Loading Now

Dekonstruksi Kesenjangan Digital: Mengapa Akses Internet Adalah Hak Asasi Manusia di Abad ke-21

Transformasi Paradigma Hak Asasi dalam Ekosistem Digital

Evolusi peradaban manusia pada milenium ketiga ditandai dengan pergeseran ontologis mengenai bagaimana hak asasi manusia didefinisikan dan dioperasikan. Di tengah percepatan disrupsi teknologi, akses internet tidak lagi dapat dipandang sekadar sebagai fasilitas teknis atau kemewahan konsumtif, melainkan telah bertransformasi menjadi prasyarat fundamental bagi pelaksanaan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Fenomena kesenjangan digital (digital divide) yang terjadi saat ini mencerminkan kelanjutan dari ketimpangan struktural masa lalu yang kini termanifestasi dalam bentuk eksklusi informasi, yang pada gilirannya memperlebar jurang kesejahteraan antara masyarakat perkotaan dan perdesaan secara dramatis.

Kesenjangan digital, sebagaimana didefinisikan oleh OECD, mencakup diskrepansi antara individu, rumah tangga, bisnis, dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda terkait peluang mereka untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta penggunaan internet untuk berbagai aktivitas. Namun, dalam konteks abad ke-21, definisi ini meluas melampaui sekadar akses fisik. Muncul pemahaman mengenai kesenjangan tingkat kedua yang berfokus pada literasi dan keterampilan digital, serta kesenjangan tingkat ketiga yang berkaitan dengan hasil atau keuntungan nyata yang diperoleh dari penggunaan teknologi tersebut.

Secara global, pengakuan internet sebagai hak asasi manusia telah dipertegas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada Juni 2011, Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi menegaskan bahwa internet merupakan instrumen krusial dalam meningkatkan transparansi, akses terhadap informasi, dan partisipasi warga dalam membangun masyarakat demokratis. Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB tahun 2021 dan 2024 secara eksplisit menyatakan bahwa hak-hak yang dimiliki individu di dunia nyata harus dilindungi secara setara di dunia digital. Pandangan ini menempatkan konektivitas sebagai fondasi bagi layanan kritis, di mana ketiadaan akses internet sering kali berarti risiko langsung terhadap kemampuan individu untuk menyelamatkan nyawa dan mata pencaharian mereka.

Kerangka Yuridis dan Konstitusional: Kedaulatan Informasi di Indonesia

Di Indonesia, landasan hukum bagi pemenuhan hak akses informasi memiliki akar yang kuat dalam konstitusi. Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara eksplisit menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui berbagai putusannya, seperti Putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020, telah mempertegas bahwa segala bentuk tindakan pemerintah yang membatasi atau memutuskan akses internet harus dilakukan berdasarkan prosedur administrasi yang ketat dan tidak boleh melanggar hak konstitusional warga negara tanpa dasar hukum yang jelas dan tertulis.

Meskipun konstitusi memberikan jaminan normatif, implementasi di lapangan menghadapi tantangan interpretasi yang kompleks. Dalam forum internasional, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang sempat menunjukkan resistensi terhadap beberapa amandemen resolusi PBB yang mengecam tindakan gangguan akses internet oleh negara. Hal ini menunjukkan adanya ketegangan antara prioritas keamanan nasional dengan perlindungan hak digital individu. Di satu sisi, pemerintah memandang pembatasan internet di wilayah tertentu sebagai langkah untuk meredam hoaks dan konflik, sebagaimana terjadi dalam kasus pembatasan internet di Papua pada tahun 2019. Namun, dari perspektif hak asasi, tindakan semacam ini sering dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak atas informasi dan kebebasan berekspresi.

Instrumen Hukum Lingkup Penekanan Utama Terkait Digital
Pasal 19 DUHAM Global Hak mencari, menerima, dan memberikan informasi melalui media apa pun.
Resolusi A/HRC/RES/47/16 PBB Perlindungan hak online sama dengan hak offline.
Pasal 28F UUD 1945 Indonesia Hak berkomunikasi dan mengolah informasi melalui segala saluran tersedia.
Putusan MK 81/PUU-XVIII/2020 Indonesia Pembatasan akses internet harus melalui keputusan tata usaha negara tertulis.
Global Digital Compact 2024 Global Komitmen terhadap konektivitas universal dan bermakna untuk semua.

Demografi dan Penetrasi Internet: Membedah Angka di Balik Realitas

Analisis statistik mengenai penggunaan internet di Indonesia pada tahun 2024 dan 2025 menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan namun belum merata. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet nasional pada tahun 2024 telah mencapai angka 79,5%. Meskipun angka ini mencerminkan peningkatan yang stabil dari tahun sebelumnya (78,19%), sebaran spasialnya masih sangat timpang. Pulau Jawa memimpin dengan tingkat penetrasi 83,64%, sementara wilayah Maluku dan Papua masih berada di posisi terendah dengan penetrasi 69,91%.

Kesenjangan yang paling mencolok terlihat dalam klasifikasi urban-rural (kota-desa). Data menunjukkan bahwa penduduk di wilayah perkotaan memiliki akses internet yang jauh lebih mapan dan stabil dibandingkan penduduk di perdesaan. Di kota, akses internet sering kali didukung oleh infrastruktur fixed broadband atau kabel serat optik yang menjangkau rumah-rumah, sementara di desa, ketergantungan terhadap mobile broadband (sinyal seluler) mencapai tingkat yang absolut.

Wilayah/Kategori Penetrasi Pengguna (2024) Penggunaan Perangkat (Mobile) Penggunaan Perangkat (PC/Laptop)
Perkotaan (Urban) 82,20% 73,38% 21,54%
Perdesaan (Rural) 74,00% 59,79% 7,68%
Selisih (Gap) 8,20% 13,59% 13,86%

18

Data tersebut mengungkap bahwa kesenjangan bukan hanya soal “ada atau tidaknya” sinyal, melainkan kualitas alat akses. Rendahnya kepemilikan komputer di perdesaan (7,68%) menandakan bahwa masyarakat desa lebih banyak mengonsumsi internet melalui ponsel pintar, yang secara fungsional lebih terbatas untuk aktivitas produktif tingkat tinggi dibandingkan perangkat komputer.1 Hal ini menciptakan “kemiskinan digital” jenis baru, di mana akses ada tetapi kapasitas untuk menghasilkan nilai ekonomi dari akses tersebut tetap rendah.

Tantangan Geografis dan Infrastruktur: Tirani Jarak di Wilayah 3T

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, menghadapi kendala geografis yang masif dalam pemerataan infrastruktur digital. Pembangunan menara BTS seluler di daerah terpencil sering kali terkendala oleh kontur alam yang ekstrem, biaya logistik yang melambung tinggi, dan isu keamanan. Sebagai contoh, di daerah kepulauan seperti Wakatobi atau wilayah pedalaman di Kalimantan dan Papua, akses internet sering kali hanya tersedia di titik-titik tertentu dengan stabilitas sinyal yang sangat fluktuatif

Ketiadaan infrastruktur pendukung, khususnya listrik, memperparah isolasi digital ini. Di Desa Tampelas, Kalimantan Tengah, warga menghadapi kenyataan pahit di mana akses listrik hanya tersedia selama beberapa jam di malam hari melalui genset pribadi atau desa. Tanpa aliran listrik yang kontinu, operasional perangkat digital seperti router atau pengisi daya ponsel menjadi sangat terbatas, yang secara otomatis memutus warga dari jaringan global selama sebagian besar waktu dalam sehari

Upaya pemerintah melalui proyek Satelit SATRIA-1 yang diluncurkan untuk mencakup wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) memberikan harapan baru. Namun, evaluasi awal menunjukkan bahwa kapasitas bandwidth yang tersedia per titik layanan sering kali belum memadai untuk mendukung kebutuhan instansi publik seperti sekolah atau Puskesmas secara optimal.  Kapasitas yang awalnya hanya 1 Mbps per titik telah coba ditingkatkan menjadi 4 Mbps, namun jumlah titik layanan harus dikurangi secara drastis untuk menjaga stabilitas kecepatan tersebut.

Ekonomi Digital: Harga yang Harus Dibayar untuk Konektivitas

Kesenjangan digital di Indonesia memiliki dimensi ekonomi yang sangat dalam. Keterjangkauan biaya internet dan perangkat keras masih menjadi penghambat utama bagi masyarakat berpendapatan rendah di perdesaan. Rata-rata pengeluaran pengguna internet di Indonesia berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per bulan untuk data seluler. Meskipun angka ini tampak kecil bagi kelas menengah perkotaan, bagi masyarakat desa dengan pendapatan di bawah upah minimum atau pekerja sektor informal, biaya ini merupakan beban ekonomi yang signifikan.

Munculnya penyedia layanan internet satelit orbit rendah seperti Starlink pada tahun 2024 menawarkan solusi teknis untuk wilayah blank spot, namun skema harganya menciptakan paradoks baru. Biaya perangkat keras Starlink yang mencapai Rp 4,75 juta hingga Rp 5,9 juta, ditambah biaya bulanan yang berkisar antara Rp 479.000 hingga Rp 750.000, berada jauh di atas rata-rata gaji bulanan masyarakat Indonesia yang sebesar Rp 3,09 juta.

Perbandingan Layanan Perkiraan Biaya Hardware Biaya Bulanan Rasio Terhadap Gaji Rata-rata
Mobile Data / FWA Rp 400.000 Rp 100.000 – 300.000 ~3% – 10%
Starlink (Residensial) Rp 4.750.000 Rp 750.000 ~24% (Biaya Bulanan saja)
Gaji Rata-rata Nasional Rp 3.090.000 100%

Implikasi dari struktur biaya ini adalah terjadinya stratifikasi digital di mana hanya kelompok elite atau instansi pemerintah di wilayah terpencil yang mampu mengakses internet satelit berkecepatan tinggi, sementara warga umum tetap terjebak dalam konektivitas berkualitas rendah atau tanpa koneksi sama sekali Hal ini membuktikan bahwa tanpa intervensi harga atau subsidi, kemajuan teknologi justru berpotensi mempertajam ketimpangan kelas sosial.

Dampak Sektoral: Kesenjangan Pendidikan, Kesehatan, dan Kesejahteraan

Kesenjangan digital bukan sekadar masalah teknis, melainkan katalisator yang memperburuk ketimpangan di hampir semua lini kehidupan. Ketiadaan akses internet berkualitas di perdesaan secara langsung berkontribusi pada rendahnya indeks pembangunan manusia di wilayah tersebut dibandingkan dengan perkotaan.

Eksklusi dalam Dunia Pendidikan

Pendidikan merupakan sektor yang paling terpukul oleh kesenjangan digital. Selama masa pandemi COVID-19 dan transisi menuju era pasca-pandemi, kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) telah mengekspos jurang yang mengerikan antara siswa kota dan desa. Di kota, siswa memiliki akses ke platform e-learning, video instruksional, dan perpustakaan digital. Sebaliknya, di daerah seperti Desa Tampelas, PJJ praktis lumpuh karena keterbatasan sinyal dan ketiadaan perangkat.

Siswa di wilayah 3T mengalami penurunan motivasi belajar yang drastis karena mereka merasa tertinggal dari perkembangan teknologi yang digunakan dalam kurikulum nasional. Mereka kehilangan akses terhadap sumber belajar modern yang variatif, yang berdampak pada rendahnya keterampilan berpikir kritis dan kemampuan adaptasi digital mereka di masa depan. Hal ini menciptakan siklus kemiskinan antar-generasi, di mana lulusan sekolah di desa tidak memiliki daya saing yang setara dalam pasar kerja yang semakin terdigitalisasi.

Kesenjangan Layanan Kesehatan (e-Health)

Digitalisasi kesehatan menawarkan potensi luar biasa bagi negara kepulauan untuk mengatasi kelangkaan tenaga medis spesialis di daerah terpencil. Namun, kenyataannya menunjukkan disparitas yang tajam. Aplikasi telemedis populer seperti Halodoc dan Alodokter telah digunakan secara masif di kota-kota besar untuk konsultasi jarak jauh. Namun, di perdesaan, adopsi teknologi kesehatan digital masih sangat rendah akibat kendala infrastruktur dan rendahnya literasi digital tenaga kesehatan maupun pasien.

Data menunjukkan bahwa meskipun penetrasi internet seluler di desa meningkat, stabilitas jaringan yang dibutuhkan untuk panggilan video telemedis sering kali tidak memadai. Akibatnya, masyarakat desa tetap harus menempuh perjalanan fisik yang mahal dan melelahkan menuju pusat kota untuk mendapatkan layanan kesehatan, sementara warga kota cukup menekan layar ponsel mereka. Ketimpangan ini secara langsung mempengaruhi angka harapan hidup dan kualitas kesehatan masyarakat di wilayah terpencil.

Hambatan Produktivitas Ekonomi dan UMKM Desa

Ekonomi digital diproyeksikan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun manfaatnya belum menyentuh akar rumput di perdesaan secara optimal. Rendahnya literasi digital dan keterbatasan akses perangkat komputer membuat pelaku UMKM di desa sulit untuk mengintegrasikan bisnis mereka ke dalam ekosistem pasar digital global

Mayoritas penggunaan internet di desa masih terbatas pada aktivitas konsumtif (hiburan dan komunikasi dasar) daripada aktivitas produktif seperti manajemen inventaris berbasis cloud atau pemasaran digital tingkat lanjut. Kesenjangan ini diperparah oleh rendahnya inklusi keuangan digital di perdesaan. Meskipun program peningkatan inklusi keuangan bagi perempuan pelaku UMKM telah diluncurkan, kesenjangan akses teknologi tetap menjadi tembok besar yang menghalangi mereka untuk mengakses modal dan pasar yang lebih luas.

Digitalisasi Birokrasi dan Ancaman Eksklusi Bantuan Sosial

Pemerintah semakin gencar menerapkan sistem e-government untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik. Namun, digitalisasi birokrasi tanpa memperhatikan kesenjangan akses dapat menyebabkan marjinalisasi warga yang tidak terkoneksi. Dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos), pemerintah mulai menggunakan aplikasi seperti “Cek Bansos” untuk verifikasi data penerima manfaat.

Meskipun secara teori digitalisasi meningkatkan transparansi, warga miskin di wilayah terpencil yang tidak memiliki ponsel pintar atau sinyal internet sering kali kesulitan untuk memverifikasi hak mereka atau melaporkan kendala yang mereka alami. Hal ini menciptakan ironi di mana warga yang paling membutuhkan bantuan justru adalah kelompok yang paling sulit menjangkau saluran verifikasi digital bantuan tersebut. Selain itu, rendahnya pemahaman mengenai keamanan data pribadi membuat warga desa lebih rentan terhadap ancaman siber, penipuan daring, dan eksploitasi data dalam skema bantuan sosial

Refleksi Global: Pelajaran dari Model Masyarakat Digital Estonia

Estonia berdiri sebagai mercusuar dunia dalam hal pembangunan masyarakat digital yang inklusif. Melalui visi jangka panjang yang dimulai sejak tahun 1990-an, negara kecil bekas Uni Soviet ini berhasil mengubah keterbatasan infrastruktur menjadi kekuatan kompetitif melalui program “Tiger Leap” (Tiigrihüpe). Estonia tidak hanya membangun jaringan internet, tetapi juga mendigitalkan seluruh sistem pendidikan dan administrasi publik dengan prinsip yang kuat.

Beberapa pilar keberhasilan Estonia yang relevan bagi konteks perdesaan Indonesia meliputi:

  1. Sistem Identitas Digital (eID): Estonia mewajibkan identitas digital bagi semua warga, yang menjadi kunci tunggal untuk mengakses hampir 99% layanan publik.
  2. Interoperabilitas Data (X-Road): Infrastruktur pertukaran data yang memungkinkan sistem yang berbeda untuk berkomunikasi dengan aman, menghilangkan kebutuhan bagi warga untuk memberikan data yang sama berulang kali kepada instansi yang berbeda.
  3. Filosofi Layanan Sederhana: Teknologi dirancang agar sangat mudah digunakan, sehingga warga tidak memerlukan keterampilan digital tingkat tinggi untuk mendapatkan manfaat dari layanan e-health atau e-voting.
  4. Data Embassies: Untuk menjamin kedaulatan informasi dan resiliensi nasional, Estonia menyimpan cadangan basis data negaranya di lokasi aman di luar negeri.

Pelajaran krusial dari Estonia adalah bahwa digitalisasi harus dipandang sebagai proyek transformasi sosial-politik secara menyeluruh, bukan sekadar proyek pengadaan perangkat IT. Keberhasilan digitalisasi di wilayah perdesaan sangat bergantung pada kemauan politik (political will) untuk menyederhanakan birokrasi dan membangun kepercayaan publik terhadap sistem digital.

Evaluasi Kebijakan Pemerataan: Antara Target dan Realitas Lapangan

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) telah mengalokasikan sumber daya yang besar untuk membangun menara BTS dan menyediakan akses internet gratis di wilayah 3T. Namun, pelaksanaan program ini menghadapi tantangan serius yang terangkum dalam kajian Ombudsman RI.

Ombudsman menemukan adanya potensi maladministrasi dan ketidakefisienan dalam pengelolaan layanan internet di daerah terpencil. Kapasitas bandwidth yang terbatas menjadi keluhan utama masyarakat, di mana kecepatan internet sering kali tidak stabil dan tidak cukup untuk mendukung operasional layanan publik secara simultan. Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat (BAKTI) dengan pemerintah daerah (Dinas Kominfo) sering kali terhambat oleh prosedur birokrasi yang kaku.

Ombudsman RI merekomendasikan enam langkah perbaikan strategis bagi pemerintah:

  • Revisi Prosedur Operasional: Menyederhanakan mekanisme permohonan akses internet bagi daerah agar lebih responsif terhadap kebutuhan lapangan.
  • Penguatan Sistem Aplikasi (PASTI): Memastikan migrasi data usulan daerah dilakukan secara transparan dan terintegrasi melalui satu platform.
  • Kejelasan Administrasi: Menstandarisasi dokumentasi pendaftaran organisasi untuk menghindari kebingungan administratif di tingkat desa.
  • Standardisasi Keamanan Aset: Mengatur protokol pengamanan dan pemeliharaan infrastruktur di daerah terpencil untuk mengurangi angka kerusakan alat.
  • Sinkronisasi Pusat-Daerah: Membangun model komunikasi yang efektif dengan Dinas Kominfo di tingkat Provinsi dan Kabupaten.
  • Peningkatan Kapasitas Layanan: Merencanakan penambahan kapasitas bandwidth secara nyata agar internet dapat digunakan untuk kebutuhan kritis seperti telemedis dan pendidikan daring beresolusi tinggi.

Menuju Kedaulatan Digital: Strategi Masa Depan yang Inklusif

Untuk mewujudkan internet sebagai hak asasi yang memberdayakan masyarakat desa, diperlukan perubahan paradigma dari “pemerataan sinyal” menjadi “pemerataan manfaat”. Beberapa strategi masa depan yang dapat ditempuh antara lain:

  1. Diversifikasi Teknologi dan Energi: Mengintegrasikan solusi internet satelit dengan infrastruktur energi terbarukan (seperti panel surya) untuk memastikan BTS dapat beroperasi di wilayah tanpa listrik PLN. Penggunaan teknologi Fixed Wireless Access (FWA) yang lebih terjangkau juga perlu diprioritaskan dibandingkan solusi satelit premium untuk penggunaan rumah tangga massal.
  2. Akselerasi Literasi Digital Berbasis Komunitas: Membentuk fasilitator digital di tingkat desa yang bertugas membantu masyarakat menggunakan internet secara produktif dan aman. Pendidikan literasi digital tidak boleh berhenti pada cara menggunakan aplikasi, tetapi juga harus mencakup etika berinternet, keamanan siber, dan perlindungan data pribadi.
  3. Lokalisasi Konten dan Aplikasi: Mendorong pengembangan konten digital dalam bahasa daerah dan aplikasi yang spesifik menjawab tantangan lokal, seperti sistem peringatan dini bencana, informasi pasar pertanian, atau platform edukasi berbasis budaya setempat.
  4. Subsidi dan Keterjangkauan: Pemerintah perlu mempertimbangkan skema subsidi kuota atau perangkat bagi keluarga kurang mampu di perdesaan, serta memberikan insentif pajak bagi operator telekomunikasi yang bersedia berinvestasi di wilayah yang secara ekonomi kurang menguntungkan.
  5. Perlindungan Hak Digital: Memastikan bahwa kebijakan keamanan siber dan pengendalian konten tidak mengorbankan hak warga atas informasi. Setiap tindakan pembatasan akses internet harus didasarkan pada parameter hukum yang jelas dan transparan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Sintesis dan Visi Akhir

Akses internet di abad ke-21 bukan lagi sebuah opsi, melainkan tulang punggung dari kewarganegaraan modern. Kesenjangan digital yang terus dibiarkan antara masyarakat kota dan desa adalah bentuk pembiaran terhadap ketimpangan kesejahteraan yang akan berujung pada disintegrasi sosial dan stagnasi ekonomi nasional.

Melalui analisis mendalam terhadap data penetrasi, tantangan infrastruktur, hambatan ekonomi, dan dampak sektoral, jelas terlihat bahwa teknologi informasi memiliki sifat ganda: ia dapat menjadi pendorong kesetaraan yang luar biasa atau justru menjadi tembok pemisah yang paling kejam. Keberhasilan Indonesia dalam menavigasi era digital sangat bergantung pada keberanian untuk menempatkan konektivitas sebagai hak asasi manusia yang tak terhandelkan.

Internet harus menjadi jembatan yang menghubungkan potensi tersembunyi di pelosok Nusantara dengan peluang global. Hanya dengan menjamin akses yang adil, stabil, dan terjangkau bagi setiap warga negara—tanpa memandang lokasi geografis mereka—Indonesia dapat benar-benar mewujudkan kedaulatan informasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya di abad digital ini. Kesenjangan digital bukan sekadar masalah teknis; ia adalah ujian bagi komitmen kita terhadap kemanusiaan dan keadilan di era modern.