Kronik dan Transformasi Sosio-Musikal The Police: Era Formatif, Kejayaan Diskografis, dan Dinamika Hukum Kontemporer
Fenomena The Police dalam industri musik global merupakan subjek yang menawarkan kompleksitas unik, menggabungkan energi mentah punk rock dengan presisi teknis jazz dan ritme sinkopasi reggae yang canggih. Terbentuk di London pada tahun 1977, grup ini tidak hanya mendefinisikan gerakan New Wave tetapi juga bertransformasi menjadi salah satu entitas paling dominan secara komersial dalam sejarah musik rock sebelum pembubaran mereka di puncak popularitas pada tahun 1984. Laporan ini akan membedah secara mendalam perjalanan kolektif tersebut, mulai dari formasi awal yang penuh perjuangan, pencapaian artistik melalui lima album studio yang monumental, hingga dinamika hukum dan karir masing-masing anggota yang masih berlangsung secara intensif hingga tahun 2025 dan 2026.
Akar Budaya dan Formasi Awal di London (1977)
Kelahiran The Police terjadi pada masa transisi budaya yang signifikan di Inggris, di mana gelombang punk sedang berada di puncaknya sebagai bentuk pemberontakan terhadap kemapanan rock progresif yang dianggap terlalu megah. Meskipun sering dikaitkan dengan gerakan punk, para anggota The Police sebenarnya memiliki latar belakang musikal yang jauh lebih berpengalaman dan terdidik dibandingkan rekan-rekan sezaman mereka, sebuah paradoks yang menjadi kekuatan sekaligus titik gesekan internal sepanjang eksistensi mereka.
Profil Anggota dan Pertemuan Formatif
Sting, yang lahir dengan nama Gordon Matthew Sumner di Wallsend, Northumberland, awalnya bekerja sebagai guru sekolah setelah menempuh pendidikan di Northern Counties Teachers Training College. Di waktu luangnya, ia bermain bass di berbagai kombo jazz di Newcastle, sebuah latar belakang yang memberikan pemahaman mendalam tentang improvisasi dan harmoni yang jarang dimiliki oleh musisi rock arus utama saat itu. Julukan “Sting” didapat karena ia sering mengenakan sweter bergaris hitam-kuning yang menyerupai lebah saat bermain musik.
Stewart Copeland membawa perspektif internasional dan teknis yang unik ke dalam band. Sebagai putra dari perwira lapangan CIA dan seorang arkeolog, Copeland tumbuh besar di Timur Tengah, Lebanon, dan California sebelum menetap di Inggris. Pengalaman ini memberikan wawasan tentang ritme dunia yang kemudian ia terapkan dalam pola drum sinkopasinya. Copeland sedang bermain dengan band progresif rock Curved Air ketika ia bertemu Sting di Newcastle pada tahun 1976. Copeland segera melihat potensi besar dalam diri Sting dan mengusulkan pembentukan sebuah trio dengan visi untuk mengadopsi energi punk yang saat itu sedang meledak di jalanan London.
Formasi awal band ini melibatkan gitaris asal Prancis, Henri Padovani. Bersama Padovani, band ini merilis single indie pertama mereka, “Fallout,” di bawah label independen milik saudara laki-laki Stewart, Miles Copeland, yang juga berperan sebagai manajer band. Namun, kehadiran Andy Summers segera mengubah lintasan artistik band. Summers, yang hampir satu dekade lebih tua dari Copeland dan Sting, adalah seorang veteran yang telah bermain dengan berbagai grup blues, psychedelic rock, dan progresif rock seperti Soft Machine dan Kevin Ayers. Kemampuan teknis Summers yang superior dan penggunaan efek gitar yang atmosferik segera menciptakan ketidakseimbangan dengan gaya bermain Padovani yang lebih sederhana. Setelah periode singkat sebagai kuartet, Summers menyampaikan ultimatum yang berujung pada keluarnya Padovani pada Agustus 1977.
Estetika Visual dan Strategi Pemasaran Awal
Salah satu elemen paling ikonik dari The Police—rambut pirang platina mereka—sebenarnya muncul karena sebuah kebetulan komersial. Ketiga anggota band diminta mewarnai rambut mereka untuk iklan permen karet di mana mereka berperan sebagai band punk. Penampilan ini kemudian dipertahankan dan menjadi merek visual yang sangat kuat, membuat mereka tampak lebih muda dan selaras dengan estetika New Wave yang sedang berkembang. Meskipun secara teknis mereka adalah musisi yang sangat terampil, mereka memilih pendekatan suara yang hemat dan minimalis untuk tetap relevan dengan pasar punk, sambil secara diam-diam memasukkan elemen reggae dan jazz ke dalam aransemen mereka.
Miles Copeland, sebagai manajer, memainkan peran krusial dalam memosisikan band ini di pasar internasional. Mengingat kesulitan untuk menembus pasar radio Inggris yang sangat kompetitif, Miles mengatur tur ke Amerika Serikat dengan anggaran rendah, menyasar klub-klub kecil dan pasar perguruan tinggi. Strategi ini, dikombinasikan dengan dukungan agen pemesanan Ian Copeland melalui Frontier Booking International (FBI), membantu band membangun basis penggemar yang loyal sebelum mereka mencapai kesuksesan tangga lagu yang besar.
Evolusi Diskografis: Lima Album Studio Monumental
The Police mencapai kesuksesan yang sangat terkonsentrasi melalui lima album studio yang dirilis dalam periode singkat antara tahun 1978 dan 1983. Setiap album menandai evolusi suara dari minimalis berbasis gitar menuju lapisan synthesizer yang kompleks dan lirik yang semakin filosofis serta politis.
Outlandos d’Amour (1978): Dekonstruksi Punk dan Reggae
Album debut Outlandos d’Amour sering dianggap sebagai upaya musisi berpengalaman untuk menyamar di dalam lanskap punk tahun 1978. Meskipun memiliki lagu-lagu dengan tempo cepat seperti “Next To You,” album ini paling menarik ketika band mulai bereksperimen dengan ritme yang tidak biasa untuk genre rock saat itu. Lagu “Roxanne,” yang menceritakan tentang seorang pelacur, menggunakan ritme tango yang dimainkan oleh Copeland, sementara “So Lonely” terinspirasi secara langsung oleh gaya reggae Bob Marley.
| Statistik Album | Outlandos d’Amour |
| Tanggal Rilis | Oktober 1978 (UK) / Awal 1979 (US) |
| Posisi Puncak UK | No. 6 |
| Single Utama | Roxanne, Can’t Stand Losing You, So Lonely |
| Sertifikasi | 4x Platinum (UK), Platinum (US) |
Meskipun awalnya “Roxanne” gagal di tangga lagu dan beberapa single lainnya dilarang oleh BBC karena sampul yang kontroversial—seperti pada lagu “Can’t Stand Losing You” yang menampilkan Copeland seolah-olah sedang menggantung diri—tur Amerika yang intensif akhirnya mengangkat popularitas album ini ke tingkat global.
Reggatta de Blanc (1979): Penciptaan “White Reggae”
Judul album kedua mereka, Reggatta de Blanc, secara harfiah berarti “Reggae Putih,” sebuah pengakuan atas identitas musik yang mereka ciptakan. Pada titik ini, band telah melepaskan pretensi punk dan sepenuhnya merangkul alur pop-reggae yang lebih halus. Karena Sting kekurangan materi baru akibat jadwal tur yang padat, Stewart Copeland berkontribusi lebih besar dalam penulisan lagu dibandingkan album lainnya, termasuk lagu “Does Everyone Stare” yang ditulisnya saat masih di universitas.
Lagu “Message in a Bottle” menampilkan riff gitar Andy Summers yang ikonik, sementara “Walking on the Moon” didasarkan pada garis bass Sting yang sangat spartan namun efektif. Album ini menjadi yang pertama dari empat album berturut-turut yang mencapai posisi nomor satu di Inggris. Perekaman album ini juga menunjukkan kemampuan band untuk berimprovisasi, di mana lagu instrumental “Reggatta de Blanc” dikembangkan dari jam session saat konser langsung.
Zenyatta Mondatta (1980): Tekanan Sukses Global
Rekaman album ketiga dilakukan di bawah tekanan jadwal tur dunia yang melelahkan. Band ini hanya memiliki waktu empat minggu untuk menulis dan merekam seluruh materi di Wisseloord Studios, Belanda, demi alasan pajak. Meskipun band sendiri merasa tidak puas dengan hasil yang terburu-buru, album ini menghasilkan hits besar seperti “Don’t Stand So Close to Me” dan “De Do Do Do, De Da Da Da”.
| Detail Produksi Zenyatta Mondatta | Informasi |
| Durasi Rekaman | 7 Juli – 7 Agustus 1980 |
| Studio | Wisseloord, Hilversum, Belanda |
| Produser | The Police & Nigel Gray |
| Penghargaan Grammy | Best Rock Performance & Best Rock Instrumental |
Dalam album ini, lirik Sting mulai beralih ke tema politik, seperti pada lagu “Driven to Tears” yang mengomentari kemiskinan dunia. Sementara itu, lagu instrumental karya Andy Summers, “Behind My Camel,” menjadi titik gesekan besar di mana Sting sangat membenci lagu tersebut hingga ia menolak untuk bermain bass, memaksa Summers untuk merekam garis bassnya sendiri. Ironisnya, lagu ini memenangkan Grammy, sebuah bukti ketajaman artistik meskipun tanpa dukungan penuh dari rekan bandnya.
Ghost in the Machine (1981): Eksperimentasi dan Kedalaman Tekstur
Album keempat menandai perubahan besar dalam pendekatan produksi dengan bergabungnya teknisi Hugh Padgham. Padgham memperkenalkan teknik perekaman di mana para anggota band ditempatkan di ruangan terpisah di AIR Studios, Montserrat, untuk menciptakan isolasi suara yang lebih baik namun tetap mempertahankan dinamika grup. Suara band berubah drastis dengan penggunaan ekstensif saksofon dan synthesizer, yang terlihat dalam lagu-lagu seperti “Spirits in the Material World” dan “Invisible Sun”.
Inspirasi lirik Sting dalam album ini sangat dipengaruhi oleh karya penulis Arthur Koestler, terutama buku The Ghost in the Machine. Hits terbesar dari album ini, “Every Little Thing She Does Is Magic,” sebenarnya menggunakan demo lama Sting yang direkam bersama pianis Jean Roussel sebelum pembentukan The Police, yang kemudian di-overdub oleh Copeland dan Summers.
Synchronicity (1983): Puncak Artistik dan Komersial
Synchronicity adalah pencapaian komersial tertinggi band ini, terjual lebih dari 8 juta kopi di Amerika Serikat dan mencapai posisi nomor satu di berbagai negara. Namun, album ini diproduksi di tengah ketegangan interpersonal yang ekstrem, di mana para anggota band hampir tidak bisa berada di ruangan yang sama selama sesi rekaman di Montserrat.
Lagu “Every Breath You Take” menjadi lagu paling ikonik dalam sejarah band, memenangkan Grammy untuk Song of the Year dan menjadi lagu paling banyak diputar dalam sejarah radio menurut BMI. Album ini juga menunjukkan kedalaman intelektual melalui referensi terhadap teori sinkronisitas Carl Jung dalam lagu “Synchronicity II” dan karya-karya sastra lainnya. Keberhasilan tur stadion untuk album ini membuat Sting merasa bahwa band ini telah mencapai puncak segala pencapaian yang mungkin sebagai kolektif, yang menjadi alasan utamanya untuk membubarkan grup di puncak popularitas mereka.
Keretakan, Pembubaran, dan Masa Transisi (1984–2006)
Pembubaran The Police bukanlah akibat dari kegagalan komersial, melainkan hasil dari benturan ego yang tidak dapat didamaikan dan keinginan Sting untuk mengejar otonomi kreatif yang lebih besar.
Faktor-faktor Psikologis dan Profesional Perpecahan
Sting merasa frustrasi karena harus terus berkompromi dengan kontribusi lagu dari anggota lain yang ia anggap tidak sebanding dengan kualitas karyanya sendiri. Ia mengibaratkan band sebagai “geng remaja” yang membatasi evolusi seorang pria dewasa. Di sisi lain, Stewart Copeland dan Andy Summers merasa bahwa Sting telah menjadi terlalu dominan dan mengabaikan nilai kolaboratif yang membuat band tersebut unik di awal karir mereka.
Setelah menyelesaikan tur Synchronicity di Melbourne pada Maret 1984, band ini memasuki masa hiatus yang panjang. Upaya terakhir untuk bersatu kembali di studio terjadi pada tahun 1986 setelah rangkaian konser untuk Amnesty International. Namun, sesi tersebut berakhir dengan kegagalan total setelah mereka kembali berdebat hebat. Proyek tersebut hanya menghasilkan versi baru dari “Don’t Stand So Close to Me,” dan rencana untuk album keenam akhirnya dibatalkan selamanya.
Karir Solo dan Proyek Mandiri
Setelah pembubaran resmi, masing-masing anggota mengejar karir yang sangat sukses namun berbeda jalur. Sting menjadi salah satu solois paling populer di dunia, mengeksplorasi akar jazz-nya dan kemudian memasukkan pengaruh musik Latin serta folk ke dalam diskografinya yang mencapai 15 album studio hingga tahun 2021. Stewart Copeland membangun reputasi yang kuat sebagai komposer musik film dan televisi, mengerjakan skor untuk film seperti Wall Street dan Rumble Fish, serta mengarang beberapa opera dan karya simfoni. Andy Summers terus merilis album solo yang eksperimental, berkolaborasi dengan gitaris seperti Robert Fripp, dan memantapkan dirinya sebagai fotografer serta penulis yang diakui secara internasional.
Reuni Global (2007–2008)
Setelah lebih dari dua dekade spekulasi, The Police mengumumkan tur reuni dunia pada tahun 2007 untuk merayakan ulang tahun ke-30 band tersebut. Pengumuman ini memicu antusiasme global yang luar biasa; tiket untuk seluruh tur terjual habis dalam hitungan jam.
Tur ini menjadi fenomena komersial, menjadi tur dengan pendapatan tertinggi pada tahun 2007 dan menempatkan The Police sebagai musisi dengan penghasilan tertinggi di dunia pada tahun 2008. Meskipun sukses secara finansial, dinamika internal tetap tegang. Rekaman dari dokumenter tur menunjukkan perselisihan kreatif antara Copeland dan Sting yang tetap tajam, membuktikan bahwa meskipun mereka bisa bekerja sama secara profesional untuk pertunjukan live, perbedaan filosofis mereka tetap tidak terdamaikan. Tur ini berakhir di Madison Square Garden, New York, pada Agustus 2008, yang menandai penampilan panggung terakhir mereka sebagai band.
Status Kontemporer dan Proyek Saat Ini (2024–2026)
Memasuki periode 2024 hingga 2026, warisan The Police tetap sangat hidup melalui aktivitas intensif para anggotanya, baik dalam proyek kreatif baru maupun dalam ranah hukum yang kompleks.
Sting: Tur 3.0 dan Ekspansi Katalog
Sting terus menunjukkan produktivitas yang luar biasa pada usia 70-an. Pada tahun 2024 dan 2025, ia meluncurkan tur “STING 3.0,” sebuah format trio baru yang kembali ke akar suara minimalis The Police bersama kolaborator lamanya Dominic Miller dan drummer Chris Maas. Tur ini direncanakan berlanjut hingga tahun 2026 dengan jadwal yang padat di berbagai benua.
| Contoh Jadwal Tur STING 3.0 (2025-2026) | Lokasi dan Detail |
| September 2025 | Tur Jepang (Kobe, Tokyo, Nagoya, Hiroshima, Fukuoka) |
| Oktober 2025 | Tur Eropa (Paris, Cologne, Munich, Berlin, London) |
| November 2025 | Tur Amerika Serikat Musim Gugur (Hollywood, Tampa, Chicago) |
| Februari 2026 | Pertunjukan Khusus Super Bowl LX di San Francisco |
| Mei 2026 | Tur Amerika Serikat Musim Semi (Atlanta, Charlotte, Austin) |
| Juni – Juli 2026 | Tur Eropa Musim Panas (Spanyol, Prancis, Swiss, Portugal) |
Sting juga dijadwalkan kembali ke dunia teater dengan musikalnya, The Last Ship, yang akan dipentaskan di Amsterdam, Paris, Brisbane, dan New York pada tahun 2025 dan 2026. Penjualan katalog lagunya ke Universal Music Group seharga $300 juta pada tahun 2022 tetap menjadi tolok ukur penting dalam industri musik modern, meskipun hal ini juga menjadi salah satu pemicu ketegangan hukum dengan mantan rekan bandnya.
Stewart Copeland: Inovasi Orkestra dan Alam
Stewart Copeland terus mendorong batas-batas komposisi dengan proyek terbarunya pada tahun 2025, Wild Concerto. Karya ini menggabungkan orkestra simfoni dengan suara hewan asli yang direkam di alam liar, menempatkan “alam sebagai solois”. Album ini dirilis pada April 2025 bekerja sama dengan label Platoon milik Apple.
| Daftar Lagu Wild Concerto (2025) | Detail Teknis |
| Track 1 | White Throated Sparrow (Is Happy On the Glacier) |
| Track 2 | Barred Owl and the Frog Brigade |
| Track 5 | Screaming Piha Trolls the Titi Monkeys |
| Track 9 | Hyena Party On the Skeleton Coast |
| Track 12 | Coltrane Wolves in the Arctic Circle |
Selain komposisi baru, Copeland aktif melakukan tur “Police Deranged for Orchestra” di Amerika Latin pada akhir tahun 2025, serta tur percakapan biografis bertajuk “Have I Said Too Much?” yang mencakup Inggris, Australia, dan Selandia Baru hingga tahun 2026. Pada tahun 2024, ia juga menerima Penghargaan Meadows untuk keunggulan artistik internasional.
Andy Summers: Seni Multimedia dan Fotografi
Andy Summers tetap aktif dengan proyek multimedia “The Cracked Lens + A Missing String,” yang menggabungkan permainan gitar solo, narasi biografis, dan proyeksi fotografinya. Tur ini mengunjungi Jepang pada awal 2025 dan berlanjut ke Amerika Serikat pada musim gugur 2025. Summers juga terus merilis buku-buku fotografi yang diakui, termasuk A Series of Glances (2023), dan berkolaborasi dengan berbagai musisi jazz serta rock.
Analisis Sengketa Hukum Royalti 2025
Salah satu perkembangan paling signifikan dalam sejarah The Police baru-baru ini adalah gugatan hukum yang diajukan oleh Andy Summers dan Stewart Copeland terhadap Sting pada Agustus 2025 di Pengadilan Tinggi London.
Inti Perselisihan: “Every Breath You Take” dan Hak Aransemen
Summers dan Copeland mengklaim bahwa mereka tidak pernah menerima kredit penulisan lagu atau royalti yang memadai untuk lagu “Every Breath You Take”. Meskipun Sting secara resmi terdaftar sebagai penulis tunggal, Summers berargumen bahwa riff gitar arpeggio-nya adalah elemen kunci yang menyelamatkan lagu tersebut dari kegagalan dan memberikan identitas yang membuatnya sukses secara global.
| Detail Gugatan Royalti 2025 | Keterangan |
| Pihak Penggugat | Andy Summers dan Stewart Copeland |
| Pihak Tergugat | Gordon Sumner (Sting) dan Magnetic Publishing Ltd. |
| Tuntutan Utama | “Arranger’s fees” dan pengakuan kredit penulisan lagu |
| Estimasi Klaim | Melebihi $2.000.000 (USD) |
Sejarah Perjanjian Kontrak dan Eksploitasi Digital
Gugatan ini mengungkap kerangka kerja kontrak band yang kompleks. Sejak pembentukan mereka pada tahun 1977, terdapat serangkaian perjanjian lisan dan tertulis yang memberikan Copeland dan Summers persentase saham dari pendapatan penerbitan (publishing revenues), meskipun Sting adalah penulis lagu utama. Perjanjian ini direvisi pada tahun 1981, 1997, dan terakhir pada tahun 2016 untuk menyelesaikan sengketa penggunaan musik dalam film dan televisi.
Summers dan Copeland sekarang menuduh bahwa Sting belum membayar mereka secara penuh atas “eksploitasi digital” dari katalog lagu The Police di era streaming. Sebaliknya, tim hukum Sting membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa Sting telah mematuhi seluruh ketentuan kontrak 2016 dan bahkan berpendapat bahwa Summers dan Copeland mungkin telah “dibayar secara substansial lebih dari seharusnya” (substantially overpaid) berdasarkan interpretasi tertentu dari perjanjian tersebut. Kasus ini menyoroti pergeseran nilai dalam industri musik di mana hak cipta penerbitan menjadi aset yang sangat berharga di pasar streaming dan sinkronisasi media modern.
Kesimpulan
The Police tetap menjadi salah satu entitas paling penting dalam sejarah musik rock modern. Keunikan mereka terletak pada kemampuan untuk menjembatani kesenjangan antara kemahiran teknis yang tinggi dengan daya tarik pop massal, serta integritas artistik dengan kesuksesan komersial yang luar biasa. Meskipun hubungan internal mereka sering diwarnai oleh konflik ego yang tajam, gesekan inilah yang menghasilkan beberapa karya musik paling inovatif pada akhir abad ke-20.
Keberlanjutan karir individual para anggotanya hingga tahun 2025 dan 2026 membuktikan bahwa visi musikal mereka tetap relevan. Dari tur “Sting 3.0” yang kembali ke esensi trio, hingga eksplorasi orkestra Copeland dan multimedia visual Summers, elemen-elemen yang pernah membentuk The Police terus berevolusi dalam bentuk-bentuk baru. Meskipun sengketa hukum royalti saat ini menambah lapisan ketegangan pada warisan mereka, hal itu juga menegaskan betapa berharganya karya-karya yang mereka ciptakan bersama. The Police bukan sekadar band rock; mereka adalah eksperimen sosiologis dalam sinkretisme musik yang terus bergema lintas generasi.


