Candi Muara Takus: Bukti Peradaban Buddha Sriwijaya di Sumatera
Tulisan ini menyajikan analisis mendalam dan kritis mengenai Candi Muara Takus, sebuah situs purbakala yang berperan penting dalam jaringan keagamaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Meskipun pertanyaan pengguna mengacu pada lokasi di Jambi, situs Candi Muara Takus secara definitif dan geografis terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Analisis ini bertujuan untuk menempatkan Muara Takus dalam konteks historiografi Sriwijaya, mengulas keunikan arsitektur, dan meninjau kontroversi kronologis serta klaim intelektualnya.
Kontekstualisasi Sejarah Dan Geografis Candi Muara Takus
Klarifikasi Geografis dan Posisi Strategis Muara Takus
Candi Muara Takus merupakan kompleks candi Buddha yang terletak sekitar 150 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau. Lokasi ini berada di muara Sungai Kampar Kanan, pada koordinat 0.3332554N100.6419115 Secara historis, posisi geografis ini sangat strategis. Situs ini terletak di muara Sungai Takus, yang mengalir ke Sungai Kampar Kanan, sebuah jalur sungai yang vital.
Kedekatan dengan sistem sungai besar ini memiliki implikasi geopolitik yang signifikan. Dalam konteks Kerajaan Sriwijaya, jalur sungai berfungsi sebagai koridor utama untuk transportasi dan perdagangan, menghubungkan wilayah pedalaman Kampar dengan pesisir timur Sumatera dan Selat Malaka. Oleh karena itu, Muara Takus tidak hanya berfungsi sebagai pusat keagamaan lokal, tetapi sebagai titik penghubung penting yang memfasilitasi interaksi budaya dan ekonomi antara Sriwijaya dengan dunia luar. Dengan demikian, meskipun sering dikaitkan dengan Jambi karena konotasi Sriwijaya yang luas, Muara Takus adalah pusat spiritual yang dominan di wilayah Riau.
Etimologi Nama “Muara Takus”: Interpretasi Multikultural
Terdapat dua teori utama mengenai asal-usul penamaan kompleks percandian ini. Teori pertama, yang lebih sederhana dan bersifat lokal, menyebutkan bahwa Muara Takus diambil dari nama anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara di Sungai Kampar Kanan.
Teori kedua menawarkan interpretasi linguistik yang lebih kaya, yaitu bahwa Muara Takus berasal dari bahasa Tionghoa, gabungan tiga kata: Ta yang berarti besar, Ku yang berarti tua, dan Se yang berarti candi atau kuil. Berdasarkan interpretasi ini, Candi Muara Takus diartikan sebagai “candi tua besar yang letaknya ada di muara sungai”. Penggunaan istilah Tionghoa untuk mendeskripsikan situs ini menunjukkan bahwa kompleks ini sudah dikenal secara luas dan diakui sebagai pusat keagamaan penting oleh para pedagang atau peziarah Tiongkok pada masa Sriwijaya. Penamaan yang menggunakan atribut “Besar” dan “Tua” menguatkan status Candi Muara Takus sebagai situs yang dominan dan signifikan di Sumatera, konsisten dengan klaim bahwa ini adalah peninggalan kebudayaan besar Sriwijaya.
Signifikansi Historis: Muara Takus dalam Jaringan Sriwijaya
Candi Muara Takus merupakan salah satu peninggalan sejarah yang menguatkan bukti berkembangnya agama Buddha di Sumatera beberapa abad silam. Situs ini diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan sering disebut sebagai kompleks candi Buddha tertua di Indonesia. Keberadaannya menjadi saksi bisu peradaban yang pernah tumbuh subur di masa lalu.
Meskipun banyak pakar menegaskan bahwa Muara Takus merupakan bukti perkembangan agama Buddha, terdapat pula pandangan yang meyakini situs ini pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya. Namun, ketika meninjau bukti fisik yang tersisa, bangunan yang dominan adalah struktur keagamaan (stupa dan vihara). Struktur arsitektur yang berfokus pada fungsi ritual menunjukkan bahwa fungsi utama Muara Takus adalah sebagai pusat ritual dan spiritual yang sangat penting bagi Sriwijaya.
Jika Muara Takus memang menjadi pusat pemerintahan, struktur selain kuil keagamaan (seperti kompleks istana atau administrasi) seharusnya ditemukan secara masif. Karena bukti fisik yang dominan adalah religius, penafsiran yang lebih kuat adalah bahwa Muara Takus berfungsi sebagai pusat spiritual utama, mungkin mendampingi pusat administrasi yang lebih berorientasi maritim (seperti Palembang atau, pada fase pertengahan, Muaro Jambi). Situs ini merupakan bukti penting penyebaran agama Buddha, terutama aliran Buddha Mahayana, di Nusantara.
Kronologi Dan Kontroversi Penanggalan
Debat Kronologis: Argumentasi Abad ke-7, ke-9, dan ke-11
Penentuan tahun pembangunan Candi Muara Takus masih menjadi subjek misteri dan perdebatan di kalangan para ahli. Perkiraan rentang waktu pembangunannya sangat luas, mulai dari abad ke-7, abad ke-9, hingga ada yang meyakini dibangun pada abad ke-11 Masehi. Bahkan, struktur candi dan sisa-sisa arkeologis yang masih bertahan saat ini diperkirakan berasal dari abad ke-11 dan ke-12 Masehi.
Rentang waktu yang lebar ini—mencakup hingga 400 tahun—mencerminkan tantangan besar dalam arkeologi, terutama dalam menanggulangi material konstruksi utamanya, yaitu bata merah. Berbeda dengan batu andesit atau batu vulkanik yang sering digunakan di Jawa, material bata cenderung lebih sulit untuk diberikan penanggalan absolut tanpa adanya prasasti utuh yang mendampingi.
Jika penanggalan arsitektural saat ini (abad ke-11/12) diterima, hal ini menimbulkan implikasi sejarah yang menarik. Pembangunan signifikan situs ini terjadi setelah serangan besar Kerajaan Chola dari India Selatan terhadap Sriwijaya pada abad ke-11. Pembangunan besar pasca-serangan Chola mungkin mengindikasikan adanya pergeseran kekuasaan atau pusat keagamaan Sriwijaya ke wilayah pedalaman Sumatera, yang lebih aman dari ancaman laut, atau mencerminkan fase rekonstruksi dan konsolidasi kekuasaan pasca-perang di wilayah yang terpencil namun strategis.
Bukti Paleografi: Analisis Prasasti dan Artefak Bertulis
Penelitian paleografi yang dilakukan oleh arkeolog kolonial memberikan petunjuk penting mengenai usia dan fungsi situs. J.W. Ijzerman, seorang insinyur berkebangsaan Belanda, pada tahun 1889-1890 telah melakukan penelitian, pengukuran, dan pemetaan. Dalam catatan perjalanannya (1893), Ijzerman mencatat sketsa fragmen prasasti berkasara Nāgarī yang ditemukan di Candi Bungsu.
Bukti paling krusial ditemukan 45 tahun kemudian oleh F. M. Schnitger pada tahun 1935. Saat melakukan ekskavasi di reruntuhan Candi Bungsu, Schnitger menemukan bata berbentuk bunga teratai yang di dalamnya terdapat abu dan lempeng emas yang bergambar wajra serta tulisan aksara Nāgarī. Aksara Nāgarī adalah skrip yang berasal dari India Utara dan sering digunakan dalam konteks Buddhisme Tantrik atau Mahayana, khususnya antara abad ke-7 hingga ke-12 Masehi.
Kehadiran aksara Nāgarī, alih-alih aksara Kawi atau aksara lokal yang lebih umum, memberikan batasan periodisasi yang penting. Ini menunjukkan adanya pengaruh langsung atau kontak budaya yang kuat dari tradisi India Utara, menempatkan fase ritual Candi Bungsu ke dalam periode Sriwijaya Awal hingga pertengahan (Abad ke-7 hingga ke-9 Masehi), jauh lebih tua daripada perkiraan arsitektur abad ke-11 yang dominan. Kontradiksi ini menyiratkan bahwa situs ini telah digunakan sebagai pusat ritual suci sejak fase awal Sriwijaya, dengan bangunan bata yang ada sekarang kemungkinan merupakan rekonstruksi di atas fondasi yang lebih tua.
Bukti Arsitektur: Perbandingan Gaya dan Material
Candi Muara Takus menggunakan material utama berupa batu bata dan batu pasir. Materialitas ini sangat berbeda dari material batu vulkanik yang mendominasi kompleks candi di Jawa. Penggunaan batu bata secara ekstensif merupakan respons teknologis terhadap lingkungan geografis dataran rendah dan aluvial di Sumatera yang tidak memiliki sumber daya batu vulkanik (andesit). Adaptasi ini menghubungkan Muara Takus dengan kompleks candi lain di Sumatera, seperti Situs Muaro Jambi dan Situs Bahal, yang juga dibangun menggunakan material bata merah.
Kompleks ini memiliki keunikan struktural yang menawan, dengan kombinasi batu bata dan batu pasir yang berbeda untuk setiap candi. Penggunaan material yang bervariasi ini tidak hanya memunculkan keunikan pada bentuk dan detail candi, tetapi juga dapat menjadi indikator adanya fase pembangunan atau pemugaran yang berbeda, menunjukkan bahwa kompleks ini tumbuh dan berkembang seiring waktu.
Anatomi Kompleks Candi Muara Takus: Analisis Arsitektural
Kompleks Candi Muara Takus adalah sebuah karya arsitektur Buddha dengan struktur yang unik dan menawan. Kompleks ini dibatasi oleh tembok pagar keliling yang terbuat dari bata dan batu pasir (sandstone) dengan ukuran 74 meter kali 74 meter dan tinggi sekitar 1 meter.
Tata Ruang Kompleks dan Orientasi
Tata ruang Candi Muara Takus menunjukkan adanya desain terencana yang menciptakan batasan sakral yang jelas melalui tembok pagar keliling 74×74 meter. Pembatasan ruang ini penting karena mengindikasikan hierarki dan kontrol akses, yang merupakan ciri khas dari pusat ritual keagamaan penting. Selain itu, bangunan candi di Sumatera mempertimbangkan keberadaan gunung dan sungai sebagai acuan tata letak, meskipun pengaruhnya tidak terlalu dominan pada orientasi bangunan.9 Keterkaitan dengan elemen alam ini adalah bagian dari kosmologi Buddhis yang menempatkan tempat suci dalam keselarasan dengan lingkungan.
Materialitas Unik: Komposisi Bata dan Batu Pasir
Keempat candi utama di kompleks Muara Takus (Tuo, Bungsu, Mahligai, dan Palangka) menggunakan kombinasi batu bata dan batu pasir yang berbeda, bahkan pada bagian candi yang berbeda pula. Perbedaan kombinasi material ini, selain menunjukkan adaptasi lingkungan, juga bisa menandakan evolusi gaya arsitektur atau ketersediaan sumber daya selama periode konstruksi yang berbeda. Misalnya, batu pasir mungkin digunakan untuk memperkuat elemen struktural tertentu atau untuk detail dekoratif, sementara bata digunakan sebagai material inti.
Deskripsi Struktur Utama (The Quadruple Temples)
Kompleks percandian Muara Takus terdiri dari empat candi yang berdekatan tetapi mempunyai langgam arsitektur dan dimensi yang berbeda. Selain empat candi utama, di sebelah Utara (depan gerbang Candi Tuo) terdapat onggokan tanah yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran jenazah, termasuk dalam kawasan pemeliharaan kompleks.
Candi Tuo (Tua)
Candi Tuo adalah bangunan utama dan merupakan candi terbesar di kompleks tersebut, berukuran 32.80 meter kali 21.80 meter. Letaknya berada di sebelah utara Candi Bungsu. Pada sisi timur dan barat, terdapat tangga yang aslinya diperkirakan dihiasi stupa. Pada penemuan awalnya, Candi Tuo berbentuk sangat sederhana, sehingga bangunan ini telah melalui proses pemugaran yang cukup signifikan untuk mencapai bentuknya yang sekarang.
Candi Mahligai
Candi Mahligai, dikenal karena bentuk stupa menaranya yang elegan, memiliki dimensi bujur sangkar 10.44 meter kali 10.60 meter, dengan ketinggian mencapai 14.30 meter.
Candi Mahligai merupakan subjek perdebatan mengenai tipologi religiusnya. Meskipun secara umum diyakini sebagai candi Buddha, beberapa pendapat mengemukakan bahwa bentuk bangunannya menyerupai lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan), lambang yang kuat dalam konteks Hindu Syiwa. Kemiripan ini dapat diinterpretasikan bukan sebagai kontradiksi, melainkan sebagai manifestasi dari sinkretisme filosofis. Dalam praktik keagamaan Sriwijaya, fusi antara Buddhisme Tantrik (Mahayana/Vajrayana) dan elemen-elemen Hindu Syiwa sering terjadi, menunjukkan adanya penyesuaian bentuk lokal di Sumatera yang mengakomodasi elemen Shaivaite di dalam praktik Buddhis. Bentuk stupa yang unik ini sebagian besar menggunakan batu bata dengan sedikit batu pasir.
Candi Bungsu
Candi Bungsu terletak di sebelah Barat Candi Mahligai. Bangunan ini terbuat dari kombinasi batu pasir dan batu bata. Meskipun namanya berarti ‘bungsu’ (termuda), candi ini menyimpan bukti paleografi dan ritual paling penting. Di sinilah Ijzerman mencatat sketsa prasasti Nāgarī , dan di sinilah Schnitger menemukan artefak kunci: lempeng emas bergambar wajra dan aksara Nāgarī, di dalam bata berbentuk teratai, bersama abu. Penemuan ini mengukuhkan Candi Bungsu sebagai pusat ritual Vajrayana yang sangat sakral, berfungsi sebagai dharmadhatu (tempat penyimpanan relik suci).
Candi Palangka
Candi Palangka merupakan candi terkecil dalam kompleks ini, terletak 3.85 meter sebelah Timur Candi Mahligai. Bangunannya terbuat dari batu bata merah yang tidak dicetak. Relung-relung batu yang tersusun berbeda dengan dinding Candi Mahligai. Sebelum dipugar, bagian kakinya terbenam sekitar satu meter.
Tabel 1: Komponen Utama Kompleks Candi Muara Takus: Dimensi dan Karakteristik
| Nama Candi | Fungsi Utama | Dimensi (Perkiraan) | Material Dominan | Catatan Arsitektur Utama |
| Candi Tuo (Tua) | Bangunan Utama/Terbesar | 32.80 m x 21.80 m | Batu Bata | Stupa besar, tangga di Timur dan Barat; subjek pemugaran signifikan. |
| Candi Mahligai | Stupa Menara (Tinggi) | 10.44 m x 10.60 m (tinggi 14.30 m) | Batu Bata & Batu Pasir | Stupa unik, diduga memiliki elemen Lingga-Yoni/Sinkretisme Syiwa-Buddha. |
| Candi Bungsu | Stupa Kecil/Ritual | Tidak Disebutkan | Batu Pasir & Batu Bata | Lokasi penemuan prasasti Nāgarī dan artefak wajra/emas, menunjukkan ritual Mahayana/Vajrayana. |
| Candi Palangka | Teras Tinggi/Terkecil | Tidak Disebutkan | Batu Bata Merah | Candi terkecil, terletak di Timur Candi Mahligai. |
Peran Filosofis Dan Religius: Buddhisme Mahayana Dan Sinkretisme
Muara Takus sebagai Pusat Ritual Mahayana
Candi Muara Takus secara definitif merupakan kompleks candi Buddha. Hal ini terlihat dari keberadaan stupa, yang merupakan lambang Buddha Gautama. Situs ini digunakan sebagai tempat peribadatan serta ritual umat Buddha. Secara spesifik, kompleks ini sangat erat kaitannya dengan Buddhisme Mahayana.
Konfirmasi aliran Buddhis di situs ini diperkuat oleh temuan arkeologis. Lempeng emas beraksara Nāgarī yang ditemukan di Candi Bungsu juga dihiasi dengan gambar wajra.5 Wajra adalah simbol yang esensial dalam praktik Vajrayana, sebuah cabang dari Mahayana yang berkembang di Asia Selatan dan Tenggara pada masa Sriwijaya. Temuan ini tidak hanya menegaskan identitas Mahayana tetapi juga menunjuk pada praktik Tantrik yang mendalam di Muara Takus.
Simbolisme Arsitektural
Meskipun dibangun dari bata di dataran rendah, arsitektur Muara Takus mematuhi prinsip kosmologi Buddhis. Bangunan candi di Sumatera, termasuk Muara Takus, cenderung masih mengacu pada konsep Asta Bumi (konsep delapan arah mata angin atau orientasi bumi). Selain itu, kompleks ini memiliki replika gugusan gunung.
Kehadiran replika gugusan gunung yang selaras dengan konsep Asta Bumi menunjukkan bahwa tata ruang Candi Muara Takus dirancang berdasarkan kosmologi Meru, di mana candi meniru Gunung Meru, pusat semesta dalam keyakinan Hindu-Buddha. Hal ini membuktikan bahwa Muara Takus adalah bagian integral dari tradisi arsitektur keagamaan Asia Tenggara yang berbasis pada filosofi India, meskipun kompleks ini berhasil mengadaptasi tradisi tersebut dengan menggunakan material dan teknik konstruksi lokal (bata) di lingkungan sungai.
Muara Takus Sebagai Pusat Intelektual: Hipotesis Universitas Dharmaphala
Latar Belakang Klaim Universitas Tertua Dunia
Muara Takus tidak hanya diyakini sebagai pusat ritual, tetapi juga pusat pendidikan tinggi. Terdapat klaim signifikan yang menyatakan bahwa Candi Muara Takus adalah lokasi dari Universitas Dharmaphala, sebuah lembaga pendidikan yang diyakini sebagai universitas tertua di dunia, mengungguli University of Al-Karaouine di Maroko (didirikan 859 Masehi).7 Klaim mengenai Universitas Dharmaphala ini disuarakan dalam sebuah Seminar Internasional dan Pameran Benda-Benda Bersejarah Melayu Tua (Minanga Kanwa) pada tahun 2019.
Tinjauan Kritis: Konsep “Ajaran Asli Dharmik” vs. Buddhisme Sriwijaya
Menurut penelitian yang mendasari klaim ini, Universitas Dharmaphala adalah tempat pembelajaran bagi misionaris dan pelajar dari Asia Timur dan Asia Tengah untuk mempelajari kitab suci “Dharmik Asli”. Penelitian ini lebih lanjut mengklaim bahwa “Ajaran Asli Dharmik” Nusantara ini bersifat monoteistik (mengakui Tuhan tunggal), dan bukan ajaran Buddha atau Hindu yang umum dikenal.
Klaim narasi revisionis ini menciptakan ketegangan dengan bukti material yang solid. Bukti arkeologis yang tak terbantahkan, yaitu stupa sebagai simbol Buddha Gautama dan artefak wajra, merupakan lambang universal Buddhisme Mahayana/Vajrayana, yang merupakan tradisi henoteistik/politeistik. Adalah penting untuk mengakui potensi ajaran lokal yang unik; namun, klaim monoteisme yang ekstrem tanpa bukti paleografi kuat yang mendukungnya (berbeda dari temuan Nāgarī Mahayana) harus ditinjau secara kritis, terutama karena sumbernya secara eksplisit bertujuan menantang historiografi tradisional yang dikaitkan dengan narasi kolonial. Hingga kini, bukti material utama di Muara Takus tetap mengarahkan pada identifikasi Buddhis Mahayana/Vajrayana.
Kaitan dengan Muaro Jambi dan Situs Lain: Jaringan Pendidikan
Meskipun klaim Dharmaphala masih memerlukan validasi lebih lanjut, terdapat spekulasi yang menghubungkan Muara Takus dengan jaringan keagamaan dan pendidikan yang lebih luas di Sumatera. Kompleks Situs Muaro Jambi (yang merupakan situs purbakala terluas di Asia Tenggara) dan Situs Bahal (di Padang Lawas, Sumatera Utara) diduga sebagai cabang dari Universitas Dharmaphala yang berpusat di Muara Takus.
Situs-situs ini memiliki kemiripan signifikan: dibangun dari material bata merah, terletak di dataran rendah rawan banjir, dan berada di dekat sungai besar (Sungai Kampar untuk Muara Takus, Sungai Batanghari untuk Muaro Jambi). Kesamaan dalam materialitas dan tata letak ini mengindikasikan adanya standar arsitektur dan fungsional yang seragam dalam jaringan pendidikan atau keagamaan Sriwijaya yang meluas di sepanjang koridor sungai Sumatera.
Tokoh-tokoh Ziarah (I-Tsing, Fa-Huan): Analisis Peran Mereka
Sejarah mencatat bahwa misionaris dan peziarah besar dari Tiongkok, seperti Fa-Huan, Hieun-Tsang, dan I-Tsing, datang ke Sriwijaya. Menurut klaim Dharmaphala, para tokoh ini datang ke Muara Takus untuk “Belajar, mencatat, dan menyalin kitab suci ‘Dharmik Asli'”.
Dalam historiografi tradisional, I-Tsing (abad ke-7 M) dikenal tinggal lama di Sriwijaya untuk belajar Sanskerta dan ajaran Mahayana sebelum melanjutkan perjalanannya ke India. Meskipun lokasi spesifik tempat I-Tsing belajar tidak tercatat secara definitif, Muara Takus, dengan bukti paleografi Nāgarī yang berpotensi berasal dari abad ke-7 hingga ke-9 Masehi, merupakan kandidat kuat sebagai salah satu pusat utama pendidikan Buddhis di bawah otoritas Sriwijaya di mana para sarjana asing tersebut mungkin pernah tinggal dan menimba ilmu.
Kronologi Penelitian Arkeologi Dan Temuan Signifikan
Periode Awal (1880-1890): Penemuan dan Pemetaan
Penelitian dan dokumentasi arkeologi terhadap Candi Muara Takus dimulai pada akhir abad ke-19. Rogier Verbeek dan Van Delden melanjutkan penelitian Groeneveldt pada tahun 1880, dan berhasil menemukan tembok pagar keliling kompleks percandian.
Sembilan tahun kemudian (1889), J.W. Ijzerman melanjutkan pekerjaan dengan melakukan penelitian, pengukuran, dan penggambaran secara sistematis. Ijzerman mendokumentasikan tata letak kompleks, termasuk batas pagar 74 x 74 meter, Candi Mahligai, Candi Bungsu, Candi Tua, dan teras tinggi Palangka. Kontribusi Ijzerman sangat penting karena ia juga mencatat sketsa Prasasti berkasara Nāgarī di Candi Bungsu, yang menjadi titik awal bagi analisis paleografi situs.
Kontribusi F. M. Schnitger (1935): Penemuan Inti
- M. Schnitger melakukan ekspedisi dan ekskavasi lanjutan pada tahun 1935. Schnitger membuat penemuan yang dianggap paling signifikan secara ritual. Di reruntuhan Candi Bungsu, ia menemukan bata yang dibentuk menyerupai bunga teratai. Di dalamnya ditemukan abu, serta sebuah lempeng emas bergambar wajra (simbol Vajrayana) dan tulisan aksara Nāgarī.
Penemuan lempeng emas dengan wajra dan abu ini sangat bernilai. Adanya abu menunjukkan kemungkinan dilakukannya ritual kremasi atau deposit relik suci. Artefak wajra secara tegas mengonfirmasi praktik Buddhisme Vajrayana atau Tantrik di kompleks ini. Temuan ini menempatkan Candi Bungsu sebagai pusat ritual yang sangat sakral, yang kemungkinan berfungsi sebagai dharmadhatu atau tempat peletakan benda-benda suci yang penting bagi spiritualitas Sriwijaya.
Upaya Konservasi dan Pemugaran
Candi Muara Takus telah melalui pemugaran yang cukup signifikan karena pada penemuan awalnya, bentuknya sangat sederhana dan tidak seperti yang terlihat sekarang. Candi Tuo, sebagai bangunan terbesar, adalah subjek utama dari pemugaran ekstensif ini.
Di samping bangunan utama, terdapat onggokan tanah di depan gerbang Candi Tuo yang diyakini sebagai tempat pembakaran jenazah kuno. Tempat ini unik karena onggokan tanahnya mengandung batu-batu kerikil yang berasal dari Sungai Kampar. Area pembakaran jenazah ini juga termasuk dalam program pemeliharaan kompleks. Upaya konservasi terus dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya untuk memastikan kelangsungan situs, mengingat kerentanan material bata terhadap lingkungan yang lembab.
Tabel 2: Kronologi Penelitian dan Temuan Utama di Candi Muara Takus
| Tahun | Peneliti Kunci | Temuan/Kegiatan Signifikan | Signifikansi Arkeologis |
| 1880 | Rogier Verbeek & Van Delden | Penemuan tembok pagar keliling dan publikasi tulisan. | Penetapan batas fisik dan dokumentasi awal kompleks. |
| 1889-1890 | J.W. Ijzerman | Pengukuran, pemetaan, dan pencatatan sketsa Prasasti berkasara Nāgarī di Candi Bungsu. | Menyediakan data paleografi kunci untuk penentuan usia. |
| 1935 | F. M. Schnitger | Penemuan lempeng emas beraksara Nāgarī dan wajra di dalam bata teratai (Candi Bungsu). | Konfirmasi praktik Vajrayana dan fungsi ritual sakral Candi Bungsu. |
| Kontemporer | Balai Pelestarian Cagar Budaya | Pemugaran Candi Tuo dan konservasi situs kremasi. | Memastikan kelangsungan situs sebagai warisan budaya dan tempat ziarah. |
Pengelolaan Modern Dan Narasi Lokal
Candi Muara Takus dalam Pelaksanaan Hari Waisak
Meskipun merupakan situs purbakala, Muara Takus tetap memegang peran penting dalam kehidupan beragama kontemporer di Sumatera. Kompleks ini secara rutin digunakan untuk perayaan Hari Raya Waisak. Pemanfaatan situs kuno untuk ritual modern menunjukkan bahwa Muara Takus tidak hanya dihormati sebagai artefak sejarah, tetapi juga sebagai tempat suci yang hidup. Kegiatan perayaan Waisak ini secara simbolis kerap dikaitkan dengan upaya membangkitkan “Spirit Sriwijaya” untuk memperkuat bangsa, mengintegrasikan warisan Buddha kuno ke dalam narasi identitas nasional dan regional modern.
Misteri, Legenda Lokal, dan Sungai Kampar
Kompleks Muara Takus diselimuti oleh sejumlah misteri dan legenda lokal yang memperkaya nilai budayanya. Salah satu kisah yang tercatat adalah mengenai kawanan gajah yang muncul dan ikut berziarah. Narasi ini menunjukkan bahwa situs ini tertanam kuat dalam kosmologi dan mitos lokal masyarakat Riau, menghubungkannya dengan kekuatan alam dan makhluk suci. Keterkaitan situs dengan lingkungan alam juga didukung oleh temuan fisik; tempat pembakaran jenazah di kompleks candi ditemukan mengandung batu-batu kerikil yang berasal dari Sungai Kampar. Ketergantungan pada Sungai Kampar, baik sebagai jalur hidup maupun sumber material ritual, menegaskan bahwa situs ini dibangun dalam harmoni dengan ekosistem fluvial setempat.
Aspek Konservasi dan Potensi Pengembangan
Candi Muara Takus saat ini dikelola sebagai tujuan wisata budaya, beroperasi setiap hari mulai pukul 08:00 hingga 18:00 WIB, dengan harga tiket masuk sebesar Rp10.000. Kawasan asli candi ini diketahui cukup luas, mencapai sekitar 4 kilometer persegi.
Mengingat luasnya area dan material utama yang terbuat dari bata, konservasi menjadi tantangan berkelanjutan. Material bata merah, terutama yang terletak di dataran rendah tepi sungai, rentan terhadap erosi, kelembaban tinggi, dan pelapukan. Oleh karena itu, potensi pengembangan situs sebagai destinasi warisan budaya global harus diimbangi dengan upaya konservasi mendalam dan investasi dalam teknologi pemeliharaan material bata.
Penutup
Candi Muara Takus berdiri sebagai representasi krusial dan unik dari peradaban Kerajaan Sriwijaya di Sumatera bagian tengah. Kompleks ini merupakan pusat ritual yang vital bagi Buddhisme Mahayana dan Vajrayana, sebagaimana dikonfirmasi oleh temuan artefak wajra dan prasasti aksara Nāgarī.
Kesimpulan Kunci:
- Tipologi Arsitektur Unik: Muara Takus menampilkan adaptasi teknologi konstruksi dengan menggunakan material bata dan batu pasir yang berbeda di tiap bangunannya, sebagai respons terhadap lingkungan aluvial Sumatera. Struktur seperti Candi Mahligai, dengan dugaan elemen Lingga-Yoni, mengindikasikan adanya sinkretisme religius yang khas pada periode Sriwijaya akhir.
- Kontradiksi Kronologis: Terdapat konflik antara bukti paleografi (aksara Nāgarī yang cenderung mengarah ke abad ke-7 hingga ke-9 Masehi) dan penanggalan arsitektural yang dominan (abad ke-11 hingga ke-12 Masehi). Konflik ini menunjukkan bahwa situs Muara Takus telah menjadi pusat ritual suci sejak fase awal Sriwijaya dan mengalami pembangunan kembali atau perluasan besar, kemungkinan dipicu oleh pergeseran strategis pasca-konflik dengan Chola.
- Jaringan Intelektual: Muara Takus jelas merupakan pusat pendidikan penting dalam jaringan Sriwijaya, seperti yang dikaitkan dengan lokasi persinggahan para peziarah Tiongkok. Meskipun terdapat klaim kontroversial mengenai Universitas Dharmaphala dan ajaran monoteistik, bukti material utama situs secara meyakinkan mendukung identitasnya sebagai pusat Vajrayana yang terhubung dengan situs-situs bata besar lainnya seperti Muaro Jambi.
Diperlukan penelitian multidisiplin yang lebih mendalam untuk mengatasi ambiguitas kronologis dan fungsional.
- Penanggalan Absolut: Penelitian harus difokuskan pada penanggalan mutlak (misalnya, melalui teknik OSL dating pada material bata) untuk memperjelas fase konstruksi dan hubungannya dengan penanggalan paleografi aksara Nāgarī yang ditemukan Ijzerman dan Schnitger.
- Validasi Hipotesis Dharmaphala: Klaim mengenai Universitas Dharmaphala harus diteliti secara ilmiah dan tidak subjektif. Perlu dicari bukti-bukti tekstual atau epigrafi yang mengonfirmasi identitas non-Buddhis/non-Hindu dari ajaran yang diberikan, untuk memvalidasi atau menolak narasi revisionis ini.
- Konservasi Struktural: Mengingat material bata yang rapuh, penelitian konservasi perlu diprioritaskan untuk mengembangkan metode perlindungan jangka panjang terhadap kerusakan lingkungan lembab tepi sungai.


