkan penderitaan bagi warga sipil. Dengan demikian, implementasi Juche, khususnya prinsip swasembada ekonomi dan kemandirian militer, telah menciptakan lingkaran setan isolasi dan kemiskinan, di mana ketidakmampuan untuk bersaing secara global dan fokus pada industri yang tidak efisien membuat standar hidup anjlok, yang kemudian diperburuk oleh sanksi yang ditujukan pada program militer, sehingga memicu krisis kemanusiaan yang berulang.

Alat Kontrol Negara: Propaganda dan Edukasi

Propaganda di Korea Utara dikendalikan sepenuhnya oleh Departemen Propaganda dan Agitasi Partai Buruh Korea dan meresap ke dalam setiap aspek kehidupan. Berbagai bentuk propaganda digunakan untuk menanamkan ideologi Juche dan memuja para pemimpin. Poster-poster dan slogan-slogan menggambarkan tindakan yang benar untuk setiap bagian kehidupan, sementara seni visual sering kali menampilkan tema militeristik. Musik dan film secara khusus digunakan untuk mengagungkan para pemimpin, menciptakan kultus individu yang berpusat pada dinasti Kim. Lagu-lagu seperti “Song of General Kim Il Sung” dan “We Will Follow You Only” adalah contoh konkret dari pemujaan ini, yang secara berulang disiarkan oleh media negara.

Selain media massa, kontrol juga dilakukan melalui mekanisme sosial yang mendalam. Warga Korea Utara memiliki sesi “introspeksi hidup” mingguan di mana mereka merenungkan kesalahan diri sendiri dan mengkritik kesalahan orang lain, dengan “petunjuk” atau “kata-kata” dari para pemimpin sebagai dasar kritiknya. Propaganda yang meresap ini, ketika digabungkan dengan sesi introspeksi yang diwajibkan, menciptakan sebuah mekanisme kontrol yang diinternalisasi. Ini bukan sekadar tentang menerima pesan, tetapi tentang menegakkan dan memaksakan ideologi pada sesama warga. Sistem ini menghasilkan masyarakat di mana individu secara konstan berada di bawah tekanan untuk menunjukkan kepatuhan dan bahkan menjadi agen pengawasan bagi rezim. Akibatnya, kontrol tidak hanya bersifat eksternal dari negara, tetapi juga bersifat internal dari masyarakat itu sendiri. Propaganda Korea Utara berfungsi sebagai bagian dari sebuah sistem panoptik sosial yang lebih besar. Melalui mekanisme pengawasan dan kritik yang diwajibkan, pemerintah mengalihdayakan sebagian besar tugas kontrol sosial kepada warganya sendiri, memastikan kepatuhan yang menyeluruh dan meminimalkan oposisi, bahkan di tingkat mental.

Realitas Kehidupan Sehari-hari Warga Korea Utara

Rutinitas Sehari-hari dan Kondisi Sosial

Kehidupan sehari-hari di Korea Utara, terutama di ibu kota Pyongyang, digambarkan sebagai pengalaman yang sangat terkontrol dan terstruktur. Pagi hari dimulai sekitar pukul 6 pagi dengan lagu-lagu patriotik yang diputar melalui pengeras suara di seluruh kota. Jam kerja normal berlangsung selama 8 jam, dibagi menjadi dua sesi: sesi pagi dari jam 8 pagi hingga 12 siang, dan sesi sore dari jam 2 siang hingga 6 sore, dengan waktu istirahat 10 menit setiap 50 menit kerja untuk pekerja umum. Setiap pekerjaan di negara ini umumnya ditentukan oleh negara, meniadakan konsep “mengikuti passion” atau mengejar mimpi.

Akses terhadap transportasi umum sangat terbatas, dengan bus yang penuh sesak, trem tua, atau sepeda menjadi pilihan utama bagi sebagian besar warga. Mobil pribadi adalah kemewahan yang hanya dimiliki oleh segelintir elite. Gaya berpakaian juga tampaknya diatur secara ketat, dengan mayoritas wanita hanya mengenakan rok. Kondisi sosial dan infrastruktur dasar juga menunjukkan keterbatasan yang signifikan. Meskipun pemerintah menyediakan akses dasar terhadap air dan sanitasi bagi sebagian besar penduduk, hanya sekitar setengah dari populasi yang memiliki akses terhadap listrik.

Mengenai makanan, sarapan sebagian besar warga terdiri dari semangkuk bubur jagung atau nasi, kadang-kadang dengan tambahan kimchi atau sedikit sayuran. Kopi dan makanan mewah lainnya disebutkan sebagai sesuatu yang mungkin hanya kenangan atau impian bagi sebagian besar dari mereka. Makan siang umumnya dilakukan di tempat kerja dengan bekal yang dibawa dari rumah.

Tantangan Ekonomi dan Krisis Kemanusiaan

Di balik propaganda pemerintah yang menampilkan citra negara makmur dan bahagia, kenyataannya jauh berbeda. Kemiskinan, kekurangan pangan, dan pelanggaran hak asasi manusia adalah masalah serius yang dihadapi rakyat. Krisis pangan yang berkepanjangan diperparah oleh gagal panen akibat cuaca buruk dan sanksi internasional yang membatasi perdagangan dan bantuan. Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un sendiri pernah menjanjikan masa depan yang lebih sejahtera, menunjukkan pengakuan akan masalah ini. Sanksi ekonomi internasional, yang diberlakukan sebagai respons terhadap program senjata nuklir, memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian Korea Utara. Meskipun sanksi ini ditujukan untuk elit, dampaknya sering kali memicu penderitaan bagi warga sipil. Ditambah dengan penutupan perbatasan yang ketat selama pandemi COVID-19, Korea Utara mengalami penurunan ekonomi yang berturut-turut selama tiga tahun.

Resiliensi Warga di Tengah Keterbatasan

Di tengah kesulitan, warga menunjukkan resiliensi yang luar biasa dan semangat untuk bertahan hidup. Mereka beradaptasi dengan keterbatasan dengan berbagai cara, termasuk berbisnis kecil-kecilan di pasar gelap untuk memenuhi kebutuhan dasar. Meskipun propaganda negara mendominasi hiburan yang tersedia, warga secara diam-diam menemukan cara untuk mengakses budaya asing yang dilarang. Sebagai contoh, beberapa warga mendengarkan musik K-Pop dari Korea Selatan melalui flashdisk selundupan.

Keberadaan pasar gelap, penurunan standar hidup, dan adaptasi warga yang melanggar aturan menunjukkan disonansi kognitif yang signifikan antara narasi propaganda negara dan realitas sehari-hari. Pemerintah mengendalikan struktur publik seperti pekerjaan dan transportasi, tetapi tidak dapat sepenuhnya menekan adaptasi individual dan ekonomi bawah tanah. Fenomena ini menciptakan masyarakat ganda, di mana ada realitas resmi yang dipamerkan dan realitas “survival” yang tersembunyi. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kontrol tidak bersifat total dan mutlak, dan ada ruang tersembunyi untuk resiliensi, adaptasi, dan bahkan pelanggaran yang didorong oleh kebutuhan dasar.

Industri Pariwisata: Pengalaman yang Terkurasi dan Terkendali

Model Pariwisata dan Mekanisme Perjalanan

Pariwisata di Korea Utara sangat terkendali dan dikelola sepenuhnya oleh pemerintah. Wisatawan asing dilarang bepergian secara mandiri dan diwajibkan untuk mengikuti tur kelompok yang sangat diawasi. Tur ini hanya dapat diselenggarakan oleh operator perjalanan yang disetujui oleh pemerintah, seperti Koryo Tours, Young Pioneers, Lupina Travel, dan Uri Tours. Rencana perjalanan (itinerary) diatur secara ketat dan tidak dapat diubah tanpa izin. Wisatawan harus tetap bersama rombongan dan tidak diizinkan untuk mengunjungi area yang tidak termasuk dalam itinerary yang telah ditetapkan. Meskipun pariwisata kembali dibuka setelah penutupan akibat pandemi, pembukaan ini bersifat terbatas dan dimulai dari kawasan khusus seperti Zona Ekonomi Khusus Rason atau kota Samjiyon.

Destinasi Wisata yang Disediakan

Destinasi wisata yang ditawarkan kepada turis di Korea Utara sebagian besar berfokus pada monumen dan situs politik yang mengagungkan para pemimpin dan perjuangan revolusioner. Beberapa contohnya termasuk Arc of Triumph, Kumsusan Palace of the Sun, Juche Tower, dan Mansudae Grand Monument, yang berfungsi untuk memperkuat narasi ideologis negara. Kunjungan juga mencakup museum sejarah dan militer, seperti Victorious War Museum, yang memamerkan koleksi senjata dan menceritakan narasi Korea Utara tentang Perang Korea. Selain itu, beberapa tempat wisata alam seperti Air Terjun Ullim dan Gunung Myohyang serta tempat hiburan seperti The State Circus Pyongyang juga tersedia, tetapi semua ini adalah bagian dari “pertunjukan” yang dikendalikan.

Aturan Ketat dan Larangan bagi Turis

Aturan bagi turis di Korea Utara sangat ketat dan mencerminkan sifat ideologis negara. Turis dilarang melakukan khotbah keagamaan atau membawa materi keagamaan. Kritik terhadap pemerintah dan pemimpin, baik secara langsung maupun di media sosial, juga dilarang. Protokol fotografi juga sangat ketat. Dilarang memotret militer, fasilitas militer, dan lokasi konstruksi. Aturan khusus berlaku untuk patung para pemimpin, di mana foto harus diambil dengan menampakkan seluruh bagian patung, bukan sebagian, karena hal tersebut dianggap sebagai penghinaan. Turis juga harus meminta izin sebelum memotret warga lokal secara close-up. Dalam hal ekonomi, wisatawan tidak diperbolehkan menggunakan mata uang lokal (KPW); transaksi harus dilakukan dengan mata uang asing seperti yuan China, dollar AS, atau euro.

Model pariwisata ini bukanlah tentang menciptakan pengalaman yang autentik. Tujuannya adalah untuk menghasilkan devisa sambil mengendalikan narasi yang dibawa oleh turis. Larangan memotret militer dan fasilitas konstruksi memiliki tujuan ganda: melindungi kerahasiaan militer dan citra pembangunan negara. Sementara itu, kewajiban untuk mengambil foto patung pemimpin secara utuh adalah sebuah bentuk ritual paksa yang mendoktrin turis untuk berpartisipasi dalam pemujaan pemimpin. Pengalaman turis, oleh karena itu, adalah sebuah simulasi yang sangat terkontrol dari kehidupan Korea Utara yang “ideal.” Wisatawan tidak melihat realitas, tetapi sebuah “teater” yang dipentaskan untuk mereka, menjadikannya perpanjangan dari aparatus propaganda Juche.

Analisis Kontras: Antara Propaganda dan Realita

Realitas Turis vs. Realitas Warga

Terdapat kontras yang tajam antara pengalaman yang dialami oleh turis dan realitas kehidupan sehari-hari warga lokal di Korea Utara. Laporan turis menggambarkan penginapan di hotel-hotel mewah seperti Hotel Yanggakdo, makan di restoran terkenal seperti Okryugwan, dan mengunjungi pemandangan kota yang teratur. Namun, laporan lain menunjukkan realitas yang sangat berbeda bagi warga lokal, yaitu pemadaman listrik yang sering terjadi, kekurangan pangan, dan transportasi yang terbatas. Perbedaan ini bukan sekadar anekdotal; hal ini adalah bagian dari strategi disinformasi yang disengaja. Turis diarahkan ke “zona pameran” yang tidak mencerminkan kehidupan rata-rata. Berikut adalah perbandingan langsung antara kedua realitas tersebut:

Kategori Pengalaman Turis Realitas Warga Lokal
Akomodasi Menginap di hotel bintang 3 atau 4 seperti Hotel Sosan atau Hotel Yanggakdo. Mengalami pemadaman listrik bergilir dan penerangan jalan yang minim di malam hari.
Mata Uang Menggunakan mata uang asing seperti yuan China, dollar AS, atau euro untuk transaksi. Mengalami kesulitan ekonomi dan mengandalkan pasar gelap untuk memenuhi kebutuhan.
Makanan Makan tiga kali sehari, dengan pilihan restoran terkenal dan makanan mewah. Seringkali hanya makan bubur jagung atau nasi, terkadang dengan kimchi, untuk sarapan dan bekal makan siang.
Transportasi Bepergian dengan transportasi ber-AC yang nyaman bersama rombongan tur. Menggunakan bus yang penuh sesak, trem tua, atau berjalan kaki 30-40 menit untuk bekerja.
Aktivitas Utama Mengunjungi monumen politik, museum, dan situs alam yang terkurasi. Menghabiskan hari dengan bekerja untuk “kejayaan negara”, diikuti oleh sesi “introspeksi hidup”.
Akses Internet Akses internet sangat terbatas, hanya di segelintir hotel dengan koneksi lambat. Hampir tidak memiliki akses internet, dengan kurang dari 1% populasi yang dapat mengaksesnya.
Kebebasan Berinteraksi Interaksi dengan warga lokal sangat terbatas dan diawasi ketat. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dibungkam, tetapi ada adaptasi tersembunyi.

Dilema Etis Pariwisata

Pariwisata di Korea Utara menimbulkan dilema etis yang mendalam bagi setiap wisatawan. Industri ini berfungsi sebagai sumber devisa yang krusial bagi negara. Namun, karena industri ini dikendalikan sepenuhnya oleh negara, ada kekhawatiran yang sah bahwa pendapatan dari pariwisata disalurkan langsung ke rezim dan elitnya, berpotensi melanggar sanksi internasional yang dirancang untuk mencegah pendanaan pengembangan militer dan program senjata. Di sisi lain, turis menghadapi risiko hukum dan keamanan yang nyata. Pelanggaran aturan yang tampaknya tidak berbahaya dapat berujung pada konsekuensi serius, termasuk denda, deportasi, atau bahkan hukuman penjara.

Kunjungan ke Korea Utara bukan sekadar kegiatan rekreasi, melainkan sebuah tindakan politik dan etis yang kompleks. Meskipun ada klaim bahwa pariwisata dapat membuka “jendela” kecil ke dunia luar bagi warga lokal, pengawasan ketat dan batasan interaksi yang diberlakukan membuat argumen ini menjadi lemah . Faktanya, kehadiran turis memperkuat narasi rezim bahwa mereka adalah negara yang sah dan normal. Dengan demikian, turis secara tidak sadar menjadi agen pasif dalam mesin propaganda, melegitimasi rezim dengan kehadiran dan uang mereka.

Perspektif Ganda

Laporan ini menunjukkan adanya tiga realitas yang tidak koheren terkait Korea Utara [30]: apa yang dilihat oleh dunia luar melalui lensa media internasional, apa yang disajikan kepada turis, dan apa yang sebenarnya dialami oleh warga lokal. Untuk membantu pembaca memahami kompleksitas ini, berikut adalah panduan dan larangan kritis yang harus diketahui oleh setiap calon wisatawan:

Larangan Penjelasan dan Implikasi Konsekuensi
Larangan Khotbah Agama Wisatawan dilarang membawa materi keagamaan atau melakukan aktivitas keagamaan di Korea Utara. Denda, deportasi, atau hukuman penjara.
Menyebarkan Budaya Asing Dilarang membawa dan menyebarkan produk budaya asing, terutama dari Korea Selatan (film, musik, buku, majalah). Penyitaan barang, denda, atau hukuman serius.
Fotografi Militer Dilarang memotret tentara, kendaraan militer, barak, atau fasilitas militer lainnya. Hal ini juga berlaku untuk situs konstruksi yang sering melibatkan tentara. Pemeriksaan, penyitaan alat, atau hukuman yang lebih berat.
Fotografi Patung Pemimpin Foto patung pemimpin (Kim Il Sung, Kim Jong Il) harus diambil dalam posisi seluruhnya, tidak boleh sebagian. Turis juga diharapkan membungkuk sebagai bentuk penghormatan. Dianggap sebagai penghinaan yang dapat menimbulkan masalah serius.
Perubahan Itinerary Turis dilarang meninggalkan atau mengubah rencana perjalanan tanpa izin. Wisatawan harus tetap bersama pemandu dan rombongan. Denda yang berat.
Penggunaan Mata Uang Lokal Turis dilarang menggunakan mata uang lokal (KPW). Transaksi harus dilakukan dengan mata uang asing utama. Pelanggaran dapat dikenai sanksi .
Kritik Pemerintah Dilarang mengkritik pemerintah Korea Utara, baik secara langsung maupun di media sosial. Dapat berakibat serius, mulai dari deportasi hingga hukuman yang lebih berat.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang mendalam, Korea Utara adalah sebuah negara yang dibangun di atas fondasi ideologi Juche yang unik, yang mengarah pada sistem politik absolut dan ekonomi komando yang terisolasi. Realitas ini menciptakan tantangan hidup yang berat bagi warga negara, yang seringkali berjuang dengan kekurangan dan pengawasan. Untuk dunia luar, rezim menyajikan citra yang berbeda melalui industri pariwisata yang sangat terkurasi, yang berfungsi sebagai alat propaganda dan sumber pendapatan.

Laporan ini menyimpulkan bahwa Korea Utara tidak dapat dipahami sebagai “negara misterius” atau “negara aneh,” tetapi sebagai sebuah sistem yang sangat rasional dalam ketidakrasionalannya. Setiap aspek kehidupan dan pariwisata berfungsi untuk melestarikan kekuasaan dinasti Kim dan ideologi Juche. Pengalaman turis adalah sebuah fatamorgana yang sengaja diciptakan, dan pemahaman yang lebih dalam hanya dapat dicapai dengan melihat apa yang berada di balik “tirai besi”—yaitu, realitas yang penuh tantangan, resiliensi, dan kontradiksi. Laporan ini memberikan analisis yang diperlukan untuk membedakan antara citra yang disajikan dan realitas yang sulit dipahami.

 

Post Comment

CAPTCHA ImageChange Image