Loading Now

Pariwisata Set-Jetting di Indonesia dan Global

Pariwisata Set-Jetting, atau perjalanan ke lokasi syuting film dan serial, telah berevolusi dari tren niche menjadi salah satu motor utama inspirasi perjalanan global. Fenomena ini didorong secara eksponensial oleh platform streaming dan dominasi demografis Generasi Z serta Milenial, di mana 70% dari kelompok ini kini menarik inspirasi perjalanan dari konten yang mereka konsumsi di layar lebar maupun kecil.

Laporan ini menggarisbawahi potensi ekonomi transformatif yang masif dari Set-Jetting, dibuktikan melalui studi kasus global seperti Selandia Baru yang mengalami peningkatan wisatawan sebesar 40% setelah Lord of the Ring, dan kasus domestik Belitung dengan peningkatan sektor pariwisata hingga 1.800% berkat Laskar Pelangi.

Namun demikian, pertumbuhan yang cepat dan didorong oleh media sosial ini membawa risiko signifikan berupa overtourism dan degradasi lingkungan. Contoh kegagalan manajemen terlihat pada penutupan Maya Bay, Thailand, akibat pariwisata massal, dan konflik sosial-ekonomi yang terjadi di Dubrovnik, Kroasia, di mana popularitas Game of Thrones mendorong kenaikan indeks harga perumahan, mengganggu kualitas hidup penduduk lokal.

Berdasarkan analisis ini, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada imperatif untuk mengadopsi Kerangka Kerja Pariwisata Film Berkelanjutan (KKPFB) yang terintegrasi. Fokus strategis harus beralih dari sekadar menarik volume kunjungan ke arah manajemen kapasitas yang ketat, diversifikasi destinasi ke wilayah off-the-beaten-path, dan perlindungan keaslian budaya lokal dari komodifikasi berlebihan, sebagaimana terjadi di Ubud, Bali.8 Keberhasilan jangka panjang bergantung pada kemampuan untuk mengubah inspirasi layar menjadi manfaat ekonomi regional yang merata, sambil mempertahankan integritas sosial dan ekologi destinasi.

Anatomi Fenomena Set-Jetting dan Kerangka Konseptual

Definisi, Asal Usul, dan Terminologi Sektoral

Set-jetting didefinisikan sebagai tren perjalanan di mana wisatawan secara spesifik mengunjungi destinasi atau lokasi fisik yang digunakan sebagai latar belakang atau tempat syuting dalam produksi film, serial televisi, atau media layar lainnya. Istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh artikel di New York Post pada tahun 2007 atau 2008.Secara etimologis, “set-jetting” merupakan plesetan linguistik dari istilah “jet-setting,” yang secara historis merujuk pada kebiasaan bepergian mewah di kalangan masyarakat kelas atas.

Fenomena ini, meskipun memiliki istilah kontemporer, bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Contoh klasik termasuk tur yang terinspirasi film James Bond ke pulau Khao Phing Kan, Thailand (lokasi syuting The Man with the Golden Gun tahun 1974), atau kunjungan ke rumah-rumah megah yang ditampilkan dalam adaptasi novel Jane Austen.

Dalam kajian akademik, Set-jetting termasuk dalam konsep yang lebih luas yang dikenal dengan berbagai nama, menunjukkan kompleksitas disiplin ilmu ini. Terminologi terkait mencakup Film-Induced Tourism, Screen Tourism, Movie-Induced Tourism, dan Media Pilgrimage. Studi-studi ini menempatkan Set-jetting sebagai bagian dari domain pariwisata budaya yang memanfaatkan daya tarik naratif visual.

Evolusi dan Akselerasi Tren Kontemporer

Meskipun fondasinya bersifat historis, akselerasi tren Set-jetting baru-baru ini bersifat eksponensial, terutama dipicu oleh dinamika konsumsi media global. Peningkatan tajam dalam konsumsi konten di platform streaming telah memperluas jangkauan dan kecepatan penyebaran inspirasi perjalanan. Data menunjukkan bahwa tren ini telah menjadi salah satu tren perjalanan terbesar.

Laporan Global Travel Trends mengonfirmasi bahwa akselerasi ini didominasi oleh kelompok usia muda. Sebanyak 70% dari Generasi Z dan Milenial secara aktif menarik inspirasi perjalanan mereka dari film atau serial televisi yang baru saja mereka tonton. Fenomena ini telah mengubah cara wisatawan memilih destinasi. Secara global, diperkirakan empat dari sepuluh wisatawan telah memesan perjalanan berdasarkan destinasi sinematik.

Perubahan dari jet-setting (perjalanan eksklusif) menjadi set-jetting (perjalanan yang terinspirasi massal) menandakan adanya demokratisasi inspirasi perjalanan. Konten yang dikonsumsi secara masif dan cepat menghasilkan potensi lonjakan turis di suatu lokasi yang sifatnya mendadak, sporadis, dan sulit diprediksi, berbeda dengan pariwisata tradisional yang bergantung pada promosi bertahap. Hal ini secara inheren meningkatkan risiko overtourism lokal dalam periode waktu yang sangat singkat. Sebagai ilustrasi nyata dari akselerasi ini, Pulau Paros di Yunani, yang menjadi lokasi syuting serial One Day, mengalami peningkatan pemesanan rumah sewa jangka pendek sebesar 32% setelah serial tersebut sukses.

Dinamika Pasar dan Motivasi Wisatawan Set-Jetting

Profil Demografi dan Preferensi Media

Pasar Set-jetting didominasi oleh Generasi Z dan Milenial. Kelompok usia ini, yang umumnya berusia antara 17 hingga 27 tahun (berdasarkan studi kasus domestik), merupakan motor utama, didorong oleh kemampuan mereka untuk mengakses dan berbagi informasi secara instan.

Di Indonesia, analisis karakteristik wisatawan yang mengunjungi destinasi set-jetting menunjukkan bahwa sumber informasi utama mayoritas pengunjung diperoleh melalui media sosial (28,33%) dan rekomendasi dari teman atau kerabat (27,45%). Jalur pemasaran yang tidak terintervensi ini—berbasis viral dan rekomendasi pribadi—menjelaskan mengapa ledakan popularitas destinasi set-jetting sering terjadi secara tiba-tiba dan besar-besaran, menciptakan tantangan manajemen arus yang unik.

Faktor Pendorong Psikologis dan Emosional

Motivasi utama bagi wisatawan Set-jetting adalah dimensi emosional dan pencarian kedekatan ikonik. Mayoritas wisatawan (62,26% menurut studi kasus lokasi syuting Pengabdi Setan di Pangalengan) menyatakan motivasi utama mereka adalah menikmati lokasi syuting film yang ikonik. Keindahan alam sekitar juga menjadi faktor penunjang signifikan (23,46%), menunjukkan bahwa daya tarik bersifat ganda: narasi fiksi dan realitas lanskap.

Psikologi Set-jetting juga terkait erat dengan pencarian Existential Authenticity atau keaslian eksistensial. Kunjungan ke lokasi syuting memungkinkan wisatawan untuk berbagi ruang simbolik yang sama dengan narasi favorit mereka, memperkuat rasa komunitas di antara penggemar dan menawarkan kedekatan emosional terhadap objek wisata.

Selain itu, tren ini juga relevan dengan dorongan pasca-pandemi untuk mencari pengalaman transformatif. Terdapat bukti bahwa setelah masa pembatasan, wisatawan didorong untuk melakukan perjalanan yang memberikan peningkatan psychological well-being dan pengalaman yang bersifat mendalam. Set-jetting, melalui sifatnya yang imersif ke dalam dunia fiksi, secara efektif memenuhi dorongan ini.

Tipologi Perjalanan: Kontras Massal versus Mewah

Pariwisata Set-jetting menunjukkan bifurkasi pasar yang signifikan, menuntut strategi pengelolaan yang berbeda:

Model Set-Jetting Massal (Budget-Conscious)

Model ini dicontohkan oleh mayoritas wisatawan domestik di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kelompok ini didominasi oleh pelajar dan mahasiswa dengan pendapatan bulanan berkisar antara Rp1.000.000 hingga Rp2.000.000. Pola perjalanan mereka sangat spesifik:

  • Perjalanan Mandiri: Mayoritas memilih perjalanan secara mandiri (81,55%), menunjukkan preferensi terhadap fleksibilitas dan biaya rendah, dibandingkan menggunakan paket wisata.
  • Durasi Singkat dan Biaya Rendah: Sebagian besar wisatawan (91,02%) hanya menghabiskan satu hari di destinasi tersebut, dengan biaya harian di bawah Rp150.000. Kunjungan singkat ini menghasilkan keuntungan finansial yang minim dari sektor akomodasi lokal.

Kombinasi antara sifat kunjungan yang mandiri, singkat, dan berbiaya rendah, dengan sumber informasi viral dari media sosial, menciptakan bottleneck turis. Wisatawan tiba serentak (misalnya, di akhir pekan), membebani kapasitas fisik destinasi (jalan, fasilitas), namun tidak memberikan manfaat ekonomi jangka panjang melalui penginapan atau pengeluaran substantial.

Model Set-Jetting Mewah (Luxury Set-Jetting)

Di sisi lain spektrum, terdapat fenomena yang dikenal sebagai The White Lotus Effect. Serial The White Lotus telah membawa popularitas ke resor ultra-mewah di lokasi seperti Sisilia (San Domenico Palace) dan Hawaii. Resor-resor yang ditampilkan dalam serial tersebut telah melihat lonjakan permintaan ketersediaan kamar hingga 386%.

Model ini secara eksklusif menarik High Net Worth Individuals (HNWIs) yang kini menyumbang sekitar 36% dari pengeluaran perjalanan global. Dampak dari luxury set-jetting tidak hanya terbatas pada sektor perhotelan, tetapi juga mendorong pertumbuhan real estate dan investasi properti mewah di sekitar lokasi syuting. Strategi pengembangan destinasi di segmen ini harus berfokus pada pengalaman eksklusif, kualitas layanan tertinggi, dan penargetan investor properti, yang sangat berbeda dari manajemen arus di segmen massal.

Table 1: Perbandingan Motivasi Utama Wisatawan Set-Jetting

Jenis Destinasi Faktor Pendorong Utama Persentase Dominan (Data Pangalengan) Implikasi Strategis
Destinasi Ikonik Fiksi Pengalaman emosional dan kedekatan dengan film/serial Daya tarik lokasi syuting ikonik (62,26%) Fokus pada penceritaan (storytelling) dan pemeliharaan set orisinal.
Destinasi Alam/Lanskap Keindahan Alam Sekitar dan Petualangan Keindahan alam (23,46%) Pengembangan aktivitas luar ruangan (trekking, berkemah) yang menyatu dengan lanskap.
Destinasi Mewah Mencari pengalaman kemewahan tingkat tinggi Efek White Lotus (Peningkatan 386% cek ketersediaan) Kerjasama dengan resor/hotel mewah dan penargetan HNWIs/investasi real estate.

Dampak Ekonomi Makro dan Studi Kasus Global yang Transformasional

Metrik Kunci Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi dari Set-jetting harus diukur melampaui statistik kunjungan mentah. Metrik kunci yang relevan mencakup Output/Sales, Gross Value Added (GVA), dan penciptaan lapangan kerja baru. Data ini menunjukkan nilai jangka panjang investasi pariwisata film.

Studi Kasus Global (Model Keberhasilan Jangka Panjang)

New Zealand: Kekuatan Franchise Global (Lord of the Rings/The Hobbit)

New Zealand menjadi contoh utama bagaimana Set-jetting dapat mentransformasi citra pariwisata nasional. Dari tahun 2000 hingga 2006, negara tersebut mencatat lonjakan pariwisata sebesar 40%, dari 1,7 juta menjadi 2,4 juta pengunjung, yang secara luas dikreditkan pada kesuksesan adaptasi film Lord of the Rings (LOTR).

Skala ekonomi dari waralaba ini sangat besar. Total investasi global dalam serial LOTR mencapai NZD 1,5 Miliar. Analisis menunjukkan bahwa bahkan bagian kecil dari proyek yang didorong melalui insentif—misalnya, investasi di wilayah Canterbury—dapat menghasilkan tambahan penjualan sebesar $124.7 Juta, menciptakan $59.8 Juta dalam GVA, dan menghasilkan 640 lapangan kerja baru. Pemerintah Selandia Baru memandang produksi film sebagai aset infrastruktur pariwisata jangka panjang, bahkan menawarkan insentif pajak (seperti $25 juta) kepada Warner Brothers untuk mengamankan lokasi syuting bagi sekuel The Hobbit, menunjukkan komitmen strategis untuk memastikan manfaat ekonomi berkelanjutan.

Irlandia: Diversifikasi Destinasi

Irlandia berhasil memanfaatkan produksi blockbuster seperti Game of Thrones, Star Wars, dan Harry Potter untuk mengubah kastil gotik, kampus bersejarah (Trinity College Dublin), dan lanskap liar (Cliffs of Moher) menjadi landmarks global.

Strategi Irlandia yang patut dicontoh adalah pemanfaatan ancillary media coverage (trailer, wawancara, behind-the-scenes) untuk memperkenalkan “permata tersembunyi” dan memperluas peta wisata di luar hotspots yang sudah jenuh. Dengan menonjolkan lokasi syuting di wilayah atau kabupaten yang kurang dikenal, mereka mencapai distribusi manfaat ekonomi dan budaya yang lebih luas. Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan Set-jetting bergantung pada strategi pemasaran yang terintegrasi dengan pengembangan regional.

Potensi dan Realita Set-Jetting di Indonesia: Pembelajaran dari Kasus Lokal

Indonesia memiliki potensi Set-jetting yang besar, namun pengalaman domestik menunjukkan spektrum dampak yang bervariasi—dari transformasi penuh hingga risiko komodifikasi budaya.

Belitung (Laskar Pelangi): Model Sukses Transformasi Regional

Film dan novel Laskar Pelangi merupakan studi kasus domestik paling transformatif. Penulis novel, Andrea Hirata, menyatakan bahwa karya tersebut berhasil meningkatkan sektor pariwisata Belitung hingga lebih dari 1.800%.

Belitung kini diakui sebagai salah satu model literary tourism paling sukses secara global. Film ini tidak hanya menonjolkan landscape tourism (misalnya pantai di bagian barat), tetapi juga secara strategis mengangkat cultural tourism dan educational tourism, terutama di wilayah timur pulau, yang menyediakan hiburan untuk “hati nurani”. Keberhasilan ini juga dilihat sebagai instrumen diplomasi kebudayaan yang efektif oleh pemerintah, memperkenalkan keindahan alam dan adat istiadat Bangka Belitung ke seluruh dunia.

Bali (Eat Pray Love): Isu Komodifikasi Budaya

Dampak film Hollywood Eat Pray Love (EPL) terhadap Bali menunjukkan aspek yang lebih bernuansa. Meskipun film tersebut menarik gelombang turis yang termotivasi EPL ke Ubud, penelitian menunjukkan bahwa dampak pada total kunjungan wisatawan Bali secara keseluruhan tidak signifikan jika dibandingkan dengan faktor-faktor promosi pariwisata yang lebih fundamental (keindahan alam, arsitektur, adat, dan budaya yang sudah ada). Film tersebut berfungsi sebagai faktor pendukung, bukan pendorong utama.

Namun, dampak paling signifikan dan kritis adalah perubahan mendramatis di Ubud. Influx turis EPL mengakibatkan komodifikasi tempat-tempat pertanian dan, yang lebih memprihatinkan, komodifikasi praktik sosial serta ritual sakral untuk memfasilitasi produk wisata baru. Meskipun hal ini memperkaya ragam pengalaman turis, risiko jangka panjangnya adalah erosi atau hilangnya keaslian lokal yang seharusnya dilindungi. Kasus Bali menyoroti bahwa di destinasi yang sudah matang, film dapat menjadi ancaman bagi keutuhan budaya.

Pangalengan (Pengabdi Setan): Tantangan Manajemen Arus Wisatawan Muda

Kasus lokasi syuting film horor Pengabdi Setan di Pangalengan, Kabupaten Bandung, menyoroti tantangan manajemen arus wisatawan massal domestik. Lokasi ini menarik dominasi Generasi Z (17-27 tahun) dengan motivasi utama menikmati set ikonik.

Pola perjalanan yang mayoritas merupakan kunjungan 1 hari (91,02%), perjalanan mandiri (81,55%), dan berbiaya rendah (< Rp 150.000 per hari) menciptakan tekanan besar pada infrastruktur dalam periode puncak, terutama karena mayoritas informasi didapat secara viral melalui media sosial. Pengelola destinasi harus fokus pada manajemen kepadatan puncak dan efisiensi fasilitas dasar, bukan pada investasi akomodasi jangka panjang. Analisis kasus ini menunjukkan bahwa manfaat ekonomi regional yang dihasilkan bersifat superfisial (pengeluaran harian rendah), sementara beban lingkungan dan kapasitas infrastruktur sangat tinggi.

Tantangan Kritis Set-Jetting: Overtourism, Degradasi Lingkungan, dan Konflik Sosial

Ledakan Set-jetting global telah memperparah masalah overtourism, suatu kondisi di mana jumlah wisatawan melebihi kapasitas daya dukung suatu destinasi, menurunkan kualitas pengalaman turis, dan mengganggu kualitas hidup penduduk lokal.5

Dampak Lingkungan: Kasus Maya Bay

Salah satu contoh paling ekstrem mengenai degradasi lingkungan akibat Set-jetting adalah penutupan Maya Bay di Thailand. Lokasi syuting film The Beach (2000) ini menarik pariwisata massal selama hampir dua dekade. Set jetters disalahkan atas kerusakan ekosistem yang signifikan. Akibatnya, otoritas setempat terpaksa menutup Maya Bay sementara pada tahun 2018 demi memulihkan kondisi lautnya yang rusak parah. Kasus ini memberikan pelajaran krusial bahwa keuntungan ekonomi jangka pendek dari popularitas film dapat mengakibatkan kerugian ekologis yang memerlukan tindakan drastis.

Konflik Sosial dan Peningkatan Biaya Hidup

Overtourism yang dipicu oleh Set-jetting seringkali memicu konflik sosial yang mendalam dan memengaruhi akses perumahan penduduk lokal.

Displacement Penduduk Lokal (Venesia/Barcelona)

Di kota-kota warisan seperti Venesia dan Barcelona, overtourism telah menyebabkan penduduk setempat merasa “dipaksa keluar” dari kota asal mereka. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, terutama kenaikan harga sewa residensial dan perubahan pasar lokal yang kini melayani turis secara eksklusif. Mobilitas penduduk lokal juga terganggu; diceritakan kisah di Venesia tentang nenek-nenek yang harus mendorong turis dengan tas tangan hanya untuk membeli buah di pasar atau mengakses taksi air. Hal ini menunjukkan erosi hak hidup dasar penduduk lokal.

Dampak Real Estate (Dubrovnik, Kroasia)

Setelah menjadi lokasi ikonik untuk Game of Thrones, Dubrovnik mengalami pertumbuhan turis tahunan yang signifikan (diperkirakan setengah dari pertumbuhan 10% dikaitkan dengan serial ini). Peningkatan kunjungan ini mendorong permintaan yang besar untuk pembelian atau penyewaan properti, menyebabkan kenaikan indeks harga perumahan bagi penduduk setempat. Walikota Dubrovnik harus mengambil tindakan keras yang secara sadar mengorbankan keuntungan ekonomi jangka pendek untuk mengatasi kepadatan dan melindungi kualitas hidup warganya.

Peristiwa di Dubrovnik dan Venesia menunjukkan adanya hubungan kausal yang jelas: popularitas film memicu Set-jetting massal, yang meningkatkan permintaan akomodasi jangka pendek, yang pada gilirannya menaikkan harga properti residensial, dan akhirnya, menyebabkan perpindahan penduduk lokal. Oleh karena itu, strategi pengelolaan pariwisata film harus terintegrasi dengan kebijakan tata ruang kota dan regulasi perumahan untuk melindungi kohesi sosial.

Table 2: Risiko Overtourism Akibat Set-Jetting dan Dampak Kunci

Studi Kasus Destinasi Penyebab Overtourism Kunci Dampak Utama pada Masyarakat Lokal Dampak Utama pada Lingkungan
Maya Bay, Thailand Popularitas film The Beach (2000) dan pariwisata massal Beban infrastruktur pariwisata massal Degradasi laut dan ekosistem, penutupan untuk pemulihan
Venesia, Italia Arus wisatawan besar, termasuk dari tren media Peningkatan harga sewa, sulit mengakses fasilitas lokal, perubahan pasar, displacement penduduk Kemacetan jalur air, risiko kerusakan situs warisan.
Dubrovnik, Kroasia Popularitas Game of Thrones Peningkatan tajam harga perumahan/sewa residensial, penurunan kualitas hidup Kepadatan, penurunan kualitas pengalaman

Strategi Pengelolaan Destinasi dan Etika Set-Jetting Berkelanjutan

Untuk memastikan Set-jetting memberikan manfaat ekonomi tanpa merusak modal sosial dan alam, diperlukan pergeseran dari pendekatan reaktif ke pendekatan proaktif yang berkelanjutan.

Kebijakan Manajemen Kapasitas dan Aliran Wisatawan

Pengendalian volume wisatawan adalah kunci untuk mitigasi overtourism. Destinasi harus menerapkan strategi pengendalian kuantitas dan waktu kunjungan:

  1. Pembatasan Jumlah Harian: Meniru langkah-langkah global seperti pembatasan jumlah pengunjung harian, regulasi kedatangan kapal pesiar (Cannes), dan pembatasan jumlah bus atau mobil yang diizinkan masuk ke desa (Hallstatt).
  2. Pengelolaan Waktu dan Distribusi Geografis: Mendorong wisatawan untuk berkunjung selama off-season atau periode sepi. Selain itu, memanfaatkan kepopuleran film untuk mendistribusikan wisatawan secara geografis ke wilayah yang kurang dikenal untuk mengurangi tekanan pada hotspots ikonik.

Memanfaatkan Set-Jetting untuk Distribusi Manfaat Regional

Strategi pengembangan pariwisata film harus berfokus pada perluasan peta wisata. Irlandia adalah contoh utama yang menggunakan produksi besar untuk mempromosikan wilayah atau kabupaten yang kurang dikenal (off-the-beaten-path), memastikan bahwa manfaat ekonomi tersebar luas di luar sirkuit turis tradisional.

Selain itu, penting untuk mendorong pariwisata yang imersif dan berfokus pada budaya otentik, bukan sekadar melihat set fiksi. Daripada hanya mengikuti jejak fiksi, wisatawan harus didorong untuk berinteraksi dengan komunitas lokal. Contohnya adalah kunjungan ke komunitas Huilloc di Sacred Valley, Peru (setelah Transformers), atau pertemuan dengan Syekh suku Bedouin di Wadi Rum, Yordania (lokasi syuting Dune). Pergeseran ini mendefinisikan kembali keaslian, di mana nilai jangka panjang tidak terletak pada rekayasa fiksi, melainkan pada pengalaman interaksi budaya yang otentik.

Panduan Etis untuk Wisatawan dan Pengelola

Aspek etis dan legal menjadi esensial dalam Set-jetting.

  1. Etika Wisatawan: Wisatawan wajib menghormati privasi dan aset budaya penduduk lokal. Panduan harus secara eksplisit melarang vandalisme, perusakan ekosistem, dan pembuangan sampah sembarangan di lokasi syuting ikonik.
  2. Akses Legal Lokasi Syuting: Tidak semua lokasi syuting terbuka untuk umum. Produksi film memerlukan izin properti legal (location release form) dari pemilik, yang menandakan status aksesibilitas properti tersebut. Bagi lokasi yang berada di tanah publik (misalnya, yang dikelola oleh lembaga pemerintah), akses dapat dibatasi jika kunjungan berpotensi menyebabkan kerusakan sumber daya atau mengganggu penggunaan publik lainnya. Pemerintah harus secara proaktif mengumumkan status akses ini untuk mencegah pelanggaran batas properti dan masalah keselamatan.

Kesimpulan

Set-jetting adalah katalis pariwisata yang sangat kuat, mampu membawa transformasi ekonomi masif bagi destinasi yang belum matang (seperti Belitung). Namun, daya tarik viral Set-jetting membuatnya menjadi vektor overtourism yang sangat efisien, yang, jika tidak dikelola, dapat dengan cepat merusak lingkungan (Maya Bay) dan mengancam kohesi sosial melalui kenaikan biaya hidup (Dubrovnik).

Pemerintah Indonesia harus bergerak dari respons pariwisata film yang reaktif (menangani ledakan turis) menjadi pendekatan yang proaktif dan terintegrasi, menjadikan film sebagai bagian dari strategi pembangunan destinasi berkelanjutan.

Rekomendasi Kebijakan Komprehensif untuk Pemerintah Indonesia

Disarankan untuk menerapkan Kerangka Kerja Pariwisata Film Berkelanjutan (KKPFB) yang mencakup empat pilar utama:

Table 3: Kerangka Kerja Kebijakan Pariwisata Film Berkelanjutan (Rekomendasi Strategis)

Pilar Kebijakan Tujuan Strategis Aksi Kunci yang Disarankan Studi Kasus Pendukung
Pemasaran (Marketing) Memperluas peta wisata film di luar hotspots utama. Promosi lokasi sekunder dan pengembangan narasi otentik yang melibatkan masyarakat lokal. Irlandia (mempromosikan lesser-known counties); Peru (Komunitas Huilloc).
Pengelolaan (Management) Mitigasi risiko overtourism dan menjaga kualitas destinasi. Implementasi batas harian pengunjung (kuota), regulasi transportasi, dan promosi kunjungan di luar musim ramai. Hallstatt, Austria; Cannes, Prancis
Regulasi Sosial-Ekonomi Melindungi penduduk lokal dari dampak harga dan komodifikasi budaya. Kebijakan zonasi properti sewa jangka pendek; memastikan manfaat ekonomi dirasakan komunitas setempat (misalnya melalui pajak/retribusi film). Dubrovnik, Kroasia (butuh regulasi perumahan); Bali (isu komodifikasi).
Infrastruktur & Etika Memastikan kesiapan fisik dan kesadaran etis wisatawan. Pengembangan infrastruktur berkelanjutan (pengolahan sampah); penyediaan panduan set-jetting etis (anti-vandalisme, kebersihan) di lokasi ikonik. Persiapan infrastruktur di Christchurch untuk LOTR.

Melalui adopsi KKPFB, pemerintah dapat memaksimalkan potensi ekonomi Set-jetting (terutama di segmen luxury dan regional) sambil secara aktif menanggulangi ancaman overtourism dan mempertahankan integritas sosial-budaya destinasi. Hal ini memerlukan unit kebijakan terpadu yang mampu memfasilitasi kebutuhan produksi film (perizinan) sekaligus menegosiasikan komitmen promosi destinasi, memastikan lokasi film tidak hanya dimanfaatkan secara finansial (menghindari Runaway Productions), tetapi juga memberikan kontribusi nyata pada pembangunan pariwisata berkelanjutan Indonesia.