Loading Now

Tentang Metaverse dan Metamorfosis Identitas:

Metaverse bukan sekadar iterasi baru dari teknologi Virtual Reality (VR) atau game online konvensional, melainkan sebuah ekosistem digital yang persisten dan interkoneksi, dirancang untuk menyimulasikan kehidupan nyata dalam bentuk virtual. Secara etimologis, istilah ini menggabungkan kata Yunani meta (luar atau melebihi) dan verse (semesta), menunjukkan konsep yang melampaui semesta fisik.

Metaverse didefinisikan sebagai lingkungan virtual kolektif, imersif, dan terhubung yang menggabungkan aspek Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Mixed Reality (MR) menjadi satu pengalaman terpadu. Karakteristik utamanya mencakup tiga atribut penting: pertama, sifatnya harus Synchronous dan live, yang berarti ia ada secara terus-menerus dan dalam waktu nyata bagi setiap orang, mirip seperti kehidupan di dunia nyata. Kedua, ia harus Persistent—tidak pernah “diatur ulang,” “dijeda,” atau “berakhir.” Ia terus berjalan tanpa henti, memastikan bahwa identitas dan aset yang diciptakan memiliki nilai jangka panjang. Ketiga, ia harus tersedia secara Individually and Concurrently, memungkinkan setiap pengguna untuk berpartisipasi secara simultan dan dengan agensi penuh dalam lingkungan tersebut.

Pembedaan kritis harus dibuat: kehadiran dalam dunia digital saja tidak cukup untuk menjadi Metaverse; oleh karena itu, ia berbeda dari sekadar Virtual Reality atau game yang memiliki tujuan spesifik. Ia juga bukan taman hiburan virtual yang diprogram secara terpusat. Teknologi pendukung inti yang memungkinkan fitur-fitur ini mencakup penggunaan VR, Augmented Reality (AR) (yang memungkinkan karakteristik Metaverse terefleksi dalam skenario aktual), dan teknologi Blockchain untuk desentralisasi dan kepemilikan. Aplikasi seperti Non-Fungible Token (NFT) dan Decentralized Finance (DeFi) sangat relevan dalam arsitektur Metaverse.

Teknologi Kecerdasan Buatan (AI) memperkuat fondasi ini dengan memungkinkan interaksi menjadi lebih alami dan mendalam melalui pemrosesan bahasa alami (NLP). AI juga mampu mempelajari preferensi, kebiasaan, dan minat pengguna untuk memberikan pengalaman yang hiper-personal. Karena Metaverse adalah dunia yang “tidak pernah diatur ulang” dan “ada secara terus-menerus” , identitas dan reputasi digital yang diwakili oleh Avatar harus memiliki bobot jangka panjang. Ini adalah alasan mengapa ekspresi dan Estetika Diri Permanen di dunia virtual menjadi begitu penting, menuntut interoperabilitas identitas dan aset (NFT) di seluruh platform. Potensi personalisasi yang ekstrem oleh AI, meskipun meningkatkan pengalaman, juga menimbulkan risiko etika di mana algoritma dapat mulai menentukan atau memanipulasi preferensi estetika, berpotensi menciptakan disonansi kognitif jika avatar ideal yang dihasilkan AI terlalu jauh dari realitas fisik.

Avatar dan Konstruksi Estetika Diri

Avatar sebagai Representasi Diri Digital (Digital Self)

Avatar berfungsi sebagai gerbang utama bagi pengguna untuk mengekspresikan, berkomunikasi, dan berinteraksi di dalam ekosistem Metaverse. Avatar adalah representasi pengguna yang memungkinkan mereka untuk memilih identitas yang diinginkan. Melalui kustomisasi, avatar dapat disesuaikan untuk mencerminkan gaya, minat, dan kepribadian pengguna, sehingga mengomunikasikan informasi tentang pengguna kepada penghuni dunia virtual lainnya.

Kustomisasi ini memiliki peran psikologis yang mendalam. Personalisasi avatar telah terbukti memengaruhi emosi yang dirasakan pengguna; misalnya, penelitian menemukan perbedaan signifikan dalam rasa kebahagiaan ketika menggunakan avatar yang dipersonalisasi dengan gender yang sama. Selain itu, kemampuan untuk menyesuaikan representasi diri digital telah terbukti meningkatkan motivasi, kenikmatan, dan rasa keterlibatan dalam tugas virtual.

Fenomena ini dijelaskan melalui dua konsep kunci psikologi virtual: pertama, Sense of Embodiment (SoE), yaitu kemampuan teknologi simulatif untuk menghasilkan perasaan kepemilikan atas tubuh digital. Kedua, Proteus Effect, yaitu kecenderungan individu untuk dipengaruhi oleh representasi digital mereka. Peningkatan SoE membuat pengguna merasa lebih terwakili oleh avatarnya. Namun, hubungan mendalam antara diri dan avatar ini berfungsi sebagai pedang bermata dua: SoE yang tinggi merupakan mekanisme utama di balik munculnya patologi digital.

Fluiditas Identitas, Gender, dan Inklusivitas

Metaverse menawarkan ruang yang belum pernah ada sebelumnya untuk eksplorasi identitas, yang memungkinkan fluiditas ekspresi gender. Pengguna dapat memilih avatar yang berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir, memanfaatkan ruang virtual untuk mengatasi ketidaknyamanan atau konflik dengan identitas gender mereka. Penelitian dalam lingkungan virtual menunjukkan bahwa latar belakang budaya memainkan peran penting dalam membentuk ekspresi dan persepsi gender, dan karakteristik avatar dipengaruhi oleh preferensi pengguna, pengalaman, dan norma sosial yang ada di berbagai lingkungan.

Meskipun potensi eksplorasi identitas yang cair ini ada, platform harus berhati-hati agar tidak mereplikasi bias dunia nyata. Jika alat kustomisasi atau norma sosial di Metaverse didominasi oleh stereotip gender atau ras tertentu , potensi fluiditas ini dapat terhambat, secara efektif mereplikasi stereotip digital yang regresif.

Tantangan lainnya adalah inklusivitas. Untuk mempromosikan partisipasi yang bermakna dan inklusivitas, sangat penting bahwa individu dengan disabilitas fisik dilibatkan secara aktif dalam desain dan pengembangan platform Metaverse. Hal ini memastikan bahwa Estetika Diri dapat diakses oleh semua, tanpa batasan stereotip atau hambatan teknologi.

Kapital Virtual dan Status Sosial

Estetika Diri di Metaverse tidak hanya berfungsi sebagai alat ekspresi pribadi, tetapi juga sebagai manifestasi langsung dari modal virtual dan status sosial yang langka. Kepemilikan aset digital yang terjamin oleh teknologi blockchain secara efektif mengubah estetika menjadi komoditas.

NFT sebagai Manifestasi Estetika Kapital

Non-Fungible Token (NFT) merupakan aset digital unik yang tersimpan di blockchain, yang berfungsi untuk mengesahkan kepemilikan aset digital yang tidak dapat dipertukarkan. Aset ini dapat berupa gambar, musik, atau bahkan real estat virtual. Fungsi NFT yang paling menonjol dalam Estetika Diri adalah sebagai sinyal kekayaan dan eksklusivitas.

Fenomena Profile Pictures (PFP) yang di-NFT-kan telah menjadi penanda budaya di mana kepemilikan PFP yang langka menunjukkan status “OG” (Original Gangster) dalam ekosistem kripto. Ini adalah bentuk pamer status virtual yang tidak dapat dipalsukan, karena keaslian dan kelangkaannya diverifikasi melalui blockchain.

Konsep ini diperkuat oleh nilai real estat virtual. Platform terkemuka seperti Decentraland dan The Sandbox memungkinkan pengguna untuk membeli sebidang tanah, yang disebut LAND, yang juga direpresentasikan sebagai NFT. Real estat virtual ini memiliki jumlah yang terbatas (Decentraland memiliki 90.601 parsel, sementara The Sandbox memiliki 166.464 parsel). Kelangkaan yang terbukti ini secara artifisial meningkatkan nilai aset tersebut, menjadikannya simbol status virtual yang paling jelas. Secara umum, harga lahan di Decentraland cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan The Sandbox. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana nilai kapital virtual diterjemahkan menjadi status estetika yang berbeda di tiap ekosistem—Decentraland lebih berfokus pada pembangunan dunia sosial dan real estat, sementara The Sandbox lebih berorientasi pada gaming dan kreasi.

Table 1: Perbandingan Platform Metaverse Utama dan Implikasinya terhadap Estetika Status

Kriteria Perbandingan Decentraland (MANA) The Sandbox (SAND) Implikasi Estetika Status
Fokus Utama Pembangunan Dunia Virtual Sosial/Real Estat Gaming dan Kreasi Konten Status didorong oleh kepemilikan properti virtual berharga dan lokasi.
Total Lahan Virtual (LAND) 90,601 parcel 166,464 parcel Kelangkaan absolut (jumlah lebih sedikit) di Decentraland mendorong harga yang lebih tinggi dan status yang lebih eksklusif.
Harga Lahan Rata-rata Umumnya Lebih Tinggi Umumnya Lebih Rendah Estetika Diri mahal lebih mudah dipamerkan di DCL.
Adopsi Merek Coca-Cola, Samsung Fokus pada kreasi aset pixel pengguna Status didorong oleh koneksi merek korporat terkemuka (eksklusivitas ritel).

Estetika Merek Mewah dan Komodifikasi Identitas

Merek-merek global telah mengakui bahwa estetika diri digital adalah medan pertempuran baru untuk eksklusivitas. Merek mewah menggunakan NFT untuk menciptakan pengalaman digital yang unik dan personal, meningkatkan kelangkaan dan nilai aset digital. Perusahaan seperti Nike telah menginvestasikan jutaan dolar dalam produk terkait NFT, sementara Gucci dan merek-merek lain sedang mempertimbangkan teknologi ini untuk fashion virtual.

Adopsi korporat ini memperkuat peran aset virtual sebagai penanda status. Misalnya, Coca-Cola dan Samsung telah memasuki Decentraland untuk marketing ventures, menawarkan NFT wearables dan hadiah. Kepemilikan aset NFT tertentu, seperti Avatar NFT atau NFT Land, bahkan dapat menjadi syarat untuk mengakses hadiah atau partisipasi dalam acara eksklusif di platform seperti Decentraland.

Perkembangan ini menciptakan sebuah sistem baru di mana status sosial di Metaverse sangat bergantung pada bukti kepemilikan aset digital. Estetika diri, yang diekspresikan melalui avatar dan kepemilikan, bukan lagi sekadar selera, melainkan sebuah portofolio digital yang dapat diverifikasi. Namun, virtual flexing ini juga menciptakan kerentanan. Aset NFT yang bernilai tinggi (terkadang mencapai jutaan dolar) dapat menarik perhatian penegak hukum terkait potensi risiko pencucian uang (Money Laundering), mengingat kompleksitas transaksi cryptocurrency. Oleh karena itu, identitas high-status virtual membawa serta potensi kerentanan terhadap regulasi finansial dunia nyata.

Identitas

Dampak Psikologis pada Citra Tubuh dan Kesehatan Mental

Metaverse, yang menggabungkan VR, AR, dan MR, telah terbukti efektif sebagai alat untuk mengatasi kondisi kesehatan mental dalam beberapa konteks. Namun, karena sifatnya yang sangat imersif dan menarik, terdapat kekhawatiran yang signifikan mengenai risiko psikologis yang belum sepenuhnya dipahami. Partisipasi ekstensif dalam lingkungan 3D imersif dan media sosial dapat memicu rasa tidak aman, kecemasan, depresi, dan perilaku adiktif, terutama pada dewasa muda.

Anatomi Digital Dysmorphia

Salah satu risiko psikologis spesifik yang muncul adalah Digital Dysmorphia, yang mengacu pada kesenjangan atau ketidakpuasan yang meningkat antara citra tubuh nyata pengguna dan avatar ideal mereka di dunia virtual. Penelitian menunjukkan bahwa Digital Dysmorphia dipicu oleh SoE yang tinggi (perasaan kepemilikan yang kuat terhadap tubuh virtual) ketika menggunakan avatar yang terlalu idealis (thin-idealized avatars).

Sebuah studi eksperimental yang menggunakan pemindaian tubuh 3D untuk menciptakan avatar yang secara antropometrik akurat, mencatat bahwa partisipan melaporkan peningkatan ketidakpuasan tubuh (body dissatisfaction) dan intensi untuk meregulasi berat badan setelah sesi virtual, terutama pada kelompok wanita. Hal ini menunjukkan bahwa Metaverse, alih-alih memberikan pelarian yang sehat, dapat secara aktif memperburuk ketidakpuasan citra diri dengan menciptakan idealisasi yang berlebihan dan meningkatkan kesenjangan antara realitas fisik dan diri virtual.

Penting untuk membedakan Digital Dysmorphia dari kondisi klinis terkait:

  1. Body Dysmorphic Disorder (BDD): Gangguan yang terkait dengan preokupasi berlebihan terhadap cacat fisik nyata atau khayalan. Preokupasi BDD dapat bervariasi berdasarkan gender—misalnya, pria lebih cenderung terobsesi pada bentuk tubuh atau alat kelamin, sementara wanita lebih fokus pada pinggul dan berat badan.
  2. Gender Dysphoria (GD): Konflik atau tekanan psikologis karena identitas gender seseorang tidak sesuai dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir. Avatar dalam Metaverse sering digunakan sebagai mekanisme eksplorasi identitas, yang memungkinkan pengguna untuk menguji ekspresi gender yang cair tanpa konsekuensi di dunia nyata.

Meskipun BDD dan GD adalah perjuangan individu yang berbeda , Digital Dysmorphia adalah fenomena patologis baru yang secara spesifik diinduksi oleh teknologi representasi diri virtual yang imersif.

Analisis mekanisme ini menunjukkan bahwa semakin kuat pengguna merasa memiliki tubuh virtual yang ideal melalui SoE yang tinggi , semakin besar kemungkinan trauma psikologis ketika mereka kembali ke tubuh fisik. Oleh karena itu, intervensi klinis berbasis Metaverse (misalnya untuk gangguan makan ) harus diterapkan dengan hati-hati, dengan fokus pada pengelolaan tingkat embodiment untuk mencegah idealisasi yang berlebihan.

Table 2: Disparitas Identitas dan Risiko Kesehatan Mental dalam Konteks Metaverse

Kondisi Psikologis Fokus Utama Disparitas Mekanisme Pemicu/Konteks Metaverse Signifikansi Klinis di Metaverse
Body Dysmorphic Disorder (BDD) Preokupasi dengan cacat fisik nyata/khayalan Avatar yang terlalu ideal (misalnya, thin-ideal) dapat memperburuk kondisi yang sudah ada. Penggunaan harus dipantau secara klinis; potensi risiko memburuknya citra tubuh.
Gender Dysphoria (GD) Konflik antara jenis kelamin lahir dan identitas gender Avatar menyediakan ruang aman untuk eksplorasi dan ekspresi identitas gender yang cair. Potensi terapeutik untuk eksplorasi diri, bukan pengobatan GD.
Digital Dysmorphia Disparitas (ketidakpuasan) antara citra tubuh fisik dan avatar ideal digital Dipicu oleh Sense of Embodiment (SoE) yang tinggi terhadap avatar ideal. Risiko yang dihasilkan langsung oleh teknologi; meningkatkan niat diet dan ketidakpuasan tubuh.

Kerangka Kerja Etika dan Tata Kelola Identitas Digital

Konvergensi identitas fisik dan virtual menuntut kerangka hukum dan etika yang kuat untuk melindungi pengguna. Di satu sisi, platform Metaverse menekankan agency dan kreasi pengguna ; di sisi lain, identitas avatar menjadi rentan terhadap bahaya virtual.

Terdapat argumen kuat dalam komunitas hukum untuk mengakui hak fundamental baru terhadap identitas digital pengguna (terkait dengan avatar mereka), berdasarkan prinsip Hak Asasi Manusia. Mengingat eratnya hubungan antara identitas nyata dan virtual, virtual harm—seperti penghinaan, pencemaran nama baik, atau penyerangan terhadap avatar—harus diakui sebagai kerugian moral dan hukum yang signifikan. Prinsip-prinsip hukum kepribadian yang ditetapkan dalam hukum perdata harus diperluas secara analog ke identitas virtual.

Selain itu, Metaverse menghadapi tantangan regulasi konten. Diperlukan regulasi yang jelas untuk mengatur lingkungan virtual dan melindungi hak-hak pengguna dari konten yang tidak pantas, termasuk kekerasan, pornografi, atau diskriminasi.

Di tingkat finansial, virtual flexing melalui aset NFT yang mahal menuntut kerangka kepatuhan yang ketat. Risiko money laundering melalui skema transaksi kripto yang rumit harus diatasi dengan regulasi yang jelas. Identitas yang dibangun di atas aset digital harus diperlakukan dengan serius dari perspektif regulasi finansial, memastikan bahwa pamer kekayaan virtual tidak menimbulkan masalah hukum di dunia nyata.

Kesimpulan

Metaverse telah membentuk medan baru untuk Estetika Diri, di mana identitas digital menjadi sebuah entitas yang persisten, cair, dan dikomodifikasi. Konsep diri meluas melampaui tubuh fisik, didorong oleh kemampuan untuk menyesuaikan avatar dan membuktikan kepemilikan aset virtual (NFT).

Sintesis Temuan Utama:

  1. Estetika Diri adalah Kapital: Dalam ekosistem yang persisten (Metaverse), estetika yang diekspresikan melalui avatar dan aset NFT menjadi sinyal kekayaan dan penanda status sosial yang terjamin kelangkaannya oleh blockchain.
  2. Paradoks Embodiment: Kekuatan teknologi imersif yang memungkinkan Sense of Embodiment yang tinggi menjadi risiko psikologis utama, karena memperkuat Digital Dysmorphia—kesenjangan antara ideal avatar dan citra tubuh nyata—yang meningkatkan ketidakpuasan diri di dunia nyata.
  3. Kebutuhan Tata Kelola Lintas Dunia: Batas yang kabur antara realitas dan virtual menuntut perluasan perlindungan hukum. Kerugian yang ditimbulkan pada avatar harus diakui sebagai kerugian hukum yang signifikan, dan kekayaan virtual harus tunduk pada kerangka kepatuhan finansial.

Rekomendasi Kebijakan dan Etika:

  • Regulasi Hukum Identitas Digital: Pemerintah dan badan regulasi harus mempertimbangkan pengakuan hak fundamental terhadap identitas digital (Persona Avatar) dan memperluas hukum personality rights ke dunia virtual.
  • Kepatuhan Finansial: Kerangka kepatuhan anti-pencucian uang (Anti-Money Laundering) harus dikembangkan untuk aset NFT demi mengatasi risiko hukum yang ditimbulkan oleh perdagangan kekayaan virtual.

Rekomendasi Pengembangan Platform dan Klinis:

  • Desain Inklusif dan Mitigasi Dysmorphia: Pengembang platform harus memprioritaskan desain inklusif untuk individu disabilitas. Selain itu, fitur kustomisasi harus dirancang untuk memitigasi Digital Dysmorphia dengan mendorong ekspresi diri yang sehat, bukan idealisasi yang tidak realistis.
  • Pedoman Klinis: Dunia medis memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendefinisikan secara jelas peran dan batas intervensi berbasis Metaverse. Pedoman klinis yang ketat harus ditetapkan untuk mengatur penggunaan SoE yang tinggi dalam konteks terapeutik, memastikan bahwa upaya terapi tidak justru memperburuk ketidakpuasan tubuh.