Loading Now

Peran, Prinsip, dan Dampak CT Scan dan MRI dalam Diagnostik Medis

Dua modalitas pencitraan diagnostik yang krusial dalam dunia medis modern: Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Kedua teknologi ini dirancang untuk menghasilkan citra internal tubuh yang detail, namun mereka beroperasi berdasarkan prinsip fisika yang sangat berbeda, yang pada gilirannya menentukan kekuatan, kelemahan, dan aplikasi klinis unik masing-masing. Laporan ini akan menunjukkan bahwa CT Scan dan MRI bukanlah teknologi yang bersaing atau saling menggantikan, melainkan alat yang komplementer dan bekerja secara sinergis untuk diagnosis yang akurat dan tepat.

Tujuan utama dari laporan ini adalah untuk menyediakan panduan yang otoritatif, terperinci, dan kaya wawasan bagi para profesional kesehatan, peneliti, dan pengambil kebijakan. Analisis ini mengintegrasikan perspektif teknis, klinis, finansial, dan logistik, termasuk pembahasan mendalam mengenai ketersediaan dan tantangan yang relevan dalam konteks Indonesia.

Pemilihan antara CT Scan dan MRI dalam praktik klinis tidak pernah menjadi pertanyaan tentang mana yang “lebih baik,” melainkan tentang mana yang paling tepat untuk situasi klinis spesifik. Dalam kasus trauma, kegawatdaruratan, atau fraktur kompleks, kecepatan dan resolusi spasial CT Scan menjadikannya pilihan diagnostik lini pertama yang tak tergantikan. Namun, ketika diagnosis memerlukan visualisasi detail dari jaringan lunak seperti otak, sumsum tulang belakang, atau ligamen, sensitivitas kontras yang superior dari MRI menjadikannya alat pemecah masalah yang ideal. Implikasinya, fasilitas kesehatan yang berdedikasi untuk memberikan layanan diagnostik yang komprehensif harus memiliki kedua modalitas ini untuk memastikan diagnosis yang optimal dan tepat waktu bagi pasien. Kegagalan untuk menyediakan salah satu dari keduanya dapat mengakibatkan penundaan diagnosis yang vital atau penggunaan modalitas yang kurang ideal, yang berpotensi membahayakan pasien, terutama dalam kondisi kritis.

Prinsip Dasar dan Mekanisme Kerja

Perbedaan mendasar antara CT Scan dan MRI berakar pada prinsip fisika yang mereka gunakan untuk menghasilkan gambar. Memahami dasar-dasar ini sangat penting untuk mengapresiasi mengapa setiap modalitas memiliki keunggulan dan keterbatasan yang berbeda.

CT Scan: Sinar-X Terkomputasi

CT Scan, yang juga dikenal sebagai Computed Axial Tomography (CAT) Scan, memanfaatkan sinar-X untuk menghasilkan citra. Prosedurnya melibatkan berkas sinar-X sempit yang diarahkan pada pasien dan diputar dengan cepat di sekeliling tubuh. Mekanisme ini berbeda secara fundamental dari sinar-X konvensional yang menggunakan sumber tetap. Sumber sinar-X bermotor ini terletak di dalam sebuah struktur berbentuk donat yang disebut gantry. Selama pemindaian, pasien berbaring di atas meja yang bergerak perlahan melalui gantry, sementara tabung sinar-X terus berputar, menembakkan berkas sinar-X melalui tubuh dari berbagai sudut.

Sinyal yang dihasilkan saat sinar-X melewati tubuh ditangkap oleh detektor digital yang berlokasi di seberang sumber sinar-X. Setiap kali sumber sinar-X menyelesaikan satu putaran penuh, komputer CT menggunakan algoritma matematis yang canggih untuk merekonstruksi citra irisan dua dimensi (slice) dari pasien. Ketebalan irisan ini dapat bervariasi antara 1 hingga 10 milimeter tergantung pada mesin yang digunakan. Setelah serangkaian irisan dikumpulkan, komputer dapat menumpuknya secara digital untuk membentuk citra tiga dimensi (3D) yang detail dari struktur internal tubuh, yang memungkinkan identifikasi struktur dasar, tumor, atau anomali dengan lebih mudah.

MRI: Resonansi Magnetik

MRI beroperasi tanpa menggunakan radiasi pengion seperti sinar-X. Sebaliknya, teknologi ini memanfaatkan medan magnet yang sangat kuat, gradien medan magnet, dan gelombang radio. Mesin MRI menghasilkan medan magnet yang memaksa proton-proton dalam atom hidrogen di dalam tubuh untuk sejajar dengan medan tersebut. Ketika pulsa gelombang radio ditembakkan ke tubuh, proton-proton ini menyerap energi dan keluar dari posisi sejajarnya.

Setelah pulsa gelombang radio dimatikan, proton-proton tersebut kembali ke posisi sejajarnya. Selama proses kembali ini, mereka melepaskan energi yang dideteksi oleh sensor MRI. Waktu yang dibutuhkan proton untuk kembali ke posisi awal, serta jumlah energi yang dilepaskan, bervariasi tergantung pada lingkungan fisik dan sifat kimia molekul tempat proton berada. Misalnya, proton dalam air berperilaku berbeda dari proton dalam lemak. Informasi ini kemudian diinterpretasikan oleh komputer untuk menciptakan gambar yang sangat detail dari struktur internal tubuh.

Perbedaan fundamental dalam prinsip fisika ini menjadi alasan utama di balik perbedaan aplikasi klinis kedua modalitas. CT Scan unggul dalam pencitraan tulang dan struktur padat karena sinar-X berinteraksi langsung dengan kerapatan material. Sebaliknya, MRI sangat efektif dalam membedakan jaringan lunak, seperti memisahkan tumor dari jaringan otak normal atau mengidentifikasi kerusakan pada ligamen dan tendon, karena ia sensitif terhadap perbedaan kandungan air dan lemak di antara jaringan-jaringan tersebut. Akibatnya, keterbatasan CT dalam membedakan jaringan lunak secara detail adalah konsekuensi langsung dari fisika sinar-X, sama seperti sensitivitas MRI terhadap implan logam adalah akibat langsung dari medan magnet kuat yang digunakannya.

Fungsi dan Aplikasi Klinis

Meskipun CT Scan dan MRI sama-sama merupakan alat diagnostik yang sangat berharga, mereka memiliki peran yang berbeda dalam alur kerja klinis. Masing-masing melengkapi yang lain untuk menyediakan gambaran diagnostik yang lengkap.

Peran CT Scan dalam Diagnosis

Kecepatan adalah keunggulan utama CT Scan. Waktu pemindaian yang singkat, seringkali hanya berlangsung 1 hingga 10 menit, menjadikannya modalitas pilihan pertama dalam situasi gawat darurat dan kasus trauma. CT Scan sangat efektif untuk:

  • Deteksi Cepat: Mengidentifikasi pendarahan internal, bekuan darah, dan fraktur tulang yang kompleks yang mungkin mengancam jiwa.
  • Pencitraan Tulang dan Trauma: Memberikan citra detail dari struktur tulang, sendi yang rusak parah, dan tumor tulang, seringkali dengan detail yang lebih baik daripada sinar-X konvensional.
  • Evaluasi Organ: Memvisualisasikan tumor atau lesi pada abdomen dan paru-paru, serta mendeteksi emboli paru (bekuan darah) dan kondisi lain seperti emfisema atau pneumonia.
  • Pencitraan Jantung: Mengevaluasi berbagai jenis penyakit atau anomali jantung.

Peran MRI dalam Diagnosis

Resolusi kontras yang unggul menjadikan MRI sebagai standar emas untuk pencitraan jaringan lunak dan sistem saraf. Prosedur ini biasanya memakan waktu lebih lama, antara 30 hingga 60 menit, karena sensitif terhadap gerakan pasien. MRI sangat berguna untuk:

  • Pencitraan Neurologis: Mendiagnosis kondisi pada otak dan sumsum tulang belakang, termasuk tumor, stroke, multiple sclerosis (MS), dan cedera saraf.
  • Pencitraan Musculoskeletal: Mengidentifikasi cedera pada ligamen, tendon, otot, dan tulang rawan yang mungkin tidak terlihat pada rontgen biasa.
  • Pencitraan Organ dan Kanker: Mengevaluasi kondisi hati, ginjal, pankreas, dan prostat, serta memantau perkembangan kanker, di mana MRI dapat membedakan jaringan abnormal dari jaringan sehat dengan lebih jelas.
  • Pencitraan Fungsional: Mengevaluasi aliran darah, cairan di sumsum tulang belakang, dan kontraksi organ, memberikan informasi tambahan di luar data struktural.

Studi Kasus: Diagnosis Stroke

Salah satu contoh paling jelas dari sifat komplementer CT dan MRI adalah dalam diagnosis stroke. Pada kasus stroke akut, kecepatan adalah faktor yang paling krusial untuk menyelamatkan nyawa dan meminimalkan kerusakan otak.

  • Langkah Pertama: Pasien yang dicurigai menderita stroke akan menjalani CT Scan sebagai langkah diagnostik pertama. Prosedur yang sangat cepat ini memungkinkan dokter untuk dengan segera menentukan apakah stroke tersebut disebabkan oleh pendarahan di otak (stroke hemoragik) atau penyumbatan pembuluh darah (stroke iskemik). Informasi ini sangat penting karena terapi trombolitik, yang dirancang untuk melarutkan bekuan darah pada stroke iskemik, akan sangat berbahaya jika diberikan pada pasien dengan stroke hemoragik.
  • Langkah Kedua: Meskipun CT Scan sangat efektif dalam mendeteksi pendarahan, sensitivitasnya dalam mendeteksi perubahan dini pada jaringan otak akibat stroke iskemik terbatas. Dalam situasi ini, MRI dapat digunakan sebagai langkah diagnostik selanjutnya. MRI dapat mendeteksi kerusakan otak akibat stroke iskemik dalam waktu satu jam sejak gejala dimulai, jauh lebih cepat daripada CT Scan yang mungkin memerlukan beberapa jam untuk menunjukkan anomali.

Analisis ini menunjukkan sebuah alur kerja diagnostik yang hierarkis: CT Scan berfungsi sebagai alat skrining lini pertama yang cepat dan esensial untuk menyingkirkan pendarahan. Setelah itu, MRI dapat digunakan sebagai alat lini kedua untuk mengevaluasi kerusakan jaringan secara lebih rinci, yang akan memandu penanganan jangka panjang. Ini adalah contoh nyata bagaimana kedua teknologi ini tidak bersaing, melainkan bekerja sama secara strategis demi hasil terbaik bagi pasien.

Dampak, Risiko, dan Kontraindikasi

Setiap modalitas pencitraan memiliki serangkaian dampak dan risiko yang melekat, yang secara langsung berasal dari mekanisme fisika yang mendasarinya. Pengelolaan risiko ini merupakan bagian integral dari praktik klinis.

Risiko CT Scan

  • Paparan Radiasi Pengion: Risiko utama CT Scan adalah penggunaan sinar-X, yang menghasilkan radiasi pengion. Paparan radiasi ini, meskipun dalam dosis minimal, bersifat kumulatif. Dosis radiasi dari satu CT Scan dapat setara dengan paparan radiasi latar belakang selama 6 bulan hingga 7 tahun. Meskipun manfaat diagnostik dari CT Scan dalam mendeteksi kondisi yang mengancam jiwa sering kali lebih besar daripada risikonya, paparan berulang dapat meningkatkan potensi risiko kanker di masa depan. Oleh karena itu, para profesional kesehatan berupaya untuk menggunakan dosis radiasi serendah mungkin yang masih dapat menghasilkan informasi diagnostik yang diperlukan.
  • Risiko pada Pasien Khusus: Paparan radiasi ini menjadi perhatian khusus pada ibu hamil karena dapat berpotensi menyebabkan cacat lahir pada janin. Sebagai alternatif, modalitas pencitraan non-radiasi seperti MRI atau USG lebih disukai untuk pemeriksaan pada area abdomen dan panggul pada wanita hamil.
  • Risiko Zat Kontras: Prosedur CT Scan sering kali memerlukan penggunaan zat kontras berbasis yodium untuk meningkatkan kejelasan gambar. Zat kontras ini dapat menyebabkan reaksi alergi seperti ruam atau gatal, dan dalam kasus yang jarang terjadi, dapat menyebabkan komplikasi seperti kram perut, diare, mual, atau bahkan kerusakan ginjal pada pasien dengan riwayat masalah ginjal.

Risiko MRI

  • Bahaya Medan Magnet: Medan magnet MRI sangat kuat, bahkan mampu menarik benda-benda logam feromagnetik (berbahan dasar besi) dengan kekuatan yang cukup untuk mengubahnya menjadi proyektil berbahaya. Karena alasan ini, keberadaan benda-benda logam seperti alat pacu jantung, implan koklea, klip aneurisma, atau serpihan peluru dalam tubuh pasien menjadi kontraindikasi mutlak untuk pemeriksaan MRI. Pemanasan atau pergerakan benda-benda ini dapat menyebabkan cedera serius atau kegagalan fungsi perangkat medis.
  • Klaustrofobia dan Kebisingan: Mesin MRI umumnya memiliki desain yang sempit dan tertutup, yang dapat memicu rasa cemas atau klaustrofobia pada banyak pasien. Selain itu, mesin MRI menghasilkan suara bising yang sangat keras, mencapai hingga 120 desibel (dB) saat beroperasi, sehingga pasien sering diberikan penyumbat telinga atau headphone.
  • Risiko Zat Kontras: Meskipun zat kontras MRI berbasis Gadolinium memiliki risiko reaksi alergi yang lebih kecil dibandingkan kontras CT , penggunaannya tetap dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat penyakit ginjal atau yang sedang menyusui.

Perbedaan risiko ini menunjukkan bahwa tidak ada satu modalitas pun yang sepenuhnya “lebih aman” dari yang lain; pilihan tergantung pada profil risiko pasien dan kebutuhan klinis. Industri pencitraan medis secara aktif menanggapi masalah ini, terutama yang berkaitan dengan pengalaman pasien. Pengembangan desain mesin MRI dengan bore yang lebih lebar (hingga 80 cm) dan ruangan yang dilengkapi dengan mood light atau musik adalah respons langsung terhadap masalah klaustrofobia dan kebisingan, menunjukkan pergeseran fokus dari sekadar metrik teknis menuju pengalaman pasien yang lebih holistik.

Perkembangan Teknologi dan Inovasi Terkini

Bidang pencitraan medis terus berkembang pesat, dengan inovasi yang tidak hanya meningkatkan kualitas gambar tetapi juga mengatasi keterbatasan yang ada dan meningkatkan pengalaman pasien.

 Inovasi CT Scan

  • Low-Dose CT: Mesin CT Scan modern dan teknik pemindaian terbaru telah berhasil secara signifikan mengurangi dosis radiasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan gambar berkualitas tinggi. Teknologi seperti  multi-slice CT memungkinkan pemindaian lebih cepat dengan paparan radiasi yang minimal.
  • Dual-Energy CT (DECT): DECT, yang juga dikenal sebagai Spectral CT, menggunakan dua energi sinar-X terpisah secara simultan. Teknologi ini dapat mengurangi artefak yang disebabkan oleh implan logam, membedakan komposisi material (misalnya, membedakan batu ginjal urat dari non-urat), dan meningkatkan visualisasi pembuluh darah, seringkali dengan kebutuhan zat kontras yang lebih sedikit.

Inovasi MRI

  • Peningkatan Kekuatan Medan Magnet: Kekuatan magnet MRI diukur dalam Tesla (T). Sementara sebagian besar sistem klinis beroperasi pada 1.5T, sistem 3T menawarkan resolusi gambar yang lebih tinggi, yang sangat berguna untuk pencitraan organ dan jaringan lunak dengan detail yang luar biasa.
  • Sistem Tanpa Helium dan Bore Terbuka: Inovasi terbaru mencakup pengembangan sistem MRI bebas helium, yang mempermudah instalasi, mengurangi biaya operasional, dan memungkinkan penempatan mesin di lokasi yang sebelumnya tidak memungkinkan. Selain itu, desain bore (lubang mesin) yang lebih terbuka dan lebar secara langsung mengatasi masalah klaustrofobia, membuat prosedur lebih nyaman bagi pasien, termasuk pasien bariatrik dan anak-anak.

Peran Kecerdasan Buatan (AI) dalam Radiologi

Integrasi kecerdasan buatan (AI) adalah perubahan paradigma yang mentransformasi bidang radiologi. AI tidak hanya membuat mesin bekerja lebih baik, tetapi juga secara fundamental mengubah alur kerja diagnostik.

  • Analisis Citra Otomatis: AI digunakan untuk menganalisis gambar medis, mendeteksi anomali seperti tumor atau lesi yang mungkin terlewatkan oleh mata manusia. Dengan mengidentifikasi pola-pola rumit dalam data pencitraan, AI dapat mempercepat proses diagnosis dan meningkatkan akurasi, terutama dalam kasus-kasus yang kompleks.
  • Peningkatan Alur Kerja: AI dapat mengotomatisasi tugas-tugas berulang seperti segmentasi gambar, pengukuran volume organ, dan post-processing, menghemat waktu berharga radiolog dan memungkinkan mereka untuk fokus pada interpretasi kasus yang lebih menantang.

Integrasi AI sangat relevan di negara-negara dengan keterbatasan sumber daya, seperti Indonesia, di mana jumlah radiolog masih rendah. Dalam konteks ini, AI dapat berfungsi sebagai asisten diagnostik yang mempercepat interpretasi gambar, meningkatkan efisiensi, dan berpotensi mengatasi hambatan dalam aksesibilitas layanan pencitraan canggih.

Konteks di Indonesia: Ketersediaan dan Biaya

Meskipun CT Scan dan MRI adalah teknologi diagnostik yang sangat vital, ketersediaan dan biaya di Indonesia menciptakan tantangan signifikan dalam akses layanan kesehatan.

Distribusi dan Aksesibilitas

Data menunjukkan adanya kesenjangan yang nyata antara kebutuhan dan ketersediaan peralatan diagnostik canggih. Dari sekitar 275 juta penduduk, Indonesia hanya memiliki 374 fasilitas CT Scan yang terdaftar, dan hanya 178 di antaranya yang berfungsi. Angka ini sangat rendah dan berdampak langsung pada aksesibilitas layanan, terutama di daerah-daerah terpencil. Tantangan ini diperparah oleh kelangkaan sumber daya manusia, dengan hanya 2.200 radiolog yang terdaftar untuk menginterpretasikan hasil. Distribusi fasilitas MRI juga menjadi tantangan, dengan konsentrasi yang lebih tinggi di kota-kota besar.

Pemerintah Indonesia menyadari tantangan ini dan telah mengambil langkah proaktif. Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan menargetkan produksi 306 unit CT Scan domestik pada tahun 2027. Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada impor, menurunkan biaya pengadaan alat, dan memperluas akses layanan pencitraan ke seluruh pelosok negeri.

Analisis Biaya

Secara umum, biaya pemeriksaan MRI di Indonesia jauh lebih mahal daripada CT Scan, sebuah tren yang konsisten secara global.

  • CT Scan: Berdasarkan data dari berbagai sumber, biaya CT Scan di Indonesia bervariasi, berkisar dari Rp 500.000 hingga lebih dari Rp 2 juta, tergantung pada jenis prosedur dan rumah sakit.
  • MRI: Biaya MRI jauh lebih tinggi, dengan estimasi berkisar dari Rp 1.100.000 hingga Rp 7.000.000, tergantung pada bagian tubuh yang diperiksa, kekuatan mesin, dan penggunaan kontras.

Tingginya biaya kedua prosedur ini, terutama MRI, membatasi akses bagi sebagian besar populasi, meskipun ada cakupan asuransi. Upaya pemerintah untuk memproduksi alat-alat ini secara domestik adalah respons langsung terhadap kedua masalah ini. Analisis ini menunjukkan bahwa peningkatan aksesibilitas teknologi canggih seperti CT Scan dan MRI di Indonesia memerlukan solusi multi-segi yang mencakup investasi dalam infrastruktur (peralatan), pengembangan sumber daya manusia (radiolog), dan implementasi teknologi bantu seperti AI untuk mengatasi hambatan diagnostik yang ada.

Tabel 1: Perbandingan Komprehensif CT Scan dan MRI

Fitur CT Scan MRI
Prinsip Kerja Menggunakan sinar-X yang diputar di sekeliling tubuh untuk menghasilkan irisan citra. Menggunakan medan magnet kuat dan gelombang radio untuk memanipulasi proton hidrogen dalam tubuh.
Sinar yang Digunakan Radiasi pengion (sinar-X). Non-radiasi (gelombang radio dan medan magnet).
Kecepatan Prosedur Sangat cepat, biasanya kurang dari 10 menit. Lebih lambat, bisa memakan waktu 30 hingga 60 menit.
Jenis Jaringan yang Jelas Sangat baik untuk tulang, pembuluh darah, dan pendarahan. Sangat baik untuk jaringan lunak, otak, sumsum tulang belakang, ligamen, dan tendon.
Aplikasi Klinis Utama Keadaan darurat, trauma, fraktur tulang, evaluasi paru-paru, stroke hemoragik. Neurologis (tumor otak, MS), musculoskeletal (cedera sendi), kanker.
Dampak & Risiko Utama Paparan radiasi kumulatif dan risiko reaksi alergi terhadap zat kontras berbasis yodium. Bahaya proyektil dari objek logam, kontraindikasi pada implan, klaustrofobia, dan kebisingan.
Kontraindikasi Kehamilan (di area abdomen/panggul), masalah ginjal. Implan atau benda logam, alat pacu jantung, serpihan logam.

Kesimpulan

Laporan ini menyimpulkan bahwa CT Scan dan MRI adalah teknologi diagnostik yang saling melengkapi, masing-masing dengan peran yang jelas dan terdefinisi dalam praktik klinis. CT Scan, dengan kecepatan dan kemampuannya dalam memvisualisasikan struktur padat, adalah alat vital dalam keadaan gawat darurat dan trauma. Sebaliknya, MRI, dengan resolusi kontras superiornya, adalah modalitas pilihan untuk diagnosis yang membutuhkan evaluasi rinci dari jaringan lunak. Pemilihan di antara keduanya bergantung pada urgensi, jenis jaringan yang diperiksa, dan kondisi pasien, sebagaimana dicontohkan dalam studi kasus stroke.

Risiko yang terkait dengan setiap prosedur secara langsung terkait dengan prinsip fisika dasarnya: paparan radiasi untuk CT Scan dan bahaya magnetik untuk MRI. Inovasi teknologi yang terus berlanjut, seperti low-dose CT dan MRI dengan bore yang lebih terbuka, adalah upaya aktif untuk mengurangi risiko ini dan meningkatkan kenyamanan pasien. Sementara itu, integrasi kecerdasan buatan (AI) merupakan inovasi transformatif yang menjanjikan peningkatan akurasi diagnostik, efisiensi alur kerja, dan potensi untuk mengatasi keterbatasan sumber daya manusia yang ada.

Meskipun terdapat kemajuan teknologi yang signifikan, tantangan besar tetap ada di Indonesia, terutama terkait ketersediaan alat, distribusi yang tidak merata, dan biaya yang tinggi. Hal ini menciptakan hambatan serius dalam aksesibilitas layanan kesehatan canggih bagi sebagian besar populasi.

Berdasarkan analisis ini, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk meningkatkan layanan pencitraan medis di Indonesia:

  1. Peningkatan Investasi pada Infrastruktur Diagnostik: Investasi yang terencana diperlukan untuk menambah jumlah fasilitas CT Scan dan MRI yang berfungsi, dengan fokus pada distribusi yang lebih merata, terutama di daerah yang kurang terlayani.
  2. Dukungan Produksi Domestik: Mendorong dan mendukung inisiatif produksi alat kesehatan domestik dapat secara signifikan mengurangi biaya pengadaan dan membuat teknologi ini lebih terjangkau.
  3. Integrasi AI dalam Alur Kerja Radiologi: Menerapkan teknologi AI dapat membantu mempercepat interpretasi gambar dan meningkatkan efisiensi, berpotensi mengatasi kelangkaan radiolog yang ada.
  4. Program Edukasi dan Pelatihan: Peluncuran program intensif untuk meningkatkan jumlah radiolog dan teknisi terlatih sangat penting untuk memastikan bahwa peralatan yang canggih dapat dioperasikan dan hasilnya dapat diinterpretasikan dengan benar.

Langkah-langkah terkoordinasi ini akan membantu menjembatani kesenjangan antara teknologi dan aksesibilitas, memastikan bahwa populasi Indonesia dapat menerima layanan diagnostik yang akurat dan tepat waktu.