Loading Now

Melampaui Batas Waktu dan Ruang: Ontologi Dreamtime dan Koneksi Spiritual Tak Terputus Suku Aborigin Australia dengan Tanah Leluhur

Eksistensi masyarakat Aborigin di benua Australia mewakili salah satu pencapaian peradaban manusia yang paling luar biasa, dengan catatan arkeologis yang menunjukkan keberlanjutan budaya selama lebih dari 65.000 hingga 80.000 tahun. Di jantung keberlanjutan ini terdapat sebuah sistem kepercayaan dan pandangan dunia yang dikenal secara luas dalam terminologi Barat sebagai Dreamtime atau The Dreaming. Namun, bagi pemilik aslinya, konsep ini jauh lebih dalam daripada sekadar “mimpi” atau “mitologi” dalam pengertian konvensional; ia adalah fondasi total bagi eksistensi, hukum, moralitas, dan identitas yang menghubungkan manusia secara tidak terpisahkan dengan tanah yang mereka pijak. Laporan ini akan menganalisis secara mendalam dimensi ontologis, epistemologis, dan sosiopolitik dari Dreamtime, serta bagaimana koneksi spiritual ini membentuk pengelolaan lingkungan, struktur hukum tradisional, dan perjuangan hak atas tanah di era modern.

Fondasi Ontologis Dreaming: Konsep “Everywhen” dan Keabadian

Istilah “Dreaming” atau “Dreamtime” sebenarnya merupakan upaya penerjemahan yang tidak memadai oleh para antropolog awal untuk menggambarkan konsep-konsep kompleks dari berbagai bahasa pribumi Australia. Istilah ini sering dikaitkan dengan kata Alcheringa dari bahasa Arandic yang digunakan oleh orang Arrernte di Australia Tengah, yang secara etimologis merujuk pada keabadian atau sesuatu yang “tidak diciptakan” dan tidak memiliki awal. Penggunaan kata “mimpi” oleh orang Eropa mungkin didasarkan pada salah pengertian terhadap kata alcheri yang berarti mimpi dalam bahasa lokal, padahal bagi masyarakat Aborigin, Dreaming bukanlah sebuah khayalan tidur, melainkan sebuah realitas yang hidup dan dialami setiap hari.

Salah satu kontribusi pemikiran paling signifikan dalam memahami Dreaming datang dari antropolog William Stanner, yang mendeskripsikan konsep ini sebagai “Everywhen”. Konsep ini menolak linearitas waktu Barat yang membagi eksistensi menjadi masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sebaliknya, Dreaming adalah sebuah dimensi kontinu di mana peristiwa penciptaan yang dilakukan oleh para leluhur terus berlangsung dan memengaruhi dunia fisik saat ini. Dalam pandangan ini, masa lalu tidak pernah benar-benar “berlalu”; ia tetap ada di dalam tanah dan dapat diakses melalui ritual, nyanyian, dan tarian.

Terminologi Lokal Kelompok Bahasa Makna Dasar dan Implikasi Filosofis
Alcheringa / Altjira Arrernte Keabadian; sesuatu yang tidak diciptakan; dasar hukum spiritual yang tidak berubah.
Jukurrpa Warlpiri / Desert Bloc Melihat dan memahami hukum; kerangka kerja untuk seluruh perilaku sosial dan moral.
Tjukurpa Anangu Filosofi religius yang menghubungkan manusia dengan lingkungan dan leluhur secara simultan.
Wongar Yolngu Dunia leluhur dan hukum yang mengatur hubungan antara manusia, roh, dan alam semesta.

Dreaming mencakup hubungan antara manusia, tanaman, hewan, dan fitur fisik tanah, serta pengetahuan tentang bagaimana hubungan ini muncul dan bagaimana mereka harus dipertahankan melalui upacara dan kehidupan sehari-hari. Ini adalah filosofi holistik yang tertanam dalam bumi itu sendiri, menyediakan aturan untuk hidup dan kode etik yang terintegrasi sepenuhnya.

Makhluk Leluhur dan Pembentukan Lanskap Budaya

Menurut mitologi penciptaan Aborigin, pada awalnya benua Australia adalah daratan yang datar, gelap, dan tidak berbentuk. Transformasi dunia fisik terjadi selama Dreaming ketika Makhluk Leluhur (Ancestral Beings) muncul dari dalam bumi atau turun dari langit. Makhluk-makhluk ini, yang sering kali memiliki kemampuan supernatural dan dapat berubah bentuk antara manusia dan hewan, melakukan perjalanan melintasi bentang alam.

Dalam perjalanan mereka, aktivitas para leluhur—seperti berburu, bertempur, bernyanyi, dan melakukan upacara—secara fisik membentuk fitur-fitur geografis yang ada saat ini. Sungai-sungai tercipta dari jalur merayapnya ular raksasa, gunung-gunung muncul dari tempat para leluhur beristirahat, dan lubang-lubang air terbentuk dari tempat mereka menggali tanah. Setelah pekerjaan penciptaan mereka selesai, Makhluk Leluhur ini tidak menghilang; mereka bermetamorfosis menjadi bagian dari lanskap tersebut, seperti batu, pohon, atau formasi geologis, atau mereka naik ke langit menjadi bintang dan planet.

Karakteristik Makhluk Leluhur ini sering kali digambarkan secara paradoks: mereka adalah pencipta yang perkasa namun juga sering menunjukkan kelemahan manusia seperti keserakahan, kekerasan, atau nafsu. Cerita-cerita tentang perilaku mereka berfungsi sebagai model perilaku bagi manusia, menunjukkan konsekuensi dari tindakan yang melanggar hukum sosial dan moral. Makhluk Leluhur yang paling terkenal secara luas adalah Rainbow Serpent (Ular Pelangi), yang muncul dalam berbagai variasi cerita di seluruh Australia sebagai penyedia air dan pencipta kehidupan, namun juga sebagai entitas yang menakutkan jika hukumnya dilanggar.

Songlines: Koridor Pengetahuan dan Navigasi Spiritual

Salah satu konsep paling menakjubkan dalam budaya Aborigin adalah “Songlines” atau jalur nyanyian, yang secara lokal sering disebut sebagai Dreaming tracks. Jalur-jalur ini merupakan rute yang ditempuh oleh Makhluk Leluhur saat mereka “menyanyikan dunia menjadi ada”. Songlines berfungsi sebagai koridor pengetahuan yang saling bersilangan di seluruh benua Australia, menghubungkan ribuan situs suci.

Mekanisme Memori dan Fungsi Navigasi

Songlines bukan sekadar mitos, melainkan sistem navigasi dan penyimpanan data yang sangat fungsional. Dengan mempelajari dan menyanyikan lagu-lagu tertentu dalam urutan yang benar, seseorang dapat menavigasi jarak ratusan hingga ribuan kilometer melintasi gurun yang paling keras tanpa bantuan alat navigasi modern. Setiap bait dalam lagu tersebut memberikan deskripsi auditif tentang fitur lanskap tertentu, seperti bentuk bukit, jenis pohon, atau lokasi lubang air yang tersembunyi.

Fungsi Songlines Penjelasan Mekanisme Relevansi Bagi Kelangsungan Hidup
Navigasi Geografis Lirik lagu mendeskripsikan landmarks secara berurutan sesuai rute perjalanan. Memungkinkan perjalanan lintas wilayah yang aman tanpa tersesat.
Arsip Ekologis Lagu mengandung informasi tentang flora, fauna, dan musim memanen. Menjamin ketersediaan pangan dan pemahaman terhadap ekosistem lokal.
Paspor Budaya Menyanyikan lagu dalam bahasa lokal menunjukkan rasa hormat kepada pemilik tanah. Memungkinkan interaksi damai dan perdagangan antar-bangsa Aborigin.
Transmisi Hukum Cerita dalam lagu menetapkan aturan perilaku sosial dan hubungan kekerabatan. Memelihara kohesi sosial dan ketertiban hukum tradisional.

Songlines menghubungkan berbagai kelompok bahasa dan bangsa. Seorang musafir yang memasuki wilayah bangsa lain akan menyanyikan lagu tersebut dalam melodi yang sama meskipun bahasanya berubah, menandakan bahwa mereka mengikuti hukum yang sama. Keyakinan spiritual yang mendasarinya adalah bahwa tanah harus terus “dinyanyikan” agar tetap hidup; jika lagu-lagu itu berhenti, maka tanah itu akan menjadi sunyi dan kehilangan kekuatan spiritualnya.

Koneksi Spiritual ke “Country”: Tanah sebagai Kerabat

Dalam perspektif Aborigin, tanah bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan atau sumber daya untuk dieksploitasi; tanah adalah “Country” (Negara/Tanah Air) yang merupakan entitas hidup, bernapas, dan memiliki kesadaran. Hubungan antara manusia dan tanah didasarkan pada prinsip relasionalitas yang mendalam, di mana manusia, hewan, tumbuhan, batu, dan air semuanya dilihat sebagai kerabat yang saling terhubung.

Filosofi Kepemilikan dan Tanggung Jawab

Berbeda dengan konsep hukum Barat tentang kepemilikan properti, dalam hukum Aborigin, manusia tidak memiliki tanah; sebaliknya, tanahlah yang memiliki manusia. Setiap individu lahir dengan tanggung jawab bawaan untuk merawat wilayah tertentu yang merupakan tanah leluhurnya. Tanggung jawab ini mencakup pemeliharaan fisik lanskap serta pelaksanaan upacara yang diperlukan untuk menjaga “kekuatan hidup” di situs-situs suci tetap aktif.

Konsep “Caring for Country” (Merawat Tanah Air) adalah praktik harian yang melibatkan pengelolaan lingkungan berbasis pengetahuan tradisional. Ketika tanah itu sehat, orang-orangnya pun sehat; jika tanah itu rusak atau dicemari, masyarakatnya akan merasakan penderitaan fisik dan spiritual yang sama. Tanah dipandang sebagai “ibu” yang memberikan segala kebutuhan hidup, mulai dari makanan hingga identitas spiritual.

Dadirri: Seni Mendengarkan Secara Mendalam

Untuk menjaga koneksi ini, masyarakat Aborigin mempraktikkan apa yang disebut sebagai Dadirri, sebuah konsep spiritual yang berarti mendengarkan secara mendalam dan penuh kesadaran. Ini bukan sekadar mendengarkan dengan telinga, melainkan sebuah kondisi kesadaran di mana seseorang diam, tenang, dan selaras dengan pesan-pesan yang dikirimkan oleh alam. Melalui Dadirri, seorang penjaga tanah dapat merasakan kapan sebuah ekosistem sedang tidak seimbang atau kapan musim tertentu akan berganti sebelum tanda-tanda fisik yang jelas muncul.

Pengetahuan Ekologi Tradisional (TEK) dan Sains Pribumi

Koneksi spiritual yang mendalam dengan tanah tidak berarti masyarakat Aborigin hidup secara pasif. Sebaliknya, mereka adalah manajer lingkungan yang aktif dan canggih, menggunakan apa yang sekarang diakui oleh para ilmuwan sebagai Pengetahuan Ekologi Tradisional (Traditional Ecological Knowledge/TEK).

Fire-Stick Farming (Pembakaran Budaya)

Salah satu kontribusi paling penting dari sains Aborigin terhadap pengelolaan lahan Australia adalah fire-stick farming atau pembakaran budaya (cool burning). Praktik ini melibatkan penggunaan api dengan intensitas rendah secara terencana pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Tujuannya adalah untuk:

  1. Mengurangi Beban Bahan Bakar: Membakar rumput kering dan semak belukar untuk mencegah kebakaran hutan raksasa yang merusak di musim panas.
  2. Merangsang Pertumbuhan: Mendorong regenerasi tanaman tertentu yang bijinya membutuhkan panas api untuk berkecambah.
  3. Menciptakan Habitat Mosaik: Menciptakan tambalan-tambalan lahan dengan tingkat pertumbuhan vegetasi yang berbeda, yang meningkatkan keanekaragaman hayati dan menyediakan makanan bagi hewan seperti kangguru.
  4. Memudahkan Berburu: Asap dan api yang terkendali dapat digunakan untuk mengarahkan hewan ke area tertentu.

Berbeda dengan kebijakan pencegahan api total yang sering kali menyebabkan akumulasi bahan bakar yang berbahaya, praktik fire-stick farming telah terbukti secara ilmiah lebih efektif dalam menjaga kesehatan ekosistem Australia yang unik.

Manajemen Air dan Akuakultur Kuno

Di wilayah Budj Bim, Victoria, suku Gunditjmara membangun salah satu sistem akuakultur tertua dan paling kompleks di dunia. Menggunakan batu lava dari gunung berapi di dekatnya, mereka membangun jaringan saluran, bendungan, dan jebakan untuk memanen belut (eel) secara berkelanjutan. Sistem ini memungkinkan populasi besar untuk tinggal menetap di satu tempat selama ribuan tahun, menantang persepsi kolonial bahwa semua masyarakat Aborigin adalah pengembara nomaden yang tidak memiliki sistem pertanian atau struktur permanen.

Uluru: Episentrum Spiritual dan Bukti Fisik Tjukurpa

Uluru, monolit raksasa di pusat benua Australia, berdiri sebagai bukti fisik paling kuat dari realitas Dreaming bagi orang Anangu, pemilik tradisional wilayah tersebut. Bagi orang luar, Uluru mungkin tampak sebagai sebuah keajaiban geologis; namun bagi orang Anangu, ia adalah akumulasi dari ribuan peristiwa penciptaan yang terekam dalam Tjukurpa.

Tjukuritja: Jejak Kaki Para Leluhur

Setiap lekukan, gua, dan garis di permukaan Uluru diyakini sebagai Tjukuritja—bukti fisik dari aktivitas Makhluk Leluhur. Sebagai contoh, lubang-lubang besar di sisi utara batuan dipandang sebagai jejak pertempuran antara Kuniya (Wanita Ular Piton) dan Liru (Pria Ular Berbisa), sementara formasi di dekat dasar batuan dianggap sebagai perkemahan para leluhur Mala (Walabi telinga pendek).

Kehadiran fisik leluhur di dalam batuan inilah yang membuat Uluru menjadi situs yang sangat suci. Orang Anangu memiliki hukum yang sangat ketat mengenai area mana yang boleh dikunjungi oleh publik dan area mana yang hanya boleh diakses oleh pria atau wanita yang telah diinisiasi untuk keperluan ritual tertentu. Pada tahun 2019, pendakian ke puncak Uluru akhirnya dilarang secara permanen sebagai penghormatan terhadap keinginan para Tetua Anangu yang menganggap pendakian tersebut sebagai penodaan terhadap kesucian situs tersebut.

Transmisi Budaya: Seni, Upacara, dan Simbolisme

Dalam masyarakat yang tidak menggunakan tulisan untuk mencatat sejarah, transmisi pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya dilakukan melalui sistem komunikasi visual, lisan, dan ritual yang sangat ketat.

Seni Aborigin sebagai Bahasa Visual

Seni Aborigin, mulai dari lukisan cadas kuno hingga lukisan kanvas kontemporer, adalah “peta memori” yang mencatat Dreaming. Lukisan titik (dot painting) yang terkenal dari daerah gurun sebenarnya merupakan sebuah inovasi kontemporer yang berakar pada tradisi lukisan pasir dan tubuh. Penggunaan titik-titik tersebut sering kali berfungsi sebagai teknik kamuflase untuk menyembunyikan simbol-simbol suci di bawah lapisan dekoratif, sehingga hanya orang-orang yang telah diinisiasi yang dapat membaca makna “dalam” dari lukisan tersebut.

Simbol Seni Representasi Objek / Konsep Makna dalam Dreaming
Lingkaran Konsentris Lubang air, tempat pertemuan, atau kamp. Titik pusat energi spiritual atau lokasi peristiwa penting leluhur.
Garis Paralel / Bergelombang Jalur perjalanan, sungai, atau kilat. Jalur Songline atau jejak perpindahan leluhur antar-situs.
Bentuk ‘U’ Manusia yang sedang duduk. Kehadiran leluhur atau peserta upacara di sebuah lokasi.
Jejak Kaki (Tracks) Hewan totemik (kangguru, emu, burung). Menandakan spesies tertentu yang diciptakan atau diwakili oleh leluhur di tanah itu.

Upacara: Inma dan Corroboree

Upacara adalah cara paling dinamis bagi masyarakat Aborigin untuk berinteraksi dengan Dreaming. Di Australia Tengah, upacara yang melibatkan nyanyian dan tarian ini dikenal sebagai Inma. Melalui Inma, para peserta “menjadi” leluhur mereka, memperagakan kembali peristiwa penciptaan, dan dengan demikian mengisi ulang kekuatan spiritual tanah tersebut.

Istilah Corroboree adalah sebutan yang lebih umum (berasal dari bahasa Dharug di Sydney) untuk pertemuan seremonial yang menggabungkan tarian, musik, dan lukisan tubuh. Beberapa upacara bersifat publik dan mendidik bagi anak-anak, sementara yang lain bersifat rahasia dan sakral (sacred and secret), terbatas hanya untuk gender tertentu atau tingkat inisiasi tertentu. Upacara ini sering kali berlangsung di malam hari di sekitar api unggun, menggunakan musik didgeridoo, bilah kayu (clapsticks), dan nyanyian untuk menciptakan suasana trans-spiritual.

Dampak Kolonisasi dan Perampasan Hak Atas Tanah

Koneksi mendalam antara manusia dan tanah mengalami guncangan dahsyat dengan kedatangan Inggris pada tahun 1788. Klaim kolonial atas Terra Nullius (tanah tak bertuan) didasarkan pada asumsi yang salah bahwa masyarakat Aborigin tidak memiliki konsep kepemilikan tanah karena mereka tidak memagari lahan atau memiliki sertifikat tertulis.

Disposisi dan Kehancuran Budaya

Kolonisasi menyebabkan pengusiran massal masyarakat Aborigin dari tanah leluhur mereka ke pemukiman misi atau cadangan pemerintah. Bagi masyarakat yang identitas spiritualnya terikat pada lokasi geografis tertentu, dipindahkan dari tanah leluhur adalah sebuah bentuk “genosida spiritual”. Tanpa akses ke situs suci, banyak upacara tidak dapat dilakukan, dan transmisi pengetahuan Dreaming terputus.

Kebijakan “Stolen Generations” (Generasi yang Dicuri), di mana anak-anak Aborigin diambil secara paksa dari keluarga mereka untuk diasimilasi, bertujuan untuk memutus ikatan terakhir dengan budaya asli. Meskipun mengalami trauma luar biasa, masyarakat Aborigin menunjukkan ketahanan yang luar biasa dalam mempertahankan dan merevitalisasi budaya mereka di tengah penindasan sistemik.

Perjuangan Hukum Modern dan Kebangkitan Hak Atas Tanah

Perlawanan terhadap perampasan tanah telah berlangsung sejak hari pertama kolonisasi, namun gerakan hak atas tanah modern mulai mendapatkan momentum hukum pada tahun 1960-an.

Dari Petisi Kulit Kayu ke Kasus Mabo

Pada tahun 1963, orang Yolngu dari Yirrkala mengirimkan petisi kulit kayu (Bark Petitions) ke parlemen Australia untuk memprotes penambangan di tanah suci mereka. Meskipun awalnya gagal, petisi ini membuka jalan bagi penyelidikan komisi Woodward yang akhirnya menghasilkan Aboriginal Land Rights (Northern Territory) Act 1976—undang-undang pertama yang mengakui hak hukum Aborigin atas tanah tradisional mereka jika hubungan tradisional dapat dibuktikan.

Momen paling bersejarah terjadi pada 3 Juni 1992, ketika Mahkamah Agung Australia memutuskan kasus Mabo v Queensland. Eddie Koiki Mabo, seorang pria dari Pulau Mer, berhasil membuktikan bahwa doktrin Terra Nullius adalah sebuah fiksi hukum. Mahkamah Agung mengakui keberadaan Native Title (Hak Ulayat), sebuah pengakuan bahwa hak pribumi atas tanah tetap ada kecuali jika secara tegas dipadamkan oleh pemerintah.

Tonggak Sejarah Hak Atas Tanah Tahun Signifikansi Hukum dan Politik
Yirrkala Bark Petitions 1963 Dokumen pertama yang menggunakan format budaya pribumi untuk menantang hukum kolonial di parlemen.
Wave Hill Walk-off 1966 Aksi mogok suku Gurindji yang dipimpin Vincent Lingiari, menuntut pengembalian tanah leluhur, bukan hanya upah.
Land Rights Act (NT) 1976 Memberikan hak milik permanen (freehold) kepada dewan tanah Aborigin atas cadangan tanah di Northern Territory.
Keputusan Mabo (No. 2) 1992 Membatalkan Terra Nullius dan mengakui kedaulatan hukum adat pribumi sebelum kolonisasi.
Handback Uluru 1985 Pengembalian formal hak milik Uluru kepada orang Anangu dalam sebuah upacara bersejarah.

Uluru Statement from the Heart: Seruan untuk Masa Depan

Aspirasi masyarakat Aborigin untuk pengakuan kedaulatan mereka terus berlanjut hingga hari ini. Pada tahun 2017, perwakilan dari seluruh bangsa First Nations berkumpul di kaki Uluru dan mengeluarkan “Uluru Statement from the Heart”. Pernyataan ini menyerukan tiga reformasi utama: Voice (Suara), Treaty (Perjanjian), dan Truth (Kebenaran).

Pernyataan ini mendefinisikan kedaulatan pribumi bukan sebagai klaim politik semata, melainkan sebagai sebuah “gagasan spiritual” yang berasal dari ikatan leluhur antara tanah dan orang-orangnya. Meskipun referendum nasional tahun 2023 untuk membentuk “First Nations Voice” di dalam konstitusi tidak berhasil mendapatkan suara mayoritas , aspirasi yang terkandung dalam pernyataan tersebut tetap menjadi panduan bagi upaya rekonsiliasi dan keadilan di masa depan.

Menuju Yurisprudensi Alam: Hak Legal bagi Sungai dan Lanskap

Salah satu perkembangan paling menarik di abad ke-21 yang mencerminkan filosofi Dreaming adalah gerakan untuk memberikan kepribadian hukum (legal personhood) kepada entitas alam.

Kasus Sungai Birrarung (Yarra River)

Di Victoria, pemerintah negara bagian mengesahkan Yarra River Protection (Wilip-gin Birrarung murron) Act 2017. Undang-undang ini secara unik mengakui Sungai Birrarung dan bantarannya sebagai satu kesatuan entitas yang hidup. Pentingnya undang-undang ini adalah penggunaan bahasa tradisional dalam judulnya, yang berarti “menjaga Birrarung tetap hidup”.

Sebagai entitas yang hidup, Birrarung memiliki “suara” melalui Dewan Birrarung yang terdiri dari para Tetua Wurundjeri dan Bunurong. Meskipun tidak memberikan hak penuh untuk menuntut di pengadilan seperti manusia (berbeda dengan Sungai Whanganui di Selandia Baru), undang-undang ini memaksa semua pengembang dan badan pemerintah untuk memperlakukan sungai sebagai subjek yang harus dilindungi, bukan sekadar sumber daya yang harus dikuras. Perkembangan ini menunjukkan bagaimana hukum modern mulai belajar dari kearifan kuno Dreaming tentang kewajiban kita terhadap bumi sebagai kerabat hidup.

Kesimpulan dan Implikasi bagi Rekonsiliasi

Dreamtime suku Aborigin bukan sekadar warisan masa lalu; ia adalah sistem pengetahuan yang dinamis dan hidup yang terus memberikan arahan bagi keberlanjutan hidup manusia di benua Australia. Koneksi spiritual yang dalam antara manusia dan tanah yang mereka pijak memberikan model yang kuat untuk pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global.

Memahami Dreaming berarti mengakui bahwa identitas manusia tidak terpisahkan dari kesehatan ekosistem di sekelilingnya. Perjuangan hak atas tanah dan pengakuan konstitusional bagi masyarakat First Nations bukan hanya masalah keadilan sosial, tetapi juga upaya untuk memulihkan hubungan yang benar antara manusia dan bumi. Di masa depan, integrasi antara sains modern dan Pengetahuan Ekologi Tradisional Aborigin akan menjadi kunci bagi pelestarian keanekaragaman hayati dan pemulihan lanskap budaya yang telah menjaga benua ini selama lebih dari 60 milenium.

Laporan ini menunjukkan bahwa tanah bagi masyarakat Aborigin bukan hanya tempat berpijak, melainkan buku sejarah yang terbuka, kompas moral yang hidup, dan rahim spiritual yang darinya semua kehidupan berasal dan kepadanya semua kehidupan akan kembali. Menghormati Dreaming adalah langkah pertama menuju masa depan Australia yang lebih adil dan berkelanjutan, di mana suara pemilik asli tanah ini akhirnya didengar secara permanen.