Etnomusikologis Musik dan Fungsi Ritual di Lintas Budaya
Definisi dan Landasan Teoretis Etnomusikologi
Kajian mengenai hubungan antara musik dan ritual memerlukan landasan teoretis yang kuat, yang disediakan oleh disiplin etnomusikologi. Etnomusikologi dibentuk dari fusi dua disiplin dasar: musikologi dan antropologi (etnologi). Walaupun awalnya berfokus pada budaya musik non-Barat, ruang lingkup kajian ini telah meluas untuk mencakup semua jenis musik, selama musik tersebut dikaji dalam konteks budayanya. Tujuannya yang mendasar adalah mengkaji musik dalam konteks kebudayaan, dan pada akhirnya, memahami manusia yang menciptakan, memperagakan, dan merespons musik sedemikian rupa itu.
Etnomusikologi melihat musik bukan hanya sebagai struktur suara, melainkan sebagai perilaku yang terintegrasi secara sinkronik dengan berbagai aspek perilaku manusia lainnya, termasuk religi, drama tari, organisasi sosial, struktur politik, dan ekonomi. Pendekatan interdisipliner ini memungkinkan penelitian untuk menganalisis tidak hanya apa yang dimainkan, tetapi mengapa musik itu penting—makna yang mendalam di mana musik mencerminkan kebudayaan, sekaligus menjadi bagian integral darinya.
Fungsi Universal Musik dalam Masyarakat
Dalam menganalisis musik ritual, penting untuk membedakan antara penggunaan musik (aktivitas atau konteks di mana musik dipentaskan) dan fungsi musik (akibat atau tujuan yang lebih dalam dari aktivitas tersebut). Kerangka fungsional, seperti yang diajukan oleh Alan P. Merriam, membantu mengidentifikasi peran musik yang melampaui kepuasan estetis.
Secara universal, penelitian menunjukkan bahwa salah satu fungsi utama musik adalah untuk membantu mengintegrasikan masyarakat; sebuah proses yang terus menerus dilakukan dalam kehidupan manusia untuk memperkuat kohesi sosial. Fungsi krusial lainnya adalah menyediakan saluran untuk melepaskan tekanan-tekanan jiwa atau bertindak sebagai katarsis. Dalam konteks ritual, musik mengambil peran yang sangat terspesialisasi, mendukung sistem kepercayaan dan memberikan struktur bagi pengalaman spiritual kolektif atau individu.
Musik Ritual sebagai Indikator Integritas Budaya
Keterikatan erat musik ritual dengan sistem sosial dan spiritual suatu komunitas memberikan perspektif penting mengenai vitalitas budaya. Apabila musik mencerminkan kebudayaan dan merupakan bagian integral darinya , maka dinamika, adaptasi, dan pelestarian bentuk-bentuk musik ritual menjadi indikator langsung kemampuan suatu komunitas untuk mempertahankan integritas sosial dan spiritualnya di tengah perubahan eksternal. Misalnya, adaptasi Gamelan Bali atau sifat gigih Vodou Haiti yang menggunakan sinkretisme menunjukkan resiliensi. Sebaliknya, perubahan atau demonisasi musik ritual (seperti yang dialami oleh agama-agama Yoruba) seringkali mencerminkan pergeseran kekuatan politik dan sosial yang menekan minoritas.
Tabel 1 meringkas kerangka fungsional utama yang akan digunakan untuk membandingkan praktik-praktik lintas budaya dalam tulisan ini:
Tabel 1: Kerangka Fungsional Musik Ritual (Berdasarkan Perspektif Etnomusikologi)
| Fungsi Utama | Deskripsi Dalam Ritual | Contoh Global |
| Integrasi Sosial | Memperkuat norma, mengukuhkan identitas kolektif, menyatukan masyarakat selama upacara. | Gamelan Bali mengukuhkan norma kehidupan; Tarian Afrika Sub-Sahara yang partisipatif. |
| Komunikasi Spiritual | Media untuk memanggil, berkomunikasi, atau menyenangkan entitas spiritual/leluhur. | Ritual Besiak (Melayu Sambas) memanggil makhluk halus; Vodou memanggil Loas. |
| Pelepasan Tekanan (Katarsis) | Menyediakan saluran emosional untuk mengatasi stres atau trauma kolektif. | Musik untuk pelepasan tekanan jiwa. |
| Transformasi Status/Trance | Membantu individu atau kelompok mencapai kondisi kesadaran yang diubah atau kerasukan. | Drumming Vodou yang memicu kase; Seansi Shamanik Siberia. |
Anatomi Musik Ritual: Mekanisme Transe dan Simbolisme
Struktur Musikal dalam Konteks Sakral
Musik ritual seringkali bersifat fungsional, diciptakan secara spesifik untuk mencapai tujuan upacara, bukan semata-mata untuk hiburan. Meskipun beberapa tradisi menawarkan ruang untuk improvisasi (misalnya dalam terapi tradisional), improvisasi ini biasanya tetap terikat dalam kerangka yang telah ditetapkan oleh tradisi.
Struktur ini sangat jelas dalam praktik keagamaan Alevisme di Anatolia, di mana aktivitas spiritual utama terjadi dalam upacara Cem di cemevi (rumah pertemuan). Upacara Cem adalah prototipe dari kenaikan spiritual Muhammad, di mana ia melihat perkumpulan empat puluh orang suci (Kırklar Meclisi). Ritual ini menampilkan musik, nyanyian, dan tarian Samāh, dengan partisipasi pria dan wanita. Penggunaan instrumen seperti Bağlama (sejenis kecapi) dan nyanyian mengiringi Dede (pemimpin spiritual) dalam mengatur langkah-langkah spiritual yang ketat (Dört Kapı Kırk Makam), menunjukkan bahwa musik berfungsi sebagai penopang struktur keagamaan yang mapan.
Musik dan Fasilitasi Keadaan Transendental (Trance)
Salah satu fungsi ritual paling kuat adalah memediasi keadaan kesadaran yang diubah (trance) atau kerasukan. Untuk mencapai tujuan ini, banyak tradisi spiritual menggunakan pola ritmis dan suara yang dirancang secara cermat. Dalam konteks meditasi atau shamanik kontemporer, misalnya, penggunaan frekuensi tertentu (seperti 432Hz) dalam iringan seruling dan drum shaman ditujukan untuk melepaskan ketegangan batin dan mempromosikan transendensi.
Di Haiti, ritual Vodou drumming menggunakan teknik yang jauh lebih spesifik dan manipulatif. Drumming Vodou dirancang untuk memanggil arwah leluhur, yang dikenal sebagai Loas atau Lwas. Selama ritual, ritme drum yang dimainkan oleh tambouriers (pemain drum) dapat menghasilkan kase (“break”), yang diprakarsai oleh master drummer. Kase adalah ritme yang melawan ritme utama, dan secara eksplisit dipandang memiliki efek destabilisasi pada para penari, yang pada gilirannya membantu memfasilitasi kerasukan spiritual.
Pemanfaatan kase ini merupakan aplikasi sonik yang canggih. Ini menunjukkan bahwa musik dalam ritual ini bukan sekadar iringan pasif; itu adalah teknologi spiritual yang diimplementasikan oleh tambouriers yang terampil. Dengan menciptakan disonansi ritmis dan gangguan, master drummer secara efektif memanipulasi neurologi dan psikologi penari, secara sengaja membuka jalur bagi Loas untuk masuk dan mengambil kendali, menegaskan peran musik sebagai perangkat rekayasa kesadaran.
Simbolisme Instrumen: Dari Mimesis Suara hingga Metafora Sosial
Instrumen dan suara yang digunakan dalam ritual sering kali mengandung nilai simbolis yang dalam. Dalam Shamanisme Siberia, musik dan nyanyian yang berhubungan dengan praktik shamanistik sering meniru suara alam, menggunakan onomatopeia. Misalnya, dalam lagu shamanik Soyot, suara burung dan serigala ditiru untuk mewakili roh penolong shaman. Demikian pula, seansi Nganasan ditemani oleh wanita yang meniru suara anak rusa (diyakini memberikan kesuburan).
Imitasi suara ini melampaui deskripsi semata. Ketika seorang shaman Nganasan, Dyukhade Kosterkin, meniru suara beruang kutub, diyakini bahwa shaman tersebut telah bertransformasi menjadi beruang kutub. Hal ini menyiratkan bahwa musik bertindak sebagai medium di mana batas antara manusia dan alam/roh kabur, memungkinkan transformasi ontologis yang diperlukan untuk ritual.
Di sisi lain, di Bali, instrumen Gamelan Gong Kebyar, yang terdiri dari berbagai macam instrumen dengan teknik permainan yang beragam, telah menjadi cerminan (simbol) tentang kehidupan masyarakat Bali yang menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika (persatuan dalam keberagaman).
Studi Kasus Regional: Asia Tenggara – Hirarki Kesakralan dan Fungsi Spiritual
Gamelan Bali: Klasifikasi Tripartit Fungsi Ritual
Gamelan Bali memiliki fungsi yang terstruktur secara ketat berdasarkan tingkat kesakralan, mengacu pada adagium desa (tempat), kala (waktu), dan patra (kondisi). Fungsi Gamelan dikelompokkan menjadi tiga kategori utama, yang berasal dari Seminar Seni Sakral dan Profan tahun 1971:
- Seni Wali: Merupakan seni yang paling sakral, lahir di jeroan pura (utama mandala).
- Seni Bebali: Seni semi-sakral, lahir di jaba tengah (madya mandala).
- Seni Balih-balihan: Seni sekuler atau hiburan, lahir di jaba pura (nista mandala).
Gamelan adalah alat yang tidak terpisahkan dari kehidupan keagamaan di Bali, dan hampir tidak ada upacara Panca Yadnya (lima jenis upacara suci Hindu) yang sempurna tanpa kehadirannya. Gamelan yang berbeda berfungsi untuk upacara yang berbeda: Gamelan Angklung mengiringi kremasi (Pitra Yadnya), Gamelan Gender Wayang mengiringi upacara potong gigi (Manusa Yadnya), dan Gamelan Slonding mengiringi upacara persembahyangan. Dalam konteks ini, menabuh Gamelan dalam upacara berarti pula mengukuhkan norma-norma kehidupan masyarakat dan meningkatkan integritas sosial.
Menariknya, meskipun Gamelan Gong Kebyar lahir sebagai seni sekuler (balih-balihan), ia dapat diintegrasikan ke dalam pementasan Wali atau Bebali asalkan proses upakara dan penempatan ruang (mandala) disesuaikan.
Musik dan Negosiasi Spiritual di Melayu Sambas
Di Kalimantan Barat, masyarakat Melayu Sambas melaksanakan Ritual Besiak sebagai bagian dari Upacara Antar Ajong. Ritual ini dipercaya mengandung nilai-nilai religius. Musik dalam Ritual Besiak memiliki peran fungsional yang sangat jelas: ia adalah kegiatan untuk memanggil makhluk halus.
Tujuan utama dari Ritual Besiak adalah menangkap makhluk halus jahat untuk dimasukkan ke dalam ajong (perahu). Dengan demikian, fungsi musik di sini bersifat multidimensi: tidak hanya sebagai media upacara/ritual dan pengiring tarian, tetapi juga secara eksplisit sebagai media komunikasi spiritual. Analisis ini menunjukkan bahwa musik Melayu Sambas tidak sekadar mengiringi; ia menyediakan pola frekuensi atau ritmis yang diperlukan untuk memanggil entitas dan membantu dalam upaya mengendalikan mereka. Struktur musikal itu sendiri merupakan bagian integral dari mekanisme pengendalian dan negosiasi spiritual dengan dunia supranatural.
Studi Kasus Regional: Afrika dan Diaspora – Sinkretisme, Poliritme, dan Ketahanan Budaya
Afrika Sub-Sahara: Musik Integral Daur Hidup
Tradisi musik Afrika Sub-Sahara menunjukkan fitur umum yang menyatu, yang menjadikannya sebuah sistem tunggal. Musik di wilayah ini ditandai oleh praktik poliritme, nyanyian call and response (panggilan dan tanggapan), dan sistem tangga nada pentatonik.
Musik memiliki peran sentral dalam kehidupan sehari-hari dan komunitas, melampaui hiburan, melayani tujuan fungsional dalam pekerjaan, ritual inisiasi, penceritaan, festival, dan pemakaman. Tarian Afrika secara tradisional sangat partisipatif, menghilangkan batasan antara penari dan penonton, kecuali dalam tarian spiritual, religius, atau inisiasi yang menuntut kekhususan peran. Tarian-tarian ini, yang didukung oleh musik, membantu menginternalisasi pola dan nilai sosial, dan seringkali dipisahkan berdasarkan gender. Contoh regional termasuk musik ritual Maloya di Mascarene Islands (Reunion, Mauritius) yang menggunakan instrumen seperti kayamb, ravanne, dan tambour.
Haitian Vodou (Karibia): Drumming dan Kuasa Diaspora
Vodou Haiti adalah sistem kepercayaan henoteistik yang merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya Haiti. Agama ini muncul sebagai hasil dari sinkretisme agama yang dipaksakan selama diaspora perbudakan, menggabungkan agama tradisional Vodun Afrika Barat dengan Katolik Roma.
Drumming adalah inti dari upacara Vodou, berfungsi untuk memanggil roh leluhur abstrak, yang dikenal sebagai Loas atau Lwas, demi meminta bantuan atau kekuatan. Drumming disertai dengan nyanyian call and response dalam Kreol Haiti, yang sederhana dan berulang, berfungsi sebagai pola pemanggilan untuk lwa.
Proses sinkretisme Vodou dapat dipahami sebagai strategi ketahanan budaya di tengah penindasan. Penyebaran agama-agama Yoruba melalui diaspora Afrika seringkali dicela dan didemonisasi oleh agama-agama Eurosentris, yang secara negatif salah mengartikannya sebagai pemujaan setan atau sihir. Dengan mengadopsi kerangka Katolik, Vodou secara efektif menyamarkan dan melindungi praktik ritual intinya, terutama ritme drum Afrika yang poliritmik, yang merupakan kunci untuk memediasi dunia spiritual, menegaskan perlawanan spiritual terhadap sistem kolonial dan rasisme terang-terangan yang diakibatkannya.
Studi Kasus Regional: Eurasia – Komunikasi Shamanik dan Tradisi Sufi
Shamanisme Siberia: Mimesis dan Peran Transformasi
Praktik shamanistik di Siberia (dan kelompok Sami di luarnya) menunjukkan keragaman besar, tetapi umumnya melibatkan musik dan lagu sebagai media utama untuk komunikasi dan transformasi. Seperti yang dibahas sebelumnya, teknik mimesis suara (peniruan suara) sangat penting. Imitasi suara burung dan serigala (oleh Soyot) berfungsi untuk merepresentasikan roh penolong, sementara peniruan suara anak rusa (oleh wanita Nganasan) dikaitkan dengan permohonan kesuburan. Musik dalam praktik ini menjadi katalisator bagi shaman untuk memasuki kondisi kesadaran yang diubah dan mengasimilasi esensi spiritual makhluk yang ditirunya.
Timur Tengah dan Anatolia: Musik Agama dan Persatuan
Di wilayah Timur Tengah, Makam—sebuah sistem musik yang dipentaskan menggunakan instrumen seperti oud, kanun (zither), ney (flute), dan drum kudüm (untuk menandai siklus ritmis atau usul) —telah mempengaruhi Asia Tengah, Spanyol, dan Balkan. Dominasi agama, terutama Islam, bertindak sebagai faktor pemersatu di antara berbagai bahasa dan budaya di kawasan ini.
Di Anatolia, praktik Alevisme—yang memiliki sistem kepercayaan unik—menggunakan musik secara terpusat dalam upacara Cem. Upacara ini menampilkan musik, nyanyian, dan tarian Samāh. Instrumen kunci, seperti Bağlama, mengiringi para Dede yang memimpin ritual. Sebuah aspek yang sangat signifikan adalah bahwa ritual ini dilakukan dalam bahasa-bahasa lokal seperti Turki, Zazaki, dan Kurmanji. Dengan menggunakan musik dan nyanyian dalam upacara sakral ini, komunitas Alevi secara aktif melestarikan tidak hanya praktik keagamaan minoritas mereka, tetapi juga keragaman linguistik yang terkait dengannya, memberikan kontribusi terhadap konservasi identitas budaya lokal melawan homogenisasi regional yang lebih besar.
Studi Kasus Regional: Amerika Latin – Perayaan Kematian dan Kehangatan Komunitas
Día de los Muertos (Hari Orang Mati)
Día de los Muertos (Hari Orang Mati), yang dirayakan pada 1 dan 2 November, adalah tradisi warisan leluhur yang terutama dikembangkan di Meksiko dan menyebar ke wilayah Amerika Latin lainnya. Berakar dari ritual masyarakat adat (seperti Aztec) dan sinkretisme dengan Allhallowtide Kristen , perayaan ini berfokus pada penghormatan dan pengenangan anggota keluarga dan orang terkasih yang telah meninggal.
Filosofi utama perayaan ini adalah kegembiraan—mengenang hidup dan anekdot lucu tentang yang meninggal—bukan ketakutan atau kesedihan. Ritual melibatkan pembangunan ofrendas (altar), penggunaan bunga marigold (cempazúchitl), dan kunjungan ke makam.
Peran Musik dalam Ziarah Makam dan Perayaan
Musik memainkan peran penting dalam menciptakan suasana perayaan. Meskipun tidak ada gaya musik tunggal yang diwajibkan secara tradisional, genre musik rakyat Meksiko seperti Mariachi dan Banda banyak dimainkan selama berkumpul dan berziarah.
Kelompok Mariachi sering terlihat bermain di makam, dan melodi mereka menciptakan suasana yang cerah dan meriah. Penggunaan musik Mariachi dan Banda dalam ritual kematian ini memiliki fungsi psikologis dan sosial yang sangat spesifik. Alih-alih meredam kesedihan, musik ini berfungsi sebagai penolak ketakutan, secara aktif menolak konotasi seram yang biasanya melekat pada kematian. Dengan menciptakan suasana yang riang (joyous sight), musik memastikan bahwa kematian dilihat sebagai bagian alami dan indah dari siklus kehidupan.
Musik Ritual dalam Arus Globalisasi dan Apropriasi Budaya
Dinamika Sinkretisme dan Resiliensi
Fenomena sinkretisme dalam Vodou Haiti merupakan contoh klasik tentang bagaimana musik ritual mempertahankan resiliensi di bawah tekanan. Dengan mempertahankan poliritme dan praktik call and response Afrika, komunitas diaspora berhasil melestarikan inti spiritual mereka. Ini menunjukkan bahwa adaptasi struktural (sinkretisme) sering kali merupakan mekanisme pertahanan terhadap upaya untuk menghilangkan identitas budaya melalui demonisasi.
Apropriasi Musik Global dan Pelestarian Lokal
Dalam era kontemporer, musik ritual juga menghadapi arus globalisasi melalui apropriasi kreatif. Kasus Ronggeng Pasaman di Indonesia menunjukkan bagaimana kesenian tradisional yang kaya nilai budaya mengintegrasikan elemen musik global secara aktif ke dalam bentuk seni yang lebih kontemporer. Proses apropriasi ini memungkinkan masyarakat Pasaman untuk menggabungkan pengaruh luar dengan kearifan lokal, menjaga identitas budaya mereka sambil memastikan seni tersebut tetap relevan dalam dunia yang terglobalisasi.
Namun, globalisasi juga membawa tantangan, termasuk risiko komersialisasi dan penyimpangan konteks ritual asli (misalnya, musik Voodoo yang dilisensikan sebagai musik latar komersial). Untuk menjamin keberlanjutan musik ritual, diperlukan langkah-langkah pelestarian yang sistematis, termasuk dokumentasi budaya, pendidikan budaya, dan pemberdayaan komunitas seni.
Kesimpulan
Musik ritual, yang dikaji melalui lensa etnomusikologi, adalah fenomena universal yang berfungsi sebagai jangkar spiritual, media komunikasi transenden, dan mekanisme integrasi sosial. Terlepas dari perbedaan bentuk—apakah itu drum Vodou, Gamelan Bali, atau Mariachi Meksiko—tujuan fungsionalnya tetap konsisten: untuk memediasi hubungan antara komunitas dan dunia spiritual, dan untuk memperkuat norma-norma kolektif.
Perbandingan lintas budaya menunjukkan bahwa musik ritual dirancang dengan spesifik untuk mencapai hasil spiritual tertentu. Misalnya, Vodou menggunakan destabilisasi ritmis (kase) untuk memicu kerasukan , sementara Shamanisme Siberia menggunakan mimesis untuk transformasi ontologis. Di sisi lain spektrum fungsional, terdapat perbedaan menarik dalam mediasi kematian: Bali menggunakan musik dalam hirarki kesakralan yang terstruktur untuk mengiringi daur hidup (kremasi) , sementara Meksiko menggunakan musik Mariachi untuk secara eksplisit menciptakan suasana sukacita dan menolak kesedihan atau ketakutan.
Setiap analisis musik ritual harus selalu mengutamakan konteks budaya (desa, kala, patra) dan intensi ritual di atas struktur musiknya semata, agar fungsi sakralnya dapat dipahami sepenuhnya.
Tabel 2: Komparasi Kasus Studi Musik dan Ritual Lintas Benua
| Wilayah/Negara | Nama Ritual/Upacara | Fungsi Ritual Utama | Instrumen Kunci | Mekanisme Spiritual |
| Bali, Indonesia | Panca Yadnya | Mengiringi daur hidup, menjaga keseimbangan kosmis (Seni Wali). | Gamelan Angklung, Gender Wayang. | Hirarki kesakralan berdasarkan lokasi (Mandala); Spiritual Hygiene. |
| Melayu Sambas, ID | Ritual Besiak | Memanggil dan menangkap makhluk halus jahat. | Berbagai alat musik Melayu. | Komunikasi spiritual langsung; Negosiasi dan kontrol entitas. |
| Haiti (Karibia) | Upacara Vodou | Memanggil roh leluhur (Loas) dan memfasilitasi kerasukan. | Drumming (Tambouriers), Rattle. | Destabilisasi ritmis (kase) untuk memicu trance possession; Sinkretisme. |
| Siberia | Seansi Shamanik | Transformasi Shaman, komunikasi dengan roh penolong. | Shaman Drum, Nyanyian Vokal. | Mimesis suara alam/binatang; Transformasi ontologis. |
| Turki/Anatolia | Upacara Cem (Alevisme) | Pertemuan spiritual, memperingati 40 orang suci. | Bağlama, Vokal, Tari Samāh. | Peningkatan spiritual melalui tarian komunal; Konservasi Linguistik. |
| Meksiko | Día de los Muertos | Menghormati dan mengenang kerabat yang meninggal. | Mariachi, Banda. | Menciptakan suasana meriah/sukacita; Menolak konotasi ketakutan akan kematian. |


