Loading Now

Analisis Tekno-Ekonomi Terhadap Paradoks Penerbangan Berbiaya Rendah: Mengapa Tiket Murah Adalah Gangguan Terbesar Bagi Keberlanjutan Bumi

Sektor penerbangan global saat ini berada pada persimpangan jalan yang krusial, terjebak di antara keberhasilan demokratisasi mobilitas manusia dan konsekuensi destruktif dari emisi gas rumah kaca yang tak terkendali. Munculnya model maskapai berbiaya rendah (Low-Cost Carriers atau LCC) telah merevolusi cara masyarakat dunia berinteraksi dengan geografi, namun di balik kemudahan akses tersebut terdapat beban ekologis yang sangat besar. LCC memproyeksikan pertumbuhan pasar hingga mencapai $440,46 miliar pada tahun 2030, sebuah indikasi bahwa permintaan konsumen untuk perjalanan udara yang terjangkau tetap tidak terbendung meskipun krisis iklim semakin mendesak Analisis mendalam menunjukkan bahwa efisiensi operasional yang diagungkan oleh model bisnis ini justru memicu fenomena permintaan induksi (induced demand), di mana penurunan harga tiket secara artifisial tidak hanya mengalihkan penumpang dari moda transportasi lain yang lebih ramah lingkungan, tetapi juga menciptakan perjalanan baru yang sebelumnya tidak ada secara ekonomi.

Laporan ini menguraikan secara komprehensif bagaimana mekanisme ekonomi tiket murah beroperasi sebagai gangguan utama terhadap keberlanjutan bumi melalui eksternalitas emisi ketinggian tinggi, distorsi fiskal akibat subsidi bahan bakar terselubung, dan fenomena overtourism yang menghancurkan daya dukung sosial-ekologis di berbagai destinasi ikonik dunia. Melalui lensa keberlanjutan planet dan analisis biaya eksternal, kita dapat melihat bahwa harga tiket yang dibayar oleh konsumen saat ini tidak mencerminkan biaya sebenarnya yang harus ditanggung oleh ekosistem bumi.

Arsitektur Ekonomi Maskapai Berbiaya Rendah dan Eskalasi Konsumsi Global

Model bisnis maskapai berbiaya rendah didasarkan pada strategi unbundling yang agresif, di mana layanan inti transportasi udara dipisahkan dari layanan tambahan seperti penanganan bagasi, makanan di dalam pesawat, sistem hiburan, dan pemilihan kursi di muka. Dengan mengadopsi pendekatan ini, maskapai dapat menekan harga tiket dasar ke tingkat yang sangat rendah, seringkali di bawah biaya marjinal operasional, untuk menarik segmen pasar yang peka terhadap harga. Efisiensi ini diperkuat oleh penggunaan jenis pesawat tunggal—biasanya jet lorong tunggal dengan kapasitas sedang—untuk mengurangi beban biaya pemeliharaan, inventaris suku cadang, dan pelatihan staf. Penggunaan bandara sekunder yang terletak lebih jauh dari pusat kota namun memiliki biaya pendaratan (landing fees) yang lebih murah juga menjadi pilar utama dalam mempertahankan struktur biaya rendah tersebut.

Secara makroekonomi, LCC telah menguasai sekitar sepertiga dari industri perjalanan udara global, mengisi kekosongan pasar yang sebelumnya didominasi oleh maskapai layanan penuh (Full-Service Carriers atau FSC) yang mahal. Namun, keberhasilan finansial ini menciptakan dilema keberlanjutan yang sistemik. Meskipun pesawat baru yang digunakan oleh LCC seringkali 15% lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar dibandingkan generasi sebelumnya, pertumbuhan volume lalu lintas udara jauh melampaui peningkatan efisiensi tersebut. Di pasar yang matang seperti Amerika Serikat, emisi dari LCC bertanggung jawab atas hampir 90% pertumbuhan emisi CO_2 penerbangan antara tahun 2005 dan 2019. Hal ini terjadi karena jumlah kilometer penumpang pendapatan (RPK) meningkat jauh lebih cepat (+119%) dibandingkan peningkatan efisiensi bahan bakar per penumpang (+34%)

Parameter Operasional Maskapai Layanan Penuh (FSC) Maskapai Berbiaya Rendah (LCC)
Komposisi Armada Beragam (Wide & Narrow Body) Tunggal (Narrow Body)
Struktur Jaringan Hub-and-Spoke Point-to-Point
Pemanfaatan Pesawat Sedang (8-10 jam per hari) Sangat Tinggi (11-14 jam per hari)
Jenis Bandara Hub Utama Internasional Bandara Sekunder/Regional
Sumber Pendapatan Utama Tiket Kelas Bisnis & Kargo Tarif Dasar & Pendapatan Ancillary
Strategi Pemeliharaan Kompleks & Multivendor Sederhana & Terstandarisasi

Data di atas menunjukkan bahwa intensitas penggunaan aset pada model LCC jauh lebih tinggi. Dengan memaksimalkan waktu terbang setiap pesawat dalam 24 jam, LCC berhasil menekan biaya tetap per kursi, namun secara simultan meningkatkan frekuensi pembakaran bahan bakar fosil di atmosfer setiap harinya. Peningkatan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income) di pasar negara berkembang juga menjadi faktor signifikan yang mendorong pertumbuhan pasar LCC, menjadikannya sektor yang sangat menguntungkan namun paling menantang untuk didekarbonisasi.

Mekanisme Permintaan Induksi dan “Efek Southwest”

Salah satu gangguan terbesar terhadap keberlanjutan bumi yang dihasilkan oleh tiket murah adalah fenomena permintaan induksi, yang dalam literatur ekonomi penerbangan sering disebut sebagai “Efek Southwest”. Fenomena ini menggambarkan bagaimana peningkatan pasokan fasilitas bandara dan penurunan harga tiket secara drastis menarik pelancong yang sebelumnya mungkin menggunakan moda transportasi lain, atau bahkan orang-orang yang sebelumnya tidak berniat untuk melakukan perjalanan sama sekali.

Peningkatan permintaan perjalanan udara akibat penurunan tarif terjadi dalam tiga tahap utama. Pertama, masuknya maskapai LCC meningkatkan kapasitas kursi di pasar tertentu dengan harga yang jauh di bawah rata-rata pasar. Kedua, maskapai petahana (incumbents) terpaksa menurunkan harga mereka untuk tetap kompetitif dan menghindari kehilangan pangsa pasar, yang kemudian menciptakan perang harga yang menguntungkan konsumen secara finansial tetapi merugikan lingkungan secara ekologis.2 Ketiga, penurunan harga yang masif ini merangsang permintaan laten; masyarakat mulai melakukan perjalanan udara untuk tujuan rekreasi singkat yang sebelumnya tidak dianggap perlu.

Studi empiris menunjukkan bahwa ketika harga tiket turun sebesar 15%, jumlah perjalanan udara pada rute tersebut dapat meningkat hingga 30%. Di pasar yang jenuh, masuknya LCC tidak hanya mengambil alih pangsa pasar maskapai tradisional, tetapi juga memperluas total pasar transportasi secara keseluruhan, seringkali dengan mengorbankan transportasi darat yang lebih ramah lingkungan seperti kereta api.Permintaan induksi ini menciptakan “normalisasi” terhadap gaya hidup mobilitas tinggi yang tidak berkelanjutan, di mana terbang antarnegara untuk liburan akhir pekan dianggap sebagai hal yang wajar karena harganya yang lebih murah daripada makan malam di restoran mewah.

Dampak Klimatologi Non-CO2: Ancaman Tersembunyi di Ketinggian

Penerbangan bertanggung jawab atas sekitar 2% hingga 2,5% emisi CO_2 global yang dihasilkan manusia, angka yang sering digunakan oleh industri untuk meminimalkan persepsi dampak lingkungan mereka. Namun, angka ini sangat menyesatkan karena tidak memperhitungkan emisi non-CO_2 yang dilepaskan pada ketinggian jelajah. Gas-gas seperti nitrogen oksida (NO_x), uap air, dan partikel jelaga yang dikeluarkan oleh mesin jet di lapisan atmosfer atas memiliki efek pemanasan yang jauh lebih kuat dan kompleks dibandingkan dengan CO_2 saja.

Salah satu dampak non-CO_2 yang paling signifikan adalah pembentukan jejak kondensasi (contrails) dan awan sirus yang diinduksi oleh penerbangan (aviation-induced cloudiness). Contrails terbentuk ketika uap air dari knalpot mesin membeku menjadi kristal es di atmosfer yang dingin dan lembap. Kristal es ini dapat bertahan selama berjam-jam dan menyebar membentuk awan sirus buatan yang memerangkap panas radiasi dari permukaan bumi, menciptakan efek pemanasan bersih pada iklim. Dampak dari contrails ini sangat sensitif terhadap lokasi dan waktu penerbangan; sebuah kilometer pesawat yang menyebabkan contrails persisten dapat memiliki dampak iklim hingga delapan kali lebih tinggi daripada kilometer pesawat yang tidak menyebabkan contrails.

Jenis Emisi Ketinggian Pelepasan Dampak Utama terhadap Iklim
Karbon Dioksida ($CO_2$) Semua Ketinggian Pemanasan global jangka panjang (ratusan tahun)
Nitrogen Oksida ($NO_x$) Ketinggian Jelajah Pembentukan ozon dan pengurangan metana
Uap Air ($H_2O$) Ketinggian Jelajah Pembentukan contrails dan awan sirus
Jelaga (Soot) Ketinggian Jelajah Inti kondensasi untuk pembentukan kristal es
Sulfur Oksida ($SO_x$) Semua Ketinggian Aerosol sulfat yang memengaruhi radiasi matahari

Analisis terbaru menunjukkan bahwa jika dampak non-$CO_2$ dan efek pengganda (multiplier) di ketinggian diperhitungkan, kontribusi penerbangan terhadap total dampak iklim buatan manusia meningkat menjadi sekitar 3,5%. Para ilmuwan merekomendasikan penggunaan faktor pengganda sekitar 1,9 hingga 3 kali emisi $CO_2$ untuk mencerminkan dampak pemanasan yang sebenarnya dari penerbangan. Tiket murah mendorong frekuensi penerbangan jarak pendek dan menengah yang seringkali beroperasi di koridor udara padat pada ketinggian di mana pembentukan contrails paling sering terjadi, sehingga memperparah gangguan terhadap stabilitas atmosfer bumi

Paradoks Efisiensi dan Pelanggaran Batas-Batas Planet

Masalah keberlanjutan penerbangan berbiaya rendah dapat dipahami lebih dalam melalui kerangka kerja Batas-Batas Planet (Planetary Boundaries) yang dikembangkan oleh Johan Rockström. Kerangka kerja ini mengidentifikasi sembilan proses sistem Bumi yang menjaga stabilitas planet, termasuk perubahan iklim, integritas biosfer, dan siklus biogeokimia. Hingga tahun 2023, enam dari sembilan batas ini telah dilanggar akibat aktivitas manusia, dan penerbangan massal adalah salah satu pendorong utama di balik tren ini.

Meskipun industri penerbangan sering mempromosikan kemajuan teknologi mesin yang lebih efisien, hal ini seringkali terjebak dalam Paradox Jevons: di mana peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya justru menyebabkan peningkatan konsumsi total sumber daya tersebut karena penurunan biaya Penggunaan pesawat yang lebih ringan dan hemat bahan bakar memungkinkan maskapai LCC untuk menawarkan lebih banyak rute dengan harga lebih murah, yang pada akhirnya meningkatkan total emisi sektor tersebut secara kumulatif. Dalam konteks ini, efisiensi teknis bertindak bukan sebagai solusi, melainkan sebagai bahan bakar bagi ekspansi pasar yang melampaui “ruang operasi yang aman bagi kemanusiaan”.

Ketidakmampuan sektor ini untuk melakukan dekarbonisasi secara drastis—mengingat ketergantungan pada kepadatan energi bahan bakar fosil cair—berarti bahwa setiap pertumbuhan yang dipicu oleh tiket murah akan menghabiskan sisa anggaran karbon (carbon budget) dunia dengan sangat cepat. Jika tren pertumbuhan saat ini berlanjut, penerbangan diproyeksikan dapat menyumbang hingga 22% dari total emisi $CO_2$ global pada tahun 2050.22 Transgresi terhadap batas-batas planet ini membawa risiko “tipping points” atau titik balik di mana perubahan sistem Bumi menjadi tidak dapat dibatalkan, seperti hilangnya lapisan es Arktik atau keruntuhan ekosistem hutan hujan Amazon

Distorsi Pasar: Subsidi Kerosene dan Ketidakadilan Fiskal

Tiket murah bukan semata-mata hasil dari efisiensi operasional, melainkan juga produk dari ketimpangan kebijakan fiskal yang masif. Secara global, bahan bakar penerbangan internasional (kerosene) hampir tidak pernah dikenakan pajak penjualan atau cukai.Hal ini berakar pada Konvensi Chicago tahun 1944 yang melarang pengenaan pajak atas bahan bakar yang sudah ada di dalam pesawat saat mendarat di negara lain.  Selain itu, ribuan Perjanjian Layanan Udara (ASA) bilateral antarnegara seringkali menyertakan klausul timbal balik yang membebaskan bahan bakar dari pajak, sebuah keputusan yang lebih bersifat politis daripada batasan hukum yang kaku.

Ketidakadilan fiskal ini menciptakan ketimpangan yang tajam dibandingkan dengan moda transportasi lain. Pengguna mobil bensin di banyak negara membayar hingga 50% dari harga pompa dalam bentuk pajak, sementara maskapai penerbangan tidak membayar pajak sepeser pun untuk bahan bakar fosil yang mereka gunakan. Selain itu, tiket pesawat internasional seringkali dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan banyak bandara regional memberikan insentif atau potongan biaya pendaratan kepada LCC untuk menarik lalu lintas wisata.

Moda Transportasi Status Pajak Bahan Bakar Pengenaan PPN Tiket Eksternalitas Lingkungan
Pesawat Terbang (LCC) Umumnya Bebas Pajak Seringkali 0% (Intl) Sangat Tinggi (CO2 & Non-CO2)
Kereta Api Cepat Pajak Energi Penuh PPN Penuh (5% – 20%) Rendah (7-40x lebih bersih)
Bus Antarkota Pajak BBM / Cukai PPN Penuh Sedang
Kendaraan Pribadi Pajak BBM Tinggi N/A Tinggi (tergantung efisiensi)

Ketidakseimbangan ini membuat pesawat terbang tampak lebih murah daripada kereta api di banyak rute, meskipun biaya lingkungan dan sosialnya jauh lebih tinggi Sebuah studi Greenpeace tahun 2025 mengungkapkan bahwa perjalanan kereta api lintas batas di Eropa bisa menjadi 26 kali lebih mahal daripada tiket LCC pada rute yang sama, sebuah situasi yang disebut sebagai “kegagalan politik” dalam memberikan sinyal harga yang benar kepada konsumen. Tanpa internalisasi biaya eksternal melalui pajak karbon atau pajak kerosene, tiket murah akan terus berfungsi sebagai subsidi terselubung bagi industri yang merusak iklim.

Overtourism dan Keruntuhan Daya Dukung Ekologis Destinasi

Dampak fisik dari tiket murah paling nyata terlihat melalui fenomena overtourism di berbagai belahan dunia. Akses udara yang sangat terjangkau telah memicu ledakan jumlah pengunjung yang melampaui kapasitas fisik, sosial, dan ekologis dari destinasi wisata. Destinasi ikonik seperti Venesia, Barcelona, dan Bali telah menjadi simbol bagaimana pariwisata massal yang dipicu oleh penerbangan murah dapat menghancurkan karakter dan keberlanjutan suatu tempat.

Di Bali, lonjakan wisatawan pasca-pandemi telah menyebabkan degradasi lingkungan yang parah, termasuk masalah sampah plastik yang masif, kemacetan lalu lintas yang melumpuhkan, dan polusi air bawah tanah.Overtourism juga memicu kenaikan harga properti dan sewa tanah, yang seringkali mengusir komunitas lokal dan mengubah ruang tradisional menjadi kawasan komersial. Konversi lahan pertanian menjadi hotel dan vila mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air dan meningkatkan polusi, menciptakan “defisit ekologis” di mana jejak manusia melebihi kapasitas biologis Bumi untuk beregenerasi

Venice, Italia, menghadapi tantangan serupa di mana lebih dari 20 juta turis per tahun memadati kota yang hanya memiliki 50.000 penduduk tetap Banyak dari turis ini adalah “day-trippers” yang datang menggunakan penerbangan LCC, yang memberikan kontribusi ekonomi minimal bagi ekonomi lokal tetapi menambah beban signifikan pada infrastruktur dan fondasi kota yang rapuh. Tiket murah memfasilitasi model pariwisata “hit-and-run” atau kunjungan singkat yang mengutamakan kuantitas foto di media sosial daripada kualitas interaksi budaya atau dukungan terhadap konservasi lingkungan.

Dilema Dekarbonisasi: Bahan Bakar Berkelanjutan (SAF) dan Tantangan Biaya

Industri penerbangan menaruh harapan besar pada Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel atau SAF) sebagai solusi utama untuk mencapai target emisi nol bersih tahun 2050. SAF diproduksi dari sumber daya terbarukan seperti biomassa, limbah minyak goreng, atau melalui sintesis $CO_2$ dan hidrogen hijau (e-kerosene), dan diklaim dapat mengurangi emisi siklus hidup hingga 80%. ICAO telah mengadopsi Kerangka Kerja Global untuk SAF guna mendorong transisi ini melalui kebijakan, dukungan implementasi, dan pembiayaan.

Namun, tiket murah secara fundamental bertentangan dengan adopsi SAF dalam skala besar karena hambatan biaya yang ekstrem. Saat ini, harga SAF adalah dua hingga lima kali lebih mahal daripada bahan bakar jet fosil konvensional. Bagi maskapai LCC yang beroperasi dengan margin keuntungan yang sangat tipis dan sangat sensitif terhadap biaya bahan bakar, peralihan ke SAF akan mengharuskan peningkatan harga tiket secara drastis, yang secara otomatis akan mengakhiri era perjalanan udara yang sangat murah.

Proyeksi Kebutuhan Finansial Tahun 2040 (Miliar USD) Tahun 2050 (Miliar USD)
Pendapatan untuk Menutupi Biaya SAF $223.69 $354.44
Investasi Transisi Energi Hidrogen $1,250.00 $1,888.44
Total Investasi Transisi Energi (30 Thn) N/A $1,700.00

Investasi global sebesar $1,7 triliun yang dibutuhkan untuk transisi energi dalam 30 tahun ke depan kemungkinan akan meningkatkan biaya operasional pesawat sebesar 10% hingga 16%. Ketidakpastian mengenai ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan dan kompetisi dengan sektor lain untuk mendapatkan energi terbarukan juga menambah kompleksitas transisi ini. Tanpa adanya mandatori pencampuran (blending mandates) dan insentif fiskal yang signifikan, SAF akan tetap menjadi solusi marginal yang tidak mampu mengimbangi pertumbuhan emisi dari tiket murah.

Slow Travel dan Pariwisata Regeneratif: Menuju Paradigma Baru

Sebagai antitesis terhadap gangguan yang diciptakan oleh tiket murah, gerakan “Slow Travel” dan “Pariwisata Regeneratif” menawarkan jalur alternatif bagi mobilitas manusia yang lebih selaras dengan keberlanjutan bumi. Slow travel mendorong pelancong untuk menggunakan moda transportasi rendah karbon, menghabiskan lebih banyak waktu di satu tempat, dan benar-benar terbenam dalam budaya dan lanskap lokal. Dengan menghindari penerbangan jarak pendek dan memilih kereta api atau bus, individu dapat secara drastis mengurangi jejak karbon mereka—seringkali hingga lebih dari 90% per perjalanan.

Pariwisata regeneratif melangkah lebih jauh dari sekadar meminimalkan dampak negatif; ia bertujuan untuk secara aktif memulihkan dan meningkatkan kesehatan ekosistem serta komunitas destinasi. Prinsip utamanya adalah meninggalkan destinasi dalam kondisi yang lebih baik daripada saat ditemukan. Hal ini melibatkan partisipasi aktif dalam restorasi habitat, mendukung bisnis lokal yang etis, dan mempromosikan pelestarian budaya secara holistik.

Namun, implementasi paradigma ini menghadapi tantangan besar dari ekonomi tiket murah. Pariwisata regeneratif menuntut investasi lebih besar dari turis baik dalam bentuk waktu maupun uang, sesuatu yang seringkali tidak sejalan dengan profil konsumen LCC yang mencari gratifikasi instan dengan biaya serendah mungkin. Selama harga tiket pesawat tidak mencerminkan biaya lingkungan yang sebenarnya melalui internalisasi eksternalitas, mayoritas konsumen akan terus memilih opsi yang paling merusak iklim.

Kebijakan Karbon Indonesia dan Upaya Green Aviation

Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat bergantung pada konektivitas udara menghadapi dilema antara pertumbuhan ekonomi dan komitmen dekarbonisasi. Pemerintah telah merencanakan implementasi Pajak Karbon secara bertahap mulai tahun 2025, sebagai bagian dari strategi untuk mencapai target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC). Tarif awal yang diusulkan adalah Rp30.000 per ton $CO_2e$, yang bertujuan untuk mendorong efisiensi energi dan penggunaan teknologi rendah karbon di berbagai sektor, termasuk transportasi dan industri.

Selain pajak karbon, pemerintah juga mendorong inisiatif “Green Aviation” melalui peningkatan prosedur operasi penerbangan, skema perdagangan karbon, dan pengembangan bahan bakar nabati untuk pesawat (bioavtur). Kementerian Perhubungan telah menetapkan rencana aksi nasional untuk menurunkan emisi GRK di sektor perhubungan guna mendukung target net zero emission Indonesia pada tahun 2060.

Namun, efektivitas kebijakan ini masih dipertanyakan oleh kelompok lingkungan seperti WALHI, yang mengkritik bahwa istilah “pengendalian” perubahan iklim mengandaikan situasi krisis adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang harus dihentikan secara fundamental Mereka menekankan bahwa masyarakat pesisir di pulau-pulau kecil seperti Pulau Pari sudah merasakan dampak nyata dari krisis iklim melalui kenaikan air laut dan hilangnya ruang hidup, sehingga mitigasi harus berjalan seiring dengan pertanggungjawaban korporasi penghasil emisi melalui mekanime seperti “loss and damage fund”. Dalam konteks ini, tiket murah yang memacu frekuensi penerbangan massal dipandang sebagai bagian dari masalah sistemik yang mengabaikan keadilan iklim bagi kelompok yang paling rentan.

Kesimpulan: Internalisasi Harga sebagai Kunci Keberlanjutan Planet

Analisis komprehensif ini menunjukkan bahwa tiket murah adalah gangguan terbesar bagi keberlanjutan bumi karena ia menciptakan ilusi tentang perjalanan tanpa batas tanpa biaya lingkungan. Melalui mekanisme permintaan induksi, tiket murah memperluas pasar penerbangan jauh melampaui kebutuhan mobilitas yang esensial, memacu emisi gas rumah kaca baik CO_2 maupun non-CO_2 di ketinggian atmosfer yang sensitif, serta menghancurkan daya dukung ekologis destinasi wisata global melalui overtourism.

Ketidakseimbangan fiskal yang membebaskan kerosene dari pajak dan memberikan berbagai subsidi terselubung bagi sektor penerbangan telah mendistorsi pasar transportasi, membuat moda transportasi ramah lingkungan seperti kereta api menjadi kurang kompetitif secara harga. Untuk menyelamatkan stabilitas planet dalam batas-batas yang aman bagi kemanusiaan, harga tiket pesawat harus diinternalisasi untuk mencerminkan biaya lingkungan yang sebenarnya. Langkah-langkah strategis yang diperlukan meliputi:

  1. Penghapusan secara bertahap pembebasan pajak bahan bakar jet internasional dan pengenaan PPN pada tiket pesawat untuk menciptakan keadilan fiskal dengan moda transportasi darat.
  2. Penerapan pajak karbon yang progresif yang menyertakan faktor pengganda untuk emisi non-CO_2 di ketinggian guna mendanai transisi menuju SAF dan teknologi pesawat nol emisi.
  3. Implementasi retribusi pelancong sering (frequent flyer levy) untuk membatasi permintaan induksi dari kelompok mobilitas tinggi tanpa menghalangi akses bagi pelancong esensial.
  4. Pergeseran paradigma pariwisata menuju model regeneratif yang memprioritaskan kualitas kunjungan dan pemulihan ekosistem di atas volume wisatawan semata.

Keberlanjutan bumi tidak dapat dicapai jika kita terus memfasilitasi gaya hidup konsumsi tinggi yang didorong oleh harga yang salah secara ekologis. Internalisasi biaya eksternal penerbangan bukan sekadar masalah kebijakan ekonomi, melainkan keharusan eksistensial untuk menjaga kelayakan huni planet ini bagi generasi mendatang. Tanpa reformasi radikal terhadap ekonomi tiket murah, upaya dekarbonisasi global akan terus tergerus oleh pertumbuhan konsumsi bahan bakar fosil di langit kita.