Loading Now

Mengenal Pariwisata dan Budaya Aceh

Aceh, yang mendapat julukan “Serambi Mekkah,” menempati posisi unik dalam lanskap sosial-budaya dan pariwisata Indonesia. Identitas budayanya yang mengakar kuat pada nilai-nilai Islam berpadu harmonis dengan kekayaan alam yang memukau dan warisan sejarah yang mendalam. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan analisis yang holistik dan terperinci mengenai lanskap pariwisata Aceh, mengidentifikasi peluang pasar yang potensial, mengevaluasi tantangan yang dihadapi, serta merumuskan rekomendasi strategis untuk pembangunan sektor pariwisata yang berkelanjutan.

Pendekatan laporan ini bersifat multidimensi, menyintesis data dari berbagai sumber, termasuk studi akademis, laporan industri, artikel berita, dan dokumen kebijakan. Dengan menggabungkan perspektif legal, ekonomi, sosial, dan budaya, analisis ini berupaya memberikan gambaran yang komprehensif, kredibel, dan bernuansa. Laporan ini ditujukan bagi para pembuat kebijakan, pelaku industri, investor, dan akademisi yang tertarik pada dinamika pembangunan di Aceh, baik di masa lalu, saat ini, maupun di masa depan.

Fondasi Pariwisata Aceh: Potensi dan Daya Tarik Unik

Keberagaman Daya Tarik: Dari Pesona Alam hingga Warisan Spiritual

Aceh memiliki potensi pariwisata yang sangat menjanjikan, didukung oleh keanekaragaman daya tarik yang dimilikinya. Daya tarik ini tidak terbatas pada satu aspek, melainkan mencakup perpaduan yang unik antara kekayaan alam, budaya yang khas, kuliner lokal, serta identitas Islam yang kental. Di samping keindahan pesisir dan pantai, Aceh juga menawarkan destinasi wisata alam di dataran tinggi. Salah satu contohnya adalah Air Terjun Bur Bulet di Kabupaten Aceh Tengah, yang terletak di ketinggian 1673 meter di atas permukaan laut. Keindahan pegunungan, air terjun, dan hutan di sekitarnya memberikan potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi objek wisata alam yang menarik.

Selain pesona alam, Aceh juga kaya akan warisan sejarah dan religi. Terdapat peninggalan dari masa pra-sejarah, klasik, Islam, kolonial, bahkan peninggalan pasca-bencana gempa dan tsunami. Destinasi wisata religi menjadi pilar utama pariwisata, yang tidak hanya menarik wisatawan Muslim tetapi juga menawarkan pengalaman introspektif yang mendalam bagi setiap pengunjung. Beberapa situs bersejarah dan religi yang patut dikunjungi antara lain:

  • Masjid Raya Baiturrahman: Masjid yang menjadi ikon kebanggaan masyarakat Aceh ini merupakan simbol keteguhan iman yang berdiri kokoh saat bencana tsunami 2004. Arsitekturnya yang bergaya Mughal India, dengan kubah hitam dan kolam besar, menjadikannya destinasi favorit, terutama bagi wisatawan dari Malaysia.
  • Kompleks Makam Sultan Iskandar Muda dan Makam Syiah Kuala: Kedua situs ini memiliki signifikansi historis yang besar. Kompleks makam Sultan Iskandar Muda menjadi tempat untuk mengenang kejayaan Kesultanan Aceh sebagai pusat peradaban Islam terbesar di masa lalu, sementara Makam Syiah Kuala adalah pusat ziarah bagi mereka yang ingin menelusuri jejak sejarah keilmuan Islam di Nusantara.
  • Masjid Tua Indrapuri: Masjid unik yang dibangun di atas bekas candi Hindu pada abad ke-17 ini menjadi bukti nyata proses Islamisasi yang damai di Aceh. Bangunan ini merepresentasikan toleransi dan transisi budaya yang harmonis.

Secara keseluruhan, kekayaan Aceh menunjukkan bahwa narasi pariwisata provinsi ini memiliki lapisan yang lebih dalam dari sekadar label “wisata halal” yang sering dikaitkan dengannya. Daya tarik sebenarnya terletak pada bagaimana spiritualitas, sejarah, dan keindahan alam berinteraksi membentuk pengalaman yang kohesif. Dengan memadukan berbagai elemen ini, Aceh dapat memposisikan dirinya sebagai destinasi di mana wisatawan tidak hanya datang untuk mematuhi etika Islami, tetapi juga untuk mengalami kekayaan budaya dan sejarah yang mendalam, di mana unsur-unsur ini terintegrasi secara alami dalam setiap aspek perjalanan.

Kebangkitan Pasca-Bencana: Dari Trauma menjadi Daya Tarik Wisata

Bencana tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 merupakan peristiwa traumatik yang menyebabkan kehancuran fisik dan sosial yang masif. Lebih dari 160.000 jiwa melayang, dan komunitas lokal mengalami disintegrasi, trauma psikososial, serta perubahan mendasar dalam struktur keluarga dan interaksi sosial. Sektor pariwisata di Banda Aceh dilaporkan lenyap total setelah bencana.

Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata di Banda Aceh pasca-tsunami justru menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Kebangkitan ini didorong oleh beberapa faktor kunci, termasuk upaya pemulihan yang masif, keterlibatan aktif masyarakat, strategi promosi yang efektif, dan pembangunan kembali atraksi wisata. Uniknya, warisan dari bencana itu sendiri diubah menjadi salah satu daya tarik utama.

Museum Tsunami Aceh adalah manifestasi paling nyata dari strategi ini. Dirancang oleh arsitek terkemuka, Ridwan Kamil, museum ini tidak hanya berfungsi sebagai pengingat simbolis akan tragedi 2004, tetapi juga sebagai pusat edukasi dan tempat perlindungan bencana. Bangunan ini mampu menarik ratusan ribu pengunjung setiap tahunnya, termasuk puluhan ribu wisatawan mancanegara, yang datang untuk mempelajari lebih lanjut tentang bencana dan ketangguhan masyarakat Aceh.

Perkembangan pasca-tsunami tidak hanya tentang rekonstruksi fisik, tetapi juga tentang penguatan identitas dan semangat kolektif. Narasi yang muncul dari pengalaman ini melampaui sekadar mengingat tragedi; narasi tersebut menyoroti kekuatan, ketangguhan, dan keteguhan iman masyarakat Aceh dalam menghadapi cobaan terbesar mereka. Dengan demikian, bencana telah melahirkan jenis pariwisata yang unik, yang berfokus pada resiliensi atau ketahanan. Konsep ini memiliki daya tarik emosional yang kuat dan membedakan Aceh dari destinasi lain. Mempromosikan Aceh dengan narasi “Pariwisata Resiliensi” menegaskan bahwa pariwisata dapat berfungsi sebagai katalisator untuk pemulihan ekonomi dan psikososial pasca-bencana, sambil memberikan pengalaman yang bermakna bagi setiap pengunjung.

Tabel 1: Faktor Pendorong Perkembangan Pariwisata di Banda Aceh Pasca-Tsunami

Faktor Pendorong Deskripsi dan Keterangan Keterkaitan dengan Daya Tarik
Pemulihan Pasca-Tsunami Rekonstruksi besar-besaran terhadap infrastruktur dan fasilitas. Museum Tsunami, PLTD Apung, dan berbagai situs memorial bencana lainnya.
Keterlibatan Masyarakat Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan dan pengelolaan pariwisata. Peran serta masyarakat dalam menjaga kebersihan dan keamanan destinasi.
Promosi Upaya promosi yang gencar untuk membangun kembali citra positif Banda Aceh. Kampanye promosi yang menyoroti kebangkitan dan ketangguhan kota pasca-bencana.
Pembangunan Atraksi Wisata Pembangunan objek-objek wisata baru atau revitalisasi objek yang sudah ada. Pembangunan fasilitas pendukung di sekitar tempat wisata.
Pemanfaatan Peninggalan Bencana Mengubah situs-situs bencana menjadi daya tarik wisata edukatif. Museum Tsunami, Kuburan Massal, dan sisa-sisa bangunan yang terkena dampak.
Mitigasi Bencana Pengembangan sistem mitigasi dan edukasi bencana untuk meningkatkan rasa aman wisatawan. Ruang edukasi dan simulasi di Museum Tsunami.

Pilar Budaya Aceh: Dari Seni Kriya hingga Kuliner Khas

Warisan Seni Kriya dan Kerajinan: Cerita dalam Setiap Ukiran dan Jahitan

Seni kerajinan Aceh bukan sekadar benda, melainkan cerminan identitas, sejarah, dan nilai-nilai filosofis masyarakat. Masing-masing kerajinan memiliki cerita mendalam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi pariwisata provinsi. Beberapa kerajinan ikonik yang menjadi daya tarik utama adalah:

  • Kasab Aceh: Kerajinan ini, yang juga dikenal sebagai sulaman benang emas, dibuat dengan menyulam benang emas pada kain beludru. Dahulu, warna kain memiliki makna simbolis yang kuat untuk membedakan status sosial, dengan warna hitam untuk rakyat jelata, merah dan kuning untuk raja atau panglima, dan hijau untuk para ulama. Meskipun makna ini tidak lagi menjadi penentu status sosial, seni ini tetap lestari dan bahkan telah dipasarkan ke luar negeri seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura. Motif flora dan fauna yang dominan menunjukkan hubungan erat masyarakat Aceh dengan alam sekitarnya.
  • Rencong: Senjata tradisional ini adalah simbol keberanian, ketangguhan, dan identitas masyarakat Aceh. Jenis-jenis Rencong, seperti Rencong Pudoi, Rencong Meukure, Rencong Meupucok, dan Rencong Meucugek, mencerminkan hierarki sosial dan spiritual. Rencong Meupucok yang terbuat dari emas, misalnya, digunakan oleh para sultan. Saat ini, Rencong telah bertransformasi dari senjata menjadi hiasan atau suvenir, sebuah bukti nyata adaptasi budaya untuk menjaga kelestarian warisan di era modern.
  • Tenun Sutra (Tenun Aceh): Kain tenun tua ini telah ada selama berabad-abad dan mengandung falsafah hidup masyarakat Aceh yang diwujudkan dalam setiap coraknya. Tenun Siem adalah salah satu jenis yang paling terkenal dan dapat memiliki hingga 50 motif berbeda dalam satu kain, yang setiap motifnya menceritakan kisah tersendiri.

Pemasaran kerajinan ini harus melampaui nilai estetika dan moneter semata. Potensi ekonomi yang signifikan dari kerajinan ini dapat dimaksimalkan dengan menerapkan strategi narasi. Dengan mengedukasi wisatawan tentang cerita dan filosofi di balik setiap produk—menjual Rencong sebagai representasi keberanian atau Tenun Sutra sebagai wujud filosofi hidup—nilai produk akan meningkat secara substansial. Pendekatan ini tidak hanya mendorong ekonomi kreatif yang berkelanjutan tetapi juga memastikan warisan budaya tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang.

Tabel 2: Ringkasan Jenis Kerajinan Khas Aceh dan Signifikansi Budayanya

Nama Kerajinan Deskripsi Singkat Simbolisme / Filosofi Penggunaan Saat Ini
Kasab Aceh Sulaman benang emas pada kain beludru. Dahulu melambangkan status sosial berdasarkan warna kain (hitam, merah, kuning, hijau). Hiasan dinding, karpet, tirai, atau hiasan pelaminan.
Rencong Senjata tradisional khas Aceh dengan berbagai jenis. Keberanian, ketangguhan, dan identitas masyarakat Aceh. Hiasan dan suvenir.
Tenun Sutra Kain tenun tua yang telah ada berabad-abad. Mengandung falsafah hidup masyarakat Aceh dalam setiap corak dan motifnya. Kain tenun tradisional, hiasan, dan produk fesyen.

Eksplorasi Kuliner dan Budaya Kopi: Kekuatan Rasa dan Filosofi Kehidupan

Kuliner Aceh dikenal dengan cita rasanya yang kuat, yang berasal dari perpaduan rempah-rempah dan teknik memasak yang khas. Beberapa hidangan ikonik yang wajib dicoba antara lain:

  • Mie Aceh: Ikon kuliner ini disajikan dengan mie tebal dan kuah kaya rempah seperti kapulaga, jintan, dan kari. Kelezatan Mie Aceh disempurnakan dengan pilihan irisan daging, seafood, serta taburan emping dan bawang goreng.
  • Sie Reuboh: Daging sapi yang direbus dalam cuka dan rempah-rempah khas, menghasilkan rasa asam, gurih, dan pedas yang unik dan berbeda dari hidangan daging lain.
  • Kuah Pliek U: Makanan ini tidak hanya lezat, tetapi juga merefleksikan nilai gotong-royong karena secara tradisional dimasak untuk acara-acara besar dan hajatan.
  • Eungkot Keumamah: Hidangan ikan tongkol kering yang disebut juga “ikan kayu” karena teksturnya. Makanan ini memiliki nilai historis, karena di masa lalu dijadikan bekal utama para pejuang Aceh karena sifatnya yang tahan lama.

Selain kuliner, budaya minum kopi telah mengakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh. Kopi Gayo, yang berasal dari dataran tinggi Gayo, telah menjadi simbol budaya dan identitas yang dijunjung tinggi, bahkan oleh Generasi Z. Kopi ini memiliki daya tarik ekonomi yang signifikan; wisatawan dapat menikmati kopi premium Gayo dengan harga yang jauh lebih terjangkau di Aceh (Rp 5.000-10.000) dibandingkan di luar provinsi (Rp 40.000-50.000).

Kafe-kafe di Aceh berfungsi sebagai titik pertemuan budaya. Proliferasi kedai kopi modern menunjukkan bahwa kafe telah menjadi pusat kehidupan sosial yang dinamis, terutama bagi generasi muda. Tempat seperti Portola Arabia Aceh menunjukkan bagaimana budaya kopi tradisional dapat dipadukan dengan suasana modern dan nyaman, bahkan menawarkan pengalaman otentik seperti coffee workshop setiap bulannya. Kafe-kafe ini tidak hanya menjadi destinasi kuliner, tetapi juga jembatan yang menghubungkan tradisi lokal dengan tren global, menunjukkan kemampuan pariwisata Aceh untuk beradaptasi dan berkembang.

Kerangka Hukum dan Implementasi Wisata Halal: Antara Ambisi dan Realita

Landasan Hukum: Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2013

Penyelenggaraan kepariwisataan di Aceh secara formal diatur oleh Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2013. Qanun ini menetapkan kerangka hukum yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam, keadilan, dan kelestarian lingkungan. Tujuan utamanya mencakup pelestarian dan promosi objek wisata, pengangkatan nilai-nilai sejarah dan budaya Islami, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan daerah.

Qanun ini secara spesifik mengatur etika dan kewajiban bagi pelaku usaha maupun wisatawan. Di tempat-tempat wisata, semua orang dilarang mengonsumsi minuman keras, berjudi, atau melakukan perbuatan asusila. Wisatawan domestik dan mancanegara diwajibkan untuk mengenakan pakaian yang sopan, sementara wisatawan Muslim diminta untuk berpakaian sesuai dengan syariat Islam. Pelaku usaha juga diwajibkan menyediakan fasilitas pendukung syariah, seperti tempat ibadah serta makanan dan minuman yang bersertifikasi halal.

Tinjauan mendalam terhadap struktur Qanun ini menunjukkan bahwa dokumen ini lebih dari sekadar aturan moral. Qanun ini merupakan cetak biru strategis yang ambisius, yang mengatur aspek-aspek kunci seperti alokasi anggaran pembangunan pariwisata (Pasal 7), pembentukan badan promosi pariwisata (Pasal 75), dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pariwisata (Pasal 71). Qanun ini menunjukkan upaya serius pemerintah untuk mengintegrasikan pariwisata ke dalam kerangka pembangunan ekonomi yang lebih luas, sejalan dengan identitas keistimewaan provinsi.

Dinamika Implementasi: Peluang dan Tantangan di Lapangan

Sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, Aceh memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan wisata halal. Data menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan ke Aceh terus meningkat. Potensi ini sangat besar, karena wisatawan Muslim cenderung membelanjakan lebih banyak uang saat bepergian. Bahkan, penerapan nilai-nilai syariah ini menciptakan lingkungan yang bersih dan aman, yang membuat wisatawan non-Muslim juga merasa nyaman.

Meskipun visi strategisnya jelas, implementasi kebijakan wisata halal di lapangan menghadapi sejumlah tantangan yang signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa implementasi ini masih belum maksimal. Beberapa kendala utama yang diidentifikasi meliputi:

  • Kurangnya Pemahaman: Banyak pelaku usaha pariwisata yang belum sepenuhnya memahami konsep wisata halal secara mendalam, yang menghambat penerapan standar yang konsisten.
  • Keterbatasan Infrastruktur dan Sertifikasi: Fasilitas pendukung dan sertifikasi halal belum sepenuhnya diimplementasikan. Hanya sedikit hotel yang memiliki sertifikasi halal atau syariah, dan proses serta biaya sertifikasi menjadi beban finansial bagi pelaku usaha kecil dan menengah.
  • Minimnya Pengawasan: Pengawasan terhadap implementasi qanun dirasakan masih kurang, yang mengakibatkan ketidaksesuaian antara aturan yang ada dengan praktik di lapangan.

Kesenjangan yang ada antara kebijakan di tingkat makro dan realitas di tingkat mikro menjadi isu krusial. Visi pemerintah yang ambisius belum sepenuhnya didukung oleh kapasitas dan pemahaman yang memadai di tingkat pelaku usaha. Pernyataan dari Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang merasa penerapan konsep wisata Islami sudah “sangat terlambat” menggarisbawahi urgensi untuk mempercepat dan memperkuat implementasi di lapangan.

Tabel 3: Ringkasan Asas, Tujuan, dan Kewajiban Pariwisata Aceh dalam Qanun No. 8/2013

Kategori Deskripsi
Asas Berlandaskan iman dan Islam, kenyamanan, keadilan, kerakyatan, kebersamaan, kelestarian, keterbukaan, serta adat, budaya, dan kearifan lokal.
Tujuan Utama Melestarikan dan mempromosikan objek wisata, mengangkat nilai sejarah dan budaya Islami, memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan Pendapatan Asli Aceh.
Kewajiban Pelaku Usaha Menyediakan fasilitas pendukung syariah (tempat ibadah, makanan halal, suasana Islami).
Kewajiban Wisatawan Berbusana sopan; wisatawan Muslim wajib berbusana sesuai syariat Islam.
Larangan Dilarang meminum minuman keras, melakukan perbuatan asusila, dan berjudi di tempat wisata.

Festival Budaya dan Acara Tahunan sebagai Penggerak Promosi

Festival dan acara budaya tahunan memegang peranan penting dalam mempromosikan pariwisata Aceh, melestarikan warisan budaya, dan memberdayakan ekonomi kreatif. Acara-acara ini berfungsi sebagai panggung untuk memamerkan kekayaan budaya Aceh kepada audiens lokal dan internasional.

  • Aceh Culinary Festival: Festival tahunan ini berfokus pada kekayaan kuliner Aceh dan menjadi wadah bagi lebih dari 150 UMKM kuliner. Acara ini menampilkan warisan budaya seperti tradisi khanduri (jamuan makan adat) dan bertujuan untuk mendorong kebangkitan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja.
  • Aceh Ramadhan Festival: Acara ini menawarkan pengalaman unik bagi pengunjung untuk merasakan suasana Ramadan di Aceh, lengkap dengan jajanan berbuka puasa dan berbagai penawaran ekonomi kreatif.
  • Festival Budaya Aceh Tenggara: Acara ini secara eksplisit bertujuan untuk melestarikan seni musik dan budaya daerah, menjadikannya sarana edukasi bagi generasi muda, serta memanfaatkan media sosial untuk promosi global.

Meskipun sukses dalam menarik keramaian dan mempromosikan budaya, evaluasi terhadap acara seperti Aceh Culinary Festival menunjukkan adanya tantangan operasional. Beberapa masalah yang teridentifikasi adalah kurangnya keamanan, kebersihan, pencahayaan, dan tata letak yang eksklusif (seperti konsep fine dining yang hanya terbuka untuk VIP pada hari pertama). Masalah-masalah ini mencerminkan kebutuhan yang lebih besar dalam industri pariwisata Aceh, yaitu peningkatan kapasitas manajerial dan operasional. Visi strategis yang kuat harus didukung oleh pelaksanaan yang detail dan profesional untuk memastikan pengalaman wisatawan yang konsisten dan berkualitas.

Analisis dan Rekomendasi: Membangun Masa Depan Pariwisata Aceh yang Berkelanjutan

Analisis Kritis terhadap Lanskap Pariwisata Aceh

Berdasarkan analisis yang telah disajikan, pariwisata Aceh berada di persimpangan antara potensi yang sangat besar dan tantangan implementasi yang kompleks. Ada paradoks dalam pembangunan pariwisata Aceh: provinsi ini menunjukkan resiliensi luar biasa pasca-tsunami, namun di saat yang sama, implementasi kebijakan wisata halalnya menghadapi kendala praktis yang signifikan, menciptakan disparitas antara visi dan realitas.

Fokus pemasaran yang terkonsentrasi pada narasi “wisata halal” dapat menutupi kekayaan multiaspek yang sebenarnya dimiliki Aceh, termasuk potensi wisata alam, sejarah, dan seni kriya yang tidak secara langsung terkait dengan ibadah. Seni kriya dan kuliner Aceh memiliki nilai historis dan filosofis yang mendalam, yang dapat berfungsi sebagai soft power untuk memperkuat citra pariwisata provinsi. Pendekatan naratif dalam pemasaran produk-produk ini akan meningkatkan nilai ekonominya dan sekaligus melestarikan budaya.

Rekomendasi Strategis untuk Pengembangan Jangka Panjang

Untuk mengatasi tantangan dan mengoptimalkan potensi yang ada, beberapa langkah strategis direkomendasikan:

  1. Penguatan Branding dan Pemasaran yang Bernuansa: Mengembangkan narasi pariwisata yang lebih kaya, melampaui “wisata halal,” menuju branding yang lebih holistik seperti “Aceh: Tanah Ketangguhan, Warisan Islam, dan Budaya Otentik.” Pemasaran harus berfokus pada cerita di balik setiap atraksi, kuliner, dan kerajinan, untuk menciptakan daya tarik emosional yang lebih dalam.
  2. Optimalisasi Kebijakan dan Peningkatan Kapasitas: Pemerintah harus memfasilitasi proses sertifikasi halal yang lebih mudah dan terjangkau, terutama bagi UMKM. Program pelatihan berkelanjutan bagi pelaku pariwisata dan masyarakat lokal sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan kualitas layanan sesuai standar syariah dan internasional.
  3. Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Lokal: Mengintegrasikan kerajinan (Kasab, Rencong, Tenun) dan kuliner ke dalam paket wisata yang terstruktur. Festival budaya, seperti Aceh Culinary Festival, harus dikembangkan dengan perbaikan logistik dan manajemen yang profesional untuk memastikan pengalaman pengunjung yang positif dan konsisten.
  4. Peningkatan Infrastruktur dan Aksesibilitas: Meskipun tidak secara eksplisit diuraikan, kendala implementasi menunjukkan perlunya investasi lebih lanjut dalam infrastruktur dasar, termasuk sistem pengawasan yang lebih kuat, untuk memastikan brand promise pariwisata Aceh dapat terpenuhi secara konsisten.

Kesimpulan

Aceh berdiri di persimpangan jalan antara tradisi yang dihormati, sejarah yang penuh perjuangan, dan potensi ekonomi yang cerah. Dengan mengelola tantangan implementasi secara efektif dan mengoptimalkan narasi multi-dimensi, Aceh memiliki peluang besar untuk tidak hanya menjadi pemimpin dalam pariwisata halal global, tetapi juga sebagai destinasi yang menawarkan pengalaman unik, otentik, dan tak terlupakan. Visi ini akan terwujud melalui kolaborasi yang erat antara pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas, yang dibangun di atas fondasi spiritualitas, ketangguhan, dan kekayaan budayanya. Laporan ini memberikan peta jalan untuk mewujudkan visi tersebut, dengan rekomendasi yang spesifik, berbasis data, dan strategis.