Dissociative Identity Disorder: Melampaui Miskonsepsi Kepribadian Ganda
“Kepribadian ganda,” yang secara klinis diidentifikasi sebagai Dissociative Identity Disorder (DID). Berbeda dengan penggambaran yang sering disensasionalisasi di media, DID adalah respons psikologis yang kompleks terhadap trauma masa kanak-kanak yang parah dan berulang, bukan sekadar memiliki “banyak kepribadian.” Tulisan ini mengoreksi terminologi, menguraikan kriteria diagnostik resmi, dan menjelaskan secara rinci peran trauma dalam pembentukan gangguan. Pembahasan juga mencakup dinamika internal yang rumit antara “host” dan “alters,” membedakan DID dari kondisi lain yang sering disalahartikan seperti skizofrenia dan gangguan bipolar, serta membantah representasi yang tidak akurat di film. Pada akhirnya, tulisan ini menegaskan bahwa DID adalah diagnosis yang valid, dapat dikelola, dan membutuhkan pendekatan terapi yang berbasis trauma. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman dan mendorong empati terhadap individu yang hidup dengan kondisi ini.
Masyarakat umum sering kali menggunakan istilah “kepribadian ganda” untuk menggambarkan kondisi psikologis yang kompleks. Istilah ini, meskipun familier, cenderung menyesatkan dan tidak mencerminkan pemahaman klinis yang akurat. Dalam komunitas medis dan penelitian, kondisi ini secara tepat dikenal sebagai Dissociative Identity Disorder (DID), yang sebelumnya dikenal sebagai Multiple Personality Disorder (MPD). Istilah “disosiatif” mengacu pada pemisahan atau pemutusan, yang merupakan inti dari gangguan ini. Ini melibatkan hilangnya hubungan antara pikiran, ingatan, perasaan, tindakan, dan identitas diri. Tulisan ini akan secara konsisten menggunakan istilah DID untuk memastikan akurasi dan konsistensi, sekaligus bertindak sebagai panduan untuk memisahkan fakta klinis dari fiksi populer yang telah lama mengaburkan pemahaman publik.
Definisi Klinis dan Sejarah DID: Memahami Mekanisme Survival yang Terfragmentasi
Definisi Klinis dan Inti Gangguan
Dissociative Identity Disorder (DID) adalah kondisi kesehatan mental yang ditandai dengan kehadiran dua atau lebih identitas atau “personality states” yang terpisah. Masing-masing identitas, yang sering disebut sebagai “alters” atau alter ego, dapat memiliki perilaku, ingatan, pola pikir, dan ekspresi yang berbeda. Perbedaan ini bisa sangat mencolok, bahkan mencakup perbedaan etnis dan cara berinteraksi dengan lingkungan. Pergeseran identitas ini dapat terjadi secara tiba-tiba dan memengaruhi persepsi, kesadaran, dan kendali perilaku individu. Akibatnya, individu sering kali mengalami amnesia atau kesenjangan memori yang signifikan, yang bukan disebabkan oleh kelupaan biasa. Kondisi ini mengganggu kemampuan individu untuk berfungsi dalam situasi sosial, pekerjaan, atau sekolah.
Evolusi Terminologi: Dari Roh hingga Gangguan Trauma
Sejarah DID tidak dimulai dengan buku atau film modern, melainkan berakar pada dokumentasi kasus-kasus kuno yang disalahartikan. Gejala yang mirip dengan DID telah didokumentasikan selama berabad-abad, sering kali ditafsirkan sebagai kerasukan roh atau histeria. Sebagai contoh, kasus Jeanne Fery pada tahun 1584, yang mencatat pengusirannya dari roh jahat, menunjukkan gejala yang saat ini dikenali sebagai DID, termasuk memiliki beberapa identitas dan tindakan yang bervariasi dari membantu hingga merusak diri sendiri. Demikian pula, Louis Auguste Vivet, yang secara resmi didiagnosis dengan “kepribadian ganda” pada tahun 1882, menunjukkan pergeseran identitas yang jelas dengan amnesia terkait.
Diagnosis DID mengalami pergeseran signifikan pada abad ke-20. Pada tahun 1910, istilah “skizofrenia” diperkenalkan, dan popularitas diagnosis ini meningkat pesat. Diagnosis skizofrenia yang semakin sering digunakan sering kali menggantikan DID, bahkan untuk kasus yang sebenarnya lebih cocok dengan DID. Hal ini mencerminkan bagaimana pemahaman klinis dapat dipengaruhi oleh tren intelektual dan kultural yang berlaku. Kebangkitan minat terhadap DID terjadi pada tahun 1970-an setelah publikasi buku populer Sybil. Puncak perhatian ini menyebabkan peningkatan dramatis dalam jumlah kasus yang dilaporkan, dengan rata-rata jumlah alters yang ditemukan juga meningkat secara signifikan dari dua alters sebelum tahun 1944 menjadi rata-rata 15.7 alters pada tahun 1997.
Pada tahun 1994, istilah Multiple Personality Disorder (MPD) diubah menjadi Dissociative Identity Disorder (DID). Perubahan ini sangat penting karena mencerminkan pemahaman yang lebih akurat bahwa kondisi ini bukan tentang memiliki “banyak kepribadian,” tetapi tentang “gangguan identitas” yang terpecah-pecah. Dengan kata lain, gangguan ini melibatkan fragmentasi satu identitas menjadi beberapa bagian yang terpisah, bukan penciptaan kepribadian yang sepenuhnya baru. Sejarah ini menunjukkan bahwa DID, meskipun kontroversial, adalah fenomena yang valid dan telah ada selama berabad-abad, tetapi pemahaman klinis dan stigma publik sering kali terdistorsi oleh tren budaya dan kurangnya pemahaman yang tepat tentang trauma.
Gejala, Tanda, dan Kriteria Diagnostik: Spektrum Pengalaman Disosiatif
Kriteria Diagnostik Utama Berdasarkan DSM-5
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi Kelima (DSM-5), diagnosis DID memerlukan pemenuhan kriteria tertentu. Kriteria ini memisahkan DID dari kondisi lain yang memiliki gejala serupa.
- Gangguan Identitas yang Jelas: Seseorang harus memiliki dua atau lebih identitas atau kepribadian yang berbeda. Masing-masing identitas ini memiliki pola yang berbeda dalam mempersepsikan, berhubungan dengan, dan memikirkan lingkungan dan diri sendiri. Gangguan identitas ini melibatkan diskontinuitas substansial dalam rasa diri dan rasa agensi, yang mungkin diamati oleh orang lain atau dilaporkan oleh individu itu sendiri.
- Amnesia yang Meluas: Individu harus mengalami amnesia berulang atau kesenjangan dalam ingatan yang tidak dapat dijelaskan oleh kelupaan biasa. Ini termasuk kesenjangan dalam ingatan tentang peristiwa sehari-hari, informasi pribadi yang penting, dan/atau peristiwa traumatis.
- Gangguan Fungsi: Gejala-gejala tersebut harus menyebabkan penderitaan yang signifikan atau mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, atau bidang penting lainnya dalam kehidupan.
- Tidak Terkait dengan Kondisi Lain: Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis zat (misalnya, alkohol, obat-obatan) atau kondisi medis lain (misalnya, kejang parsial kompleks), atau praktik budaya/keagamaan yang diterima secara luas.
Spektrum Gejala dan Pengalaman Internal
Manifestasi DID dapat sangat bervariasi. Ada dua bentuk utama yang diakui secara klinis: bentuk possession dan non-possession. Dalam bentuk possession, identitas-identitas baru muncul seolah-olah entitas dari luar, seperti roh atau makhluk supernatural, telah mengambil alih tubuh. Pergantian identitas ini seringkali terlihat jelas oleh orang lain, dan penderitanya merasa tidak memiliki kendali. Sebaliknya, dalam bentuk  non-possession, identitas-identitas baru lebih tersembunyi. Individu mungkin mengalami perubahan tiba-tiba dalam identifikasi diri, seperti perasaan sedang menyaksikan diri mereka sendiri dari luar (out-of-body experience) atau tidak mengendalikan emosi, ucapan, dan perilaku. Pengalaman internal ini mencakup depersonalisasi, perasaan terlepas dari diri sendiri atau tubuh, dan derealisisasi, perasaan bahwa dunia di sekitar tidak nyata atau kabur.
Selain kriteria diagnostik inti, individu dengan DID sering mengalami gejala penyerta lainnya, termasuk kecemasan, depresi, delusi, melukai diri sendiri, penyalahgunaan zat, dan pikiran untuk bunuh diri. Amnesia yang meluas (lost time) dan kebingungan identitas (identity confusion) adalah pengalaman umum yang mengganggu fungsi sehari-hari.
Pemahaman klinis mengenai spektrum gejala ini sangat penting. Mitos yang dipopulerkan oleh media, yang sering kali hanya menampilkan bentuk possession yang paling dramatis, telah menciptakan kesenjangan antara realitas dan persepsi publik. Banyak individu dengan DID mengalami gejala yang lebih tersembunyi (covert), yang tidak dikenali oleh orang tua, guru, atau bahkan penyedia layanan kesehatan. Akibatnya, diagnosis sering tertunda hingga masa dewasa, yang memperburuk kondisi dan menghambat pengobatan. Kesalahan dalam mengenali gejala ini, seperti yang sering terjadi, dapat disamakan dengan masalah perilaku atau pembelajaran lain, seperti ADHD, yang selanjutnya memperumit diagnosis.
Tabel 1: Ringkasan Kriteria Diagnostik DID (DSM-5)
Kriteria Diagnostik (DSM-5) | Deskripsi Rinci |
A. Gangguan Identitas | Kehadiran dua atau lebih identitas atau kepribadian yang berbeda. Masing-masing memiliki pola yang berbeda dalam mempersepsikan, berhubungan dengan, dan berpikir tentang diri sendiri dan lingkungan. Ini disertai dengan diskontinuitas substansial dalam rasa diri dan rasa agensi. |
B. Amnesia Disosiatif | Kesenjangan dalam ingatan untuk peristiwa sehari-hari, informasi pribadi penting, dan/atau peristiwa traumatis, yang tidak konsisten dengan kelupaan biasa. Sering kali lost time dan tidak mengingat apa yang dilakukan atau dikatakan. |
C. Gangguan Fungsi | Gejala-gejala tersebut menyebabkan penderitaan yang signifikan atau secara signifikan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya dalam kehidupan. |
D. Tidak Terkait dengan Faktor Lain | Gangguan ini tidak dapat dijelaskan lebih baik oleh kondisi medis, efek zat, atau praktik budaya/keagamaan yang diterima secara luas. |
Peran Trauma Masa Kanak-kanak: Mekanisme Koping untuk Menghadapi Penderitaan yang Tak Tertahankan
Landasan Utama Teori Trauma
Secara konsisten, bukti ilmiah menunjukkan bahwa Dissociative Identity Disorder (DID) adalah respons psikologis terhadap trauma yang parah dan berulang yang terjadi pada masa kanak-kanak. Diperkirakan bahwa sekitar 90% hingga 99% individu yang didiagnosis dengan DID memiliki riwayat pelecehan fisik, seksual, atau emosional yang ekstrem dan berulang di masa kanak-kanak, seringkali sebelum usia 6 hingga 9 tahun. Jenis trauma ini, yang juga dapat mencakup kelalaian yang parah, kecelakaan, atau menyaksikan perang, membentuk landasan bagi perkembangan DID.
Model Pembentukan Gangguan
Disosiasi dapat dipahami sebagai mekanisme koping yang berfungsi untuk membantu anak bertahan dari pengalaman yang tidak tertahankan. Dalam situasi yang tidak dapat mereka hindari, anak-anak mungkin “melarikan diri” secara mental dengan memisahkan diri dari realitas mengerikan yang mereka hadapi. Ini memungkinkan mereka untuk mengisolasi kesadaran, ingatan, dan emosi yang menyakitkan ke dalam “kotak” tersembunyi di dalam pikiran. Proses ini, jika berulang, dapat menyebabkan pembentukan identitas yang terpisah yang menangani berbagai aspek dari trauma dan kehidupan sehari-hari.
Model yang dikemukakan oleh para ahli trauma, seperti Kluft, menjelaskan empat faktor penting yang harus ada agar DID terbentuk: (1) adanya kemampuan bawaan untuk berdisosiasi, (2) pengalaman traumatis yang luar biasa yang mendistorsi realitas, (3) penciptaan identitas-identitas baru (alters), dan (4) kurangnya dukungan eksternal yang stabil, yang memaksa anak untuk menenangkan diri sendiri.
Dari perspektif ini, DID dapat dipahami bukan sebagai penyakit genetik atau kerusakan otak, melainkan sebagai “solusi kreatif”—sebuah strategi bertahan hidup yang sangat ekstrem—yang dikembangkan oleh anak-anak yang terjebak dalam situasi yang tidak dapat diselamatkan. Trauma tidak “merusak” otak, tetapi memicu respons adaptif yang paling ekstrem untuk melindungi inti diri. Meskipun mekanisme ini berhasil untuk bertahan hidup di masa lalu, ia menjadi disfungsional di masa dewasa, menyebabkan kekacauan, amnesia, dan penderitaan yang signifikan. Memahami DID sebagai adaptasi yang terdistorsi, bukan sekadar kelainan, adalah langkah penting menuju pendekatan yang lebih empatik dan pengobatan yang efektif.
Kehidupan Sehari-hari dengan DID: Memahami Dinamika “Sistem”
Dampak pada Fungsi Sosial dan Pekerjaan
Hidup dengan DID menghadirkan tantangan signifikan yang memengaruhi setiap aspek kehidupan individu. Pergantian identitas yang tiba-tiba (switching) dan kesenjangan memori (amnesia) dapat mengganggu hubungan interpersonal, kinerja pekerjaan, dan pendidikan. Individu mungkin mendapati diri mereka berada di lokasi yang tidak mereka ingat bagaimana mereka sampai di sana, atau memiliki barang-barang yang tidak dapat mereka jelaskan. Kurangnya pemahaman dari lingkungan sekitar sering kali memperburuk dampak ini, menyebabkan isolasi dan kesulitan yang lebih besar. Penelitian telah menunjukkan bahwa DID memiliki dampak signifikan pada pendidikan, hubungan keluarga, dan lingkungan sosial, seringkali diperparah oleh kurangnya dukungan.
Anatomi Internal: “Sistem” yang Terfragmentasi
Fenomena DID paling baik dijelaskan melalui konsep “sistem,” yang terdiri dari identitas-identitas yang terfragmentasi. Secara klinis, identitas yang paling sering mengendalikan kehidupan sehari-hari disebut “host”. Identitas lain disebut “alters”. Penting untuk dipahami bahwa host itu sendiri adalah sebuah alter. Sistem ini terdiri dari berbagai  alters yang sering kali mengambil peran atau fungsi tertentu untuk membantu individu bertahan hidup.
Berbagai peran alters ini, meskipun berbeda-beda pada setiap individu, mencakup beberapa arketipe umum :
- Pelindung (Protector): Alters yang tugasnya melindungi sistem dari ancaman yang dirasakan, baik dari luar maupun dari dalam.
- Penganiaya (Persecutor): Alters ini sering disalahartikan sebagai “jahat” dalam media, padahal mereka sebenarnya menyalurkan kemarahan ke dalam diri sendiri, seringkali melalui perilaku melukai diri sendiri (self-harm). Perilaku ini, meskipun destruktif, adalah cara mereka untuk mencegah sistem dari pelecehan lebih lanjut, atau sebagai hukuman terhadap  host yang dianggap “lemah” dan “membiarkan” trauma terjadi.
- Anak-anak (Child Alters): Sering kali alters ini menyimpan ingatan traumatis yang dialami pada usia tertentu, atau mereka muncul sebagai kompensasi untuk masa kecil yang hilang.
- Caretaker: Alters yang bertanggung jawab untuk merawat dan menenangkan alters lain, terutama alters anak-anak yang rentan.
- Gatekeeper: Alter ini memiliki akses ke berbagai ingatan traumatis dan mengontrol alters mana yang muncul pada situasi tertentu.
Memahami peran internal ini mengubah narasi dari sekadar “banyak kepribadian” menjadi pemahaman tentang bagaimana jiwa seseorang terfragmentasi menjadi unit-unit fungsional untuk menghadapi trauma. Masing-masing unit memiliki tugasnya sendiri, meskipun beberapa tugas tampak kontra-intuitif atau merusak dari luar.
Tabel 2: Peran dan Fungsi Berbagai Alters
Nama Alter | Peran dan Fungsi dalam Sistem |
Host | Mengendalikan tubuh paling sering dan mengelola aktivitas sehari-hari. Sering tidak menyadari keberadaan alters lain atau memiliki ingatan traumatis. |
Protector | Bertanggung jawab untuk menjaga keamanan sistem. Sering kali mengelola emosi seperti kemarahan dan ketakutan. |
Persecutor | Menyalurkan kemarahan ke dalam melalui perilaku merusak diri sendiri. Tujuan yang salah arah adalah untuk melindungi sistem dari trauma di masa depan dengan menghukum host yang dianggap lemah. |
Child Alters | Menyimpan ingatan atau emosi traumatis dari masa kanak-kanak. Dapat juga berfungsi sebagai kompensasi untuk masa kecil yang hilang. |
Caretaker | Merawat dan menenangkan alters lain, khususnya alters anak-anak. Sering kali dimodelkan dari figur pengasuh. |
Gatekeeper | Mengendalikan pergeseran antara alters dan memiliki akses ke ingatan traumatis yang disimpan oleh sistem. |
Kontroversi dan Miskonsepsi Umum: Mengapa DID Begitu Disalahpahami?
Kontroversi Ilmiah dan Kritis
Meskipun banyak bukti, DID tetap menjadi subjek perdebatan ilmiah. Kritik utama sering kali berpusat pada perbandingan antara model trauma (bahwa DID adalah respons terhadap trauma nyata) dan model sosiokognitif (bahwa DID adalah konstruksi sosial yang dipicu oleh sugesti terapis atau pengaruh media). Namun, penelitian yang lebih baru telah membantah poin-poin utama dari model sosiokognitif.
Banyak klaim yang salah tentang DID telah dibantah:
- DID bukanlah fenomena yang sangat langka. Prevalensi DID di populasi umum diperkirakan sekitar 1.5%. Angka ini sebanding dengan chronic major depressive disorder, bulimia nervosa, dan obsessive-compulsive disorder (OCD), serta lebih umum dari skizofrenia.
- DID bukanlah fenomena Barat semata. Kondisi ini telah didokumentasikan di berbagai budaya di seluruh dunia, meskipun manifestasinya dapat dipengaruhi oleh kepercayaan budaya.
- Mayoritas profesional percaya pada diagnosis DID. Sebuah survei pada tahun 1998 menemukan bahwa 79% psikolog klinis percaya bahwa DID adalah diagnosis yang valid.
Kontroversi seputar DID mencerminkan ketidaknyamanan kolektif untuk menghadapi realitas trauma masa kanak-kanak yang begitu mengerikan. Lebih mudah bagi masyarakat untuk percaya bahwa kondisi ini adalah produk fantasi, sugesti terapis, atau bahkan kejahatan, daripada mengakui bahwa trauma semacam itu benar-benar terjadi dan dapat menimbulkan konsekuensi psikologis yang parah.
DID versus Skizofrenia: Membedakan Fragmentasi Identitas dari Distorsi Realitas
Salah satu miskonsepsi paling umum adalah menyamakan DID dengan skizofrenia. Padahal, keduanya adalah kondisi yang sangat berbeda secara fundamental.
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan distorsi realitas, seperti halusinasi (melihat atau mendengar hal-hal yang tidak nyata) dan delusi (keyakinan yang tidak benar). Skizofrenia adalah tentang “pikiran yang terpecah,” yang mengacu pada pemisahan antara pikiran dan emosi, bukan pada memiliki “kepribadian ganda”.
Sebaliknya, DID adalah gangguan disosiatif yang ditandai dengan fragmentasi identitas dan amnesia. Meskipun keduanya dapat memiliki gejala yang tumpang tindih seperti halusinasi pendengaran, ada perbedaan mendalam. Pada DID, halusinasi adalah suara dari  alters yang berbicara di dalam pikiran, seringkali mengomentari diri sendiri atau berbicara satu sama lain. Pada skizofrenia, suara-suara ini dipersepsikan sebagai suara dari luar diri. Penyebabnya juga berbeda; skizofrenia terkait dengan kelainan fisik atau ketidakseimbangan kimia di otak, sementara DID adalah respons terhadap trauma masa kanak-kanak.
DID versus Gangguan Bipolar: Perbedaan Mendalam di Balik Pergeseran Mood
Gangguan bipolar, yang melibatkan pergeseran drastis antara episode depresi dan mania, sering kali disalahartikan sebagai DID karena keduanya menampilkan perubahan mood yang cepat. Namun, ada perbedaan mendasar:
- Penyebab Perubahan Mood: Pada gangguan bipolar, perubahan suasana hati disebabkan oleh siklus biologis yang mendasari kondisi tersebut. Pada DID, perubahan yang terlihat seperti pergeseran suasana hati sebenarnya adalah hasil dari pergantian alters.
- Ingatan: Perbedaan klinis yang paling signifikan adalah amnesia. Individu dengan DID mengalami amnesia dan lost time setelah pergantian, sementara pada gangguan bipolar, ingatan tidak terpengaruh oleh siklus mood.
- Pengobatan: Pengobatan utama untuk gangguan bipolar adalah obat penstabil suasana hati (mood stabilizers), sedangkan untuk DID, inti pengobatannya adalah psikoterapi.
Representasi yang Salah di Media
Film dan media populer secara luas telah menyebarkan miskonsepsi berbahaya tentang DID. Film-film seperti Split, American Psycho, dan Fight Club secara keliru menggambarkan individu dengan DID sebagai orang yang kejam, berbahaya, dan melakukan pembunuhan. Hal ini sangat tidak akurat; individu dengan DID tidak lebih berbahaya daripada populasi umum, dan justru mereka lebih mungkin menjadi korban kekerasan. Penggambaran ini bukan hanya tidak akurat, tetapi juga sangat merusak karena mengkriminalisasi para penyintas trauma dan memperkuat stigma.
Film-film ini juga sering mendramatisasi gejala, seperti perubahan fisik yang drastis, yang tidak realistis. Perubahan fisik paling ekstrem yang terjadi pada DID biasanya hanya perubahan optik dan suara. Selain itu, film sering kali gagal menghubungkan gangguan ini dengan trauma masa kanak-kanak, menciptakan narasi yang salah bahwa alters muncul sebagai respons terhadap kecemasan atau masalah sosial, seperti yang terlihat dalam Fight Club. Bahkan film yang didasarkan pada kisah nyata, seperti Sybil, terbukti lebih banyak fiksi daripada fakta, yang selanjutnya mengaburkan pemahaman publik.
Tabel 3: Perbandingan Klinis DID, Skizofrenia, dan Gangguan Bipolar
Karakteristik | Dissociative Identity Disorder (DID) | Skizofrenia | Gangguan Bipolar |
Gejala Inti | Fragmentasi identitas, kehadiran dua atau lebih alters, amnesia yang meluas. | Distorsi realitas, halusinasi, delusi, pemikiran dan bicara tidak terorganisir. | Pergeseran mood yang ekstrem antara episode mania/hipomania dan depresi. |
Persepsi Suara | Halusinasi pendengaran adalah suara internal dari alters. | Halusinasi pendengaran dipersepsikan sebagai suara dari luar diri. | Dapat mengalami halusinasi atau delusi selama episode parah, tetapi tidak menjadi ciri khas. |
Penyebab Utama | Trauma masa kanak-kanak yang parah dan berulang, seringkali pelecehan. | Ketidakseimbangan neurotransmitter dan ketidaknormalan struktur otak. | Faktor genetik, lingkungan, dan biokimia. |
Ingatan | Kesenjangan ingatan (amnesia) untuk peristiwa sehari-hari dan traumatis adalah ciri khas. | Ingatan buruk adalah gejala penyerta, tetapi tidak terkait dengan switching. | Ingatan tidak terpengaruh oleh perubahan suasana hati atau siklus episode. |
Pendekatan Pengobatan | Terutama psikoterapi berbasis trauma dengan tujuan integrasi identitas. | Terutama obat antipsikotik untuk mengelola psikosis, disertai psikoterapi. | Terutama obat penstabil mood, disertai psikoterapi. |
Terapi dan Prognosis: Jalur Menuju Pemulihan
Inti Pengobatan: Psikoterapi Berbasis Trauma
Pengobatan Dissociative Identity Disorder (DID) berpusat pada psikoterapi, yang sering kali merupakan proses jangka panjang yang memakan waktu bertahun-tahun. Tujuannya tidak hanya untuk mengelola gejala, tetapi juga untuk mengatasi akar penyebabnya. Tiga fase utama pengobatan adalah:
- Menstabilkan dan mengamankan individu.
- Mengidentifikasi dan memproses trauma masa lalu. Ini melibatkan kerja sama dengan alters untuk memulihkan dan memproses ingatan yang tertekan.
- Mengintegrasikan identitas menjadi satu kesatuan yang kohesif.
Berbagai pendekatan terapi digunakan, termasuk terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi perilaku dialektik (DBT). Hipnoterapi juga dapat direkomendasikan untuk membantu individu memulihkan ingatan yang tertekan. Pendekatan EMDR (Eye movement desensitisation and reprocessing) juga dapat dimodifikasi untuk DID, di mana terapi berfokus pada ingatan tertentu untuk periode waktu yang lebih singkat guna mencegah munculnya terlalu banyak ingatan traumatis secara tiba-tiba (flooding).
Peran Pengobatan (Farmakoterapi)
Meskipun psikoterapi adalah inti dari pengobatan, obat-obatan dapat digunakan untuk mengelola gejala penyerta. Misalnya, obat antidepresan dapat diresepkan untuk mengatasi depresi dan kecemasan, atau obat penenang untuk meningkatkan kualitas tidur. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak ada obat yang secara langsung menyembuhkan DID; obat hanya membantu mengelola gejala yang menyertai.
Perjalanan Jangka Panjang dan Prospek Pemulihan
DID tidak memiliki “penyembuhan” dalam arti kata tradisional, dan gejalanya seringkali memerlukan manajemen seumur hidup. Namun, ini tidak berarti tidak ada harapan. Dengan pengobatan yang tepat, gejala dapat membaik secara signifikan, memungkinkan individu untuk berfungsi lebih baik dan merasa lebih memegang kendali atas diri mereka yang sejati. Proses pemulihan yang sukses tidak selalu berarti melenyapkan semua alters, tetapi lebih kepada mengintegrasikan fragmen-fragmen identitas tersebut sehingga mereka dapat berfungsi sebagai satu kesatuan yang kohesif. Ini adalah narasi yang lebih akurat dan memberdayakan daripada gagasan “penyembuhan” instan seperti yang sering digambarkan dalam film. Membangun sistem dukungan yang kuat—melalui keluarga, teman, atau kelompok dukungan—juga merupakan komponen penting dalam proses pemulihan.
Kesimpulan
Dissociative Identity Disorder (DID) adalah kondisi kesehatan mental yang valid dan kompleks, yang sering kali disalahpahami dan distigmatisasi. Jauh dari citra sensasionalnya di media sebagai “kepribadian ganda,” DID adalah respons yang mendalam dan terfragmentasi terhadap trauma masa kanak-kanak yang parah. Tulisan ini telah menguraikan definisi klinisnya, perbedaannya dari kondisi lain, dan membantah miskonsepsi berbahaya yang telah mengaburkan realitas penderitaannya.
Pemahaman yang akurat terhadap DID sebagai strategi bertahan hidup—walaupun disfungsional di masa dewasa—bukan hanya sebuah latihan akademis, melainkan sebuah kebutuhan etis. Mitos yang merajalela bahwa DID adalah fenomena langka atau iatrogenik, serta penggambaran yang keliru bahwa penderitanya berbahaya, menstigmatisasi para penyintas dan menghalangi mereka untuk mencari bantuan. Tulisan ini berfungsi sebagai panduan untuk memisahkan fakta dari fiksi, mempromosikan pemahaman klinis, dan mendorong lingkungan yang lebih mendukung dan empatik bagi mereka yang hidup dengan kondisi ini.