Esports sebagai Arsitek Jembatan Budaya: Strategi Adaptasi Bahasa dan Integrasi Organisasi Tim Multinasional
Esports profesional, pada dasarnya, mewakili bentuk kompetisi global yang menembus batas-batas geografis dan linguistik. Fenomena ini menciptakan entitas organisasi yang unik—tim multinasional—yang harus menyelaraskan pemain dari berbagai latar belakang budaya di bawah tekanan kompetisi yang intens dan real-time. Analisis mendalam mengenai dinamika internal tim ini sangat penting untuk memahami bagaimana industri esports berfungsi bukan hanya sebagai arena hiburan, tetapi sebagai laboratorium eksperimental untuk integrasi lintas budaya yang dipercepat.
Esports Global: Dinamika Keberagaman dan Kebutuhan Integrasi
Industri esports kompetitif yang beroperasi pada tingkat global, khususnya pada judul-judul Tier 1 seperti Valorant, Dota 2, dan Counter-Strike 2 (CS2), secara inheren bersifat multinasional. Organisasi esports profesional senantiasa mencari talenta terbaik, yang secara alami melampaui batas kedaulatan negara. Bukti nyata prevalensi tim multinasional terlihat dalam acara-acara besar seperti VALORANT Game Changers Championship 2025, di mana terdapat pertandingan antara entitas global seperti Team Liquid Brazil melawan KRÜ Blaze.
Organisasi besar yang diakui secara internasional, seperti LOUD, Sentinels, Natus Vincere (NAVI), Fnatic (FNC), T1, dan Blacklist International (BLCK), semuanya mengelola roster yang sering kali didominasi oleh pemain dari beragam kebangsaan, mencerminkan sifat global kompetisi. Sebagai contoh spesifik, G2 Esports memiliki divisi Valorant yang berkompetisi di VCT Americas. Kualitas tim yang tinggi dan tingkat persaingan yang ketat mendorong organisasi untuk merekrut bakat terbaik tanpa memandang asal negara, seperti G2 Esports yang memperkuat roster-nya dengan penambahan pemenang VCT Champions untuk berjuang meraih trofi di kancah internasional.
Untuk mencapai kohesi tim yang diperlukan untuk kinerja puncak, tim multinasional sangat bergantung pada pembentukan Identitas Superordinate. Kerangka teoritis ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan integrasi budaya terletak pada kemampuan organisasi untuk menonjolkan identitas kelompok yang lebih tinggi (yaitu, identitas tim atau merek organisasi) di atas identitas sub-kelompok (identitas nasional, etnis, atau budaya). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa keragaman budaya hanya meningkatkan kualitas strategi tim apabila identitas gamer menjadi lebih menonjol. Kondisi ini tercipta ketika para pemain terpapar secara intensif terhadap dunia permainan dan lingkungan “lapangan rumah” (home court), seperti team house.
Kebutuhan integrasi dalam lingkungan esports profesional jauh lebih cepat dan mendesak dibandingkan dengan Korporasi Multinasional (MNC) tradisional. Dalam Tim Esports Multinasional (TEM), kegagalan integrasi psikologis atau strategis dapat menyebabkan kekalahan seketika dalam turnamen bertekanan tinggi dengan implikasi finansial dan reputasi yang signifikan. Oleh karena itu, paparan intensif dan tinggal bersama di team house merupakan strategi manajemen budaya yang paling efektif dalam industri ini. Lingkungan ini berfungsi sebagai “jalur cepat” atau fast track untuk membangun kohesi psikologis dan strategis dalam waktu yang terbatas, menjelaskan mengapa investasi pada lingkungan hidup bersama merupakan prioritas kritis bagi organisasi Tier 1.
Struktur Ketenagakerjaan Global dan Tantangan HR
Meskipun fokus utama berada pada kinerja in-game, tim esports multinasional adalah organisasi ketenagakerjaan yang harus menerapkan strategi Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) global. Manajemen SDM yang efektif dalam lingkungan yang beragam dan global harus memprioritaskan pembangunan budaya perusahaan yang kuat dan konsisten. Budaya ini harus mampu menyatukan karyawan (pemain) dari berbagai latar belakang dalam satu visi dan tujuan bersama. Selain itu, organisasi harus fokus pada pengembangan karir dan retensi karyawan di lingkungan multinasional.
Namun, struktur global ini juga membawa risiko manajerial dan kepatuhan yang signifikan. Kegagalan dalam manajemen global, terutama dalam aspek finansial dan kontrak, dapat memicu skandal yang merusak kepercayaan dan kohesi tim. Sebagai contoh, sejarah esports mencatat kasus-kasus serius seperti skandal non-pembayaran gaji pemain. Kasus Denial Esports, di mana tim tersebut berutang sebesar US$3.000 kepada pemain Halo dan tidak membayar dua bulan gaji pemain divisi League of Legends, menyoroti bagaimana masalah finansial dan kontrak, yang diperparah oleh keragaman yurisdiksi dan latar belakang pemain, dapat merusak fondasi organisasi multinasional. Konflik semacam ini dapat diperparah oleh kurangnya transparansi dalam hubungan antara sponsor dan tim atau pemain. Masalah-masalah tersebut dapat menghambat pengembangan pemain dan tim secara keseluruhan, mengingat kebutuhan akan latihan yang intensif.Â
Hambatan Kultural dan Linguistik dalam Lingkungan Kompetitif Tinggi
Dua tantangan terbesar yang dihadapi tim multinasional adalah hambatan komunikasi linguistik real-time dan perbedaan fundamental dalam gaya interaksi dan manajemen konflik yang berakar dari budaya masing-masing pemain.
Tantangan Komunikasi Linguistik Real-Time
Dalam permainan multipemain daring yang kompetitif, komunikasi tim adalah elemen krusial untuk menyelaraskan strategi permainan secara real-time.9 Namun, ketika tim terdiri dari pemain yang tidak memiliki bahasa ibu yang sama, masalah komunikasi melampaui sekadar kendala bahasa.
Hambatan bahasa memicu masalah latency kognitif. Dalam game yang menuntut keputusan dalam hitungan sepersekian detik, seperti Mobile Legends (ML) atau Valorant, pemain dituntut untuk memiliki visi dan misi yang sama untuk mencapai kemenangan. Jika komunikasi antar pemain sering kali terhambat atau disalahartikan karena kurangnya bahasa dan ucapan yang memadai , efisiensi strategis tim akan berkurang drastis. Proses penerjemahan mental instruksi atau pemrosesan informasi taktis dalam bahasa kedua (biasanya bahasa Inggris) memerlukan waktu pemrosesan kognitif yang, meskipun singkat, dapat menjadi perbedaan antara kemenangan dan kekalahan.
Masalah komunikasi linguistik ini diperparah oleh isu-isu teknologi. Masalah koneksi internet (latency atau lag) menyebabkan delay dalam komunikasi voice chat, menghambat penerimaan instruksi secara real-time. Selain itu, kualitas perangkat keras yang buruk, seperti mikrofon dan headphone yang menghasilkan suara yang tidak jelas atau terganggu oleh noise, membuat komunikasi menjadi sulit.
Kualitas teknologi komunikasi, termasuk koneksi dan perangkat audio yang superior, berfungsi sebagai mekanisme mitigasi risiko kegagalan komunikasi lintas budaya yang sangat penting. Ketika pemain multinasional berjuang untuk mengoperasikan bahasa Inggris yang disederhanakan di bawah tekanan, mereka menjadi sangat bergantung pada kejelasan sinyal audio. Kualitas perangkat yang buruk menghilangkan redundansi informasi yang penting dan secara eksponensial memperburuk ambiguitas yang mungkin disebabkan oleh aksen, perbedaan fonologis, atau kurangnya penguasaan bahasa yang mendalam. Oleh karena itu, investasi teknologi yang signifikan oleh organisasi esports Tier 1 harus dipandang sebagai adaptasi strategis kritis untuk meminimalisir risiko kegagalan komunikasi, bukan sekadar fasilitas mewah.
Perbedaan Gaya Manajemen Konflik dan Kritik
Keragaman budaya juga memanifestasikan dirinya dalam gaya komunikasi formal dan informal, terutama selama sesi debrief (evaluasi pasca-pertandingan) dan dalam interaksi sehari-hari di team house. Komunikasi organisasi dalam kelompok yang semakin besar menghadapi permasalahan yang semakin kompleks.
Gaya komunikasi organisasi menjadi medan pertempuran kultural ketika terjadi konflik atau kritik. Budaya yang menghargai kritik langsung, eksplisit, dan berbasis tugas (Low-Context), umum di beberapa negara Barat, dapat berbenturan secara frontal dengan budaya yang menghindari konfrontasi, menghargai harmoni kelompok, dan menyampaikan kritik secara implisit (High-Context), umum di banyak negara Asia. Kegagalan untuk memahami perbedaan ini, misalnya, memicu kesalahpahaman tentang maksud dari kritik yang diberikan. Kritik yang dimaksudkan untuk perbaikan kinerja mungkin dianggap sebagai serangan pribadi, yang pada akhirnya memengaruhi kohesi dan moral tim.
Dalam konteks ini, Pelatih memainkan peran ganda yang penting: sebagai pemimpin strategis dan sebagai mediator budaya. Pelatih dan manajer harus bertindak sebagai Culture Shaper yang memahami bagaimana perbedaan kultural ini memengaruhi kinerja tim secara keseluruhan.13 Pelatih yang hebat adalah penentu kesuksesan tim esports. Kegagalan dalam memediasi perbedaan budaya dapat menyebabkan konflik internal yang tersembunyi dan merusak kohesi tim dalam jangka panjang.
Strategi Adaptasi Linguistik: Kodifikasi dan Efisiensi Komunikasi
Untuk mengatasi tantangan bahasa real-time yang dapat mengorbankan kinerja, tim esports multinasional telah mengembangkan serangkaian strategi komunikasi yang sangat efisien dan terstandardisasi.
Standardisasi Jargon: English sebagai Lingua Franca In-Game
Esports telah berhasil menciptakan bahasa universal, didominasi oleh bahasa Inggris yang sangat disederhanakan dan dikompresi menjadi jargon teknis (jargon) untuk mencapai efisiensi komunikasi maksimal dalam lingkungan bertekanan tinggi. Jargon ini bertindak sebagai alat kompresi data kognitif.
Dalam game seperti Valorant, terminologi yang digunakan mencakup istilah status permainan seperti “Ace” (satu pemain mendapatkan lima atau enam kill dalam satu ronde), “Flawless” (tim pemenang tidak ada yang mati), atau “Thrifty” (tim pemenang menghabiskan kredit lebih sedikit). Lebih penting lagi, callouts lokasi peta distandardisasi secara universal, seperti “Heaven!”, “Mid”, “A Long”, atau “Dark!” untuk mengidentifikasi posisi musuh dan jalur pergerakan secara spesifik. Shot calling, atau pengambilan keputusan strategis, diakui sebagai sinonim untuk “decision making,” “leading,” “commanding,” atau “directing,” menetapkan otoritas dalam situasi kritis.
Karakteristik penting dari callouts yang terstandardisasi adalah kemampuannya untuk menghilangkan ambiguitas budaya atau linguistik yang rumit. Dalam komunikasi sehari-hari, nuansa, intonasi, dan pilihan kata sangat bergantung pada konteks budaya. Namun, ketika pemain multinasional menggunakan callouts seperti “Mid!” atau “A Long,” pesannya bersifat denotatif dan universal: musuh berada di lokasi yang didefinisikan secara eksplisit. Kodifikasi ini secara drastis mengurangi risiko misinterpretasi budaya, menjadikan komunikasi in-game hampir sepenuhnya fungsional dan apolitis—sebuah adaptasi strategis yang vital.
Meskipun kosakata yang digunakan disederhanakan, interaksi dalam game tetap mendorong pemain dari berbagai negara untuk menggunakan bahasa Inggris, terutama dalam konteks berbicara (speaking) dan mendengarkan (listening). Hal ini berkontribusi pada pengembangan keterampilan komunikasi (people skills) yang melampaui konteks esports dan dapat dialihkan ke aspek kehidupan lain.
Berikut adalah ringkasan terminologi kritis yang digunakan untuk standarisasi komunikasi:
Table 1: Terminologi Shot-Calling Esports Multinasional: Standarisasi Bahasa In-Game
| Konsep Komunikasi | Contoh Jargon (English) | Tujuan Komunikasi Cepat |
| Lokasi Peta | A Long, Mid, Heaven, Dark | Identifikasi posisi musuh dan jalur pergerakan secara spesifik dan universal. |
| Status Ekonomi | Thrifty, Full Buy, Force Buy | Manajemen sumber daya tim antar ronde; indikator pembelian senjata yang efisien. |
| Hasil Ronde | Ace, Flawless, Clutch | Umpan balik cepat dan evaluasi performa individu/tim untuk dorongan moral. |
| Pengambilan Keputusan | Shot Caller, Commanding, Directing | Menetapkan otoritas dan arah pengambilan keputusan strategis real-time dalam situasi kritis. |
Peran Shot Caller sebagai Juru Bahasa Kultural
Dalam struktur tim esports, Shot Caller adalah individu yang memegang otoritas sentral, bertanggung jawab untuk mengambil keputusan kunci. Peran ini menjadi krusial dalam lingkungan multinasional.
Shot Caller bertindak sebagai “juru bahasa” tidak hanya secara linguistik, tetapi juga secara kultural-strategis. Mereka harus mampu memfilter, menyintesis, dan menerjemahkan informasi mentah (yang mungkin disampaikan dalam bahasa Inggris terbatas, aksen yang sulit, atau bahkan bahasa asli saat berinteraksi antar individu dengan latar belakang yang sama) menjadi perintah strategis yang jelas dan tak ambigu. Pengambilan keputusan real-time yang cepat dan final oleh Shot Caller menghilangkan kebutuhan akan diskusi atau negosiasi yang berpotensi melambat atau dipengaruhi oleh perbedaan gaya komunikasi budaya.
Selain komunikasi in-game, tim profesional juga sangat bergantung pada komunikasi daring (media digital) untuk menyelaraskan strategi permainan di luar sesi latihan fisik. Komunikasi daring ini menjadi elemen krusial untuk mengatasi kendala jarak geografis selama persiapan tim dan latihan non-tournament.
Mengelola Kohesi Tim: Integrasi Budaya Organisasi (Beyond Jargon)
Adaptasi linguistik hanya mengatasi aspek komunikasi fungsional. Untuk mencapai kohesi yang mendalam dan berkelanjutan, tim multinasional harus membangun budaya organisasi yang kuat.
Team House: Inkubator Budaya Bersama (Shared Cultural Experience)
Konsep team house adalah adaptasi organisasi yang paling unik dalam esports untuk mengatasi keragaman budaya. Team house berfungsi sebagai katalisator untuk pembangunan Identitas Superordinate. Lingkungan ini menciptakan apa yang disebut sebagai “paparan intensif”. Pengalaman hidup, makan, dan berlatih bersama secara intensif menguatkan identitas kolektif tim di atas identitas nasional, menciptakan kondisi di mana pemain secara psikologis memprioritaskan kesuksesan tim, yang sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan strategis yang kohesif.
Namun, lingkungan yang intens ini juga membawa tantangan. Meskipun team house vital untuk kohesi, integrasi total kehidupan profesional dan pribadi dapat memicu konflik antarpribadi yang lebih besar dan tekanan psikologis. Meskipun demikian, organisasi esports profesional menganggap lingkungan ini penting untuk memitigasi hambatan yang menghambat pengembangan pemain dan tim, terutama karena e-sport membutuhkan latihan yang intensif.
Peran Kepemimpinan dan Manajemen HR Global
Manajemen budaya dalam TEM berpusat pada kepemimpinan yang kuat. Pelatih yang hebat adalah penentu kesuksesan tim. Â Dalam konteks multinasional, Pelatih harus bertindak sebagai Arsitek Budaya atau Culture Shaper yang memastikan konsistensi filosofi dan nilai-nilai tim di tengah keragaman.
OG, tim Dota 2 yang memenangkan The International dua kali, menjadi studi kasus klasik mengenai keunggulan budaya organisasi. Salah satu pendiri dan ikon tim, Sébastien “Ceb” Debs, menekankan bagaimana filosofi unik OG yang berpusat pada persaudaraan, dukungan, dan mentorship mampu mengubah budaya esports. Filosofi ini menciptakan identitas yang begitu kuat (persaudaraan di tengah kekacauan dan tekanan) sehingga berhasil mengatasi perbedaan budaya individu dan mencapai kemenangan berulang di kompetisi paling bergengsi. Keberhasilan ini konsisten dengan temuan manajemen multinasional bahwa faktor kunci kesuksesan mencakup adaptasi budaya, inovasi, manajemen pengetahuan, dan dukungan yang efektif untuk karyawan internasional.
Perbandingan antara tantangan yang dihadapi organisasi esports dengan korporasi multinasional biasa menyoroti tekanan waktu yang unik dalam industri kompetitif ini.
Table 2: Matriks Perbandingan Tantangan Manajemen Lintas Budaya: Korporasi Multinasional vs. Tim Esports
| Aspek Manajemen | Korporasi Multinasional (MNC) | Tim Esports Multinasional (TEM) | Implikasi dan Solusi Kunci TEM |
| Tekanan Waktu Keputusan | Menengah hingga Jangka Panjang (Strategis) | Real-time, Tekanan Tinggi, Keputusan Fraksi Detik (Taktis) | Memerlukan Jargon yang Ringkas dan Shot Caller tunggal yang otoritatif. |
| Pembangun Identitas Tim | Budaya Perusahaan Formal, Loyalitas Jangka Panjang | Identitas Gamer/Tim yang Superordinate | Intense Exposure dalam Team House memprioritaskan identitas tim di atas identitas nasional. |
| Hambatan Fisik | Geografis, Zona Waktu (Diatasi Teknologi HR) | Geografis (Diatasi Team House dan Perjalanan Internasional) | Integrasi total kehidupan profesional dan pribadi untuk kohesi tinggi, menuntut dukungan psikologis yang lebih besar. |
| Peran Pelatih/Manajer | Pengawas Kinerja, Koordinator HR | Culture Shaper, Mentor, dan Integrator Psikologis | Vital untuk mengatasi perbedaan gaya kritik dan komunikasi antarpribadi, memastikan visi dan tujuan yang sama. |
Studi Kasus Komprehensif: Integrasi Filosofi Organisasi
Kasus OG (Dota 2): Budaya Persaudaraan
OG adalah studi kasus mendalam mengenai bagaimana budaya organisasi dapat menjadi keunggulan kompetitif yang transenden. Sébastien “Ceb” Debs menjelaskan bagaimana filosofi unik tim memungkinkan mereka untuk menghadapi tekanan dan mencapai kejayaan, termasuk kemenangan dramatis di The International (TI8 & TI9). Fokus pada “legacy and mentorship” lebih dari sekadar gelar menciptakan lingkungan di mana keragaman individu diizinkan, selama mereka berkomitmen pada identitas superordinate tim.
Kasus G2 Esports (Valorant): Dinamika VCT Americas
G2 Esports, organisasi dengan akar Eropa, beroperasi di liga Amerika VCT Americas. Hal ini menuntut organisasi untuk menyeimbangkan strategi organisasi yang berbasis di Eropa dengan tuntutan dan budaya kompetitif regional Amerika. Upaya mereka untuk merekrut pemain berprestasi tinggi dari berbagai latar belakang, termasuk pemenang VCT Champions, menunjukkan komitmen untuk menyeimbangkan bakat global dengan kebutuhan untuk mencapai kohesi tim yang cepat dalam musim kompetisi yang ketat. Perubahan roster yang dinamis adalah mekanisme yang digunakan untuk menjaga daya saing sambil terus menguji integrasi multinasional dalam ekosistem liga regional.
Implikasi Global: Esports sebagai Alat Diplomasi dan Jembatan Kultural
Esports melampaui batas kompetisi semata; ia berfungsi sebagai jembatan budaya yang kuat di tingkat internasional, memengaruhi baik pemain maupun jutaan penggemar.
Dampak terhadap Penggemar dan Komunitas Lintas Negara
Esports memfasilitasi partisipasi lintas negara, memungkinkan pemain dari berbagai belahan dunia berkompetisi secara online tanpa batasan geografis. Ini menciptakan peluang unik untuk diplomasi budaya dan promosi nation branding.
Beberapa negara telah sukses memanfaatkan industri ini untuk meningkatkan citra global mereka. Korea Selatan, misalnya, diakui sebagai kiblat esports global. Pemerintah Korea Selatan telah menggunakan esports sebagai alat untuk mempromosikan teknologi dan budaya pop Korea (Hallyu) ke seluruh dunia.
Interaksi pemain dan penggemar semakin difasilitasi oleh perjalanan internasional (ke turnamen) dan penggunaan platform digital. Media sosial dan streaming memungkinkan pemain untuk berinteraksi dan berbagi pengalaman mereka, yang pada gilirannya memupuk pemahaman lintas budaya di antara basis penggemar yang beragam.22 Tim seperti Bigetron Esports menggunakan strategi branding melalui media sosial, mengintegrasikan penggemar, sponsor, dan media partner ke dalam strategi mereka, yang memperkuat hubungan di tingkat global.
Peran esports sebagai jembatan budaya melahirkan apa yang dapat dianalisis sebagai Diplomasi Non-Negara atau diplomasi akar rumput. Berbeda dengan diplomasi formal yang berpusat pada entitas pemerintah, interaksi antara pemain multinasional dan basis penggemar global mereka menghasilkan transfer budaya yang organik dan sukarela. Ketika penggemar mengadopsi jargon tim, mengikuti kehidupan sehari-hari pemain di luar game, atau berinteraksi dalam forum komunitas global, mereka secara sukarela terpapar dan menginternalisasi norma-norma budaya lain. Proses ini merupakan bentuk soft power yang meluas, dihasilkan secara independen oleh ekosistem game.
Pengembangan Soft Skills Global
Lingkungan esports multinasional berfungsi sebagai “laboratorium” intensif untuk mengasah soft skills. Penelitian menunjukkan bahwa keterampilan yang dikembangkan dalam konteks esports, seperti komunikasi, kerja tim, dan kepemimpinan, adalah people skills yang dapat dialihkan ke aspek lain dalam kehidupan pemain di luar arena kompetitif.18
Komunikasi yang efektif, kerja tim, dan kemampuan untuk memimpin atau mengikuti perintah dalam struktur hierarki yang cepat, semuanya diperkuat oleh kebutuhan untuk berkolaborasi dengan individu dari latar belakang budaya dan linguistik yang berbeda. Dengan demikian, esports tidak hanya menghasilkan atlet digital, tetapi juga individu yang lebih terampil secara sosial dan interkultural.
Kesimpulan
Analisis ini menegaskan bahwa keberhasilan tim esports multinasional dalam kompetisi global adalah hasil dari adaptasi organisasional yang sengaja dan cepat. Tim-tim ini berhasil menyeimbangkan kebutuhan akan kecepatan reaksi real-time dengan tuntutan kohesi budaya jangka panjang. Hambatan bahasa dikurangi melalui kodifikasi dan standarisasi jargon yang efisien secara kognitif, didukung oleh otoritas Shot Caller tunggal. Sementara itu, hambatan budaya dikelola melalui pembentukan Superordinate Identity yang didorong oleh paparan intensif dalam team house dan diresapi oleh kepemimpinan filosofis yang kuat, seperti yang dicontohkan oleh OG.
Esports, dengan demikian, berfungsi sebagai jembatan budaya melalui dua mekanisme utama: internal (integrasi pemain melalui team house dan jargon) dan eksternal (diplomasi akar rumput melalui interaksi penggemar dan nation branding).
Rekomendasi Praktis untuk Organisasi Esports Multinasional
Untuk memastikan kinerja yang berkelanjutan dan memitigasi risiko kegagalan integrasi, organisasi esports multinasional disarankan untuk menerapkan strategi berikut:
Rekomendasi A: Pelatihan Komunikasi Terstruktur dan Akselerasi Jargon
Organisasi harus melampaui asumsi bahwa pemain akan menguasai bahasa Inggris yang dibutuhkan secara alami. Sebaliknya, perlu diterapkan program pelatihan yang sangat terstruktur, tidak hanya pada bahasa Inggris umum, tetapi secara khusus pada jargon dan pola komunikasi in-game yang telah diformulasikan untuk efisiensi kognitif maksimum. Selain itu, audit rutin terhadap kualitas perangkat komunikasi (mikrofon dan headphone) harus diutamakan, karena ini adalah langkah kritis untuk menghilangkan hambatan teknis yang memperburuk masalah linguistik.Â
Rekomendasi B: Struktur Manajemen Lintas Budaya Proaktif
Staf manajemen, termasuk pelatih dan manajer, harus dilengkapi dengan pelatihan intensif dalam komunikasi lintas budaya dan manajemen konflik. Pelatihan ini harus secara eksplisit membahas perbedaan antara gaya komunikasi High-Context dan Low-Context, terutama dalam konteks memberikan umpan balik dan menyelesaikan konflik, untuk mencegah kesalahpahaman yang berakar pada budaya dan memastikan visi tim yang sama.
Rekomendasi C: Pemeliharaan Lingkungan Superordinate Identity yang Seimbang
Organisasi harus mempertahankan team house sebagai inti operasional tim, mengingat perannya yang vital dalam menciptakan paparan intensif dan memperkuat identitas tim. Namun, lingkungan ini harus diimbangi dengan kebijakan yang melindungi kesejahteraan pemain. Ini termasuk menyediakan mekanisme dukungan psikologis yang kuat dan ruang pribadi yang cukup untuk mengelola tekanan intens dari hidup dan berlatih bersama secara terus-menerus. Filosofi tim yang kuat, seperti “budaya persaudaraan” OG , harus secara aktif ditanamkan oleh kepemimpinan untuk menjadi perekat yang mengatasi perbedaan nasional.


