NFT, Skin, dan Pakaian Virtual: Bagaimana Merek Mewah Menjual Gaya yang Hanya Ada di Dunia Maya
Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai konvergensi industri mode dengan teknologi canggih seperti blockchain, kecerdasan buatan (AI), dan Metaverse. Pergeseran fundamental dari fashion fisik ke aset digital yang terotentikasi dan berkelanjutan—dikenal sebagai digital fashion—tidak hanya menciptakan saluran pendapatan baru bagi merek mewah tetapi juga mendefinisikan kembali konsep identitas, kepemilikan, dan ekspresi diri di ruang virtual.
Fondasi Paradigma Baru: Mode di Era Web3
Definisi dan Evolusi Pakaian Digital (Digital Fashion)
Fashion digital merujuk pada kreasi, distribusi, dan pemakaian item busana yang secara eksklusif ada dalam domain virtual. Inti dari evolusi ini adalah NFT Fashion, yang didefinisikan sebagai pembuatan dan penyaluran item fashion digital unik di atas jaringan blockchain. Item-item ini melampaui sekadar desain 3D; mereka diikat dengan token yang tidak dapat dipertukarkan (NFT), yang berfungsi sebagai sertifikat kepemilikan kriptografi.
Meskipun konsep pakaian virtual (skins) telah lama dikenal di komunitas gaming, persimpangan antara fashion dan teknologi mencapai titik balik signifikan ketika blockchain mulai digunakan. Momen pemicu historis yang sering dicatat adalah lelang gaun Iridescence pada Mei 2019, yang dirancang oleh agensi fashion digital The Fabricant. Gaun tersebut dijual di blockchain Ethereum sebagai NFT tunggal seharga 9,500 dolar AS. Peristiwa ini menandai masuknya digital fashion dari sekadar utilitas gaming menjadi ranah barang koleksi berharga yang didorong oleh provenance dan kelangkaan yang terverifikasi.
Fungsi NFT dalam ekosistem fashion digital adalah fundamental. NFT memungkinkan otentikasi kepemilikan digital yang unik, menciptakan peluang distribusi baru yang melintasi batas geografis, dan secara substansial meningkatkan pengalaman virtual. Namun, adopsi NFT oleh industri akan sangat bergantung pada bagaimana lingkungan digital (Metaverse) berkembang dan seberapa kuat permintaan dari konsumen digital.
NFT mentransfer nilai item dari fungsi fisik yang habis masa pakainya menjadi aset digital yang dapat diverifikasi dan diperdagangkan secara abadi. Merek tidak lagi sekadar menjual produk yang rentan terhadap keausan; mereka menjual kepemilikan dan hak pakai digital yang terdaftar permanen di blockchain. Fenomena ini secara inheren menciptakan potensi pasar sekunder digital baru yang dapat dilacak, memberikan peluang bagi merek untuk memungut royalti pada setiap penjualan ulang.
Anatomi Metaverse: Ruang Komunal sebagai Panggung Busana Virtual
Metaverse berfungsi sebagai panggung baru bagi industri fashion, di mana gaya hidup digital diekspresikan secara kolektif. Platform seperti Decentraland, misalnya, adalah dunia yang dibangun oleh komunitas penggunanya, dan batas kreasi hanyalah imajinasi. Di lingkungan ini, pengguna dapat membuat dan menjual Wearables dan Emotes mereka sendiri, mengubah ekosistem virtual menjadi pasar peer-to-peer yang dinamis.
Platform lain, The Sandbox, berada di garis depan inovasi digital bagi merek mewah. Melalui kemitraan yang dinamis antara fashion dan teknologi, The Sandbox memungkinkan merek untuk bereksperimen dengan strategi bisnis melalui pengalaman gamified, acara, avatar digital, dan wearables. Kolaborasi ini bertujuan untuk memperdalam koneksi pelanggan dan memperluas narasi merek ke ranah kreatif baru.
Bukti paling jelas dari peran Metaverse sebagai arena ritel dan kultural yang serius adalah penyelenggaraan acara besar. Decentraland telah menjadi tuan rumah Metaverse Fashion Week (MVFW) edisi ketiga dengan tema “Infinite Identities,” yang menampilkan perpaduan Wearables digital, avatar yang di-hyper-personalized, dan pengalaman interaktif.
Agar digital fashion dapat mencapai potensi penuhnya, item yang dibeli harus berfungsi di berbagai platform yang berbeda. Aset yang dibeli di The Sandbox harus dapat “dikenakan” oleh avatar yang sama di Decentraland. NFT menjadi kunci untuk otentikasi aset di berbagai platform, meskipun lingkungan Metaverse saat ini masih cenderung terfragmentasi. Oleh karena itu, investasi yang dilakukan merek saat ini harus ditujukan pada strategi NFT yang memprioritaskan kompatibilitas lintas-platform di masa depan, fokus pada blockchain yang netral dan populer.
Identitas Digital, Ekspresi Diri, dan Psikologi Konsumsi Virtual
Mode sebagai Konstruksi Identitas yang Cair (Fluid Identity)
Dalam dunia digital, fashion mengambil peran yang lebih besar dalam ekspresi diri dibandingkan di dunia fisik. Digital fashion menyediakan “alat peraga” tanpa batas dan provokasi naratif, memungkinkan pengguna untuk meninggalkan identitas dunia nyata mereka dan menjadi apa pun yang mereka inginkan—mulai dari cozy boy hingga cyborg atau superhero.
Tren ini dipimpin oleh generasi muda yang tumbuh dalam ruang digital. Sebuah studi pada tahun 2022 terhadap pengguna internet Generasi Z menemukan bahwa 52% merasa lebih menjadi diri mereka sendiri secara online. Oleh karena itu, digital fashion adalah cara alami untuk mewujudkan identitas yang lebih otentik dan cair ini. Avatar adalah pusat dari ekspresi diri digital, menawarkan opsi penyesuaian tanpa akhir, mulai dari pakaian dan aksesori hingga ekspresi wajah. Avatars memungkinkan pengguna untuk menciptakan gaya unik mereka atau mencerminkan tren dunia nyata.
Mengapa Konsumen Membayar untuk Pakaian yang Tidak Terlihat?
Keputusan untuk membeli pakaian yang tidak terlihat di Metaverse didorong oleh psikologi, bukan kebutuhan fungsional. Studi mengenai kolaborasi fashion di sandbox games menunjukkan bahwa keterlibatan emosional dan estetika item secara signifikan memengaruhi niat beli konsumen. Dalam konteks ini, konsumsi didorong oleh perasaan status, afiliasi, dan kepuasan psikologis.
Aspek kunci lainnya adalah identifikasi avatar diri (self-avatar identification). Tingkat identifikasi pengguna dengan avatar mereka memainkan peran penting. Semakin kuat identifikasi diri, semakin besar kemungkinan perilaku pembelian dipengaruhi, karena wearables tersebut dirasakan sebagai perpanjangan dari diri mereka yang sebenarnya. Selain itu, seperti halnya fashion fisik, kelangkaan (scarcity) dan estetika dari wearables digital berkontribusi pada brand coolness, yang dimanfaatkan oleh merek mewah melalui NFT untuk menciptakan kelangkaan digital yang terverifikasi.
Di dunia nyata, fashion memenuhi kebutuhan dasar dan sosial (seperti perlindungan atau kepatutan). Namun, di Metaverse, fashion digital murni memenuhi kebutuhan psikologis, berfungsi sebagai “kapital identitas.” Barang-barang ini mewakili status, afiliasi komunitas, dan sarana ekspresi yang tak terbatas. Merek yang berhasil di Metaverse adalah merek yang memfasilitasi kebutuhan ini dengan menciptakan narasi yang kuat dan peluang komunitas.
Lebih dari sekadar saluran penjualan, Metaverse juga berfungsi sebagai laboratorium desain global. Karena tidak adanya batasan fisik dan logistik produksi, desainer dapat menguji konsep mode yang radikal (misalnya, gaun anti-gravitasi) tanpa biaya prototipe fisik. Data preferensi avatar yang kaya (style data) yang dikumpulkan dari interaksi pengguna di platform virtual dapat digunakan sebagai umpan balik instan untuk desain koleksi fisik di masa mendatang, mengurangi risiko desain fisik yang mahal.
Pendorong Teknologi: Membangun Jembatan Phygital dan Pengalaman Imersif
Konsep Digital Twin dan Jembatan Phygital
Industri fashion saat ini berfokus pada pembangunan jembatan phygital—menghubungkan dunia fisik dan digital. Konsep digital twin (kembaran digital) adalah mekanisme utama untuk mencapai hal ini. Digital twin melibatkan penautan produk fisik (misalnya tas, sepatu) ke token digital (NFT) melalui chip yang tertanam atau kode QR yang aman.
Ketika produk fisik dibeli, NFT terkait ditransfer ke dompet digital pelanggan, memberikan bukti kepemilikan kriptografi yang tidak dapat disangkal. Selain otentikasi kepemilikan, memberikan setiap pakaian ID digital juga memungkinkan merek beralih dari hubungan transaksional ke hubungan berbasis layanan yang berkelanjutan dengan pelanggan. Hal ini penting untuk inisiatif sirkularitas, penelusuran provenance, dan loyalitas.
Strategi phygital telah menghasilkan keuntungan substansial. Nike, misalnya, telah menghasilkan pendapatan lebih dari $184.31 juta, sebagian besar melalui integrasi NFT dengan barang fisik. Demikian pula, Adidas telah memungkinkan token NFT ditukar dengan barang nyata, seperti hoodies dan tracksuit. NFT yang berfungsi sebagai kembaran digital juga mengaktifkan pasar sekunder yang terstruktur. Ketika barang fisik dijual kembali, NFT dapat ditransfer, memungkinkan merek untuk memonetisasi royalti pada setiap penjualan sekunder. Ini adalah kontrak cerdas yang melindungi Kekayaan Intelektual (IP) merek dan memastikan mereka berpartisipasi dalam nilai barang mewah di pasar sekunder.
Virtual Fitting (AR/VR) untuk E-commerce Fashion
Teknologi virtual fitting telah menjadi pendorong konversi yang kuat dalam ritel e-commerce. Studi menunjukkan bahwa pelanggan yang menggunakan perangkat lunak augmented reality (AR) untuk mencoba pakaian secara virtual 40% lebih kecil kemungkinannya untuk mengembalikan item yang dibeli. Dampak positif pada bisnis sangat terasa, dengan beberapa pengecer melaporkan peningkatan penjualan hingga empat kali lipat dan peningkatan nilai pesanan rata-rata (average order value – AOV) sebesar 20% melalui penggunaan teknologi virtual try-on.
Aspek inklusivitas teknologi ini juga patut dicatat. Teknologi virtual fitting memungkinkan pelanggan memilih model digital yang sesuai dengan warna kulit, ukuran, dan tipe tubuh mereka. Melalui solusi AI, personalisasi dapat dibawa lebih jauh, menciptakan model yang didasarkan pada data tubuh unik pelanggan sendiri, mengatasi kurangnya keragaman yang sering dikritik dalam fashion tradisional.
Penting untuk membedakan antara teknologi yang digunakan. Augmented Reality (AR) melapisi konten digital (misalnya, pakaian) ke dunia nyata (seringkali melalui kamera ponsel atau web) dan ideal untuk e-commerce try-on. Sementara itu, Virtual Reality (VR) menciptakan pengalaman yang sepenuhnya imersif, memindahkan pengguna ke dunia yang berbeda melalui headset. VR lebih cocok untuk pengalaman merek di Metaverse, sedangkan AR lebih praktis untuk aplikasi ritel sehari-hari.
Table 1: Perbandingan Teknologi AR vs. VR dalam Pengalaman Fashion
| Fitur Kunci | Augmented Reality (AR) – Virtual Fitting | Virtual Reality (VR) – Metaverse |
| Definisi Dasar | Overlay digital ke dunia nyata (misalnya, mencoba pakaian melalui kamera ponsel/web). | Menciptakan lingkungan digital yang sepenuhnya imersif (membutuhkan headset). |
| Aplikasi Utama | E-commerce try-on, filter media sosial, phygital experience. | Virtual catwalks, toko ritel Metaverse, interaksi avatar di dunia digital. |
| Keunggulan Bisnis | Mengurangi pengembalian produk (40%), meningkatkan kepercayaan pembelian, mudah diakses (ponsel). | Menciptakan keterlibatan komunitas mendalam, membangun identitas virtual, monetisasi aset digital. |
Kecerdasan Buatan (AI) dalam Siklus Fashion Digital
Kecerdasan Buatan (AI) merupakan alat yang sangat penting untuk personalisasi dan prediksi dalam fashion digital. AI memberikan dampak signifikan, khususnya melalui analisis kamera, yang memungkinkan perusahaan menganalisis dan mendeteksi elemen-elemen gaya busana pengguna (warna, pola, tekstur) secara otomatis. Hal ini memungkinkan pemahaman yang lebih akurat tentang preferensi gaya mereka, yang kemudian dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi produk yang relevan. Personalisasi yang didorong oleh AI ini terbukti meningkatkan konversi penjualan dan secara bersamaan menurunkan tingkat pengembalian produk.
Selain personalisasi, AI secara mendasar mengubah prediksi tren (trend forecasting). Peramalan tren—tindakan memprediksi tren fashion—kini didukung oleh algoritma canggih. AI dapat mendeteksi pola dalam datasets besar yang mencakup citra runway show, postingan media sosial, data pencarian, dan data penjualan online atau in-store. Hal ini memungkinkan peramalan tren yang jauh lebih cepat dan lebih akurat daripada metode tradisional.
AI bertindak sebagai integrator loop umpan balik antara dunia digital dan fisik. Data yang dikumpulkan dari Virtual Try-On (misalnya, item yang paling sering dicoba tetapi tidak dibeli) dapat dimasukkan kembali ke sistem Trend Forecasting dan desain AI. Integrasi ini menciptakan loop umpan balik yang secara terus-menerus mengoptimalkan desain koleksi fisik berikutnya. Merek yang menggabungkan AI-driven trend forecasting dengan data virtual try-on dapat mencapai tingkat efisiensi inventaris dan akurasi desain yang tak tertandingi di masa lalu, yang secara inheren membantu mengurangi pemborosan material.
Strategi Monetisasi dan Model Bisnis di Pasar Fashion Digital
Ekonomi NFT Fashion: Studi Kasus Merek Mewah Global
Pasar digital fashion telah membuktikan skalabilitas dan profitabilitasnya. Merek-merek fashion besar, termasuk Nike, Adidas, Gucci, dan Tiffany & Co., secara kolektif telah menghasilkan pendapatan lebih dari $245 juta dari penjualan NFT.
Nike adalah pemimpin pasar yang dominan. Melalui penjualan NFT, raksasa pakaian olahraga ini menghasilkan $93.1 juta dalam pendapatan dan $91.2 juta dalam royalti, mencapai total $184.31 juta. Strategi Nike berfokus pada ekosistem phygital yang luas.
Merek mewah mengadopsi strategi monetisasi yang beragam:
- Eksklusivitas Premium: Dolce & Gabbana berfokus pada kelangkaan tingkat tinggi, menghasilkan $23.68 juta. Salah satu item, The Glass Suit, dijual seharga sekitar $1 juta USD.
- Kemitraan IP Web3: Adidas bermitra dengan Bored Ape Yacht Club, menjual 30.000 NFT yang bernilai sekitar $22 juta saat itu. Menariknya, NFT ini dapat ditukarkan dengan barang fisik, memperkuat strategi phygital mereka.
- Aksesibilitas Massal: Louis Vuitton merilis skins edisi terbatas untuk game League of Legends. Demikian pula, Gucci menjual sneakers digital dengan harga terjangkau ($12) bekerja sama dengan Wanna , menunjukkan kesediaan merek mewah untuk menggunakan aset digital sebagai alat akuisisi pelanggan.
Tabel 2: Studi Kasus Kunci dan Pendapatan NFT Fashion (Data Kumulatif Hingga Akhir 2022/2023)
| Merek | Aset Digital Utama | Pendapatan Kumulatif (US$) | Strategi Kunci (Monetisasi & Engagement) |
| Nike | RTFKT, Skins, Sneakers Virtual | $184.31 Juta | Akuisisi studio Web3, phygital, royalti pasar sekunder yang kuat. |
| Dolce & Gabbana (D&G) | Couture NFT (misalnya, Glass Suit) | $23.68 Juta | Eksklusivitas tingkat tinggi, barang one-of-a-kind, harga premium ($1M). |
| Adidas | Bored Ape Yacht Club Partnership | ~$22 Juta (Penjualan Awal) | Kemitraan IP Web3 populer, token dapat ditukar dengan barang fisik (phygital utility). |
| Gucci | Supergucci NFT, Sneakers Virtual Wanna | ~$11.6 Juta | Kolaborasi artistik, dual strategi harga (terjangkau $12 dan koleksi premium). |
Inovasi Model Penetapan Harga Digital
Analisis strategi digital menunjukkan bahwa keputusan adopsi dipengaruhi oleh proporsi pelanggan fashion digital vs. pelanggan konvensional, serta nilai dan biaya digital NFT. Untuk mendorong pendapatan digital, studi mengungkapkan bahwa penetapan harga yang dipersonalisasi (personalized pricing) dan strategi pemberian NFT gratis adalah alat yang sangat efektif.
Strategi NFT gratis harus dilihat sebagai alat akuisisi pelanggan (CAC) yang efektif, bukan sebagai kerugian pendapatan. NFT gratis berfungsi sebagai pintu gerbang onboarding Web3, mengumpulkan data dompet digital pengguna, dan memberikan akses ke ekosistem yang kemudian akan membeli item berbayar atau layanan premium. Pendekatan ini membangun loyalitas dan memungkinkan personalisasi harga lebih lanjut.
Selain itu, koleksi digital murni menawarkan margin keuntungan yang fantastis. Tidak seperti fashion fisik yang memerlukan bahan mentah, rantai pasok, dan logistik yang rumit, koleksi digital murni menghemat biaya produksi yang signifikan, yang mengarah pada margin keuntungan yang “masif”. Margin yang tinggi ini membebaskan modal yang dapat diinvestasikan kembali dalam pengembangan teknologi imersif (AR/VR/AI) dan perluasan ekosistem Metaverse, mempercepat inovasi produk fashion digital.
Model Kreator dan User-Generated Content (UGC)
Metaverse dan fashion digital telah memberdayakan model ekonomi kreator. Platform seperti Decentraland memungkinkan siapa saja untuk berkreasi dan menjual Wearables, mendorong ekosistem User Generated Content (UGC) yang kuat. Platform seperti The Sandbox memfasilitasi model ini, memungkinkan kreator aset (termasuk fashion) untuk memperoleh keuntungan besar dan mempertahankan sebagian besar pendapatan mereka. Merek dapat memanfaatkan ekosistem UGC ini untuk membangun komunitas yang dinamis dan terlibat, menawarkan peluang monetisasi melalui penjualan aset digital eksklusif.
Implikasi Jangka Panjang: Etika, Keberlanjutan, dan Regulasi
Paradoks Keberlanjutan Digital (Digital Sustainability Paradox)
Fashion digital menawarkan potensi besar untuk keberlanjutan. Praktik ini dapat secara signifikan mengurangi limbah tekstil yang dihasilkan oleh industri mode, terutama dengan mengurangi kebutuhan akan sampel fisik, prototipe, dan pakaian yang hanya dipakai sekali untuk photoshoot. Puma, misalnya, telah bereksperimen dengan koleksi ‘Day Zero’ yang menghilangkan kebutuhan sumber daya untuk pengambilan sampel, logistik, dan perjalanan.
Namun, potensi positif ini dihadapkan pada paradoks keberlanjutan digital: jejak karbon tinggi yang terkait dengan proses minting dan sirkulasi NFT, terutama pada blockchain lama yang menggunakan konsensus Proof-of-Work (PoW). Para kritikus berpendapat bahwa konsumsi energi ini dapat mengalahkan potensi keuntungan lingkungan dari pengurangan limbah fisik.
Untuk mengatasi tantangan ini, industri harus beralih ke Proof-of-Stake (PoS) blockchain yang jauh lebih hemat energi (lebih dari 99% lebih efisien). Platform eco-friendly seperti Polygon atau Tezos menjadi pilihan strategis untuk mitigasi ini. Keputusan teknis terkait infrastruktur blockchain kini menjadi keputusan strategis dan etis, memengaruhi brand equity dan adopsi konsumen yang sadar lingkungan. Merek yang secara proaktif memilih PoS blockchain dan menyediakan transparansi jejak karbon akan memperoleh keuntungan reputasi, memposisikan diri sebagai pemimpin yang benar-benar berkelanjutan di ruang digital.
Tabel 3: Dampak Fashion Digital terhadap Keberlanjutan (Sustainability)
| Dampak Positif (Pengurangan Jejak Fisik) | Dampak Negatif (Jejak Digital/Energi) | Mitigasi/Solusi Strategis |
| Mengurangi kebutuhan untuk sampel fisik dan prototipe. | Konsumsi energi tinggi untuk minting NFT pada blockchain Proof-of-Work (PoW). | Migrasi wajib ke blockchain Proof-of-Stake (PoS) yang efisien energi (misalnya Polygon). |
| Eliminasi limbah tekstil dari pakaian yang hanya dipakai sekali (misalnya, photoshoot atau fast fashion). | Emisi karbon dari proses kreasi, rendering 3D, dan sirkulasi digital. | Penggunaan kredit energi terbarukan dan transparansi perhitungan emisi NFT. |
Tantangan Hukum dan Kekayaan Intelektual
Pengembangan digital fashion dan NFT dihadapkan pada tantangan hukum yang signifikan. Di banyak yurisdiksi, termasuk Indonesia, regulasi yang mengatur kepemilikan NFT masih terbatas. Kekosongan regulasi ini menciptakan ketidakpastian hukum, khususnya dalam transaksi multi-pihak dan perlindungan hak cipta aset digital. Kurangnya regulasi yang spesifik menghambat pengembangan industri NFT dan menciptakan ketidakpastian bagi merek besar yang ingin beroperasi di pasar-pasar baru.
Masalah lain muncul dari perluasan norma hak cipta untuk mencakup platform digital berbasis User Generated Content (UGC) sebagai tempat publikasi dan perdagangan. Platform UGC bertanggung jawab atas kerugian yang dialami pencipta atau pemegang hak cipta akibat pelanggaran hak cipta di situs teknologi mereka. Tanggung jawab hukum ini menunjukkan bahwa meskipun model UGC sangat menarik secara ekonomi, risiko hukum yang timbul dari pelanggaran IP mengharuskan platform Metaverse dan merek untuk menginvestasikan sumber daya signifikan dalam alat verifikasi IP otomatis dan kebijakan moderasi UGC yang ketat untuk melindungi diri dari tuntutan hukum yang mahal.
Kesimpulan
Perpotongan antara fashion dan teknologi telah melahirkan ekosistem yang kompleks di mana identitas digital menjadi pendorong utama nilai ekonomi. Digital fashion, diotentikasi oleh NFT, telah mengubah item pakaian menjadi aset digital yang dapat diperdagangkan dan berfungsi sebagai “kapital identitas” di Metaverse.
Merek-merek mewah telah mengadopsi strategi monetisasi ganda, menggabungkan item NFT ultra-eksklusif untuk mempertahankan status, dengan skins berharga rendah dan NFT gratis untuk akuisisi pelanggan massal dan engagement. Keberhasilan model ini didorong oleh teknologi phygital (NFT sebagai digital twin) yang memperpanjang hubungan brand-customer dan oleh Kecerdasan Buatan (AI) yang mengoptimalkan desain dan pengalaman ritel melalui personalisasi hiper-spesifik.
Untuk mencapai kepemimpinan industri di ruang yang berkembang pesat ini, analisis menyimpulkan beberapa rekomendasi strategis:
- Prioritas pada Infrastruktur Phygital dan AI: Merek harus memprioritaskan integrasi AI untuk personalisasi dan trend forecasting, serta mengadopsi solusi Augmented Reality Virtual Fitting untuk e-commerce. Pemanfaatan camera analysis yang didorong AI dan virtual try-on secara langsung akan mengoptimalkan konversi penjualan dan mengurangi tingkat pengembalian produk.
- Standardisasi Digital Twin: Merek harus mengembangkan roadmap untuk melampirkan digital twin (NFT atau QR code yang aman) ke koleksi fisik baru mereka, menjadikan kepemilikan kriptografi sebagai standar otentikasi. Hal ini memperkuat perlindungan IP dan membuka aliran pendapatan dari pasar sekunder.
- Mandat Keberlanjutan Blockchain: Untuk memitigasi risiko lingkungan dan memperkuat klaim keberlanjutan merek, investasi sumber daya harus dialokasikan secara eksklusif untuk minting aset di blockchain Proof-of-Stake (PoS) yang efisien energi.
- Mitigasi Risiko Regulasi IP: Mengingat tanggung jawab yang dibebankan pada platform UGC dan kurangnya regulasi NFT yang spesifik , merek harus berinvestasi dalam pemetaan risiko hukum yang komprehensif dan membangun mekanisme perlindungan hak cipta yang ketat untuk ekosistem UGC mereka.


