Loading Now

Peringkat Global Warisan Kuliner: Kebijakan Pengakuan Warisan Budaya Takbenda UNESCO terhadap Tradisi Gastronomi

Mendefinisikan Gastronomi dalam Konteks Warisan Budaya Takbenda (ICH)

Pengakuan PBB terhadap tradisi kuliner tertentu sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan (Intangible Cultural Heritage/ICH) yang dikelola oleh UNESCO menandai evolusi penting dalam konsep warisan global. Penetapan ini berfokus pada praktik sosial dan pengetahuan yang diwariskan, bukan sekadar produk makanan akhir.

Latar Belakang dan Evolusi Warisan Budaya UNESCO: Dari Monumen ke Praktik Sosial

Secara historis, upaya pelindungan warisan global oleh UNESCO difokuskan pada objek yang berwujud, seperti monumen, situs, atau bangunan bersejarah, melalui kriteria lama Konvensi Warisan Dunia. Namun, Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda (Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage) yang mulai berlaku pada tahun 2003 memperkenalkan kategori baru yang revolusioner: warisan takbenda.

Pergeseran paradigma ini mengakui bahwa warisan tidak terbatas pada benda fisik, melainkan mencakup proses budaya, keterampilan, dan pengetahuan yang terus diciptakan kembali dan diwariskan. Perumusan kategori ICH didasari oleh adanya krisis global. Dinamika sosial, globalisasi, urbanisasi, dan transformasi sosial dipandang sebagai ancaman serius terhadap keberlanjutan warisan yang tidak berwujud. Proses penetapan ICH bertujuan untuk memastikan praktik-praktik tersebut tetap hidup di antara generasi sekarang dan terus ditransmisikan ke generasi mendatang.

Makanan sebagai Foodways dan Cultural Process (Pergeseran Filosofis)

Gastronomi, atau praktik kuliner, kini menempati bagian yang semakin penting dalam daftar ICH. Makanan tidak diakui sebagai objek, melainkan sebagai manifestasi dari domain ICH, seperti adat istiadat masyarakat, ritus, perayaan, serta pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta. Pengakuan ditujukan pada praktik (misalnya ritual makan, keterampilan membuat) dan sistem budaya (misalnya siklus pertanian), bukan pada resep atau produk itu sendiri.

Tonggak sejarah terjadi pada tahun 2010 ketika tiga elemen terkait makanan diinskripsi: Gastronomi Prancis, Masakan Meksiko Tradisional, dan Diet Mediterania. Inskripsi ini mengakhiri skeptisisme awal yang muncul dari beberapa pihak dalam tata kelola warisan yang khawatir tentang komponen komersial inheren dari tradisi kuliner dan risiko esensialisasi praktik. Sejak saat itu, daftar ICH telah meluas untuk mencakup spektrum kuliner yang luas, mulai dari keahlian artisanal seperti The art of the Neapolitan “Pizzaiuolo” dan craftsmanship and culture of the French baguette, hingga sistem budaya komprehensif seperti Masakan Meksiko, dan pola makan komunal lintas-negara seperti Diet Mediterania.

Selain berfungsi sebagai alat pelestarian budaya, pengakuan ICH terhadap sistem pangan tradisional menawarkan kerangka kerja penting untuk mengatasi dampak negatif dari modernitas dan globalisasi. Ketika peradaban semakin condong ke arah makanan cepat saji dan persiapan makanan yang terindustrialisasi , pengakuan terhadap tradisi seperti Masakan Meksiko yang berbasis pada pertanian lestari (milpa) dan ketahanan pangan secara implisit memberikan kerangka kebijakan untuk mengatasi kegagalan modernitas dalam menjaga ekologi, ketahanan pangan, dan transmisi pengetahuan tradisional. Dengan demikian, status ICH dapat digunakan oleh Negara Pihak untuk membenarkan intervensi kebijakan yang mendukung sistem produksi pangan yang berkelanjutan, menjadikannya alat pembangunan yang lebih luas, melampaui sekadar pelestarian budaya.

Kerangka Kebijakan UNESCO: Kriteria Mutlak untuk Inskripsi Kuliner

Untuk diinskripsi dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan (Representative List/RL), sebuah tradisi kuliner harus melalui proses nominasi yang ketat dan memenuhi lima kriteria operasional wajib (R.1 hingga R.5), yang divalidasi oleh Komite Antarpemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda.

Kriteria Inskripsi Daftar Representatif (R.1 hingga R.5)

  1. Kriteria R.1: Definisi Warisan Budaya Takbenda (ICH) Elemen yang diusulkan harus memenuhi definisi ICH sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Konvensi 2003. Kriteria ini menuntut elemen tersebut diwariskan, diakui oleh komunitas, dan terus diciptakan kembali oleh kelompok atau individu yang bersangkutan. Dalam konteks kuliner, nominasi harus secara jelas menunjukkan bahwa makanan adalah manifestasi dari pengetahuan, keterampilan, dan praktik sosial yang berkelanjutan. Misalnya, budaya sarapan pagi Malaysia diakui karena mencerminkan keragaman budaya, keharmonisan, dan keterlibatan komunitas multietnis—sebuah dimensi sosial yang vital.
  2. Kriteria R.2: Peningkatan Kesadaran dan Dialog Inskripsi elemen harus berkontribusi pada peningkatan visibilitas ICH secara umum dan elemen yang dinominasikan secara khusus. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan signifikansi warisan takbenda, mendorong dialog, dan menumbuhkan rasa saling menghormati terhadap keragaman budaya. Nominasi yang melibatkan banyak negara, seperti Diet Mediterania (melibatkan tujuh negara) atau nominasi bersama (misalnya rencana nominasi Kebaya oleh lima negara ASEAN), secara langsung memenuhi R.2 dengan menyoroti warisan bersama (shared culture) dan mendorong pertukaran budaya lintas batas.
  3. Kriteria R.3: Upaya Pelindungan yang Efektif (Safeguarding Plan) Negara Pihak harus menunjukkan bahwa langkah-langkah pelindungan telah ditetapkan atau akan diterapkan untuk menjaga elemen tersebut, dengan melibatkan partisipasi komunitas secara maksimal. Rencana pelindungan (safeguarding plan) ini harus didokumentasikan dengan baik dan layak untuk dilaksanakan di masa depan. Komitmen ini sangat penting untuk mengatasi ancaman yang dipicu oleh globalisasi dan rendahnya minat generasi muda untuk melestarikan. Contohnya, setelah inskripsi, Prancis berkomitmen untuk mengimplementasikan dukungan edukasi di sekolah untuk menjamin transmisi le repas gastronomique des Français, yang menunjukkan komitmen Negara Pihak untuk mencegah kepunahan keterampilan.
  4. Kriteria R.4: Partisipasi dan Persetujuan Komunitas Kriteria ini adalah landasan etis Konvensi. Nominasi harus diajukan hanya setelah partisipasi seluas-luasnya dan diperolehnya persetujuan bebas, didahulukan, dan berdasarkan informasi (free, prior, and informed consent) dari komunitas, kelompok, atau individu yang bersangkutan, di semua tahap proses. Prinsip dasarnya adalah bahwa tidak ada pihak luar, termasuk pemerintah, yang dapat memutuskan bahwa suatu praktik adalah warisan budaya suatu kelompok tanpa pengakuan dan persetujuan dari kelompok itu sendiri. Deklarasi yang ditandatangani oleh para Juru Masak Tradisional Michoacán yang memberikan persetujuan mereka untuk nominasi Masakan Meksiko adalah bukti kuat dari pemenuhan kriteria R.4.
  5. Kriteria R.5: Inklusi dalam Inventaris Nasional Kriteria ini bersifat prosedural, menuntut bahwa elemen tersebut harus sudah termasuk dalam inventaris ICH yang ada di wilayah Negara Pihak. Inventaris ini menunjukkan adanya komitmen domestik untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan warisan takbenda.

Kriteria Kualitatif Khusus dan Integrasi Kebijakan

Kriteria R.5 dan R.3 memiliki implikasi kebijakan yang lebih luas. Kebutuhan untuk memiliki inventaris nasional (R.5) dan rencana pelindungan (R.3) memaksa Negara Pihak untuk secara sistematis mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan mengalokasikan sumber daya untuk ICH. Dalam kasus kuliner, hal ini membutuhkan koordinasi yang kuat antara Kementerian Kebudayaan, Pariwisata, Pertanian, dan Pendidikan.

Selain kriteria formal, nominasi kuliner yang berhasil juga cenderung menekankan aspek keberlanjutan. Praktik-praktik tersebut harus menunjukkan nilai dalam penggunaan bahan indigenous dan komitmen untuk mempromosikan produk lokal yang berkelanjutan, termasuk menyoroti konservasi keanekaragaman hayati dalam kurikulum sekolah memasak. Pengakuan ICH juga fokus pada keterampilan dan know-how artisanal, seperti keahlian membuat roti baguette Prancis atau Neapolitan Pizzaiuolo, di mana pengakuan diberikan kepada pengetahuan dan budaya yang mengelilingi proses pembuatannya.

Kriteria R.4 juga berfungsi sebagai mekanisme mitigasi risiko komodifikasi. Mengingat kritik utama terhadap ICH kuliner adalah risiko komersialisasi, tuntutan persetujuan bebas dan terinformasi yang menyeluruh dari komunitas pada semua tahap memberikan komunitas kekuatan tawar yang signifikan. Komunitas dapat menuntut agar rencana pelindungan (R.3) mencakup jaminan pembagian manfaat ekonomi yang adil dan perlindungan terhadap otentisitas praktik mereka, menjadikannya benteng pertahanan krusial melawan eksploitasi.

Analisis Komparatif Studi Kasus Utama (Inskripsi 2010)

Gastronomi Prancis dan Masakan Meksiko Tradisional, yang diinskripsi pada tahun yang sama (2010), mewakili dua model utama pengakuan ICH kuliner, yang masing-masing berakar pada sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda.

Gastronomi Prancis: Ritual dan Jaringan Sosial (Le Repas Gastronomique des Français)

Pengakuan terhadap le repas gastronomique des Français (makanan gastronomi Prancis) fokus pada “adat istiadat sosial” yang mengelilingi hidangan tersebut. Ini adalah praktik ritual yang terstruktur, yang dimulai dari proses memilih hidangan, membeli bahan baku, memasangkan anggur, hingga etiket meja yang teratur. Tujuannya adalah merayakan momen-momen penting dalam kehidupan (misalnya kelahiran atau festival).

Inisiatif ini didorong oleh dukungan tingkat tinggi. Nominasi ini didukung secara eksplisit oleh Presiden Nicolas Sarkozy dan melibatkan koordinasi antar-kementerian, termasuk Kementerian Pertanian, Pangan, Perikanan, dan Urusan Pedesaan, serta Kementerian Kebudayaan dan Komunikasi. Ini menunjukkan inisiatif yang sangat terlembaga dan top-down. Komitmen pelindungan pasca-inskripsi diwujudkan melalui penguatan dukungan pendidikan di sekolah untuk memastikan tradisi ini ditransmisikan, serta identifikasi elemen-elemen konstituen warisan takbenda ini.

Masakan Meksiko Tradisional: Paradigma Michoacán (Sistem Budaya Komprehensif)

Sebaliknya, Masakan Meksiko diinskripsi dengan judul Traditional Mexican cuisine: authentic, ancestral, ongoing community culture, the Michoacán paradigm. Ini adalah pengakuan terhadap seluruh model budaya yang komprehensif, berkelanjutan, dan terintegrasi dengan ekosistem.

Elemen kunci warisan ini adalah keterikatan leluhur antara manusia dan tanah, khususnya sistem pertanian milpa. Jagung (maize), bersama cabai dan kacang-kacangan, membentuk triad yang tidak hanya menyediakan makanan tetapi juga menopang cara hidup. Pengetahuan vital pra-Kolumbia, seperti proses nixtamalization (perebusan jagung kering dengan kapur) untuk membuat jagung lebih bergizi, juga diakui sebagai inti warisan.

Juru masak tradisional, yang sebagian besar adalah perempuan, memegang peran sentral sebagai pewaris dan transmitter pengetahuan, menggunakan dapur dan perapian batu (paranguas) sebagai pusat transmisi sosial dan keluarga. Mereka adalah “penjaga terbesar” identitas ini. Upaya pelestarian ini dipandang sebagai bentuk perlawanan budaya terhadap makanan cepat saji, industrialisasi, dan penggunaan pestisida yang mengancam bahan baku indigenous.

Analisis Komparatif Model

Kedua kasus ini menunjukkan bahwa Negara Pihak cenderung menominasikan elemen yang paling sesuai dengan narasi branding nasional dan yang paling mudah didukung oleh struktur institusional mereka.

Perbedaan yang mendasar adalah pada fokus: Model Prancis berfokus pada ritual formal dan keahlian profesional yang mapan (Top-Down), sementara Model Meksiko berfokus pada sistem budaya petani, peran gender dalam transmisi lisan, dan ketahanan ekologis (Bottom-Up).

Model Meksiko secara eksplisit ditempatkan sebagai kontra-narasi terhadap percepatan kehidupan modern dan makanan cepat saji. Demikian pula, gastronomi Prancis menekankan durasi panjang dan ritual sosial yang terstruktur. Secara kolektif, pengakuan ICH mempromosikan nilai slow food dan ritual komunal. Hal ini memposisikan makanan tradisional sebagai cara untuk memastikan kesehatan keluarga, kesejahteraan, dan penguatan hubungan sosial, sebuah nilai yang secara eksplisit diakui oleh para juru masak Michoacán.

Signifikansi Strategis Pengakuan UNESCO

Pengakuan UNESCO terhadap tradisi kuliner memberikan legitimasi internasional dan keuntungan strategis yang melampaui pelestarian budaya semata, mempengaruhi diplomasi, ekonomi, dan identitas nasional.

Aspek Pelestarian Budaya dan Ketahanan Warisan

Inskripsi ICH sangat penting dalam mengatasi faktor-faktor yang mengancam keberlangsungan warisan takbenda. Globalisasi dan urbanisasi sering kali menyebabkan migrasi dan berkurangnya kontak antargenerasi, sehingga menghambat transmisi lisan pengetahuan. Upaya pelindungan yang diwajibkan oleh UNESCO berfokus pada penguatan sistem transmisi yang ada di dalam komunitas.

Status ini juga mengamankan pengakuan terhadap keahlian tradisional yang spesifik, seperti keterampilan yang terkait dengan persiapan dan konsumsi ceviche Peru atau the art of the Neapolitan “Pizzaiuolo” , yang berisiko digantikan oleh metode industri atau modern. Selain itu, status UNESCO memberikan penghormatan yang dibutuhkan kepada para juru masak tradisional, khususnya perempuan (seperti cocineras di Michoacán), yang merupakan pilar utama dalam menjaga sistem pangan, budaya, dan komunitas.

Dampak Ekonomi, Nation Branding, dan Pariwisata Gastronomi

Pengakuan ICH adalah alat nation branding yang sangat efektif, meningkatkan visibilitas kuliner di peta dunia dan memperkuat daya tarik pariwisata gastronomi. Daftar ICH mencakup spektrum yang luas, dari makanan pokok yang sederhana seperti Nsima Malawi hingga budaya makan yang kompleks (Washoku Jepang, Hawker culture Singapura ), menunjukkan relevansi universal dari foodways dalam keragaman budaya.

Jika dikelola dengan tepat, pengakuan ini dapat mempromosikan pariwisata gastronomi berbasis masyarakat (community-based tourism). Hal ini dapat memperkuat ekonomi lokal, menghasilkan peningkatan pendapatan, penciptaan lapangan kerja, dan pengembangan bisnis lokal yang signifikan, asalkan manfaat ekonomi tersebut kembali secara adil kepada komunitas pemelihara.

Salah satu nilai unik yang dicari oleh UNESCO adalah bukti inklusivitas dan kohesi sosial. Dalam kasus Budaya Sarapan Malaysia , pengakuan tersebut secara eksplisit memuji praktik tersebut karena mencerminkan keragaman budaya, keharmonisan, keterlibatan, dan penerimaan komunitas multietnis. Bagi negara-negara multietnis, penetapan ICH ini menjadi bukti institusional atas kohesi sosial dan kekuatan internal negara, menjadikannya alat penting dalam diplomasi publik dan kebijakan integrasi nasional.

Mekanisme Nominasi Bersama (Joint Nomination)

Mekanisme nominasi bersama (joint nomination), yang dikembangkan sejak 2008, merupakan upaya UNESCO untuk meningkatkan kerja sama internasional, menghormati keragaman budaya, dan mengurangi fokus pada klaim kepemilikan eksklusif. Contoh yang sukses termasuk nominasi Couscous (empat negara Afrika Utara) dan Diet Mediterania (tujuh negara).

Penting untuk dicatat, seperti yang ditekankan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Indonesia, penetapan elemen budaya ke dalam daftar ICH bukanlah pengakuan terhadap hak paten atau hak kekayaan intelektual suatu negara atas warisan budaya, melainkan merupakan kontribusi negara terhadap pelindungan global. Mekanisme ini membantu menggunakan ICH sebagai alat diplomasi antar-regional.

Namun, terdapat tantangan dalam implementasi langkah pelindungan yang diwajibkan (R.3). Ketika Negara Pihak terlalu formal atau mengambil alih peran transmisi dari komunitas ahli, terdapat risiko decontextualization atau “museumisasi.” Dalam situasi ini, tradisi dapat dibekukan atau keterampilan disederhanakan untuk tujuan dokumentasi atau pariwisata, seperti kasus repertoar penampilan Suiti di Latvia yang disederhanakan untuk mengakomodasi turis. Pelestarian ICH yang efektif harus memastikan bahwa tradisi tetap hidup dan terus berevolusi, sehingga rencana pelindungan harus memperkuat otonomi komunitas dan sistem transmisi yang telah ada.

Debat Kritis dan Tantangan Pasca-Inskripsi

Pengakuan global membawa risiko komersial dan sosial yang kompleks, menuntut manajemen yang cermat untuk menghindari dampak negatif terhadap komunitas pemelihara ICH.

Ancaman Komodifikasi dan Esensialisasi

Kritikus warisan telah menyuarakan kekhawatiran yang signifikan sejak awal bahwa heritagization kuliner akan mengubah praktik budaya yang kaya dan kompleks menjadi produk yang esensialistik, yang disederhanakan dan dibakukan untuk pasar global dan pariwisata.

Peningkatan visibilitas dan permintaan dapat mendorong perubahan dalam produk dan layanan yang terkait dengan ICH. Jika metode produksi atau bahan baku dimodernisasi untuk tujuan produksi massal, hal itu dapat menyebabkan hilangnya makna dan nilai budaya yang melekat pada praktik tradisional. Selain itu, ada bahaya bahwa perhatian dan sumber daya pelindungan hanya akan terfokus pada elemen-elemen ICH yang menarik secara komersial, sementara aspek-aspek budaya lain yang kurang menguntungkan (misalnya, praktik ritual yang rumit) diabaikan.

Komodifikasi yang tidak terkontrol juga dapat memiliki dampak lingkungan yang tidak diinginkan. Peningkatan permintaan untuk produk yang diakui UNESCO (misalnya, bahan baku indigenous Masakan Meksiko) dapat menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, yang berpotensi menyebabkan degradasi lingkungan. Pelindungan ICH yang efektif harus selalu memasukkan penilaian dampak lingkungan yang ketat untuk memastikan bahwa peningkatan produksi tidak merusak ekosistem yang menjadi sumber bahan baku.

Dampak Gentrifikasi Berbasis Pariwisata dan Keadilan Sosial

Salah satu risiko sosial terpenting dari pengakuan ICH yang berbasis pariwisata adalah gentrifikasi. Status internasional dapat secara signifikan meningkatkan nilai properti, biaya sewa, dan harga makanan di area pusat warisan tersebut. Peningkatan biaya hidup yang didorong oleh pariwisata dapat menyebabkan masyarakat lokal, yang merupakan pemelihara ICH, terasingkan atau terpaksa pindah, seperti yang diamati di daerah-daerah tempat festival tradisional diselenggarakan.

Jika manfaat ekonomi dari pariwisata tidak kembali secara adil kepada komunitas asli, tetapi justru diserap oleh pengembang atau perusahaan besar, pengakuan UNESCO dapat memperburuk ketidakadilan sosio-ekonomi dan menempatkan warisan di tangan pihak luar. Untuk mitigasi, beberapa solusi yang diusulkan termasuk penguatan perlindungan hukum (misalnya, kerangka hukum yang melindungi masyarakat lokal dari penggusuran paksa) dan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat untuk memastikan bahwa keuntungan ekonomi benar-benar dinikmati oleh komunitas setempat.

Politik Warisan dan Nasionalisme Kuliner

Meskipun Konvensi 2003 dirancang untuk mempromosikan dialog dan penghormatan terhadap keragaman, inskripsi sering memicu narasi nasionalisme kuliner. Negara-negara menggunakan status UNESCO untuk tujuan reputasi dan klaim kepemilikan budaya (misalnya, perdebatan yang menyertai pengakuan Gastronomi Prancis ). Debat kritis utama berputar pada pertanyaan: oleh siapa, untuk siapa, dan untuk tujuan apa pengakuan ini dicari? Tujuannya harus selalu pelestarian dan transmisi, bukan sekadar branding atau politik.

Namun, beberapa tradisi kuliner memiliki ketahanan inheren terhadap komodifikasi karena keterkaitannya yang tak terpisahkan dengan ritual lokal dan sistem pertanian. Dalam kasus Masakan Meksiko, selama praktik seperti nixtamalization (proses yang sulit diindustrialisasi) dan sistem milpa tetap esensial, tradisi kuliner tersebut akan mempertahankan otentisitasnya dan menahan tekanan esensialisasi yang ekstrem. Kekuatan pelindungan ICH kuliner terletak pada keterikatan yang tak terpisahkan antara dapur, tanah, dan komunitas; semakin terintegrasi dengan ekosistem lokal, semakin sulit warisan itu dikomodifikasi tanpa kehilangan maknanya.

Kesimpulan

Pengakuan UNESCO terhadap tradisi kuliner telah memvalidasi foodways sebagai domain yang sah dan vital dari warisan budaya takbenda, mengalihkan fokus dari produk ke praktik, ritual, pengetahuan, dan sistem di balik makanan. Keberhasilan nominasi bergantung pada pemenuhan kriteria operasional R.1 hingga R.5, khususnya menunjukkan pelindungan yang efektif (R.3) dan persetujuan komunitas yang otentik (R.4), sambil menonjolkan nilai-nilai modern UNESCO seperti keberlanjutan dan keragaman budaya.

Dua model utama, yaitu Model Gastronomi Prancis (ritual formal, didukung negara) dan Model Masakan Meksiko (sistem ekologis, didorong komunitas), menunjukkan spektrum bagaimana negara-negara mengartikulasikan warisan mereka. Meskipun pengakuan ini memberikan manfaat besar dalam pelestarian dan nation branding, ia juga membawa risiko serius berupa komodifikasi, esensialisasi, dan gentrifikasi.

Untuk memastikan bahwa pengakuan UNESCO benar-benar berfungsi sebagai alat pelindungan dan pembangunan berkelanjutan bagi komunitas pemelihara, laporan ini menyajikan rekomendasi kebijakan strategis berikut:

  1. Desentralisasi dan Keahlian Lokal: Negara Pihak disarankan untuk mengalihkan fokus pelindungan dari lembaga formal dan ibu kota ke juru masak tradisional dan petani di tingkat lokal. Dana pelindungan harus secara langsung diarahkan untuk memperkuat sistem transmisi pengetahuan lisan dan dapur komunal (paranguas), bukan hanya pendirian museum atau festival besar yang terpusat.
  2. Kerangka Hukum Anti-Gentrifikasi: Penting untuk menerapkan regulasi zonasi dan intervensi harga lokal di wilayah yang baru diinskripsi untuk melindungi komunitas pemelihara dari peningkatan biaya hidup yang didorong oleh pariwisata. Pengembangan pariwisata harus didasarkan pada model berbasis masyarakat untuk memastikan distribusi manfaat ekonomi yang adil.
  3. Penguatan Shared Culture: Negara Pihak harus memprioritaskan nominasi bersama (joint nomination) dan narasi warisan bersama. Pendekatan ini menggunakan ICH sebagai alat diplomasi budaya, mengurangi risiko nasionalisme kuliner dan persaingan klaim kepemilikan, sejalan dengan tujuan Konvensi 2003.
  4. Penilaian Dampak Kritis dan Pemantauan: Negara Pihak wajib membangun mekanisme pemantauan pasca-inskripsi yang secara kritis mengevaluasi dampak komersialisasi, pariwisata, dan peningkatan produksi terhadap integritas praktik budaya (R.1) dan mata pencaharian komunitas (R.4). Pengawasan ini harus memastikan bahwa manfaat ekonomi tidak mengarah pada penyederhanaan praktik atau eksploitasi lingkungan.