Gastrodiplomasi Indonesia: Mendorong Rendang dan Tempe ke Panggung PBB
Indonesia kini tengah melakukan pergeseran paradigma dalam kebijakan luar negerinya, dari yang sebelumnya fokus pada ekspor komoditas mentah menjadi eksportir budaya dan gaya hidup melalui “politik makanan” atau gastrodiplomasi. Strategi ini merupakan bentuk soft power yang bertujuan untuk membangun citra positif bangsa, meningkatkan apresiasi budaya, dan memperkuat hubungan ekonomi global melalui lidah. Melalui program nasional seperti “Indonesia Spice Up the World” (ISUTW), Indonesia berupaya memenangkan “hati dan perut” masyarakat internasional, memosisikan rendang, tempe, dan bumbu-bumbu asli Nusantara sebagai pusat dari gaya hidup sehat global.
Strategi “Indonesia Spice Up the World” (ISUTW)
Diluncurkan secara resmi oleh Presiden RI, program ISUTW merupakan gerakan lintas sektoral yang menargetkan penguatan ekspor bumbu dan peningkatan jumlah restoran Indonesia sebagai ujung tombak diplomasi. Program ini memiliki dua target ambisius yang ingin dicapai pada akhir tahun 2024:
- Ekspor Bumbu: Meningkatkan nilai ekspor bumbu dan rempah-rempah dari USD 1 miliar menjadi USD 2 miliar.
- Jaringan Restoran: Meningkatkan jumlah restoran Indonesia di luar negeri dari sekitar 1.100 menjadi 4.000 restoran.
Pemerintah memandang gastrodiplomasi sebagai “lokomotif” ekonomi nasional. Dengan meningkatnya jumlah restoran Indonesia di kota-kota besar dunia seperti London, Paris, dan Sydney, permintaan terhadap bahan baku dan bumbu asli dari petani lokal di hulu akan otomatis meningkat. Indonesia, yang dikenal sebagai “Mother of Spices,” memiliki setidaknya 275 spesies rempah yang menjadi modalitas utama untuk memenangkan persaingan di era perdagangan bebas.
| Target ISUTW (Akhir 2024) | Capaian Awal / Baseline | Target Akhir |
| Nilai Ekspor Bumbu | USD 1 Miliar | USD 2 Miliar |
| Jumlah Restoran di Luar Negeri | 1.100 Restoran | 4.000 Restoran |
| Posisi Ekspor Bumbu Utuh (2023) | Peringkat 5 Dunia | Akselerasi Pertumbuhan |
Membawa Tempe ke UNESCO dan Panggung PBB
Salah satu upaya formal paling signifikan adalah pengajuan “Budaya Tempe” sebagai Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage/ICH) ke UNESCO. Proses ini secara resmi dimulai pada akhir Maret 2024, dengan target penetapan oleh UNESCO pada tahun 2026.
Dari “Makanan Rakyat” ke Superfood Global
Transformasi tempe di kancah internasional sangat mencolok. Di Indonesia, tempe secara historis sempat distigmatisasi sebagai makanan kelas bawah. Namun, di pasar global, tempe kini diposisikan sebagai “superfood” yang setara dengan produk gaya hidup sehat lainnya karena profil nutrisinya yang kaya protein, probiotik, dan vitamin B12.
Ketimpangan harga menunjukkan bagaimana nilai budaya makanan ini telah terkapitalisasi di Barat:
- Di Pasar Tradisional Indonesia: Rp 2.000 – Rp 15.000 per papan.
- Di Supermarket Inggris (Tesco/Waitrose): Dijual dengan harga premium sekitar £2,85 (sekitar Rp 57.000) per 200g, atau mencapai £14 hingga £14,75 per kilogram.
Advokasi di Forum Multilateral
Program ISUTW juga telah dipresentasikan dalam berbagai forum PBB, termasuk Sidang Umum PBB, sebagai bagian dari promosi ekonomi kreatif dan pariwisata berkelanjutan. Indonesia menggunakan narasi “Jalur Rempah” (Spice Trail) sebagai kekuatan soft power untuk meyakinkan organisasi internasional seperti UNWTO bahwa destinasi seperti Ubud layak menjadi prototipe tujuan gastronomi dunia.
Mekanisme Gastrodiplomasi: Jalur Formal dan Informal
Indonesia menerapkan dua jalur utama dalam menjalankan strategi kuliner ini:
- Jalur Formal (High Culture Food)
Dilakukan oleh aktor negara seperti KBRI melalui perjamuan kenegaraan dan forum multilateral. Contoh nyata adalah penggunaan konsep “Food Theater: Archipelago on a Tray” pada KTT G20 Bali, di mana menu dari Aceh hingga Papua disajikan untuk menunjukkan kedaulatan pangan dan kekayaan ekosistem Indonesia (hutan hujan, gambut, pesisir, dan lahan kering). Begitu pula dengan sajian Rawon dan masakan Nusantara lainnya pada Gala Dinner KTT ASEAN ke-43 yang dipimpin oleh tim koki profesional untuk membangun simpati diplomatik.
- Jalur Informal (Low Culture Food)
Melibatkan aktor non-negara seperti koki, pengusaha kuliner, dan 7,8 juta diaspora Indonesia di seluruh dunia. Diaspora berperan sebagai “agen komunikasi” yang memperkenalkan masakan Indonesia secara organik kepada masyarakat setempat. Munculnya inovasi produk seperti keripik tempe artisan yang dijual di platform daring dengan harga mencapai Rp 80.000 per paket menunjukkan adanya pasar ceruk (niche market) untuk gaya hidup sehat di luar negeri.
Tantangan dan Masa Depan
Meskipun memiliki potensi besar, gastrodiplomasi Indonesia menghadapi beberapa hambatan sistemik, antara lain:
- Fragmentasi Sektoral: Pengelolaan rempah dan kuliner masih tersebar di berbagai kementerian tanpa koordinasi tunggal yang terintegrasi.
- Logistik dan Rantai Dingin: Tempe sebagai produk segar membutuhkan jaringan rantai dingin (cold chain) yang handal untuk menjaga kualitas selama ekspor.
- Standarisasi bumbu: Perlunya sertifikasi halal dan keamanan pangan internasional untuk menembus pasar ritel global secara masif.
Kesimpulan
Upaya Indonesia mendorong rendang dan tempe ke panggung PBB menandai transisi penting dari ekonomi berbasis volume menjadi ekonomi berbasis nilai dan budaya. Dengan memosisikan diri sebagai inovator dalam “gastronomi berkelanjutan” dan memanfaatkan rempah sebagai instrumen diplomasi, Indonesia tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga martabat budaya di mata dunia. Keberhasilan strategi ini akan sangat bergantung pada sinergi antara kebijakan pemerintah (formal) dan kreativitas para diaspora serta pelaku usaha kuliner (informal) dalam menceritakan kisah di balik setiap piring masakan Nusantara.