Jakarta Menuju Kota Belanja Dunia: Peluang dan Tantangan dalam Persaingan Global
Perpindahan status Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta mendorong Jakarta bertransformasi menjadi Kota Global, sebuah entitas yang harus berfungsi sebagai simpul utama jaringan ekonomi dunia dan memiliki dampak nyata pada tataran global. Dalam konteks ini, sektor pariwisata—khususnya pariwisata belanja (shopping tourism)—menjadi pilar strategis yang tidak terhindarkan. Bagi wilayah seperti Jakarta Pusat, sektor jasa, termasuk wisata belanja, diakui sebagai kekuatan utama karena ketiadaan potensi wisata alam.
Pariwisata belanja memiliki peran ganda yang jauh melampaui sekadar penerimaan devisa. Secara fundamental, aktivitas ini berfungsi sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi lokal. Pembelanjaan oleh wisatawan secara langsung mendukung perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta mendorong kemajuan industri terkait seperti kuliner, kerajinan tangan, dan akomodasi. Oleh karena itu, pariwisata belanja bagi Jakarta merupakan alat strategis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan memperkuat ekonomi kawasan, bukan hanya sekadar aktivitas komersial. Upaya pengembangan destinasi seperti yang terlihat di Jakarta Pusat, yang menggabungkan pusat grosir (Tanah Abang, Thamrin City) dengan pengembangan ekonomi kreatif (seperti lukisan pasir dan abon lele), menunjukkan kesadaran akan pentingnya diversifikasi produk ekonomi.
Metodologi Komparatif: Fokus Tiga Pilar Daya Saing
Analisis ini membandingkan Jakarta dengan dua kompetitor utama di Asia Tenggara, Bangkok dan Singapura, menggunakan tiga pilar daya saing kunci: Harga (Affordability/Value), Merek (Diversity/Luxury presence), dan Pengalaman Wisatawan (Logistics/Safety).
Jakarta memiliki titik awal yang unik dalam persaingan ini. Jakarta tidak dapat secara realistis bersaing dengan Singapura dalam hal infrastruktur logistik, efisiensi layanan, atau posisi sebagai luxury hub regional. Data menunjukkan bahwa harga di Singapura cenderung lebih tinggi, namun Singapura menawarkan nilai melalui infrastruktur dan efisiensi yang unggul. Sebaliknya, kekuatan Jakarta terletak pada keunggulan harga di segmen ritel massal dan grosir. Oleh karena itu, strategi Jakarta harus didasarkan pada kapitalisasi keunggulan harga dan volume, sekaligus mengatasi hambatan struktural yang menghambat pengalaman wisatawan.
Posisi Jakarta Saat Ini dalam Peringkat Kota Belanja Asia Tenggara
Perbandingan awal menunjukkan disparitas signifikan di antara ketiga kota tersebut, terutama dalam metrik pengalaman wisatawan.
| Faktor Kunci | Jakarta (Indonesia) | Bangkok (Thailand) | Singapura |
| Keunggulan Harga | Sangat Kuat (Grosir/Ritel Massal) | Kuat (Pasar Khas, Diskon) | Sedang (Harga lebih tinggi, Value melalui Tax Refund) |
| Kehadiran Merek Mewah | Sedang (Tersegmentasi) | Tinggi (Populer di kalangan Turis Asia) | Sangat Tinggi (Hub Regional/Global) |
| Indeks Keamanan (Safety) | Rendah/Menengah (Safety Index 47.1, Rank 263rd Global) | Menengah/Tinggi (Bangkok Safety Index 61.4) | Sangat Tinggi (Safety Index 77.4, Rank 26th Global) |
| Kemacetan Lalu Lintas | Paling Macet di ASEAN (1st in ASEAN, 29th Global) | Tinggi | Rendah/Terkontrol |
| Format Belanja Unggulan | Pasar Grosir B2B (Tanah Abang, Mangga Dua) | Pasar Malam & Pasar Akhir Pekan (Chatuchak), Mal Mode (Platinum) | Mal Mewah, Ritel Terpusat (Orchard Road) |
Analisis perbandingan ini menunjukkan bahwa Jakarta memiliki diferensiator yang jelas di sektor B2B dan harga massal. Namun, skor rendah pada metrik Pengalaman Wisatawan (kemacetan dan keamanan) menunjukkan bahwa potensi ekonomi dari pariwisata belanja belum dapat dimaksimalkan. Hambatan ini harus diatasi melalui investasi infrastruktur dan peningkatan layanan yang mendasar.
Analisis Pilar Harga dan Merek (Affordability vs. Luxury Presence)
Dominasi Harga Ritel Massal dan Grosir Jakarta
Keunggulan kompetitif utama Jakarta adalah kapasitasnya sebagai pusat perdagangan grosir dan ritel massal yang menawarkan value superior dan harga yang sangat kompetitif. Pusat-pusat perbelanjaan grosir seperti Tanah Abang, ITC Cempaka Mas, dan kawasan Mangga Dua telah memposisikan Jakarta sebagai surga bagi pemburu diskon dan, yang lebih penting, sebagai hub distribusi B2B regional.
Kawasan Mangga Dua, misalnya, terdiri dari enam pusat perbelanjaan utama, di mana setiap mal memiliki spesialisasi produknya sendiri, mulai dari elektronik (Harco Mas Mangga Dua) hingga fesyen dan aksesori (ITC Mangga Dua). Kawasan ini memainkan peran vital dalam perekonomian DKI Jakarta; ribuan pedagang kecil dan menengah, bahkan dari luar Jakarta, bergantung pada pasokan barang grosir dari sini.
Dalam konteks perbandingan harga, meskipun Bangkok terkenal dengan pasar murah seperti Chatuchak dan Pratunam, Jakarta unggul dalam volume dan peran Mangga Dua sebagai pusat spesialis B2B terstruktur di bawah satu atap Singapura, sebaliknya, memiliki standar harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebagian besar negara Asia Tenggara. Oleh karena itu, kekuatan Jakarta terletak pada kemampuannya melayani pasar wholesale dan pembeli yang sensitif terhadap harga dalam skala besar.
Lanskap Harga Merek Mewah Global (The Luxury Paradox)
Ketika memasuki segmen merek mewah global, Jakarta menghadapi realitas yang berbeda, seringkali dihadapkan pada “paradoks kemewahan.” Laporan perbandingan harga global menempatkan Jakarta di peringkat ke-18 dunia untuk pengeluaran kemewahan, yang berarti barang-barang mewah di Jakarta cenderung lebih mahal dibandingkan di Bangkok, yang berada di peringkat ke-11.
Analisis lebih lanjut mengungkapkan anomali harga spesifik: Jakarta dilaporkan memiliki harga tertinggi untuk setelan jas pria di kawasan tersebut. Harga jual yang tinggi ini menunjukkan adanya faktor-faktor seperti bea masuk yang berbeda, strategi penetapan harga merek global, dan pajak yang mungkin tidak mendukung daya saing regional. Negara tetangga seperti Malaysia, misalnya, secara proaktif telah menawarkan insentif pajak untuk menarik pembeli mewah, yang secara langsung berdampak pada penentuan harga yang lebih kompetitif di seluruh kawasan.
Dinamika Merek dan Diversitas Ritel
Singapura beroperasi sebagai gateway regional untuk merek mewah, didukung oleh infrastruktur ritel global dan skema pengembalian pajak (GST) yang sangat efisien. Bangkok menawarkan keseimbangan antara merek internasional dan pasar mode lokal yang dinamis, seperti Platinum Fashion Mall yang berfokus pada mode cepat.
Sebaliknya, kekuatan diversitas Jakarta terletak pada produk lokal dan pertumbuhan ekonomi kreatif. Selain pusat grosir yang dominan, Jakarta menawarkan pusat khusus seperti Pasar Mayestik untuk kain dan perlengkapan pernikahan, serta pusat elektronik seperti Harco Mangga Dua dan Glodok Pinangsia. Jakarta juga mengalami ledakan budaya kopi lokal, di mana merek-merek kopi lokal menjadi pemain signifikan yang menawarkan kualitas dan harga kompetitif. Pengembangan produk ekonomi kreatif lokal lainnya, seperti yang didorong oleh Pemkot Jakarta Pusat, adalah upaya untuk menciptakan nilai jual yang unik.
Namun, efektivitas keunggulan harga Jakarta dalam menarik turis dipengaruhi oleh nilai realisasi akhir yang diterima wisatawan, yang sangat bergantung pada efisiensi sistem tax refund (Pengembalian PPN).
Komparasi Mekanisme Pengembalian Pajak (Tax Refund Efficiency)
Harga ritel dasar yang rendah di Jakarta mungkin terkompromikan jika proses pengembalian PPN (PPN) bagi turis tidak efisien. Sistem Pengembalian PPN Indonesia bagi turis memungkinkan klaim PPN atas barang yang dibeli di toko yang berpartisipasi, tetapi prosedur klaim hanya dapat dilakukan di bandara pada hari keberangkatan melalui aplikasi web atau kios mandiri.
Di sisi lain, Singapura mengelola Skema Pengembalian Turis (TRS) melalui kios electronic TRS (eTRS) yang terpusat di Changi International Airport, memberikan prosedur yang dikenal sangat efisien. Thailand bahkan menawarkan opsi Downtown VAT Refund, yang memungkinkan turis mengklaim sebagian dana PPN sebelum mencapai bandara, meningkatkan likuiditas dan kenyamanan. Thailand juga memiliki batas pembelian minimum harian (THB 2.000) yang jelas per toko.
| Aspek Kunci | Jakarta (VAT Refund) | Bangkok (VAT Refund) | Singapura (GST Refund) |
| Mekanisme Klaim | Digital (Aplikasi web/Self-service di bandara). Proses cash refund dibatasi. | Kios Self-Help, Stempel Bea Cukai/Revenue Dept. Opsi Downtown VAT Refund tersedia. | eTRS Kiosk Self-Help (Sangat Efisien) |
| Lokasi Klaim Utama | Bandara Internasional (Soekarno-Hatta, Medan, Surabaya, dll.). | Bandara Internasional (Suvarnabhumi, Don Mueang). | Bandara Internasional (Changi, Seletar). |
| Persyaratan Nilai Minimum | IDR 500.000 per faktur. Transfer bank ditolak untuk nilai di atas IDR 5.000.000. | THB 2.000 (termasuk PPN) per hari per toko. | Menggunakan sistem eTRS terpusat. |
| Inspeksi Barang Mewah | Wajib menunjukkan barang dan dokumen. | Barang mewah ($>$THB 10.000) wajib diperiksa ulang oleh petugas Revenue setelah imigrasi. | Inspeksi fisik jika diminta di kios. |
Jika proses klaim di Jakarta terasa rumit, tidak andal, atau memiliki batasan signifikan pada metode pengembalian (misalnya, batasan transfer bank sebesar IDR 5.000.000), selisih harga yang ditawarkan di ritel Jakarta akan berkurang nilainya di mata wisatawan. Hal ini menegaskan bahwa harga jual dasar yang rendah harus didukung oleh sistem layanan pasca-pembelian yang efisien dan transparan untuk bersaing secara global.
Analisis Pilar Pengalaman Wisatawan (Tourist Experience)
Kelemahan terbesar Jakarta dalam persaingan kota belanja terletak pada aspek pengalaman wisatawan, terutama yang dipengaruhi oleh logistik dan keamanan.
Tantangan Logistik dan Aksesibilitas: Kemacetan sebagai Disinsentif Utama
Jakarta saat ini menduduki peringkat pertama kota termacet di ASEAN dan ke-29 di dunia, berdasarkan TomTom Traffic Index 2022. Untuk menempuh jarak 10 kilometer di Jakarta, dibutuhkan waktu rata-rata 22 menit 40 detik. Konsekuensi dari kemacetan ini sangat parah: pengendara menghabiskan waktu setara 106 jam atau lebih dari 4 hari dalam setahun hanya untuk kemacetan selama jam sibuk.
Kemacetan ini berfungsi sebagai disinsentif tunggal terbesar bagi pariwisata belanja. Waktu perjalanan yang lama mengurangi waktu belanja efektif yang tersedia bagi turis dan secara signifikan meningkatkan tingkat stres mereka. Hal ini dapat menjadi alasan mengapa beberapa wisatawan lebih memilih destinasi yang lebih efisien logistiknya seperti Singapura.
Selain kerugian waktu, kemacetan menimbulkan biaya ekonomi tidak langsung. Jika diestimasi biaya transportasi per orang di Jakarta mencapai sekitar Rp100 ribu per hari, mengatasi kemacetan dan meningkatkan efisiensi sektor transportasi akan menghasilkan penghematan yang dapat dialokasikan kembali oleh turis untuk belanja, kuliner, dan hiburan. Kemacetan mengubah alokasi anggaran dan waktu wisatawan, menekan potensi pengeluaran mereka di sektor pariwisata lainnya. Upaya perbaikan sistem transportasi merupakan fokus utama Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah (RPIW) DKI Jakarta , namun Pemprov DKI masih menghadapi kesenjangan anggaran sebesar Rp600 triliun untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota global, memerlukan strategi pendanaan kreatif (creative financing).
Kualitas Layanan Transportasi Wisata
Kualitas layanan publik yang mendukung pergerakan turis, seperti Bus Tingkat Wisata City Tour Jakarta, menunjukkan adanya tantangan serius. Meskipun bus wisata ini merupakan strategi Pemprov DKI untuk mengembangkan pariwisata, analisis Servqual (kualitas layanan) menunjukkan skor negatif total sebesar $-0,87$, yang mengindikasikan ketidakmampuan untuk memuaskan penumpang.
Masalah operasional utama yang diidentifikasi adalah kurangnya informasi kedatangan bus dan waktu tunggu yang lama. Hal ini disebabkan oleh jumlah armada yang tidak sebanding dengan permintaan, merusak dimensi keandalan (reliability) layanan. Selain itu, bus wisata seringkali didominasi oleh penumpang yang bukan wisatawan murni (pelajar, pekerja, dll.), menunjukkan bahwa layanan tersebut belum efektif melayani segmen wisatawan internasional. Kondisi ini menciptakan kontradiksi: Jakarta memiliki hard product (pusat belanja fisik) yang besar dan beragam (mal modern, Tanah Abang), tetapi soft product (logistik, keandalan layanan, kenyamanan) yang buruk, menyebabkan wisatawan beralih ke destinasi dengan layanan yang lebih terjamin.
Indeks Keamanan Kota (Safety & Perception)
Persepsi dan data keamanan merupakan faktor krusial yang menentukan kenyamanan wisatawan internasional, terutama dalam konteks membawa barang belanjaan bernilai tinggi. Menurut laporan Numbeo 2025, Singapura memiliki Indeks Keamanan yang sangat tinggi sebesar $77,4$ (peringkat $26$ global), menempatkannya jauh di atas pesaing regional. Bangkok juga memiliki skor yang relatif tinggi ($61,4$).
Jakarta, di sisi lain, berada di peringkat $263$ global dengan Indeks Keamanan $47,1$. Meskipun kota ini tidak tergolong tidak aman, peringkat yang jauh di bawah standar kota belanja dunia ini dapat menimbulkan implikasi psikologis yang penting. Persepsi keamanan yang lebih rendah dapat membuat turis internasional merasa kurang nyaman untuk menjelajahi pasar tradisional atau berpindah tempat di luar pusat perbelanjaan modern yang dikelola dengan baik. Meningkatkan indeks keamanan adalah prasyarat dasar untuk mendorong turis menghabiskan lebih banyak waktu dan uang di berbagai destinasi ritel di Jakarta.
Keunggulan Kompetitif Jakarta dan Strategi Diferensiasi
Untuk mengatasi hambatan logistik dan layanan yang ada, Jakarta harus memfokuskan strategi diferensiasinya pada dua bidang utama: memaksimalkan potensi grosir B2B-nya dan mengintegrasikan pengalaman budaya lokal yang otentik.
Kapitalisasi Kekuatan Pasar Grosir B2B (Business-to-Business)
Tanah Abang dan Mangga Dua harus diposisikan ulang dari sekadar pasar tradisional menjadi “Hub Distribusi Mode dan Elektronik Asia Tenggara.” Mangga Dua, dengan variasi enam pusat perbelanjaan yang berspesialisasi dalam produk yang berbeda, sudah memiliki fondasi untuk menjadi pusat perdagangan regional yang terintegrasi.
Namun, pengalaman di pusat grosir ini harus ditingkatkan secara radikal. Tanah Abang, misalnya, sering digambarkan oleh pengunjung sebagai tempat yang “penuh kekacauan” dan memerlukan upaya keras untuk dijelajahi, apalagi saat menghadapi cuaca buruk. Kontrasnya adalah pasar mode massal di Bangkok, seperti Platinum Fashion Mall atau Chatuchak Weekend Market, yang meski ramai, dikelola sebagai destinasi trendy atau memiliki pengalaman belanja yang lebih terstruktur dan berpusat pada wisatawan. Selain itu, banyak pasar tradisional grosir Jakarta menghadapi masalah infrastruktur yang sudah tua dan kurang terawat, menciptakan kesan kumuh. Modernisasi dan penataan wajib dilakukan untuk mengubah narasi dari “bertahan hidup di pasar” menjadi “pengalaman perdagangan Asia yang otentik, efisien, dan nyaman.”
Festival Belanja dan Momentum Ekonomi Ritel
Festival Jakarta Great Sale (FJGS), yang diadakan setiap tahun sejak $1982$, merupakan aset utama dalam kalender ritel Jakarta. Festival ini secara tradisional diadakan pada bulan Juni dan Juli dan melibatkan partisipasi lebih dari $83$ pusat perbelanjaan besar.
Ambisinya terus meningkat. Untuk tahun $2025$, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menargetkan transaksi sebesar IDR $15,5$ triliun di $100$ mal. Event ini diharapkan dapat mendorong perekonomian lokal dan menciptakan lapangan kerja bagi hingga $200.000$ pekerja ritel selama periode festival. Dengan tema seperti “The Ultimate Destination for Shopping”, FJGS dapat digunakan sebagai platform untuk mengubah persepsi Jakarta, tidak hanya sebagai kota diskon, tetapi sebagai pusat aktivitas ritel yang dinamis.
Integrasi Budaya Lokal (Betawi dan UMKM)
Untuk menciptakan sense of place yang kuat, Jakarta harus mengintegrasikan budaya lokal Betawi dan produk UMKM ke dalam pengalaman belanja. Strategi ini sejalan dengan prinsip bahwa pariwisata belanja yang berkelanjutan harus melestarikan budaya dan memberikan manfaat ekonomi bagi komunitas lokal.
Sejumlah pusat perbelanjaan telah mulai mengadopsi strategi ini. Lippo Malls Indonesia secara teratur mengadakan ajang “Betawi Rame-Rame” di 10 mall, menampilkan kuliner khas (dodol, kerak telur), kesenian (Gambang Kromong, Ondel-Ondel), hingga pameran busana tradisional. Plaza Blok M juga pernah menggelar Pagelaran Budaya Betawi yang meliputi tari-tarian dan Gambang Kromong untuk menarik pengunjung. Hotel-hotel (seperti Hotel Borobudur) juga turut serta dalam mempromosikan seni, kuliner, dan UMKM Betawi.
Fokus pada branding produk kreatif lokal dan UMKM—seperti budaya kopi lokal yang sedang berkembang pesat  atau kerajinan Betawi—dapat menciptakan nilai jual unik yang tidak dimiliki oleh Singapura atau Bangkok. City branding yang efektif, seperti Enjoy Jakarta, harus diperluas dari sekadar alat komunikasi menjadi alat pembangunan strategis yang melibatkan kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat identitas tempat dan menarik investasi, bukan hanya turis. Strategi ini memungkinkan Jakarta untuk memposisikan diri sebagai The Epicenter of Indonesian Creative Products and Asian Wholesale, yang merupakan diferensiasi strategis dari pesaingnya.
Tantangan Utama Jakarta dan Peta Jalan Strategis
Tantangan Pembiayaan Infrastruktur dan Kemitraan Lintas Sektor
Tantangan paling mendesak bagi Jakarta adalah mengatasi kesenjangan pembiayaan infrastruktur. Untuk bertransformasi menjadi kota global, DKI Jakarta membutuhkan anggaran sekitar Rp600 triliun, sementara belanja modal saat ini hanya sekitar $19$ persen. Situasi ini menuntut kreativitas finansial (creative financing) dan strategi inovatif untuk penggalangan dana pembangunan.
Permasalahan kemacetan—yang menjadi penghambat terbesar bagi pengalaman turis —mengharuskan perbaikan sistem transportasi yang berkelanjutan. Proyek infrastruktur pariwisata ini, termasuk yang terkait dengan KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) seperti Kepulauan Seribu, memerlukan perencanaan terpadu (ITMP) dan koordinasi kuat antarlembaga (Kementerian PUPR, Kemenko Perekonomian, Pemprov DKI). Mengingat pariwisata adalah program prioritas nasional, dukungan pembiayaan pusat untuk mengatasi kemacetan Jakarta harus disinkronkan dengan visi Kota Global, karena peningkatan efisiensi transportasi secara langsung akan menggerakkan sektor ekonomi lainnya.
Rencana Aksi Strategis untuk Pilar Pengalaman
Optimalisasi Sistem Tax Refund
Untuk memanfaatkan keunggulan harga, sistem pengembalian PPN (VAT Refund) harus dioptimalkan. Analisis menunjukkan bahwa wisatawan akan mengurangi persepsi risiko dan kerumitan jika sistemnya setara dengan Singapura. Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi dan keandalan sistem online (VAT Refund App). Selain itu, untuk menarik pembelanja bernilai tinggi, perlu dipertimbangkan adopsi model downtown tax refund seperti yang diterapkan Thailand.
- Peningkatan Kualitas Layanan dan Keamanan
Pemerintah perlu mengatasi nilai Servqual negatif di layanan transportasi wisata  dengan meningkatkan keandalan armada dan informasi kedatangan bus. Dalam jangka pendek, investasi mendesak harus dilakukan untuk meningkatkan Indeks Keamanan kota ($47,1$ menjadi lebih kompetitif), misalnya melalui peningkatan penerangan publik, patroli, dan teknologi keamanan, untuk memastikan wisatawan merasa aman saat berbelanja di berbagai lokasi.
Revitalisasi Pasar Grosir
Revitalisasi infrastruktur pasar grosir seperti Tanah Abang dan Mangga Dua harus menjadi prioritas utama untuk mengatasi kesan kumuh dan kondisi yang kurang terawat. Revitalisasi ini harus mencakup peningkatan aksesibilitas (terkait dengan koneksi transportasi publik), kebersihan, dan penyediaan fasilitas ramah turis (misalnya, panduan berbahasa asing, pusat informasi). Upaya ini sangat penting untuk mengubah pengalaman belanja B2B yang saat ini dianggap “chaos” Â menjadi pengalaman perdagangan yang efisien dan profesional.
Peta Jalan Jakarta Menuju Kota Belanja Dunia 2035
Untuk mencapai status Kota Belanja Dunia, Jakarta memerlukan peta jalan strategis bertahap:
Fase 1 (2025–2028): Mengatasi Hambatan Fisik dan Layanan Dasar
Fokus utama pada fase ini adalah mengatasi hambatan struktural yang ada. Langkah-langkah kunci meliputi: realisasi creative financing untuk menutup gap anggaran infrastruktur, percepatan proyek transportasi untuk mengurangi kemacetan, standardisasi dan peningkatan transparansi sistem tax refund Indonesia, serta peningkatan drastis Indeks Keamanan Kota.
Fase 2 (2029–2032): Diferensiasi dan Penguatan Merek Lokal
Setelah hambatan dasar teratasi, Jakarta harus fokus pada diferensiasi. Hal ini dicapai dengan memposisikan Jakarta secara definitif sebagai hub grosir B2B terbaik di Asia Tenggara melalui revitalisasi total Tanah Abang dan Mangga Dua. Selain itu, integrasi produk ekonomi kreatif dan budaya Betawi harus dilakukan secara permanen di seluruh pusat ritel, dan Festival Jakarta Great Sale harus diangkat menjadi acara ritel kelas dunia yang menarik pembeli regional dan internasional.
Fase 3 (2033–2035): Konsolidasi Kota Belanja Global
Fase akhir bertujuan untuk konsolidasi dan pengakuan global. Jakarta tidak lagi bersaing hanya berdasarkan harga, tetapi juga diakui karena pengalaman unik, keragaman merek lokal yang kuat, dan infrastruktur logistik yang efisien. Di fase ini, Jakarta akan diakui sebagai Global City yang berhasil memanfaatkan sektor pariwisata belanjanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan sense of place yang khas.


