Loading Now

Candi Borobudur: Analisis Arsitektur, Filosofi, Konservasi, dan Tata Kelola Kontemporer

Candi Borobudur, monumen Buddhis terbesar di dunia, merupakan mahakarya peradaban kuno yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Laporan ini menyajikan ulasan mendalam yang melampaui deskripsi fisik monumen, mencakup landasan sejarah, struktur kosmologi filosofis, ikonografi mendalam, tantangan konservasi jangka panjang, serta kerangka tata kelola dan kebijakan pariwisata spiritual terbaru yang diterapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Konteks Global Dan Landasan Sejarah Borobudur

Status Warisan Dunia UNESCO dan Kriteria Nilai Universal Luar Biasa (OUV)

Borobudur diakui secara global sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991. Penetapan ini didasarkan pada Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value – OUV) yang dipenuhi oleh kompleks candi ini. Borobudur diakui berdasarkan tiga kriteria inskripsi: kriteria (i) sebagai mahakarya jenius kreatif manusia yang unik, kriteria (ii) karena menunjukkan pertukaran nilai-nilai kemanusiaan yang penting, dan kriteria (vi) karena memiliki kaitan langsung atau nyata dengan peristiwa, tradisi hidup, gagasan, atau keyakinan yang mempunyai makna universal luar biasa.

Kriteria (vi) secara khusus memberikan landasan filosofis bagi peran kontemporer Borobudur. Pengakuan Borobudur terkait dengan tradisi hidup—seperti perayaan Tri Suci Waisak—menegaskan fungsi monumen ini sebagai pusat spiritual yang aktif, bukan sekadar relik sejarah. Pengakuan ini sangat krusial karena mandat OUV (vi) yang berfokus pada sakralitas dan nilai spiritual telah digunakan oleh pemerintah Indonesia sebagai justifikasi mendasar untuk merumuskan kebijakan tata kelola yang memprioritaskan konservasi dan pengalaman spiritual di atas pariwisata massal murni, seperti yang termaktub dalam regulasi terbaru. Untuk memastikan perlindungan yang memadai, UNESCO telah menetapkan area properti inti seluas 25.51 hektar dan zona penyangga (buffer zone) seluas 64.31 hektar.

Kronologi Pembangunan, Material, dan Tantangan Teknik Awal

Pembangunan Candi Borobudur diperkirakan terjadi pada masa Dinasti Sailendra sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi. Secara teknik, monumen ini merupakan pencapaian rekayasa yang luar biasa. Material utamanya adalah batu andesit, yang total volumenya diperkirakan mencapai 55.000 meter kubik atau setara dengan sekitar dua juta potong batu. Sumber batu andesit ini diambil dari sungai-sungai di sekitar kawasan candi. Skala material ini menegaskan bahwa pembangunan Borobudur tidak hanya memerlukan keahlian artistik dan religius yang tinggi, tetapi juga memerlukan organisasi tenaga kerja, logistik, dan kemampuan rekayasa sipil yang sangat maju pada zamannya. Hal ini menunjukkan kekuatan fiskal dan sentralisasi kekuasaan kerajaan yang mampu menggerakkan sumber daya dalam skala masif.

Salah satu tantangan teknik kuno yang paling signifikan adalah isu struktural pada bagian dasar. Awalnya, Borobudur dirancang dengan kaki asli yang dihiasi 160 panel relief yang menggambarkan hukum sebab-akibat (Karmawibangga). Namun, selama konstruksi atau sesaat setelahnya, kaki asli ini ditutup oleh kaki tambahan (sekarang disebut kaki tersembunyi). Penambahan kaki ini diduga dilakukan untuk mencegah kelongsoran monumen (alasan teknis) atau karena kesalahan perancangan kaki asli yang tidak sesuai dengan pedoman arsitektur India kuno, Wastu Sastra. Meskipun demikian, penambahan ini dilakukan dengan sangat teliti, mempertimbangkan alasan teknis, estetika, dan keagamaan.

Struktur Arsitektural Dan Kosmologi Filosofis (Tiga Dhatu)

Struktur Candi Borobudur tidak hanya mewakili keindahan arsitektur, tetapi juga merupakan mandala tiga dimensi, merepresentasikan ajaran Buddha Mahayana mengenai tahapan yang harus dilalui manusia untuk mencapai pencerahan atau ke-Buddha-an. Konsep ini dikenal sebagai Tiga Dhatu (Tiga Alam Kosmik), sebagaimana diuraikan oleh W. F. Stutterheim.

Konsep Kosmologi Mahayana: Tiga Dhatu

Candi Borobudur tersusun atas enam teras persegi di bawah, tiga teras melingkar di atas, dan sebuah stupa induk di puncaknya. Pembagian ini dibagi menjadi tiga zona filosofis utama: Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.

Kamadhatu: Alam Nafsu (Kaki Tersembunyi)

Bagian pertama atau paling dasar adalah Kamadhatu (World of Desire), yang melambangkan alam dunia yang kita huni, yang masih terikat pada nafsu dan hasrat duniawi.

Zona ini secara filosofis penting karena relief aslinya, Karmawibangga, menampilkan 160 panel yang menggambarkan hukum karma atau sebab-akibat. Namun, karena kebutuhan struktural atau doktrinal, relief ini ditutup oleh penambahan kaki. Saat ini, hanya empat panel di sudut tenggara yang diperlihatkan. Penutupan Kamadhatu menyiratkan perubahan dalam pedagogi monumen. Peziarah kuno dan modern dipaksa untuk memulai perjalanan spiritual mereka langsung di Rupadhatu, yaitu Alam Bentuk. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai prioritas yang diberikan kepada meditasi dan pelepasan bentuk, mengurangi penekanan pada pelajaran moralistik dasar yang diajarkan dalam relief Karmawibangga. Perubahan ini mengalihkan fokus dari pemenuhan moral dasar menuju pencarian pencerahan yang lebih tinggi.

Rupadhatu: Alam Bentuk (Teras Persegi)

Bagian tengah Candi Borobudur adalah Rupadhatu (World of Form). Zona ini melambangkan alam peralihan, di mana seseorang telah dibebaskan dari urusan duniawi tetapi masih terikat pada bentuk (rupa) dan konsep.

Rupadhatu terdiri dari enam teras persegi yang simetris dengan empat arah mata angin. Zona ini dihiasi dengan ceruk-ceruk yang menempatkan arca-arca Buddha. Total 432 ceruk berada di Rupadhatu. Peziarah melakukan ritual pradakshina (berjalan memutari candi searah jarum jam) di sepanjang lorong-lorong ini, membaca narasi yang terukir pada relief.

Arupadhatu: Alam Tanpa Bentuk (Teras Melingkar)

Bagian terakhir dan tertinggi adalah Arupadhatu (World of Formlessness), yang menyimbolkan alam tertinggi, yaitu rumah para Dewa atau realitas Nirwana, di mana tidak ada lagi bentuk maupun konsep.

Zona Arupadhatu terdiri dari tiga teras melingkar yang menopang 72 stupa berongga, masing-masing menyembunyikan arca Buddha di dalamnya. Jumlah 72 stupa ini diyakini merepresentasikan “72 prinsip yang terjaga dalam sangkar” dalam tradisi Jawa. Stupa puncak besar di tengah melambangkan Nirwana murni, ketiadaan bentuk tertinggi yang dicari dalam perjalanan spiritual.

Ikonografi Borobudur: Analisis Arca Dan Relief

Borobudur dihiasi secara masif, menjadikannya salah satu monumen ikonografi terkaya di dunia. Terdapat lebih dari 2.600 panel relief yang mengukir ajaran Buddha, kisah Jataka (cerita kehidupan Buddha sebelumnya), dan kehidupan masyarakat masa lalu, serta sekitar 504 arca Buddha.

Simbolisme Numerik dan Inventaris Arca

Jumlah arca Buddha di Borobudur adalah 504. Di bagian Rupadhatu, 432 arca tersebar di ceruk-ceruk pada lima tingkatan teras persegi. Angka 108 yang terdapat di setiap sisi bawah Rupadhatu (108 arca pada setiap arah mata angin) memiliki signifikansi numerologis mendalam dalam ajaran Buddha, merujuk pada 108 tanda fisik yang membedakan seorang Buddha, dan juga merupakan produk dari $27 \times 4$.

Kajian Dhyani Buddha dan Analisis Mudra

504 arca tersebut menggambarkan Dhyani Buddha—Buddha meditatif transendental—yang bukan makhluk bumi yang tercerahkan secara historis, melainkan juru selamat transendental yang duduk dalam meditasi abadi.

Fitur paling menonjol pada arca Borobudur adalah mudra (sikap tangan) yang terbagi secara direksional. Setiap Buddha Dhyani di empat tingkat bawah Rupadhatu menghadap arah mata angin dan menampilkan mudra yang berbeda.

Tabel berikut merangkum klasifikasi arca Dhyani Buddha di Rupadhatu:

Tabel 1: Klasifikasi Arca Dhyani Buddha di Candi Borobudur Berdasarkan Mudra

Tingkat/Posisi Arah Mata Angin Mudra (Sikap Tangan) Jumlah Total (Rupadhatu) Makna Filosofis Utama
Teras Persegi Bawah (Level 1-4) Timur Bhumisparsa 108 Memanggil bumi sebagai saksi pencerahan
Teras Persegi Bawah (Level 1-4) Selatan Varada 108 Pemberian anugerah/kemurahan hati
Teras Persegi Bawah (Level 1-4) Barat Dhyana 108 Meditasi dan konsentrasi
Teras Persegi Bawah (Level 1-4) Utara Abhaya 108 Keberanian dan perlindungan
Teras Persegi Atas (Level 5) Semua Sisi Vitarka 64 Argumen/Pengajaran Kebenaran
Teras Melingkar (Arupadhatu) (Umumnya Dhyana) 72 Alam Nir-bentuk/Pencerahan

Sikap mudra yang paling menarik adalah perubahan pada tingkat teras persegi teratas (Level 5). Di empat tingkat bawah, mudra bersifat direksional, menandakan ritual pemujaan yang terikat pada orientasi kosmik. Namun, di level 5, semua arca menampilkan Vitarka Mudra (sikap mengajar atau argumentasi). Perubahan ini menunjukkan bahwa perjalanan spiritual yang terukir di Borobudur mengharuskan peziarah tidak hanya melakukan ritual pemujaan dan akumulasi kebajikan, tetapi juga mencapai pemahaman intelektual atau doktrinal yang mendalam (Vitarka) sebelum mereka dapat melangkah menuju alam tanpa bentuk (Arupadhatu) di puncak candi.

Kajian Narasi Relief Utama (Lalitavistara dan Gandawyuha)

Borobudur bertindak sebagai ensiklopedia ajaran Buddhis yang diukir pada batu. Dua narasi utama yang dipahatkan adalah:

  1. Lalitavistara: Relief ini menghiasi dinding lorong pertama bagian atas. Narasi ini mencakup kisah perjalanan hidup Bodhisattva Siddharta Gautama, dimulai dari keberadaannya di alam Tusita, kelahirannya sebagai manusia, pencapaian Sammāsambuddha, hingga pembabaran khotbah pertamanya. Analisis ikonografi menunjukkan bahwa terdapat sembilan variasi sikap duduk tokoh Siddharta Gautama yang secara hati-hati merepresentasikan tahapan hidupnya menuju Kebuddhaan. Menariknya, teks Mahayana Lalitavistara ini memiliki kemiripan isi dengan Jātakanidäna (Nidanakāthā) dari mazhab Theravada. Kesamaan ini menunjukkan bahwa Borobudur berfungsi sebagai titik sintesis visual dan filosofis, mengintegrasikan ajaran utama Mahayana dan Theravada, sebuah karakteristik sinkretisme budaya Jawa kuno.
  2. Gandawyuha: Cerita ini menghiasi dinding lorong kedua, terdiri dari 460 pigura. Gandawyuha menceritakan perjalanan spiritual Sudhana dalam mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati, berdasarkan kitab suci Buddha Mahayana. Narasi ini ditutup dengan cerita yang diambil dari kitab Bhadracari.

Konservasi Jangka Panjang Dan Tantangan Kerentanan

Candi Borobudur sebagai monumen terbuka sangat rentan terhadap pengaruh iklim mikro tropis dan degradasi alami dari waktu ke waktu. Namun, tantangan terberat datang dari dampak antropogenik akibat tingginya lalu lintas wisatawan.

Ancaman Degradasi Fisik dan Dampak Antropogenik

Meskipun monumen ini telah direstorasi besar-besaran, blok-blok batu mengalami degradasi yang disebabkan oleh faktor alami dan polusi. Sejak dibuka untuk pariwisata massal, Borobudur menghadapi tantangan serius, termasuk erosi, polusi, dan kerusakan yang diakibatkan oleh lalu lintas pengunjung yang tinggi. Data menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan domestik sangat besar, mencapai puncaknya hingga 3.7 juta pada tahun 2019.

Tingginya jumlah pengunjung yang naik ke struktur candi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap laju kerusakan. Gesekan yang terjadi antara alas kaki konvensional pengunjung dengan permukaan batuan candi, ditambah dengan pasir yang terbawa, secara signifikan mengikis permukaan batu.

Dilema konservasi-ekonomi muncul dari fakta bahwa Candi Borobudur memberikan multiplier effect yang besar pada perekonomian lokal.2 Namun, popularitas ini secara langsung menghasilkan kerusakan mekanis yang mahal dan berpotensi permanen. Pemerintah dihadapkan pada pilihan untuk membatasi akses demi pelestarian atau membiarkan kerusakan berlanjut demi pendapatan pariwisata volume tinggi. Kebijakan tata kelola terbaru merupakan respons proaktif terhadap dilema ini.

Kebijakan Sandal Upanat dan Kuota Akses (Solusi Konservasi Proaktif)

Untuk meminimalisir dampak negatif penggunaan Borobudur sebagai objek wisata, pemerintah melalui Balai Konservasi Borobudur dan pengelola telah menerapkan kebijakan manajemen pengunjung dan penggunaan metode konservasi yang tepat, terutama terkait akses ke struktur candi.

  1. Sandal Upanat Wajib: Kebijakan kunci adalah kewajiban menggunakan sandal khusus yang disebut Upanat bagi wisatawan yang ingin naik ke struktur candi. Upanat terbuat dari busa ati (EVA foam) yang secara signifikan mengurangi risiko pengikisan dan penggerusan permukaan batuan. Nama sandal ini diambil dari relief Karmawibangga (relief 150). Pemberlakuan Upanat ini didasarkan pada studi Balai Konservasi Borobudur.
  2. Kuota Terbatas: Selain Upanat, akses ke struktur candi sangat dibatasi. Kuota pengunjung yang diperbolehkan naik ke struktur diusulkan berada pada jumlah sangat terbatas, seperti 1.000 pengunjung per hari, sementara kunjungan di pelataran (halaman) candi dapat mencapai 4.000 orang. Jumlah ideal kuota harian ini masih dalam tahap uji coba untuk menyeimbangkan pelestarian dan optimalisasi kunjungan.
  3. Pengalaman Premium: Wisatawan yang membeli tiket untuk naik ke struktur (misalnya, WNI dengan harga Rp 120.000) akan menerima Upanat yang dapat dibawa pulang sebagai suvenir, didampingi oleh pemandu wisata yang kompeten, dan mendapatkan minuman gratis.

Kebijakan ini mentransformasi pengalaman wisata menjadi aksi konservasi partisipatif. Pengunjung yang membayar premi untuk akses eksklusif dan terbatas tidak hanya mendapatkan pengalaman yang lebih kaya secara edukasi (didampingi pemandu), tetapi juga secara fisik berpartisipasi dalam upaya pelestarian melalui penggunaan Upanat, mengubah wisatawan menjadi pengawas sementara monumen.

Tata Kelola Warisan Dan Visi Pariwisata Spiritual (Perpres 101/2024)

Transformasi Tata Kelola dan Landasan Hukum Baru

Tata kelola Kompleks Candi Borobudur telah mengalami transformasi signifikan, terutama sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 101 Tahun 2024. Regulasi ini menugaskan PT Taman Wisata Candi (TWC), bagian dari InJourney, untuk menyelenggarakan tata kelola Borobudur, yang harus berpedoman pada ketentuan perundang-undangan dan pedoman teknis tata kelola Kompleks Candi Borobudur.

Landasan hukum ini secara tegas mengarahkan Borobudur untuk menjadi destinasi wisata spiritual, budaya, dan edukasi kelas dunia Penataan dan pelestarian cagar budaya ini dilakukan sesuai dengan rekomendasi UNESCO untuk menjaga Nilai Universal Luar Biasa (OUV) situs ini.

Pengembangan Zona dan Integrasi Regional

Perpres 101/2024 menekankan aspek keberlanjutan melalui pengembangan Zona 2, yang mencakup Heritage Park seluas 60.89 hektar. Pengembangan ini bertujuan untuk melestarikan situs dan ekosistemnya. Visi utama adalah menciptakan klaster seperti Borobudur Spiritual Sanctuary (BSS) dan Taman Flora & Nursery, yang menggabungkan wisata spiritual, edukasi, dan budaya. Institusionalisasi visi spiritual ini melalui Perpres menandakan bahwa pemerintah secara resmi memprioritaskan fungsi spiritual dan pelestarian di atas fungsi komersial murni, didukung oleh pengembangan Zona 2 untuk memfasilitasi aktivitas non-struktural.

Selain itu, tata kelola ini berpegangan pada prinsip-prinsip keberlanjutan dengan mempertimbangkan aspek-aspek infrastruktur, lingkungan, sosial budaya, dan pengembangan wilayah secara regional yang dikenal sebagai Joglosemar (Yogyakarta-Solo-Semarang).

Regulasi Kunjungan Dan Pengalaman Wisatawan

Manajemen akses di Candi Borobudur diatur ketat berdasarkan sistem zonasi dan tarif berjenjang, yang mencerminkan upaya konservasi.

Sistem Zonasi dan Jam Operasional

Akses bagi pengunjung dibagi menjadi dua zona utama:

  1. Zona 1 (Pelataran Candi): Meliputi pelataran dan struktur candi. Akses untuk naik ke struktur sangat terbatas dan diatur oleh kuota. Jam operasional untuk Pelataran Candi (tanpa naik) bervariasi: Senin dibuka pukul 07:30 – 16:30 WIB, sedangkan Selasa hingga Minggu dibuka pukul 08:30 – 15:30 WIB.
  2. Zona 2 (Taman di sekitar candi): Meliputi taman dan area Heritage Park. Zona ini dibuka setiap hari pukul 07:30 – 17:00 WIB.

Struktur Tarif Detail dan Implikasinya

Penerapan tarif memiliki diskriminasi yang signifikan antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Wisatawan Mancanegara (WNA), serta antara kunjungan Pelataran (tanpa naik) dan Struktur (dengan naik), yang bertujuan untuk mendukung biaya konservasi tinggi.

Tabel 2: Struktur Tarif dan Akses Kunjungan Candi Borobudur (Indikatif)

Kategori Tiket Akses Area Harga WNI (Perkiraan) Harga WNA (Perkiraan) Fasilitas Tambahan
Pelataran (Zona 1) Halaman, taman, dan sekeliling candi (tanpa naik struktur) Mulai dari Rp 44.650 Rp 411.000
Struktur Candi (Climbing) Akses penuh hingga puncak monumen (terbatas kuota) Rp 115.200 – Rp 120.000 Rp 450.000 Sandal Upanat, Pemandu Wisata, Minuman

Harga tiket untuk wisatawan yang ingin naik ke struktur candi jauh lebih tinggi dibandingkan hanya menjelajahi pelataran. Selain itu, terdapat pembebanan biaya konservasi yang transparan melalui skema harga tiket WNA yang mencapai 8 hingga 9 kali lipat harga WNI untuk akses pelataran. Dengan membebankan biaya premium ini, terutama kepada wisatawan internasional, pemerintah menerapkan mekanisme pembagian beban konservasi, sambil memastikan bahwa akses kultural tetap terjangkau bagi WNI melalui subsidi silang.

Aksesibilitas dan Logistik Transportasi

Borobudur berlokasi di Kabupaten Magelang, tetapi sangat mudah dijangkau dari Yogyakarta, termasuk dari Bandara Internasional Yogyakarta (YIA). Transportasi umum seperti bus Damri menawarkan layanan terjangkau (mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 15.000 untuk lokal) dengan perkiraan waktu tempuh sekitar 1 jam dari titik-titik utama di Yogyakarta seperti Malioboro. Bagi wisatawan yang mencari fleksibilitas, tersedia banyak opsi sewa mobil dengan sopir, dengan paket all-in untuk perjalanan sehari (sekitar Rp 650.000).

Signifikansi Kultural, Spiritual, Dan Ekonomi Regional

Peran Sentral dalam Peringatan Waisak

Signifikansi spiritual Borobudur terwujud paling nyata dalam perayaan Tri Suci Waisak. Borobudur telah menjadi pusat perayaan Waisak sejak setidaknya tahun 1929, menjadikannya tradisi hidup yang diakui UNESCO.

Perayaan Waisak di Borobudur bukan hanya perwujudan nilai-nilai Buddhis, tetapi juga menciptakan ruang pertemuan antara spiritualitas, aksi sosial, dan kemanusiaan yang berdampak nyata pada masyarakat luas. Peristiwa ini memberikan momentum besar bagi dampak ekonomi daerah, memperkuat posisi Borobudur sebagai destinasi pariwisata kultural dan spiritual dunia.

Dampak Ekonomi Lokal dan Keseimbangan UMKM

Arus wisatawan yang besar ke Borobudur—meskipun fluktuatif akibat krisis global atau pembatasan—secara historis membawa dampak positif bagi ekonomi masyarakat sekitar. Kehadiran Candi Borobudur diharapkan memberikan multiplier effect pada perekonomian daerah, khususnya dengan melibatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) setempat, dengan target pertumbuhan tahunan regional lebih dari 4,7%.

Namun, dengan penerapan pembatasan kunjungan ke struktur candi (Zona 1), terjadi perubahan pola pariwisata. Keberhasilan ekonomi Borobudur ke depan sangat bergantung pada seberapa efektif pengelola (InJourney) dapat mengalihkan lalu lintas wisatawan dan aktivitas komersial/UMKM ke Zona 2 (Heritage Park) dan kawasan sekitar. Redireksi ini memerlukan intervensi kebijakan yang kuat untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi dari model pariwisata spiritual premium tersalurkan secara adil kepada komunitas lokal, yang sebelumnya sangat bergantung pada volume kunjungan di pelataran candi.

Kesimpulan

Candi Borobudur adalah situs warisan dunia yang luar biasa, tidak hanya sebagai mahakarya arsitektur yang merepresentasikan kosmologi Buddhis Tiga Dhatu secara visual dan ikonografi, tetapi juga sebagai pusat spiritual aktif. Namun, monumen ini menghadapi konflik inheren antara kebutuhan konservasi fisik yang mendesak—melawan degradasi alami dan erosi antropogenik yang diakibatkan oleh volume wisatawan masif—dan statusnya sebagai magnet ekonomi global.

Pemerintah Indonesia telah merespons konflik ini melalui kerangka Peraturan Presiden 101 Tahun 2024. Regulasi ini secara fundamental mengubah model pariwisata Borobudur dari pariwisata volume (massal) menjadi pariwisata spiritual (premium dan terbatas), dengan konservasi yang terintegrasi (melalui Upanat dan kuota ketat) sebagai inti dari pengalaman yang ditawarkan. Filosofi ikonografi yang kompleks, terutama pada perubahan Mudra dari direksional ke Vitarka di Rupadhatu, semakin memperkuat perlunya pengalaman kunjungan yang didukung edukasi mendalam.

Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang

Berdasarkan analisis konservasi dan tata kelola terbaru, berikut adalah rekomendasi strategis untuk menjamin keberlanjutan Candi Borobudur:

  1. Standardisasi Pemandu dan Edukasi Filosofis: Kunjungan ke struktur candi bersifat wajib didampingi pemandu. Penting untuk memastikan adanya program sertifikasi dan pelatihan ketat bagi pemandu wisata, yang menekankan pada pemahaman mendalam mengenai ikonografi, simbolisme Mudra, dan narasi relief utama (Lalitavistara, Gandawyuha). Hal ini diperlukan agar pengalaman kunjungan premium yang mahal dan terbatas menghasilkan nilai edukasi dan spiritual yang maksimal, sejalan dengan visi Borobudur Spiritual Sanctuary (BSS).
  2. Penguatan Riset Konservasi Berkelanjutan: Diperlukan pendanaan dan dukungan berkelanjutan untuk penelitian ilmiah mengenai efektivitas jangka panjang metode konservasi, termasuk kinerja material Upanat dan dampak iklim mikro tropis terhadap batuan candi. Riset ini harus menjadi dasar bagi setiap kebijakan manajemen bangunan dan pengunjung di masa depan.
  3. Harmonisasi Pengembangan Ekonomi Regional: Tim Koordinasi berdasarkan Perpres 101/2024 harus secara aktif memastikan bahwa pengembangan infrastruktur dan klaster pariwisata di Zona 2 (Heritage Park) dan kawasan Joglosemar benar-benar menciptakan sistem distribusi ekonomi yang adil bagi UMKM lokal. Pengalihan fokus kunjungan dari struktur candi ke zona penyangga harus diimbangi dengan promosi yang efektif agar manfaat ekonomi dari pariwisata spiritual premium tersalurkan secara merata.