Loading Now

Definisi Bahagia dari Berbagai Lensa Negara dan Budaya

Kebahagiaan, melampaui metrik standar untuk menggali definisi filosofis dan budaya di berbagai negara. Dengan mensintesis data kuantitatif dari publikasi terkemuka seperti World Happiness Report (WHR) dengan analisis kualitatif dari filosofi budaya dan tulisan sosial, tulisan ini bertujuan memberikan gambaran komprehensif tentang apa arti kebahagiaan di seluruh dunia. Temuan menunjukkan bahwa kebahagiaan adalah konsep yang cair, tidak hanya diprediksi oleh kekayaan material, tetapi juga oleh faktor non-materi seperti dukungan sosial, kepercayaan, dan tujuan hidup. Tulisan ini mengungkap paradoks di mana negara-negara Nordik yang kaya mendefinisikan kebahagiaan melalui kesederhanaan, sementara negara-negara Asia yang makmur bergumul dengan tekanan sosial, dan negara-negara berkembang menunjukkan ketahanan yang unik. Pada akhirnya, tulisan ini berpendapat bahwa pemahaman akan perspektif budaya yang berbeda-beda adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan global yang sejati.

Metrik dan Peringkat: Gambaran Kebahagiaan Secara Global

Metodologi dan Fondasi Ilmiah

Untuk memahami kebahagiaan secara global, penting untuk memiliki kerangka kerja yang solid. Kerangka kerja terkemuka saat ini adalah World Happiness Report (WHR), sebuah publikasi tahunan yang dirilis oleh sekelompok lembaga terkemuka, termasuk Gallup, Oxford Wellbeing Research Centre, dan UN Sustainable Development Solutions Network. Laporan ini, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2012, dirilis setiap tahun untuk menandai Hari Kebahagiaan Internasional PBB.

Metodologi utama WHR didasarkan pada data dari Gallup World Poll, sebuah survei global yang mengukur subjective well-being atau kesejahteraan subjektif. Metrik utamanya adalah “Cantril Ladder,” sebuah pertanyaan sederhana namun mendalam: responden diminta membayangkan sebuah tangga dengan 10 anak tangga, di mana anak tangga teratas (10) mewakili kehidupan terbaik yang mungkin bagi mereka, dan anak tangga terbawah (0) mewakili kehidupan terburuk. Mereka kemudian diminta untuk menunjukkan di anak tangga mana mereka merasa berada saat ini.

Meskipun pertanyaan ini subjektif, para ilmuwan kesejahteraan yang menganalisis data menggunakan enam variabel kunci untuk menjelaskan variasi skor antar negara. Variabel-variabel ini mencakup metrik ekonomi dan non-ekonomi: PDB per kapita, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan untuk membuat pilihan hidup, kedermawanan, dan persepsi korupsi. Dengan menggabungkan data ini, WHR tidak hanya membuat peringkat sederhana, tetapi juga berfungsi sebagai alat penting untuk panduan kebijakan, yang menunjukkan bahwa kemajuan sebuah bangsa harus diukur melampaui metrik ekonomi tradisional seperti PDB.

Tren dan Peringkat Terkini (WHR 2024)

Laporan WHR 2024 menyajikan beberapa temuan menarik yang menegaskan tren yang sudah ada sambil memperkenalkan wawasan baru. Untuk tahun ketujuh berturut-turut, Finlandia menduduki puncak daftar sebagai negara paling bahagia di dunia, dengan skor 7.741 dari 10. Dominasi Finlandia, dan negara-negara Nordik lainnya seperti Denmark (peringkat ke-2), Islandia (ke-3), Swedia (ke-4), dan Norwegia (ke-7), tidak dapat dilepaskan dari tingginya nilai-nilai dalam faktor-faktor utama yang diukur oleh laporan, terutama dukungan komunal yang kuat dan kepercayaan sosial yang tinggi di kalangan warganya.

Di luar daftar teratas, tulisan ini mencatat perubahan peringkat yang signifikan. Serbia dan Bulgaria telah menunjukkan kenaikan paling pesat dalam skor evaluasi kehidupan rata-rata mereka sejak tahun 2013, dengan peningkatan peringkat masing-masing 69 dan 63 tempat dalam laporan WHR 2024 dibandingkan dengan WHR 2013. Ini menunjukkan bahwa perbaikan nyata dalam kondisi hidup dan persepsi publik dapat menghasilkan perubahan yang substansial dalam kesejahteraan nasional.

Untuk pertama kalinya, laporan tahun ini juga menyajikan peringkat terpisah berdasarkan kelompok usia, mengungkap variasi yang mencolok dari peringkat keseluruhan. Lithuania memimpin daftar untuk anak-anak dan kaum muda di bawah 30 tahun, sementara Denmark adalah negara paling bahagia di dunia untuk mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Secara global, mereka yang lahir sebelum tahun 1965—yang dikenal sebagai Boomers—cenderung lebih bahagia daripada mereka yang lahir setelah tahun 1980—Millennials. Yang menarik, di kalangan Millennials, evaluasi hidup turun seiring bertambahnya usia, sementara di kalangan Boomers, kepuasan hidup meningkat.

Tabel 1: Peringkat dan Indikator Utama Kebahagiaan Dunia (WHR 2024)

Peringkat Negara Skor Kebahagiaan (2024) Dukungan Sosial Kebebasan Kedermawanan Persepsi Korupsi
1 Finlandia 7.741 Sangat Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Rendah
2 Denmark 7.583 Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Rendah
3 Islandia 7.525 Sangat Tinggi Tinggi Tinggi Rendah
4 Swedia 7.344 Tinggi Tinggi Tinggi Rendah
5 Israel 7.341 Tinggi Tinggi Tinggi Sedang
6 Belanda 7.319 Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Rendah
7 Norwegia 7.302 Tinggi Tinggi Tinggi Rendah
37 Serbia N/A Sedang Sedang Sedang Sedang
81 Bulgaria N/A Sedang Sedang Sedang Sedang
105 Nigeria N/A Rendah Rendah Rendah Sangat Tinggi

Catatan: Data indikator kualitatif didasarkan pada deskripsi yang ditemukan dalam sumber penelitian dan bukan nilai numerik pasti.

Wawasan Mendalam

Variasi kebahagiaan yang signifikan antar kelompok usia di berbagai negara menyoroti bahwa faktor-faktor pendorong kebahagiaan tidak statis sepanjang hidup. Perubahan nilai-nilai sosial, tekanan ekonomi, dan ketersediaan dukungan sosial memengaruhi generasi muda dan tua secara berbeda. Data WHR 2024 menunjukkan adanya pola di mana kaum muda di negara-negara Barat tertentu, seperti Swedia, jauh lebih tidak bahagia daripada kaum muda di Lithuania dan bahkan generasi yang lebih tua di negara mereka sendiri. Fenomena ini mengisyaratkan adanya isu-isu spesifik generasi, seperti tekanan sosial dan ekonomi, yang memengaruhi kesejahteraan mental mereka.

Laporan WHR adalah lebih dari sekadar daftar peringkat; laporan ini merupakan alat penting untuk panduan kebijakan. Fokusnya pada variabel non-ekonomi seperti kedermawanan, dukungan sosial, dan kebebasan menunjukkan adanya pergeseran global dari sekadar mengukur PDB. Hal ini mengimplikasikan bahwa negara yang sukses di masa depan adalah negara yang tidak hanya menghasilkan kekayaan, tetapi juga membina modal sosial dan kesejahteraan psikologis. Laporan WHR 2025 yang akan datang, dengan fokus pada “caring and sharing,” semakin memperkuat pandangan bahwa investasi pada hubungan antarmanusia dan kepercayaan adalah hal yang paling penting untuk kesejahteraan kolektif.

Definisi Kebahagiaan dari Lensa Budaya dan Filosofis

Kebahagiaan di Negara Nordik: Filosofi Keseimbangan dan Kenyamanan

Mengapa negara-negara Nordik begitu konsisten menduduki puncak daftar kebahagiaan? Jawaban tidak hanya terletak pada metrik ekonomi, tetapi pada filosofi budaya yang tertanam kuat dalam masyarakat mereka.

Hygge (Denmark): Seni Kenyamanan dan Kebersamaan Hygge adalah konsep Denmark yang berpusat pada seni menciptakan rasa kenyamanan, kehangatan, dan keintiman dalam kehidupan sehari-hari. Konsep ini adalah tentang kebahagiaan yang ditemukan dalam “saat ini” dan dalam interaksi sosial yang bermakna, sebuah kontras dari budaya yang berfokus pada pencapaian dan konsumerisme. Praktik-praktik Hygge sangat konkret: menyalakan lilin, menikmati secangkir teh panas, dan menghabiskan waktu berkualitas dengan orang-orang terkasih dalam suasana yang nyaman. Hygge mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam hal-hal kecil dan sederhana, sebuah prinsip yang membantu mengurangi stres dan meningkatkan hubungan sosial.

Lagom (Swedia): Keseimbangan “Pas” yang Berkelanjutan Sejalan dengan Hygge, Swedia memiliki filosofi Lagom, yang secara kasar diterjemahkan sebagai “tidak terlalu sedikit, tidak terlalu banyak—hanya pas”. Ini adalah prinsip keseimbangan yang berlaku untuk semua aspek kehidupan, dari konsumsi hingga pekerjaan. Praktik-praktik Lagom mencakup hidup minimalis dengan memangkas barang yang tidak perlu, memprioritaskan keseimbangan kerja-hidup, dan meluangkan waktu untuk jeda (fika paus) di tengah kesibukan. Lagom juga mencerminkan gaya hidup yang berkelanjutan, dengan fokus pada daur ulang dan penggunaan sumber daya yang efisien.

Filosofi Hygge dan Lagom secara intrinsik mendorong interaksi sosial yang kuat, kepercayaan, dan gaya hidup yang berkelanjutan. Kebijakan pemerintah Nordik yang menawarkan jaring pengaman sosial yang kuat (misalnya, layanan kesehatan universal dan pendidikan gratis di Norwegia) dapat dilihat sebagai manifestasi dari nilai-nilai komunal ini. Kesejahteraan tinggi di negara-negara ini bukan sekadar hasil dari kekayaan ekonomi; sebaliknya, kekayaan dan kebijakan mereka digunakan untuk mendukung filosofi kebahagiaan kolektif, menciptakan siklus positif antara budaya, kebijakan, dan kesejahteraan.

Kebahagiaan di Asia: Antara Tujuan Hidup dan Tekanan Sosial

Definisi kebahagiaan di Asia sering kali berpusat pada tujuan hidup dan harmoni, tetapi juga harus berhadapan dengan tekanan sosial yang unik.

Ikigai (Jepang): Menemukan Alasan untuk Bangun Pagi Ikigai adalah filosofi Jepang yang berpusat pada penemuan makna dan tujuan hidup. Ini adalah konsep kebahagiaan yang mendalam dan relasional, terikat pada keselarasan dan kesederhanaan. Intinya adalah memahami “alasan keberadaan diri” dan apa yang membuat seseorang bersemangat. Konsep ini terdiri dari empat elemen yang saling melengkapi:  passion (apa yang disukai), mission (apa yang dibutuhkan dunia), vocation (apa yang bisa menghasilkan uang), dan profession (apa yang Anda kuasai). Dengan mempraktikkan pilar-pilar  Ikigai, seperti memulai dari hal-hal kecil, menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana, dan membiasakan bersyukur, seseorang dapat menemukan kepuasan yang mendalam.

Paradoks di Korea Selatan: Dari Happy Kiyowo Menuju Kecemasan Korea Selatan menyajikan paradoks yang menarik: meskipun PDB dan harapan hidup tinggi, negara ini hanya berada di peringkat 59 dalam WHR. Salah satu alasan utama adalah tekanan sosial dan budaya yang luar biasa. Budaya Ppalli Ppalli (“cepat-cepat”) yang menekankan kecepatan dan efisiensi menciptakan kecemasan konstan dan perasaan seolah-olah seseorang “kehabisan waktu”. Ini diperparah oleh budaya noonchi (kemampuan mengukur suasana hati orang lain) yang membuat individu takut untuk menonjol atau menjadi berbeda.

Menariknya, di tengah tekanan ini, budaya pop Korea (K-pop, K-drama) sangat menonjolkan estetika yang imut dan menyenangkan, sebuah konsep yang dikenal sebagai “Happy Kiyowo”. Konsep ini menggabungkan “bahagia” dan “imut/lucu,” dan berfokus pada menemukan kegembiraan dalam hal-hal kecil dan menggemaskan. Namun, ada kemungkinan bahwa konsep Kiyowo ini, alih-alih menjadi definisi kebahagiaan yang mendalam, berfungsi sebagai mekanisme koping atau pelarian psikologis dari tekanan sosial yang luar biasa. Ini adalah gejala dari masalah, bukan solusi, yang memungkinkan individu untuk menemukan kebahagiaan yang kecil dan sementara di tengah tekanan yang konstan.

Kebahagiaan di Afrika: Spirit Komunitas dan Ketahanan

Di Afrika, kebahagiaan tidak diukur secara individualistis, tetapi secara komunal.

Ubuntu: Aku Ada Karena Kita Ada Filosofi Ubuntu dari Afrika Selatan adalah antitesis dari individualisme Barat. Prinsip intinya adalah “seseorang adalah seseorang melalui orang lain” (umuntu ngumuntu ngabantu). Ini berarti bahwa kebahagiaan, kesehatan, dan kekayaan tidak bersifat pribadi, tetapi berakar pada kesehatan komunitas.  Ubuntu mengajarkan bahwa kita hanya dapat menjadi manusia sepenuhnya dengan mengakui kemanusiaan orang lain dan membina hubungan yang saling menghormati. Dalam sistem pemikiran ini, kekayaan sejati berada dalam kesehatan dan kebahagiaan komunitas, bukan di rekening bank individu.

“Suffering and Smiling” (Nigeria): Sebuah Pedang Bermata Dua Nigeria secara konsisten mendapat peringkat rendah pada WHR, sebagian besar karena masalah ekonomi, politik, dan sosial. Namun, ada konsep yang dikenal sebagai “Suffering and Smiling” yang menggambarkan ketahanan orang Nigeria dalam menghadapi kesulitan seperti kemiskinan, korupsi, dan ketidakamanan. Mentalitas ini dapat dilihat sebagai strategi koping yang menunjukkan kekuatan dan ketahanan, di mana individu memilih untuk tersenyum di tengah penderitaan yang tak berkesudahan.

Namun, mentalitas ini juga memiliki sisi paradoks. Sebagian pengamat melihatnya sebagai bentuk kepasrahan yang mencegah rakyat untuk menuntut perubahan dan perbaikan dari pemerintah yang korup. Ini adalah contoh di mana metrik kebahagiaan universal mungkin tidak sepenuhnya menangkap nuansa budaya. WHR mengukur kebahagiaan dari sudut pandang “kesejahteraan subjektif” yang berorientasi pada pencapaian ideal. Namun, bagi sebagian budaya, kebahagiaan mungkin lebih tentang ketahanan dan kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi kenyataan yang keras, sebuah dimensi yang sulit diukur dengan metrik standar.

Kebahagiaan di Amerika Latin: Optimisme dalam Keseharian

Di Amerika Latin, kebahagiaan sering kali dikaitkan dengan optimisme dan budaya yang hangat.

Pura Vida (Kosta Rika): Hidup Murni, Sederhana, dan Penuh Syukur Pura Vida adalah slogan nasional Kosta Rika yang juga merupakan cara hidup. Frasa ini, yang berarti “hidup murni” atau “hidup sederhana,” digunakan untuk mengekspresikan syukur, kepuasan, dan optimisme dalam kehidupan sehari-hari. Dari mengucapkan “terima kasih” hingga “hidup itu baik,”  Pura Vida mencerminkan pandangan hidup yang selaras dengan alam dan penuh dengan kepuasan sederhana.

Brazil: Harapan di Tengah Tantangan Brazil menyajikan kontradiksi dalam persepsi kebahagiaan, di mana optimisme dan harapan akan perubahan ekonomi dan politik ada di tengah realitas yang keras seperti korupsi dan kehidupan yang sulit di favela. Bagi sebagian orang, kebahagiaan tidak hanya tentang kondisi saat ini, tetapi juga tentang keyakinan bahwa perubahan positif mungkin terjadi.

Penelitian menunjukkan bahwa negara-negara di Amerika Latin, seperti Kosta Rika dan Brazil, cenderung memiliki kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Eropa Tengah atau Timur yang memiliki tingkat pendapatan sebanding. Hal ini menunjukkan bahwa faktor budaya dan sejarah—seperti penekanan pada hubungan sosial, optimisme, dan kekeluargaan—dapat menjadi prediktor kebahagiaan yang lebih kuat daripada metrik ekonomi semata.

Tabel 2: Perbandingan Filosofi Kebahagiaan Lintas-Budaya

Filosofi Negara Definisi Kunci Contoh Praktik Implikasi/Wawasan
Hygge Denmark Seni kenyamanan, kehangatan, dan kebersamaan. Menyalakan lilin, menikmati teh, waktu berkualitas bersama keluarga. Kebahagiaan ditemukan dalam momen sederhana dan interaksi sosial yang intim, bukan materialisme.
Lagom Swedia Keseimbangan “pas”; tidak terlalu sedikit, tidak terlalu banyak. Hidup minimalis, keseimbangan kerja-hidup, jeda kopi (fika). Kesejahteraan dicapai melalui moderasi dan kesadaran akan sumber daya, yang juga mendukung keberlanjutan.
Ikigai Jepang Menemukan tujuan dan makna hidup. Menemukan passion, mission, vocation, dan profession yang saling melengkapi. Kebahagiaan mendalam terkait dengan kontribusi dan resonansi diri, melampaui kepuasan sesaat.
Happy Kiyowo Korea Selatan Kebahagiaan yang imut dan lucu. Menonton K-pop/K-drama, mengagumi karakter menggemaskan. Berfungsi sebagai mekanisme koping atau pelarian dari tekanan sosial dan kompetisi yang ekstrem.
Ubuntu Afrika Selatan Aku ada karena kita ada; komunitas adalah segalanya. Saling berbagi, mengutamakan hubungan, dan saling mendukung. Kebahagiaan bersifat komunal dan terjalin dengan kesehatan serta kesejahteraan seluruh masyarakat.
Pura Vida Kosta Rika Hidup murni, sederhana, dan penuh syukur. Mengucapkan frasa Pura Vida dalam berbagai konteks untuk menunjukkan syukur. Optimisme dan pandangan hidup yang sederhana menjadi landasan kebahagiaan, terlepas dari tantangan.

Analisis Lintas-Budaya: Wawasan dan Implikasi

Kesejahteraan Subjektif vs. Kesejahteraan Ekonomi

Hubungan antara kekayaan dan kebahagiaan adalah kompleks. Penelitian menunjukkan bahwa negara-negara yang lebih kaya cenderung memiliki tingkat kebahagiaan rata-rata yang lebih tinggi. Namun, ada batasan untuk korelasi ini, seperti yang diilustrasikan oleh “Paradoks Easterlin,” yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan setelah titik tertentu tidak selalu meningkatkan kebahagiaan rata-rata.

Analisis lintas-budaya menunjukkan bahwa faktor non-materi memiliki peran sentral dalam kebahagiaan. Negara-negara Nordik, misalnya, menempati peringkat teratas bukan hanya karena PDB tinggi, tetapi karena adanya dukungan sosial yang kuat, kebebasan individu yang luas, dan tingkat korupsi yang rendah. Demikian pula, negara-negara di Amerika Latin sering kali melaporkan kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi daripada negara-negara dengan pendapatan sebanding di wilayah lain, menunjukkan pentingnya faktor budaya dan sejarah dalam membentuk persepsi kebahagiaan.

Peran Sentral Relasi Sosial dan Kepercayaan

Terlepas dari perbedaan budaya yang mendalam, ada satu kesamaan yang muncul: kebahagiaan sangat terikat pada kualitas hubungan antarmanusia dan kepercayaan sosial. Baik itu filosofi Hygge yang mengutamakan kebersamaan yang intim, Ubuntu yang menekankan pentingnya komunitas, atau data WHR yang mengidentifikasi dukungan sosial dan kedermawanan sebagai prediktor kunci , pesannya konsisten. Laporan WHR 2025 bahkan secara spesifik berfokus pada “caring and sharing,” memperkuat argumen bahwa investasi dalam hubungan antarmanusia adalah hal yang paling penting untuk kesejahteraan kolektif.

Implikasi Kebijakan: Merumuskan Kesejahteraan Nasional yang Holistik

Temuan dalam tulisan ini memberikan implikasi penting bagi para pembuat kebijakan. Sudah saatnya pemerintah menggeser fokus dari PDB semata ke Indeks Kebahagiaan Nasional atau Kesejahteraan Subjektif sebagai metrik pembangunan. Kebijakan harus dirancang tidak hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk memelihara modal sosial, mendukung keseimbangan kerja-hidup, dan menumbuhkan rasa komunitas. Negara-negara Nordik telah menunjukkan bahwa dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya mereka ke dalam kebijakan publik—misalnya melalui jaring pengaman sosial yang kuat—mereka dapat menciptakan masyarakat yang tidak hanya kaya secara ekonomi, tetapi juga sejahtera secara mental dan sosial.

Kesimpulan

Definisi kebahagiaan bukanlah konsep yang seragam; sebaliknya, itu adalah mosaik kaya yang dibentuk oleh budaya, sejarah, dan nilai-nilai yang unik. Tulisan ini menunjukkan bahwa meskipun data kuantitatif dari World Happiness Report memberikan gambaran global, pemahaman yang lebih dalam hanya dapat dicapai dengan menggali filosofi seperti Hygge, Lagom, Ikigai, dan Ubuntu.

Temuan-temuan kunci menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya ditemukan dalam kekayaan material, tetapi dalam kekayaan relasional. Kesejahteraan suatu bangsa pada akhirnya bergantung pada seberapa baik masyarakatnya dapat memelihara dukungan sosial, kepercayaan, dan tujuan hidup. Tulisan ini adalah ajakan untuk merenungkan kembali apa arti sebenarnya dari “kemajuan.” Pada akhirnya, pemahaman akan perspektif budaya yang berbeda-beda adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan global yang sejati, karena kebahagiaan sejati tidak hanya ditemukan dalam apa yang kita miliki, tetapi dalam siapa kita.