Oleh-Oleh sebagai Komoditas Budaya: Mengapa Kita Membeli Kenangan?
Fenomena konsumsi oleh-oleh merupakan salah satu manifestasi paling kompleks dari perilaku manusia dalam konteks mobilitas global. Meskipun sering kali direduksi menjadi sekadar transaksi komersial di toko-toko cendera mata bandara atau pasar tradisional, benda-benda ini sebenarnya merupakan “fakta sosial total” yang mengintegrasikan dimensi religius, hukum, moral, dan estetika ke dalam satu tindakan pertukaran yang bermakna. Tulisan ini akan mengeksplorasi secara mendalam bagaimana objek material kecil, seperti magnet kulkas, miniatur bangunan, atau keramik, bertransformasi menjadi jangkar memori yang mampu membekukan waktu yang efemer dan mereifikasi pengalaman luar biasa ke dalam ruang domestik yang rutin. Melalui lensa sosiologi, antropologi, dan psikologi, ulasan ini akan membedah mengapa individu merasa memiliki kewajiban moral untuk membawa buah tangan, serta bagaimana komoditas ini berfungsi sebagai penanda identitas dan kapital budaya dalam masyarakat kontemporer.
Ontologi Oleh-Oleh dan Materialisasi Memori
Dalam disiplin arkeologi dan antropologi, terdapat pergeseran terminologi dari sekadar “artefak” atau “objek” menuju konsep “milik” atau belongings. Istilah ini memberikan penghormatan kepada hubungan personal antara manusia dan benda, di mana objek tersebut tidak lagi dipandang sebagai entitas mati, melainkan sesuatu yang memiliki agensi dan makna yang melekat bagi pemiliknya. Oleh-oleh adalah bentuk material dari memori yang memungkinkan individu untuk mengubah ketiadaan (masa lalu) menjadi kehadiran (benda fisik). Sebagaimana dikemukakan dalam teori materialitas, benda-benda ini bukan sekadar alat pasif untuk mengingat, melainkan bagian dari “asamblase mnemonik” di mana manusia, objek, dan jejak masa lalu saling terikat satu sama lain.
Setiap oleh-oleh membawa “biografi” sosialnya sendiri. Sebuah benda yang diproduksi secara massal di pabrik mungkin tampak profan dan tidak berarti, namun melalui proses perolehan selama perjalanan wisata, benda tersebut mengalami “sakralisasi”. Memori manusia jarang bekerja melalui ide-ide abstrak semata; ia lebih sering dipicu oleh perjumpaan dengan hal-hal material. Seperti madeleine milik Marcel Proust, benda-benda kecil yang ditemukan kembali di laci meja dapat memicu perjalanan waktu mental, membawa kembali perasaan, suara, dan emosi dari tempat-tempat yang telah lama ditinggalkan.
| Konsep Utama | Deskripsi Sosiologis | Implikasi pada Oleh-Oleh |
| Fakta Sosial Total | Fenomena yang melibatkan seluruh institusi masyarakat (agama, hukum, ekonomi). | Oleh-oleh sebagai bentuk kewajiban sosial yang melibatkan ritual pemberian dan penerimaan. |
| Reifikasi Waktu | Proses mengubah sesuatu yang abstrak menjadi konkret. | Mengabadikan momen liburan yang singkat ke dalam bentuk benda fisik yang tahan lama. |
| Asamblase Mnemonik | Keterikatan antara manusia, benda, dan memori masa lalu. | Oleh-oleh bertindak sebagai “actant” yang memicu narasi tentang perjalanan. |
| Agensi Objek | Kemampuan benda untuk memengaruhi perilaku dan persepsi manusia. | Souvenir dapat memanipulasi cara seseorang mengingat dan menceritakan kembali pengalamannya. |
Dialektika Ruang: Dunia Sakral Pariwisata dan Profanitas Domestik
Dasar sosiologis untuk memahami konsumsi oleh-oleh berakar pada dikotomi antara yang sakral dan yang profan, sebuah teori yang dipelopori oleh Emile Durkheim. Ruang sakral adalah area yang dipisahkan, dianggap memiliki signifikansi khusus, dan diperlakukan dengan penuh kekaguman, sementara ruang profan adalah dunia rutinitas sehari-hari yang biasa dan membosankan. Dalam konteks modern, pariwisata berfungsi sebagai bentuk ziarah sekuler di mana individu meninggalkan ruang profan (pekerjaan, komuter harian) untuk memasuki ruang sakral (destinasi wisata, situs bersejarah).
Oleh-oleh bertindak sebagai jembatan yang memungkinkan “transitivitas semantik” antara kedua ruang tersebut. Benda-benda ini adalah tanda-tanda yang menyimpan memori kolektif dan individu, yang diproyeksikan ke dalam tatanan simbolis untuk membedakan geografi yang satu dengan yang lainnya. Melalui proses “resemantisasi,” makna sebuah benda ditransfer dari lokasi asalnya ke ruang domestik, membawa serta aura tempat sakral tersebut ke dalam rumah yang profan. Tanpa benda-benda ini, pengalaman luar biasa di tempat jauh akan menguap begitu saja ke dalam efemeritas pikiran.
Kehadiran fisik oleh-oleh di rumah berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa individu tersebut telah melampaui batas-batas kesehariannya. Sebagaimana peziarah masa lalu membawa relik untuk memperkuat keyakinan agama mereka, wisatawan modern membawa magnet kulkas atau miniatur landmark untuk memperkuat narasi identitas mereka sebagai warga dunia yang berpindah-pindah. Objek tersebut, meskipun tetap merupakan benda fisik yang sama, mengalami transmutasi realitas menjadi sesuatu yang supernatural bagi pemiliknya karena hubungannya dengan pengalaman sakral tersebut.
Teori Pertukaran dan Struktur Kewajiban Sosial
Mengapa orang merasa wajib membawa buah tangan? Jawaban sosiologisnya terletak pada karya klasik Marcel Mauss, The Gift. Mauss berpendapat bahwa dalam masyarakat, pemberian hadiah bukanlah tindakan sukarela murni, melainkan diatur oleh tiga kewajiban fundamental: kewajiban untuk memberi, kewajiban untuk menerima, dan kewajiban untuk membalas. Sistem pertukaran ini berfungsi sebagai “lem” masyarakat, yang mengikat individu dalam jaringan komitmen timbal balik.
Dalam konteks oleh-oleh, kewajiban ini diperkuat oleh konsep “Hau” atau roh dari hadiah tersebut. Hadiah dianggap mengandung sebagian dari esensi pemberi dan tempat asalnya. Membawa oleh-oleh bagi kerabat adalah cara untuk berbagi “kekuatan” atau pengalaman dari tempat jauh tersebut.,Jika seseorang menolak atau gagal membalas hadiah tersebut, hubungan sosial dapat terancam karena kegagalan tersebut dianggap sebagai tindakan permusuhan atau penolakan terhadap ikatan sosial.
| Kewajiban Maussian | Motivasi Psikologis | Fungsi Sosial |
| Kewajiban Memberi | Menunjukkan kemurahan hati dan inisiasi hubungan. | Membangun status sosial dan otoritas “lembut” di rumah. |
| Kewajiban Menerima | Pengakuan terhadap nilai perjalanan si pemberi. | Menghindari konflik dan menjaga keharmonisan kelompok. |
| Kewajiban Membalas | Menjaga keseimbangan dalam hubungan. | Menciptakan siklus pertukaran berkelanjutan yang memperkuat solidaritas. |
Pemberian oleh-oleh juga merupakan cara bagi wisatawan untuk mengelola rasa bersalah dan kecemasan status. Wisatawan mungkin merasa perlu memberikan hadiah yang tepat kepada orang yang tepat pada waktu yang tepat untuk menunjukkan bahwa mereka masih peduli dengan komunitas asalnya meskipun telah bersenang-senang di luar. Oleh-oleh menjadi alat untuk menegosiasikan identitas diri di hadapan orang lain, di mana pilihan benda tersebut mencerminkan ide pemberi tentang kebutuhan dan keinginan penerima.
Souvenir sebagai Objek Transisional: Perspektif Winnicott
Secara psikologis, oleh-oleh dapat dipahami sebagai “objek transisional,” sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Donald Winnicott untuk menggambarkan benda material (seperti selimut atau boneka) yang membantu bayi melakukan transisi dari ketergantungan penuh pada ibu menuju kemandirian. Dalam pariwisata, wisatawan mengalami kecemasan serupa saat harus meninggalkan pengalaman “sakral” yang menyenangkan untuk kembali ke dunia “profan” yang rutin. Oleh-oleh membantu menjembatani celah antara pengalaman luar biasa tersebut dengan realitas sehari-hari.
Keinginan untuk memiliki memento meningkat tajam menjelang akhir perjalanan. Hal ini didorong oleh perasaan sedih yang muncul karena individu menyadari bahwa pengalaman positif tersebut tidak akan bertahan selamanya. Dengan membeli oleh-oleh, wisatawan melakukan upaya untuk “menghentikan” berakhirnya pengalaman tersebut, membiarkannya terus berlanjut melalui ingatan yang dibantu oleh benda fisik. Objek transisional ini berada di area antara kenyataan internal (imajinasi) dan kenyataan eksternal (dunia fisik), berfungsi sebagai “penghibur” terhadap depresi atau kehilangan.
Bagi anak-anak, oleh-oleh memiliki makna simbolis yang kuat sebagai alat untuk komunikasi, aksi, dan kontemplasi. Mereka menggunakan benda-benda tersebut untuk membangun narasi tentang siapa mereka dan ke mana mereka telah pergi, membantu menciptakan rasa kontinuitas dalam hidup mereka yang terus berkembang. Hubungan emosional dengan objek transisional ini begitu kuat sehingga kehilangan benda tersebut sering kali dirasakan sebagai kehilangan sebagian dari diri sendiri.
Materialisasi Nostalgia: Genealogi dan Evolusi Snow Globe
Snow globe atau bola salju merupakan contoh par excellence dari komoditas yang membekukan memori dalam bentuk fisik yang miniatur. Sejarahnya dimulai dari sebuah kegagalan teknis di Wina pada akhir abad ke-19, ketika Erwin Perzy mencoba menciptakan sumber cahaya yang lebih terang untuk lampu bedah. Eksperimennya dengan serpihan semolina dalam bola kaca berisi air yang diterangi lilin secara tidak sengaja menciptakan efek salju yang memikat. Sejak paten pertamanya pada tahun 1905, snow globe telah berevolusi dari barang mewah buatan tangan menjadi komoditas massal yang ikonik.
Dalam budaya populer, snow globe sering kali digunakan sebagai metafora untuk memori yang terbungkus rapi. Film Citizen Kane (1941) menggunakan pecahnya bola salju sebagai simbol dramatis dari kematian protagonis dan hancurnya narasi hidupnya yang terfragmentasi. Bola salju menciptakan sebuah “fantasi musim dingin” yang terenkapsulasi dengan aman, memungkinkan pemiliknya untuk memegang keajaiban di telapak tangan mereka. Objek ini menghubungkan individu dengan masa lalu yang diidealkan, bertindak sebagai jembatan menuju nostalgia yang sering kali hanya ada dalam kepala kita.
| Tahapan Evolusi Snow Globe | Karakteristik Utama | Makna Simbolis |
| Penemuan Awal (1900) | Kaca tebal, figur timah, air murni. | Upaya teknologi untuk menangkap cahaya dan gerakan. |
| Era Komodifikasi (1927) | Perakitan bawah air, produksi massal. | Demokratisasi akses terhadap “kemewahan” kenangan. |
| Era Kitsch (1950-an) | Penggunaan plastik, glikol, dan warna cerah. | Simbol kepolosan masa kecil dan pariwisata massal. |
| Subversi Modern (2000-an) | Tema provokatif (dosa, obat-obatan, seni kontemporer). | Dekonstruksi terhadap idealisme dan nostalgia tradisional. |
Peralihan dari kaca ke plastik pada pertengahan abad ke-20 membuat snow globe tersedia bagi setiap orang, menjadikannya standar di setiap toko oleh-oleh di pinggir jalan Saat ini, snow globe tidak hanya menampilkan pemandangan religius atau landmark kota, tetapi juga karakter fiksi dan bahkan konsep seni kontemporer, menunjukkan bagaimana sebuah benda kecil dapat terus beradaptasi dengan imajinasi kolektif manusia.
Ikonografi Global: Miniatur Menara Eiffel dan Politik Identitas
Menara Eiffel adalah salah satu struktur yang paling banyak direplikasi di dunia, menjadikannya simbol universal bagi Paris dan modernitas itu sendiri. Sejak pembukaannya pada tahun 1889, menara ini telah mendistribusikan medali souvenir dan miniatur kepada para pengagumnya, memicu generasi “klon” yang tersebar di seluruh enam benua. Miniatur Menara Eiffel berfungsi sebagai shorthand visual untuk perjalanan global, sebuah bukti fisik yang paling mudah dikenali bahwa seseorang telah menginjakkan kaki di “pusat kebudayaan” dunia.
Namun, di balik kemilau miniatur logam ini terdapat realitas sosiologis yang sering kali tidak terlihat oleh turis. Banyak dari miniatur ini dijual oleh kelompok pedagang migran Afrika tanpa dokumen yang menggantungkan hidup mereka pada perdagangan bawah tanah ini. Bagi otoritas Paris, kehadiran mereka sering dianggap sebagai gangguan ilegal, namun bagi para migran, menjual miniatur ini adalah cara untuk mencapai mobilitas sosial dan memenuhi impian mereka sendiri di Paris. Perdagangan ini melibatkan jaringan global yang kompleks, di mana trinket murah diimpor dari pabrik-pabrik di China sebelum didistribusikan melalui gudang-gudang rahasia di pinggiran Paris.
Ketegangan antara makna generik dan personal dari miniatur Menara Eiffel juga terlihat pada bagaimana replika ini digunakan di seluruh dunia:
- Sebagai Tanda Tempat: Kota-kota dengan nama “Paris” di Texas atau Tennessee membangun replika menara untuk memvalidasi identitas mereka
- Sebagai Utilitas Domestik: Di Ramallah, miniatur Menara Eiffel pernah populer digunakan sebagai antena TV di atas rumah-rumah, menggabungkan siluet ikonik dengan kebutuhan fungsional harian.
- Sebagai Simbol Migrasi: Para pekerja migran Serbia yang pernah bekerja di Prancis sering membangun replika menara di halaman rumah mereka setelah pensiun sebagai cara untuk membawa “potongan Prancis” kembali ke tanah air mereka.
Fenomena ini menunjukkan bahwa oleh-oleh tidak hanya merepresentasikan tempat asal, tetapi juga aspirasi, sejarah pribadi, dan keterhubungan individu dengan jaringan global yang lebih luas.
Autentisitas dan Warisan: Keramik Maroko sebagai Narasi Budaya
Berbeda dengan produk massal yang sering dianggap kitsch, kerajinan keramik Maroko mewakili kategori oleh-oleh yang menekankan pada autentisitas dan warisan sejarah yang mendalam. Tradisi ini telah berusia lebih dari 12.000 tahun, di mana teknik-teknik pembuatan gerabah diturunkan dari generasi ke generasi melalui bengkel keluarga. Setiap wilayah di Maroko memiliki gaya master yang unik, yang mencerminkan identitas suku dan spiritualitas lokal.
Pariwisata berperan penting dalam pelestarian kerajinan ini. Wisatawan yang mengunjungi Fez, Safi, atau Marrakech mencari lebih dari sekadar objek indah; mereka mencari koneksi dengan pengrajin dan cerita di balik setiap potongan tanah liat yang dibakar. Keramik ini sering dianggap sebagai “objek hidup” yang membawa warna dan energi ke dalam ruang domestik pembelinya, sekaligus memberikan dukungan ekonomi kepada jutaan pengrajin lokal.
| Pusat Produksi | Spesialisasi | Karakteristik Estetika |
| Fez | Keramik biru-putih dan ubin Zellige. | Desain geometris Islam yang rumit, warna kobalt yang dalam. |
| Safi | Produksi gerabah tradisional dan faience. | Warna-warna tanah (terakota), desain alami, mengkilap. |
| Marrakech | Perpaduan tradisional dan kontemporer. | Gaya eklektik, menyesuaikan dengan estetika modern/boho. |
Makna dari keramik Maroko sering kali bersifat simbolis; misalnya, warna biru dikaitkan dengan perlindungan spiritual, hijau dengan alam dan kesuburan, serta kuning dengan kekayaan. Membeli piring atau vas dari Maroko bukan hanya tindakan konsumsi, tetapi juga upaya untuk “mengadopsi” narasi budaya yang kaya ke dalam identitas pribadi wisatawan, menjadikan rumah mereka lebih personal dan berwawasan global.
Distingsi Sosial dan Kapital Budaya dalam Konsumsi Souvenir
Pilihan seseorang terhadap oleh-oleh bukan sekadar masalah selera pribadi, melainkan cerminan dari posisi sosial mereka dalam hierarki kelas. Pierre Bourdieu mengembangkan konsep “distingsi” untuk menjelaskan bagaimana selera dan gaya hidup digunakan untuk menunjukkan status sosial. Dalam konteks ini, oleh-oleh berfungsi sebagai bentuk “kapital budaya” yang dapat dipamerkan untuk mendapatkan rasa hormat atau kehormatan sosial.
Bourdieu membedakan tiga bentuk kapital budaya yang dapat diwujudkan melalui oleh-oleh:
- Embodied (Terinternalisasi): Pengetahuan dan kemampuan untuk mengapresiasi keunikan sebuah benda, yang diperoleh melalui sosialisasi dan pendidikan.
- Objectified (Tersubstansi): Kepemilikan fisik atas benda-benda seni atau kerajinan tangan langka yang secara simbolis menyampaikan kecanggihan pemiliknya.
- Institutionalized (Terinstitusionalisasi): Pengakuan formal atas nilai sebuah benda, misalnya oleh-oleh dari museum ternama yang memvalidasi bahwa pemiliknya memiliki akses ke institusi kebudayaan elit.
Sebaliknya, Thorstein Veblen dalam teorinya tentang “konsumsi mencolok” (conspicuous consumption) menekankan bahwa orang sering membeli barang mewah atau oleh-oleh mahal bukan karena fungsinya, tetapi untuk menunjukkan kekayaan dan prestise mereka. Perjuangan untuk mendapatkan “penghargaan pecuniter” mendorong individu untuk mengumpulkan simbol-simbol luar yang menunjukkan bahwa mereka memiliki surplus sumber daya untuk bepergian dan berbelanja. Oleh karena itu, rak yang penuh dengan cendera mata dari berbagai negara berfungsi sebagai tanda bukti bahwa seseorang termasuk dalam “kelas luang” yang sukses.
Estetika Kitsch dan Ironi Fashion Kontemporer
Meskipun banyak oleh-oleh dikritik karena dianggap “kitsch”—murah, norak, dan berlebihan—fenomena ini tetap memiliki daya tarik psikologis yang kuat.17 Kitsch pariwisata sering kali merayakan visi klise tentang sebuah tempat, menawarkan gambaran yang disederhanakan dan ceria untuk dikonsumsi. Menariknya, dalam beberapa tahun terakhir, estetika kitsch ini telah diadopsi oleh dunia fashion kelas atas sebagai bentuk ekspresi ironis.
Mengacu pada esai Susan Sontag, Notes on Camp, kitsch pariwisata digunakan sebagai “kode pribadi” atau “lencana identitas” bagi mereka yang memiliki kapital subkultural yang tinggi. Dalam konteks fashion mewah, penggunaan desain yang meniru oleh-oleh murah (seperti tas belanja atau kaos landmark) menciptakan komentar bermata dua tentang konsumsi. Bagi orang awam, benda tersebut tampak seperti sampah murahan, namun bagi mereka yang “tahu,” benda tersebut adalah barang mewah yang mahal yang menunjukkan kesadaran akan “post-satire” dan penguasaan atas budaya tinggi dan rendah sekaligus.
Penerimaan terhadap kitsch juga didorong oleh munculnya identitas “multi-lokal” di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Mereka merasa betah di berbagai lokasi dan era, dan melihat oleh-oleh sebagai simbol kebudayaan yang bersifat “open-source” daripada sekadar bukti satu kali liburan. Nostalgia terhadap benda-benda fisik ini muncul sebagai pelarian dari dunia yang sering kali terasa tidak stabil dan terlalu cepat berubah.
Pergeseran Memori di Era Digital: Dari Benda ke Piksel
Munculnya media sosial telah mengubah peran tradisional oleh-oleh fisik sebagai pembuktian sosial (social proof). Dahulu, magnet kulkas atau kaos adalah cara utama untuk memberi tahu orang lain ke mana kita telah pergi; kini, umpan Instagram dan Snapchat telah menggantikan fungsi tersebut secara instan dan global. Benda-benda fisik mulai dianggap oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang berlebihan atau superfisial karena bukti perjalanan sudah tersimpan secara digital.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa benda fisik tetap memiliki nilai mnemonik yang tidak dapat digantikan oleh foto digital. “Asamblase mnemonik” membutuhkan gesekan fisik dengan dunia material untuk memicu memori yang mendalam. Foto digital sering kali bersifat efemer dan mudah dilupakan dalam tumpukan data, sementara oleh-oleh fisik di rumah tetap menjadi kehadiran yang menuntut perhatian dan sentuhan. Benda-benda ini berfungsi sebagai “penjaga memori” yang aktif, yang terus membangun hubungan antara masa lalu dan masa kini melalui keberadaan material mereka.
Selain itu, oleh-oleh juga dapat berperan dalam proses “melupakan”. Dengan menyimpan pengalaman pahit atau peristiwa traumatis ke dalam objek tertentu dan menyimpannya di tempat yang tidak terlihat, individu dapat melakukan kompartementalisasi terhadap aspek-aspek masa lalu yang ingin mereka abaikan. Dengan demikian, materialitas memori melalui oleh-oleh melibatkan dinamika yang kompleks antara apa yang harus diingat, apa yang harus dihilangkan, dan bagaimana benda-benda tersebut membantu manusia menavigasi sejarah emosional mereka
Kesimpulan: Oleh-Oleh sebagai Jangkar Eksistensial
Praktik membeli oleh-oleh adalah manifestasi dari keinginan fundamental manusia untuk memberikan bentuk pada waktu yang terus berlalu. Sebagai komoditas budaya, oleh-oleh menjalankan fungsi yang jauh melampaui nilai ekonominya: ia adalah jembatan antara ruang sakral perjalanan dan ruang profan domestik, objek transisional yang meredakan kecemasan perpisahan, dan instrumen distingsi yang memperkuat posisi sosial. Melalui benda-benda kecil ini, kita tidak hanya membawa pulang benda, tetapi juga membawa pulang makna, cerita, dan identitas.
Meskipun dunia semakin bergerak ke arah digitalisasi dan konsumsi pengalaman secara instan, benda-benda material seperti snow globe, miniatur menara, atau kerajinan tangan tradisional tetap mempertahankan agensinya sebagai penjaga memori yang nyata. Kita membeli kenangan bukan karena kita lupa akan tempat yang kita kunjungi, tetapi karena kita ingin memiliki bukti fisik bahwa kita pernah berada di sana, bahwa kita pernah merasakan kekaguman, dan bahwa kita memiliki hak untuk menyimpan potongan kecil dari dunia yang luas itu di dalam genggaman tangan kita. Oleh-oleh, pada akhirnya, adalah jangkar eksistensial yang memastikan bahwa petualangan kita tidak hanya menjadi bayangan di masa lalu, tetapi tetap hidup sebagai bagian integral dari narasi hidup kita di masa kini.

