Teknologi Keuangan (FinTech) Lintas Batas—Revolusi Pembayaran Contactless dan Dampaknya pada Inklusi Keuangan di Negara Berkembang
Negara-negara berkembang menghadapi defisit inklusi keuangan yang signifikan, di mana sebagian besar populasi masih tergolong unbanked (tidak memiliki rekening bank) atau underbanked (layanan keuangan terbatas). Pada saat yang sama, transaksi ekonomi penting seperti remitansi dan perdagangan lintas batas terhambat oleh ketergantungan pada sistem keuangan warisan yang mahal dan lambat.
Sistem Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), meskipun memiliki jangkauan global yang luar biasa (melayani lebih dari 11.000 lembaga keuangan di lebih dari 200 negara), telah menuai kritik tajam. Transisi sistem ini dinilai lambat, dengan pembayaran lintas batas memakan waktu 1 hingga 5 hari kerja karena kebutuhan untuk melibatkan banyak perantara (bank koresponden). Kritik lain mencakup tingginya biaya transaksi, kurangnya transparansi, dan rekonsiliasi akun yang terkadang tidak efisien. Tantangan-tantangan ini bukan sekadar masalah inefisiensi operasional bank individual, melainkan mencerminkan kegagalan struktural arsitektur terpusat dalam memenuhi permintaan kecepatan dan biaya rendah dari ekonomi digital global.
FinTech muncul sebagai kekuatan transformatif yang secara fundamental menargetkan kelemahan struktural ini. Dengan mendorong inovasi di sektor keuangan, FinTech telah berhasil secara signifikan meningkatkan akses ke layanan keuangan, terutama bagi masyarakat di negara berkembang. Keberhasilan FinTech tidak hanya berimplikasi pada inklusi lokal, tetapi juga memengaruhi stabilitas dan dominasi infrastruktur pembayaran global yang sudah mapan.
Ruang Lingkup Analisis dan Metodologi
Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai bagaimana FinTech lintas batas merevolusi pembayaran contactless dan inklusi keuangan. Analisis difokuskan pada tiga pilar teknologi utama: Dompet Digital (Digital Wallet) dan standar QR Code/NFC, Teknologi Blockchain/Distributed Ledger Technology (DLT), dan Sistem Pembayaran Peer-to-Peer (P2P). Fokus utama adalah bagaimana teknologi ini mengubah cara individu dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melakukan transaksi tanpa memerlukan keterlibatan perbankan tradisional yang kompleks.
Mekanisme Revolusioner Pembayaran Contactless Lintas Batas
Uang elektronik (e-money) adalah pendorong inklusi keuangan yang tangguh. Manfaat paling mendasar dari e-money adalah kemampuannya untuk mengurangi biaya transaksi dan mempercepat proses pembayaran, menjadikannya solusi yang jauh lebih murah dan cepat dibandingkan sistem perbankan tradisional. Di pasar negara berkembang, efisiensi ini krusial.
Lebih dari sekadar memfasilitasi pembayaran, e-money berperan dalam penguatan inklusi digital dengan memfasilitasi mekanisme pembagian risiko dan asuransi informal bagi rumah tangga. Keuntungan penting lainnya adalah kemampuannya untuk mendokumentasikan setiap transaksi pembayaran elektronik, membantu menutup kesenjangan informasi yang menghambat akses ke layanan keuangan. Dokumentasi ini juga sangat berguna bagi pemerintah dalam melacak transaksi untuk program perlindungan sosial.
Di Indonesia, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) telah menjadi tulang punggung transaksi digital, menunjukkan pertumbuhan sebesar 162% per Juli 2025. Yang paling penting, QRIS berhasil menembus lapisan masyarakat luas, tidak terbatas pada kota besar tetapi meluas hingga ke wilayah pedesaan.
Evolusi QR Code menjadi Standar Lintas Batas
Standardisasi pembayaran domestik seperti QRIS kini bertransformasi menjadi infrastruktur pembayaran lintas batas. Pengembangan QRIS Antarnegara secara aktif mendukung interoperabilitas regional dan memungkinkan penyelesaian transaksi valuta asing secara waktu nyata (real-time). Per Agustus 2025, QRIS telah resmi beroperasi di 9 negara, termasuk negara-negara ASEAN, serta mencapai tahap uji coba di Jepang, Korea Selatan, India, dan Tiongkok. Capaian monumental ini menghasilkan volume transaksi lintas negara sebesar Rp1,66 triliun, membuktikan adopsi masif dan efisiensi dalam pertukaran valuta.
Penggunaan QRIS Antarnegara memiliki dampak langsung pada inklusi keuangan dan pemberdayaan ekonomi. Pelaku usaha kecil di Indonesia kini dapat menerima pembayaran dari turis asing tanpa memerlukan sistem Point of Sale (POS) yang kompleks, sementara wisatawan dapat bertransaksi tanpa perlu menukar mata uang atau membuka rekening asing, secara signifikan mengurangi biaya dan waktu.
Untuk memperluas layanan inklusif, Bank Indonesia meluncurkan program QRIS Tuntas pada tahun 2022, yang mencakup fitur QRIS Transfer (pengiriman uang antar-bank hanya dengan scan QR), Tarik Tunai, dan Setor Tunai. Inovasi ini mendukung layanan keuangan yang lebih luas, melampaui pembayaran dasar Person-to-Merchant (P2M), dan secara efektif menggantikan peran infrastruktur perbankan fisik di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Konvergensi teknologi ini membentuk inklusi keuangan yang kontekstual dan tidak terlihat, di mana layanan keuangan disematkan pada titik kebutuhan pengguna.
Disrupsi Distributed Ledger Technology (DLT) dan Blockchain
Di samping digital wallet, teknologi blockchain dan Distributed Ledger Technology (DLT) muncul sebagai alternatif yang kuat dan mendisrupsi infrastruktur pembayaran lintas batas warisan. DLT menawarkan keunggulan kompetitif yang signifikan dibandingkan SWIFT, seperti yang dirangkum dalam tabel berikut:
Table I: Perbandingan Arsitektur Pembayaran Lintas Batas Kritis
| Aspek Kritis | Sistem Koresponden (SWIFT) | Sistem DLT/Blockchain (FinTech) |
| Kecepatan Transaksi | Lambat (1-5 hari kerja) | Sangat Cepat (Beberapa menit hingga detik) |
| Biaya | Tinggi (Biaya perantara/bank koresponden yang kompleks) | Rendah (Minimal atau tanpa perantara) |
| Transparansi | Terbatas | Tinggi (Auditabilitas Penuh di ledger) |
| Arsitektur | Terpusat, Keterlibatan Perantara Kompleks | Terdesentralisasi/Terdistribusi (P2P/P2M) |
| Kritik Utama | Lambatnya transisi, kurangnya transparansi | Volatilitas (untuk kripto), Tantangan Regulasi |
| Potensi Inklusi | Rendah (Membutuhkan Akun Bank Tradisional) | Tinggi (Akses melalui Dompet Digital/Ponsel) |
DLT secara dramatis mengurangi waktu dan biaya transaksi lintas batas, menjadikannya solusi ideal untuk remitansi dan perdagangan global. Selain efisiensi, teknologi ini membuka peluang besar untuk aplikasi keuangan terdesentralisasi (DeFi) dan, yang paling penting, inklusi keuangan bagi individu tanpa rekening bank.
Melihat disrupsi ini, lembaga keuangan tradisional dipaksa untuk beradaptasi. SWIFT, misalnya, sedang berkolaborasi dengan mitra seperti ConsenSys untuk mengeksplorasi penggunaan blockchain guna mendukung pembayaran lintas batas secara waktu nyata, mengakui bahwa teknologi DLT adalah kunci untuk meningkatkan efisiensi dan relevansi arsitektur pembayaran warisan.
Infrastruktur API Terbuka dan Embedded Finance (EmFi)
Perkembangan Application Programming Interfaces (APIs) finansial yang canggih adalah katalis utama bagi revolusi Embedded Finance (EmFi). EmFi didefinisikan sebagai integrasi layanan keuangan (seperti pembayaran, pinjaman, dan asuransi) secara mulus ke dalam platform non-finansial—sebuah konsep yang memungkinkan konvergensi lintas sektor.
Tujuan dari EmFi adalah memberikan akses layanan keuangan yang bebas friksi dan sangat personal, tepat pada saat dibutuhkan pelanggan dalam perjalanan digital mereka (misalnya, menambahkan asuransi saat pembelian smartphone). Sistem keuangan masa depan diprediksi tidak akan berpusat di bank, tetapi akan tersemat dalam aplikasi, platform, dan layanan yang sudah digunakan orang. Di Asia Tenggara, bank-bank memanfaatkan kedewasaan digital dan penerimaan pelanggan terhadap cara baru mengonsumsi layanan keuangan untuk mempromosikan inklusi keuangan melalui EmFi.
FinTech Lintas Batas: Studi Kasus dan Model Global
Keberhasilan QRIS Indonesia: Standardisasi dan Ekspansi Regional
QRIS merupakan studi kasus penting yang menunjukkan bagaimana standardisasi pembayaran domestik dapat ditingkatkan menjadi infrastruktur lintas batas yang sukses dan berdampak pada inklusi. Pertumbuhan transaksi digital yang didorong oleh QRIS mencapai 162% menjadikannya tulang punggung pembayaran nasional.
Ekspansi internasional QRIS telah mencakup 9 negara mitra dengan volume transaksi lintas negara yang signifikan (Rp1,66 triliun pada Agustus 2025). Pencapaian ini membuktikan bahwa standardisasi yang kuat, didukung oleh Bank Sentral, dapat memberikan kepercayaan dan interoperabilitas yang diperlukan untuk transaksi internasional. Selain itu, fitur inklusi QRIS Tuntas memberikan layanan keuangan dasar yang mendalam (Tarik Tunai dan Setor Tunai), mendukung masyarakat di wilayah pedesaan yang sulit dijangkau bank. Artajasa, sebagai akselerator utama, terus memastikan keamanan, efisiensi, dan kenyamanan pengguna dalam sistem pembayaran lintas negara.
Table II: Capaian Kritis QRIS Lintas Batas dan Dampak Inklusi (Per Agustus 2025)
| Indikator Kinerja Utama | Capaian Kuantitatif | Implikasi Strategis/Inklusi |
| Pertumbuhan Transaksi Digital Nasional | Tumbuh 162% | Menjadi tulang punggung ekosistem pembayaran digital |
| Ekspansi Lintas Batas | Resmi beroperasi di 9 negara (termasuk ASEAN, Jepang, Korea, India/Tiongkok (uji coba)) | Mempercepat integrasi pembayaran RPC ASEAN dan memfasilitasi remitansi |
| Volume Transaksi Lintas Negara | Rp1,66 Triliun | Bukti adopsi masif dan efisiensi dalam pertukaran valuta |
| Fitur Inklusi Terbaru | QRIS Tuntas (Transfer, Tarik, Setor Tunai) | Mendukung layanan keuangan dasar (CICO) bagi populasi di wilayah pedesaan/3T |
Model UPI India: Kekuatan Open API dan Inovasi Pihak Ketiga
Model Unified Payments Interface (UPI) India, yang dikelola oleh National Payments Corporation of India (NPCI), menawarkan pelajaran yang berbeda namun sama suksesnya. UPI mencapai keberhasilan besar dalam transaksi P2P dan P2M, terutama didorong oleh pendekatan API terbuka yang memicu inovasi besar dari aplikasi pihak ketiga.
Model API terbuka UPI memungkinkan ekosistem FinTech swasta berkreasi dengan kecepatan tinggi, menghasilkan aplikasi pembayaran yang beragam dan disesuaikan dengan kebutuhan pasar lokal. Keberhasilan UPI ini tidak hanya bersifat domestik tetapi telah berekspansi secara internasional.
Pelajaran dan Dorongan Standardisasi Regional (RPC ASEAN)
Perbandingan model QRIS dan UPI menunjukkan bahwa kesuksesan FinTech lintas batas memerlukan tingkat standardisasi yang tinggi, seperti yang didorong melalui inisiatif Regional Payment Connectivity (RPC) ASEAN. Namun, laju dan sifat inovasi sangat dipengaruhi oleh arsitektur yang mendasarinya.
Kolaborasi dengan Bank Indonesia dan mitra internasional sangat penting untuk memastikan interoperabilitas teknis dan operasional yang mulus untuk QRIS Lintas Batas. Untuk mencapai skala internasional yang lebih besar dan mempercepat transformasi Indonesia sebagai hub fintech digital Asia-Pasifik, pertimbangan harus diberikan pada peningkatan kerangka API terbuka yang lebih luas, mencontoh kekuatan ekosistem yang dihasilkan oleh UPI. Regulator perlu menyeimbangkan antara kontrol sistem (untuk keamanan) dan pendorong inovasi (melalui akses API terbuka yang lebih luas).
Dampak pada Inklusi Keuangan di Negara Berkembang (Fokus Unbanked)
Membangun Jejak Keuangan Digital: Kredit dan Asuransi Mikro
Kontribusi FinTech terbesar bagi populasi unbanked adalah kemampuannya untuk mengubah risiko asimetri informasi menjadi aset data yang berharga. Bank tradisional kesulitan melayani segmen ini karena kurangnya riwayat kredit formal. Namun, penggunaan uang elektronik dan transaksi P2P menghasilkan dokumentasi pembayaran elektronik yang konsisten.
Dokumentasi digital ini memungkinkan perusahaan FinTech untuk mengembangkan algoritma credit scoring canggih, seringkali berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML). Algoritma ini dapat dirancang untuk mengatasi tantangan unik di lapangan, seperti mendeteksi pola penggunaan telepon bersama dalam keluarga atau mengkompensasi ketidaklengkapan identitas digital. Data non-tradisional ini membuka akses ke kredit mikro dan layanan asuransi bagi jutaan individu yang sebelumnya tidak memiliki jalur menuju pembiayaan formal. Inklusi keuangan kini didorong oleh analitik data, bukan sekadar infrastruktur fisik.
Pemberdayaan Ekonomi Sektor Mikro (UMKM)
FinTech lintas batas secara langsung memberdayakan UMKM untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital global. Dengan adanya QRIS Antarnegara, UMKM dapat menerima pembayaran dari turis asing dengan mudah, menghilangkan kebutuhan akan sistem valuta asing dan merchant acquirer yang kompleks dan mahal. Hal ini meningkatkan daya saing UMKM di pasar global.
Selain pembayaran, pemanfaatan platform digital oleh UMKM untuk pencatatan keuangan, digital onboarding, dan penandatanganan dokumen secara legal (misalnya, dengan menggunakan layanan tanda tangan digital) meningkatkan efisiensi bisnis. Pemanfaatan ini tidak hanya mengoptimalkan alur kerja tetapi juga memperkuat kepercayaan dari mitra dan konsumen, yang merupakan elemen penting untuk menembus pasar global.
Mengatasi Kendala Geografis dan Kesenjangan Informasi
Pembayaran contactless berbasis QR dan NFC, yang hanya membutuhkan ponsel pintar dan kode QR (atau stiker NFC), memiliki biaya implementasi dan logistik yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pemasangan ATM atau cabang bank tradisional. Keberhasilan QRIS menembus wilayah pedesaan dan daerah 3T menunjukkan bagaimana teknologi ini secara efektif mengatasi hambatan geografis yang selama ini menjadi kendala terbesar bagi inklusi. FinTech menyediakan layanan branchless banking, memastikan akses ke layanan keuangan di mana pun koneksi internet, meskipun terbatas, tersedia.
Tantangan Krusial dan Kerangka Regulasi Adaptif
Tantangan Non-Teknis: Literasi Digital dan Akses Infrastruktur
Adopsi FinTech yang luas menghadapi hambatan signifikan yang bersifat non-teknis. Meskipun FinTech menyediakan alat yang canggih (capability), kapasitas masyarakat untuk menggunakan alat tersebut secara aman dan efisien (capacity) masih rendah.
Kendala utama, terutama di daerah pedesaan, adalah akses internet yang terbatas dan rendahnya literasi digital. Di Indonesia, strategi mitigasi secara eksplisit mencakup penguatan jaringan internet dan dukungan perangkat di daerah 3T. Program literasi digital yang berkelanjutan melalui kampanye nasional juga sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan adopsi yang bertanggung jawab. Kurangnya literasi digital dapat meningkatkan risiko cybercrime dan penipuan, yang pada akhirnya mengikis kepercayaan terhadap sistem digital.
Risiko Keamanan Siber dan Perlindungan Konsumen
Seiring dengan peningkatan volume transaksi digital, risiko cybercrime dan tantangan cybersecurity juga meningkat. Karena pembayaran lintas batas melibatkan banyak yurisdiksi dan pertukaran data sensitif, keamanan data dan perlindungan konsumen menjadi perhatian utama.
Kerangka regulasi di banyak negara berkembang masih berada dalam tahap adaptasi. Aspek perlindungan konsumen dan keamanan data sering kali memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Ketidakpastian regulasi lintas negara menjadi tantangan operasional yang substansial bagi pelaku industri FinTech yang berupaya menskalakan layanan mereka. Diperlukan sistem keamanan transaksi berbasis teknologi mutakhir untuk mendukung ekspansi regional yang aman seperti QRIS Lintas Batas.
Pendekatan Regulasi Inovatif: Regulatory Sandbox
Untuk menyeimbangkan antara kebutuhan inovasi yang cepat dan stabilitas sistem, negara-negara telah mengadopsi kerangka regulasi yang adaptif. Indonesia, misalnya, menerapkan pendekatan regulasi ganda yang efektif:
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berfokus pada perlindungan konsumen dan mengoperasikan regulatory sandbox untuk menguji model bisnis FinTech baru.
- Bank Indonesia (BI) mengawasi layanan sistem pembayaran (termasuk e-money, digital wallet, dan QRIS) dan menjalankan sandbox tersendiri yang didedikasikan untuk inovasi teknologi pembayaran.
Pendekatan ini menciptakan lingkungan operasi yang sehat dan dinamis bagi lapisan perantara, yang sangat penting bagi keberhasilan adopsi FinTech. Harmonisasi regulasi, terutama di tingkat regional (misalnya ASEAN), adalah kunci untuk mengatasi tantangan yurisdiksi dan mengurangi ketidakpastian bagi pelaku FinTech lintas batas.
Table III: Tantangan Utama Implementasi FinTech Lintas Batas di Negara Berkembang
| Kategori Tantangan | Deskripsi dan Bukti | Implikasi Kebijakan dan Mitigasi |
| Akses Infrastruktur | Keterbatasan Jaringan Internet di daerah 3T; dukungan perangkat terbatas | Membutuhkan investasi publik dalam konektivitas dan dukungan perangkat untuk digitalisasi UMKM |
| Kapabilitas Digital | Rendahnya Literasi Keuangan dan Digital Masyarakat | Pentingnya Program Literasi Digital Berkelanjutan untuk menumbuhkan kepercayaan dan adopsi |
| Keamanan Siber | Risiko Cybercrime dan pelanggaran data yang tinggi | Diperlukan peningkatan regulasi dan sistem keamanan transaksi berbasis teknologi mutakhir |
| Regulasi Lintas Batas | Ketidakpastian dan kebutuhan adaptasi (Perlindungan Konsumen & Data) | Diperlukan harmonisasi regulasi regional dan penguatan regulatory sandbo |
Proyeksi Masa Depan dan Rekomendasi Kebijakan
Masa depan pembayaran lintas batas akan ditandai dengan konvergensi teknologi. Bank sentral sedang bereksperimen dengan Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC) untuk memitigasi risiko penyelesaian dan meningkatkan efisiensi. Proyek-proyek seperti Project Dunbar—kolaborasi antara Bank for International Settlements (BIS) dan beberapa bank sentral, termasuk Bank Negara Malaysia dan Monetary Authority of Singapore—telah berhasil mengembangkan prototipe untuk platform bersama multi-CBDC.
Platform multi-CBDC bertujuan untuk memfasilitasi penyelesaian internasional yang lebih cepat, lebih murah, dan lebih aman dengan mengurangi ketergantungan pada perantara dan memanfaatkan smart contracts untuk otomatisasi. Konsep ini membuktikan bahwa platform CBDC bersama secara teknis layak. Ini menunjukkan adanya sistem hibrida di masa depan di mana mata uang digital sentral akan melengkapi solusi FinTech DLT swasta untuk memastikan kontrol moneter dan stabilitas penyelesaian lintas batas.
Konsep ‘Coopetition’ dan Dominasi Embedded Finance
Narasi lama mengenai persaingan sengit antara bank dan FinTech telah usang [10]. Model yang berlaku saat ini adalah ‘coopetition’—perpaduan strategis antara persaingan selektif dan kolaborasi penting.
Kemitraan strategis ini memanfaatkan kekuatan yang berbeda: FinTech unggul dalam kegesitan (nimbleness) dan memecahkan masalah spesifik, sementara bank menyediakan skala, modal, dan kepercayaan yang telah teruji [10]. Melalui kolaborasi ini, lembaga keuangan tradisional dapat berevolusi dan tetap relevan dalam lanskap digital yang dinamis. Embedded Finance (EmFi) adalah hasil dari coopetition ini, mendorong integrasi layanan keuangan ke dalam digital journeys pelanggan di Asia Tenggara, memberdayakan tahap pertumbuhan industri berikutnya.
Rekomendasi Strategis untuk Negara Berkembang
Berdasarkan analisis tren dan tantangan di atas, negara berkembang disarankan untuk mengambil langkah-langkah strategis berikut:
- Prioritaskan Infrastruktur Daya Lunak: Meskipun konektivitas di daerah 3T penting, investasi dalam program literasi digital dan keuangan adalah hal yang paling krusial. Ini meningkatkan kepercayaan, mempercepat adopsi, dan mengurangi kerentanan pengguna terhadap risiko cybercrime, memaksimalkan manfaat FinTech.
- Mendorong Kerangka API Terbuka yang Inklusif: Untuk memacu inovasi ekosistem, regulator harus mendorong adopsi API terbuka secara lebih luas, mencontoh keberhasilan UPI. Ini akan memungkinkan pihak ketiga untuk mengembangkan solusi embedded finance dan aplikasi lintas batas yang lebih spesifik dan inklusif.
- Mempercepat Harmonisasi Regulasi Lintas Batas: Dukungan terhadap standar regional (RPC ASEAN dan QRIS Lintas Batas) harus terus diperkuat. Klarifikasi kerangka perlindungan data dan konsumen lintas yurisdiksi adalah esensial untuk memitigasi ketidakpastian regulasi dan memastikan keamanan transaksi Rp1,66 triliun dan seterusnya.
- Mengeksplorasi CBDC sebagai Pelengkap: Pembuat kebijakan harus terus memantau pengembangan dan hasil uji coba multi-CBDC, seperti Project Dunbar. CBDC dapat menawarkan saluran penyelesaian yang stabil dan aman untuk transaksi lintas batas bernilai besar, melengkapi kecepatan dan efisiensi yang ditawarkan oleh DLT dan solusi FinTech P2P swasta.
Kesimpulan
FinTech lintas batas, didorong oleh inovasi pembayaran contactless melalui digital wallet, P2P, dan DLT, merupakan kekuatan transformatif yang tak terhindarkan dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan di negara berkembang. Teknologi ini telah berhasil mengurangi biaya transaksi secara dramatis dan mempercepat pembayaran lintas batas, secara efektif menantang dominasi sistem keuangan warisan.
Dampak paling mendalam dari revolusi ini adalah pada populasi unbanked. FinTech tidak hanya menyediakan alat pembayaran, tetapi yang lebih penting, FinTech menciptakan jejak data digital yang berharga, yang kemudian digunakan oleh algoritma untuk menyediakan akses ke kredit mikro dan asuransi yang sebelumnya tidak mungkin dijangkau.
Tantangan di masa depan bukan lagi terletak pada inovasi teknologi itu sendiri, melainkan pada pembangunan fondasi yang memungkinkan adopsi yang aman dan merata. Ini mencakup pembangunan infrastruktur lunak (literasi digital) dan pengembangan kerangka regulasi yang mampu mengimbangi kecepatan inovasi, sambil memastikan perlindungan konsumen dan keamanan siber yang ketat di tengah evolusi menuju sistem pembayaran hibrida yang terkonvergensi.


