Loading Now

Melestarikan Tradisi Melalui Pariwisata: Analisis Komparatif Gamelan Bali dan Fado Portugal dalam Tata Kelola Warisan Budaya Takbenda

Kerangka Konseptual Pariwisata Budaya dan Warisan Budaya Takbenda (WBTB)

Industri pariwisata telah lama diakui sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi global. Sejak tahun 1960-an, khususnya di kawasan Asia Pasifik, pariwisata berfungsi sebagai komponen krusial dalam pembangunan ekonomi dan sumber devisa yang penting bagi berbagai negara. Dalam konteks ini, pariwisata budaya muncul sebagai sub-sektor utama, didorong oleh hasrat wisatawan internasional untuk melihat budaya yang dianggap “eksotik” atau unik dari kelompok etnik tertentu. Eksploitasi pasar ini sering kali didasarkan pada fantasi tentang “etnik yang eksotik dan belum tersentuh” , yang secara inheren menciptakan ketegangan antara pelestarian budaya dan tuntutan komersial.

Warisan Budaya Takbenda (WBTB), sebagai “budaya hidup,” memegang posisi strategis dalam ekosistem pariwisata ini. WBTB berkontribusi pada perlindungan budaya itu sendiri, memfasilitasi pembangunan berkelanjutan , dan membantu memproyeksikan gambaran mendalam tentang identitas suatu negara di konteks global. Penetapan suatu tradisi sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO, seperti kasus Fado Portugal  atau penetapan Warisan Budaya Takbenda nasional seperti Reog Ponorogo , tidak hanya meningkatkan prestise global, tetapi juga menguatkan ekosistem ekonomi kreatif dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Paradigma Antropologis: Komodifikasi dan Negosiasi Otentisitas

Pemanfaatan budaya sebagai daya tarik pariwisata—terutama pariwisata etnik—menghasilkan proses yang dikenal sebagai komodifikasi. Komodifikasi melibatkan transformasi objek dan praktik budaya, yang secara tradisional berfungsi dalam konteks ritual atau sosial, menjadi barang yang dapat diperdagangkan di pasar. Dalam studi kasus budaya Dayak di Kalimantan Timur, misalnya, kerajinan yang dulunya memiliki fungsi ritual kini diproduksi sebagai barang komoditi, menunjukkan budaya materi yang tinggi dan merespons peningkatan permintaan “Dayakness” dari wisatawan.

Meskipun sering dilihat sebagai kekuatan yang merusak, komodifikasi tidak selalu melemahkan identitas budaya. Sebaliknya, proses ini dapat memicu renegosiasi identitas. Penelitian mengenai komodifikasi budaya Dayak menemukan bahwa praktik ini tidak melemahkan, tetapi justru menguatkan dan mempertegas identitas Dayak, bahkan menghasilkan bentuk baru dari identitas tersebut. Masyarakat lokal sering menunjukkan kebanggaan ketika desa mereka dijadikan tujuan wisata, menunjukkan bahwa mereka mengontrol batas-batas adaptasi. Ketika WBTB diakui secara global, tindakan ini bersifat strategis; legitimasi internasional meningkatkan nilai jual budaya, mengubahnya menjadi aset penting yang wajib dimonetisasi. Oleh karena itu, pelestarian di era pariwisata modern memerlukan manajemen portofolio aset budaya, di mana kebijakan harus menyeimbangkan keuntungan ekonomi dengan risiko degradasi ontologis praktik budaya.

Studi Kasus I: Gamelan Bali—Dinamika Dualitas Sakral dan Sekuler

Bali merupakan destinasi wisata budaya global yang kaya akan nilai tradisi dan seni. Musik Gamelan Bali, khususnya dalam bentuk Gong Kebyar, memberikan contoh yang kaya mengenai bagaimana warisan budaya hidup beroperasi di persimpangan tuntutan ritual dan pasar pariwisata.

Fungsi Gamelan dan Konteks Historiografi Gong Kebyar

Gamelan Bali memiliki fungsi dualitas yang mendalam: ia merupakan bagian integral dari ritual sakral Hindu Bali dan sekaligus merupakan seni pertunjukan sekuler yang dinamis. Gamelan menjadi pendamping wajib untuk berbagai upacara penting dalam agama Hindu Bali, seperti perayaan ulang tahun tahunan pura (Odalan) dan ritual yang berpusat pada kehidupan manusia (Putra Manusia), termasuk pernikahan. Beberapa jenis gamelan, seperti Gamelan Gong Beri, dikenal memiliki timbre unik dan merupakan ansambel ritmis yang memiliki kedekatan historis dan musikologis dengan ranah sakral. Gamelan Gong Gedé, yang merupakan gong terbesar dan paling resonan, dianggap sebagai instrumen paling sakral dalam ansambel kebyar.

Gaya Gong Kebyar, yang ditandai dengan perubahan tempo dan dinamika yang eksplosif—di mana kebyar berarti “menyala atau meledak”—telah menjadi gaya yang dominan dalam konteks pariwisata. Gaya ini terkenal dengan pola melodi dan ritmis yang kompleks dan saling mengunci, yang disebut kotekanGong Kebyar pertama kali didokumentasikan di Bali Utara pada awal tahun 1900-an. Menariknya, evolusi dan diseminasi gaya ini didorong oleh intervensi eksternal; penjajah Belanda mensponsori kompetisi gamelan setelah invasi untuk membangun institusi budaya. Ini menunjukkan bahwa praktik budaya sering kali telah berevolusi melalui interaksi dengan kekuatan eksternal, jauh sebelum pariwisata massal modern.

Pengaruh Industri Pariwisata terhadap Praktik dan Transmisi

Gamelan Bali memainkan peran penting dalam membentuk pengalaman wisatawan dan mendorong pertumbuhan pariwisata di Bali. Wisatawan mencari otentisitas, dan pertunjukan gamelan disajikan sebagai produk wisata pengalaman warisan. Peningkatan permintaan dari industri wisata secara signifikan meningkatkan pendapatan bagi para seniman dan mendukung ekosistem seni pertunjukan, seperti yang terlihat dalam Pesta Kesenian Bali.

Namun, komersialisasi membawa dampak yang tidak selalu positif. Industri wisata telah menyebabkan perubahan signifikan pada tradisi dan kebiasaan lokal. Tuntutan pasar wisata sering kali membutuhkan adaptasi, seperti kemunculan Gamelan Rindik sebagai seni yang secara khusus disesuaikan untuk turis. Di daerah yang sangat terpengaruh oleh pariwisata massal, terdapat risiko degradasi keaslian budaya. Gamelan, yang secara tradisional memiliki fungsi mediatif dan sakral , berisiko mengalami sekularisasi atau penyesuaian durasi/bentuk yang mengorbankan nilai-nilai terdalam demi virtuosisme dan konsumsi cepat. Masalah utamanya bukan hanya komodifikasi itu sendiri, tetapi pergeseran fungsi ontologis Gamelan dari ritual ke pertunjukan semata.

Mekanisme Tata Kelola dan Model Pendanaan Regeneratif Bali

Pemerintah Provinsi Bali menunjukkan komitmen untuk mengelola keseimbangan pelestarian dan pariwisata melalui kolaborasi lintas sektor, melibatkan Dinas Kebudayaan  dan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Strategi utama Bali mencakup pengembangan pariwisata berkelanjutan yang berbasis pada kearifan lokal dan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar.

Yang paling signifikan adalah inovasi kebijakan yang berfokus pada pendanaan regeneratif. Pemerintah Provinsi Bali telah menerapkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023, tentang Pungutan Wisatawan Asing untuk Perlindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali. Kebijakan ini mewajibkan wisatawan asing membayar Rp 150.000 saat berkunjung, dengan tujuan ganda: menyediakan sumber dana khusus untuk pelestarian budaya  dan menciptakan citra pariwisata yang berkualitas dengan menarik wisatawan yang bersedia berkontribusi.

Model pendanaan ini menunjukkan sebuah kerangka etis: jika konsumsi budaya tak terhindarkan, maka konsumen harus membiayai biaya pelestarian yang mereka konsumsi. Ini adalah pergeseran penting dari pariwisata ekstraktif menuju keuangan regeneratif. Pungutan ini secara eksplisit dirancang untuk memberikan stabilitas finansial bagi program pelestarian, seperti inventarisasi karya seni budaya yang dilakukan oleh Taman Budaya Provinsi Bali. Dengan mengikat biaya pelestarian langsung pada konsumsi pariwisata, Bali berupaya melindungi inti sakral budayanya melalui regulasi kualitas turis.

Studi Kasus II: Fado Portugal—Melankoli Urban dan Kapitalisasi Warisan Global

Fado, lagu populer urban Portugal, menyajikan kontras menarik dengan Gamelan Bali karena sifatnya yang berakar pada konteks sosial-emosional perkotaan, bukan ritual keagamaan yang kaku.

Fado: Asal-Usul, Inskripsi UNESCO, dan Konteks Urban

Fado dikenal sebagai ekspresi musik melankolis yang mencerminkan saudade (perasaan kerinduan atau nostalgia). Sejarahnya diperkirakan merupakan perpaduan multikultural antara lagu-lagu pelaut Portugis yang rindu kampung halaman, lagu budak Afrika, dan balada Moor kuno. Fado secara mendalam terkait dengan kehidupan kota dan komunitas urban di Lisbon, menjadi identitas kolektif.

Fado mendapatkan pengakuan global yang signifikan ketika dinominasikan dan diinskripsi pada Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan UNESCO pada tahun 2011. Pengakuan ini secara tidak langsung berfungsi sebagai label pemasaran yang sangat kuat, memicu ledakan pariwisata yang berfokus pada pengalaman Fado di Lisbon, terutama di lingkungan bersejarah seperti Alfama. Museum Fado didirikan di Lisbon untuk tujuan melestarikan warisan ini, berfokus pada dokumentasi dan sejarah formal.

Komersialisasi Global dan Tantangan Pelestarian Emosi

Status UNESCO, meskipun merupakan penghargaan, secara inheren berfungsi sebagai stempel otentisitas pasar. Peningkatan permintaan turis pasca-UNESCO menyebabkan Fado menjadi komoditas wisata yang terindustrialisasi, dijual dalam lingkungan Casa de Fados (rumah makan Fado) yang melayani pengunjung massal.

Tantangan utama yang dihadapi Fado berbeda dari Gamelan. Gamelan menghadapi risiko sekularisasi fungsi ritual; Fado menghadapi risiko industrialisasi kinerja emosional. Keunikan Fado terletak pada kedalaman emosional yang diekspresikan, dan ketika diproduksi secara massal untuk pasar pariwisata, terdapat risiko bahwa Fado akan kehilangan konteks sosial dan emosional aslinya, serta integritas artistik yang otentik. Peningkatan permintaan ini dapat mengubah Fado menjadi tontonan yang cepat dikonsumsi, mengancam akar urban dan komunitas pengampu tradisinya. Institusi seperti Museum Fado harus bertindak sebagai penjaga etika, memastikan bahwa promosi dan dokumentasi Fado melampaui aspek historis formal dan melindungi dimensi emosional dan komunitasnya.

Transmisi dan Adaptasi Generasi Baru

Pelestarian Fado, seperti WBTB lainnya, sangat bergantung pada keterlibatan dan transmisi kepada generasi muda. Generasi baru penyanyi Fado memiliki peran krusial dalam menjaga tradisi ini. Mereka cenderung menggunakan teknologi dan media digital untuk memperluas jangkauan Fado secara global. Strategi ini menunjukkan bahwa untuk WBTB urban yang fleksibel, pelestarian harus merangkul inovasi media dan transmisi daring, selama mereka mampu mempertahankan akar lokal Fado.

Analisis Komparatif dan Pola Dinamika Pelestarian

Perbandingan antara Gamelan Bali dan Fado Portugal mengungkapkan pola-pola kritis dalam hubungan antara pelestarian budaya dan pariwisata global. Kedua kasus ini mewakili bagaimana WBTB berinteraksi dengan kekuatan pasar, tetapi dengan respons dan risiko yang berbeda berdasarkan ontologi budaya mereka.

Perbandingan Struktur Komodifikasi Inti: Gamelan vs. Fado

Perbedaan mendasar terletak pada fungsi ontologis budaya tersebut. Gamelan Bali memiliki ikatan sakral yang ketat, menjadikannya wajib dalam upacara Odalan , yang memberikan resistensi bawaan yang lebih kuat terhadap perubahan fungsi inti. Sebaliknya, Fado, yang berasal dari latar belakang sosial-urban dan fleksibel secara sosial , lebih rentan terhadap industrialisasi emosional dan hilangnya konteks urban aslinya.

Perbandingan Struktur Komodifikasi Inti: Gamelan Bali vs. Fado Portugal

Kriteria Komparatif Gamelan Bali (WBTB Indonesia) Fado Portugal (WBTB UNESCO)
Fungsi Ontologis Utama Sakral/Ritual (Wajib dalam Odalan) Urban/Emosional (Saudade), Komunal
Lokus Komodifikasi Panggung Pertunjukan Sekuler, Industri Kerajinan Casa de Fados (Wisata Kuliner/Hiburan), Industri Rekaman
Model Tata Kelola Keuangan Pungutan WNA (Regeneratif) Institusional Formal (Museum Fado), Anggaran Negara
Risiko Utama Komodifikasi Sekularisasi fungsi sakral, penyesuaian durasi/bentuk Industrialisasi Kinerja Emosional, Hilangnya Konteks Urban Asli

Otentisitas, Adaptasi, dan Otoritas Budaya

Otentisitas dalam pariwisata adalah konsep yang cair dan harus dinegosiasikan. Praktik pariwisata memaksa redefinisi otentisitas, yang dapat dilihat sebagai proses adaptif. Dalam konteks budaya Dayak (sebagai studi kasus paralel), komodifikasi justru memperkuat identitas lokal. Sebaliknya, jika adaptasi dipaksakan oleh pasar, ia dapat menyebabkan praktik budaya yang kehilangan nilai intinya.

Pemerintah daerah berperan aktif dalam mengkonstruksi citra ‘otentik’ yang cocok untuk pasar wisata, misalnya melalui promosi arsitektur Dayak di kantor-kantor pemerintahan  atau penyelenggaraan festival seni besar seperti Pesta Kesenian Bali.

Efektivitas Tata Kelola dan Transmisi

Model Bali (Pungutan WNA) menunjukkan efektivitas dalam menciptakan pendanaan yang terikat langsung pada konsumsi pariwisata, memberikan stabilitas finansial untuk pelestarian berkelanjutan. Sementara itu, strategi transmisi harus berfokus pada pendidikan komprehensif. Studi kasus pelatihan Tari Reyog Ponorogo menunjukkan bahwa metode kombinasi (daring dan luring) efektif dalam meningkatkan tidak hanya keterampilan teknis, tetapi juga pemahaman yang lebih mendalam mengenai konteks budaya dan sejarah WBTB. Transmisi WBTB berhasil jika ia meningkatkan literasi budaya dan teknis secara simultan.

Berdasarkan perbedaan ontologi ini, kebijakan pelestarian harus disesuaikan: untuk WBTB sakral (seperti Gamelan), fokus harus pada perlindungan ritual dan pencegahan sekularisasi. Untuk WBTB urban (seperti Fado), fokus harus pada perlindungan lingkungan sosial-ekonomi komunitas pengampu dan konteks emosional, memastikan bahwa keuntungan pariwisata kembali untuk mendukung integritas seniman dan tradisi di tingkat akar rumput.

Sintesis Strategis dan Rekomendasi Kebijakan

Pariwisata budaya menawarkan pisau bermata dua: ia adalah pendorong ekonomi dan transmisi budaya yang kuat, tetapi juga sumber risiko eksploitasi dan degradasi. Mengidentifikasi dampak-dampak ini sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang berkelanjutan.

Matriks Dampak Pariwisata pada Pelestarian Budaya

Dimensi Dampak Dampak Positif (Pelestarian) Dampak Negatif (Risiko/Komodifikasi)
Ekonomi & Keberlanjutan Peningkatan pendapatan bagi seniman ; Dana pelestarian dari pungutan WNA ; Peningkatan infrastruktur Ketergantungan ekonomi pada pasar pariwisata ; Risiko eksploitasi dan harga yang diatur pasar
Sosio-Kultural & Identitas Transmisi dan pelatihan generasi muda ; Penguatan dan penegasan identitas (Dayak Parallel) Hilangnya fungsi ritual/sakral ; Komersialisasi berlebihan, degradasi keaslian
Tata Kelola & Kebijakan Legitimasi UNESCO ; Komitmen pemerintah untuk pelestarian berkelanjutan ; Pemberdayaan komunitas lokal Risiko overtourism ; Intervensi yang mendefinisikan ‘otentisitas’ untuk kepentingan pasar

Kesimpulan

Untuk mencapai pelestarian tradisi yang berkelanjutan melalui pariwisata, diperlukan tata kelola yang tidak hanya memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga secara proaktif melindungi dimensi ontologis budaya yang non-komersial. Keterlibatan pemerintah harus didasarkan pada komitmen untuk mengimplementasikan program pelestarian yang berkelanjutan  dan meningkatkan infrastruktur serta fasilitas umum yang juga bermanfaat bagi masyarakat lokal. Diversifikasi ekonomi lokal juga sangat penting untuk mengurangi risiko ekonomi jika terjadi penurunan jumlah wisatawan akibat krisis.

Strategi yang paling efektif adalah mengamankan sumber pendanaan otonom, memberdayakan otoritas lokal, dan memastikan transmisi yang komprehensif. Perlu dicatat bahwa promosi budaya oleh pemerintah, seperti penggunaan arsitektur Dayak sebagai simbol identitas , harus berhati-hati agar tidak menjadi sekadar citra politis semata (pencegahan cultural greenwashing). Pendanaan dari pariwisata harus diikuti dengan akuntabilitas yang ketat dan dialokasikan secara transparan untuk investasi substantif dalam kegiatan pelestarian yang dipimpin oleh lembaga kebudayaan.

Rekomendasi Kebijakan Keberlanjutan WBTB Berbasis Pembelajaran Studi Kasus

Area Kebijakan Rekomendasi Strategis Justifikasi dan Studi Kasus Relevan
Pendanaan Implementasi model Pungutan Pariwisata Regeneratif dengan alokasi transparan, memprioritaskan kegiatan WBTB non-komersial. Berdasarkan Perda Bali No. 6/2023. Memastikan dana kembali untuk kegiatan ritual, pelatihan seniman , dan inventarisasi budaya.
Transmisi Institusionalisasi program pelatihan WBTB yang komprehensif (daring/luring) yang fokus pada literasi budaya, bukan hanya keterampilan teknis. Efektif dalam meningkatkan pemahaman mendalam tentang nilai budaya. Pentingnya peran generasi muda dalam mempelajari  dan mengadaptasi WBTB.
Otentisitas & Otoritas Definisikan dan lindungi praktik WBTB yang ‘non-negotiable’ (inti sakral Gamelan, kedalaman emosional Fado) melalui regulasi lokal dan otoritas komunitas pengampu tradisi. Mengatasi dampak negatif pariwisata massal terhadap keaslian  dan mencegah sekularisasi fungsi ritual. Otoritas harus berada di komunitas untuk menentukan batas komodifikasi.
Tata Kelola Lintas Sektor Perkuat koordinasi dan komitmen implementasi program pelestarian berkelanjutan antara lembaga budaya, pariwisata, dan ekonomi kreatif. Diperlukan kolaborasi aktif antara Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan komunitas lokal  serta Dinas Kebudayaan  untuk mengelola aset budaya adiluhung.

Kesimpulannya, pelestarian tradisi melalui pariwisata hanya dapat dicapai jika kebijakan tata kelola bergeser dari fokus ekstraktif ke model regeneratif, di mana WBTB dipandang bukan hanya sebagai daya tarik, tetapi sebagai aset sosial yang harus dibiayai oleh mereka yang menikmati nilai-nilai budayanya. Keberhasilan model ini bergantung pada kemampuan otoritas dan komunitas lokal untuk mengendalikan narasi otentisitas dan alur dana.