Loading Now

Fenomena Kuliner Korea di Indonesia

Penetrasi dan popularitas kuliner Korea di pasar Indonesia. Tren ini, yang awalnya didorong oleh eksposur budaya melalui “Gelombang Korea” atau Hallyu, kini telah berevolusi menjadi fenomena gastronomi yang mapan. Keberhasilannya didasarkan pada fondasi yang kuat, termasuk kecocokan cita rasa, adaptasi terhadap preferensi lokal, dan strategi pasar yang adaptif. Kuliner Korea berhasil menjembatani celah antara budaya asing dan selera lokal, mengubah hidangan yang tadinya eksotis menjadi bagian integral dari pilihan kuliner sehari-hari masyarakat Indonesia.

Analisis mendalam ini mengidentifikasi bahwa popularitas kuliner Korea bukan hanya hasil dari branding yang kuat, melainkan juga didukung oleh adaptasi yang cerdas, terutama dalam isu sertifikasi halal dan penyesuaian resep. Lanskap pasar terbagi menjadi beberapa segmen, mulai dari restoran otentik dan premium, rantai restoran yang menawarkan konsep terjangkau, hingga industri UMKM rumahan yang memanfaatkan platform digital. Prospek pertumbuhan di masa depan tetap menjanjikan, namun pelaku pasar perlu mewaspadai tantangan yang ada, terutama persaingan yang semakin ketat dan kebutuhan untuk terus berinovasi.

Pendorong Utama Popularitas Kuliner Korea di Indonesia

Pengaruh Gelombang Hallyu (K-Wave): K-Drama, K-Pop, dan Media Sosial

Popularitas kuliner Korea di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh besar fenomena Hallyu yang telah menyapu seluruh penjuru dunia sejak akhir tahun 1990-an. Gelombang budaya ini menyebarkan segala hal tentang Korea Selatan, mulai dari musik, film, fesyen, hingga seni dan kuliner. Di Indonesia, masuknya K-drama di layar kaca seperti My Endless Love dan Winter Sonata menjadi pintu gerbang utama yang memperkenalkan budaya dan gaya hidup Korea kepada khalayak luas.

K-drama memiliki peran yang sangat signifikan dalam mempromosikan produk Korea, termasuk makanan, karena sering menampilkan adegan-adegan makan yang menggugah selera. Misalnya, adegan makan  Ramyeon dalam berbagai K-drama telah mengubahnya menjadi simbol romantisme dan kebersamaan, yang secara tidak langsung membangun narasi emosional di sekitar hidangan tersebut. Konsumen tidak hanya melihat makanan, tetapi mereka juga mengaitkan hidangan tersebut dengan cerita dan emosi yang mereka rasakan saat menonton. Hal ini menciptakan keinginan aspirasional untuk mencoba pengalaman kuliner yang sama dengan yang dilihat di layar. K-Pop juga memperkuat tren ini, terutama di kalangan anak muda, membuat masyarakat lebih familiar dengan segala sesuatu yang berbau Korea. Kolaborasi komersial antara merek makanan global dan idola K-Pop, seperti Oreo dengan BLACKPINK atau Mie Sedaap dengan Choi Siwon, semakin memperkuat koneksi emosional dan familiaritas produk Korea di benak konsumen. Lebih jauh, media sosial berperan sebagai akselerator yang mengubah minat menjadi aksi nyata. Platform digital dimanfaatkan secara efektif oleh para pelaku usaha, termasuk UMKM, untuk mempromosikan  street food Korea, memicu lonjakan penjualan dan membuka peluang bisnis baru di berbagai daerah.

Keterkaitan Budaya dan Kuliner: Kecocokan Cita Rasa dan Teknik Memasak

Meskipun Hallyu menjadi pendorong awal, faktor yang mempertahankan popularitas kuliner Korea di Indonesia adalah kesesuaiannya dengan selera dan kebiasaan masyarakat lokal. Kuliner Korea memiliki kombinasi rasa yang seimbang antara pedas, manis, dan gurih. Kombinasi ini sangat mirip dengan cita rasa masakan tradisional Indonesia, seperti rendang, sate, atau sambal goreng. Terutama, rasa pedas yang khas dari gochujang (pasta cabai Korea) sangat cocok dengan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap makanan pedas.

Kemiripan ini melampaui rasa, mencakup bahan-bahan dan teknik memasak. Hidangan Korea sering kali menggunakan bahan-bahan segar seperti sayuran dan rempah alami, yang sejalan dengan preferensi masyarakat Indonesia terhadap masakan rumahan seperti pecel, gado-gado, dan lalapan. Secara tekstur, makanan seperti  tteokbokki yang kenyal memberikan pengalaman makan yang familiar, mirip dengan tekstur kue-kue tradisional Indonesia seperti klepon. Beberapa hidangan Korea juga memiliki kemiripan yang mencolok dengan hidangan Indonesia, seperti Bulgogi yang mirip semur daging [6], Japchae yang serupa dengan bihun goreng, dan Dakkochi yang mirip dengan sate ayam [8, 9]. Bahkan, teknik fermentasi yang digunakan untuk membuat kimchi mirip dengan proses pembuatan asinan atau tape di Indonesia. Kesamaan ini bertindak sebagai jembatan yang membuat hidangan Korea tidak terasa sepenuhnya asing, melainkan mudah diterima dan diadaptasi oleh lidah lokal, yang pada akhirnya menjadikan kuliner Korea sebagai tren yang tahan lama dan bukan sekadar fenomena musiman.

Profil Hidangan Korea Paling Populer

Hidangan Utama: Dari Tteokbokki hingga Bibimbap

Di antara berbagai hidangan Korea, beberapa menu telah mendapatkan status ikonik dan menjadi favorit di Indonesia. Tteokbokki, yang terbuat dari kue beras kenyal yang dimasak dalam saus gochujang pedas manis, adalah salah satu yang paling populer, terutama di kalangan anak muda. Versi modernnya sering disajikan dengan tambahan keju  mozzarella, telur rebus, dan fish cake, yang semakin menarik minat konsumen.

Kimchi, dianggap sebagai makanan nasional dan simbol kebudayaan Korea, memiliki peran ganda. Selain menjadi hidangan pendamping wajib (banchan) di hampir setiap hidangan Korea,  kimchi juga menjadi bahan utama dalam hidangan lain seperti Kimchi-jjigae atau Kimchi fried rice. Keunikan rasa asam dan pedasnya yang dihasilkan dari proses fermentasi menjadikannya pilihan yang sulit dilewatkan.

Bulgogi adalah hidangan daging sapi yang dimarinasi hingga manis dan gurih. Cita rasa yang familier bagi lidah Indonesia dan kemiripan teknik panggangnya dengan sate membuat hidangan ini sangat disukai. Sementara itu,  Bibimbap dikenal sebagai hidangan yang sehat dan kaya gizi, terdiri dari nasi yang dicampur dengan berbagai sayuran segar, daging, dan saus pedas. Hidangan ini populer karena memberikan pengalaman makan yang seimbang dan penuh tekstur.

Ramyeon, mie instan pedas ala Korea, menjadi hidangan yang sangat hits berkat adegan-adegan dalam K-drama. Merek seperti Samyang menjadi viral di media sosial, memicu tantangan makan pedas yang semakin meningkatkan popularitasnya.  Japchae, olahan sohun dengan sayuran dan daging sapi, juga diterima dengan baik karena komposisi bahannya yang tidak jauh berbeda dengan bihun goreng khas Indonesia.

Jajanan Jalanan (Street Food) Favorit dan Tren Terbaru

Jajanan jalanan Korea menawarkan pengalaman kuliner yang berbeda dan telah menarik banyak penggemar di Indonesia. Hotteok, sejenis pancake tebal berisi madu atau sirup gula merah, menjadi viral setelah kemunculannya di K-drama. Selain rasa manisnya, jajanan ini juga tersedia dengan isian gurih seperti bihun atau  kimchi.   Dakkochi, atau sate ayam khas Korea, juga sangat digemari, terutama karena rasanya yang manis dan gurih.

Odeng atau fish cake menjadi favorit lain, sering disajikan dalam kuah kaldu yang hangat, menjadikannya pilihan yang sempurna saat cuaca dingin. Popularitas   Korean Garlic Cheese Bread, yang sempat viral di TikTok, menunjukkan bagaimana tren kuliner dapat dengan cepat menyebar melalui media sosial dan menjadi favorit konsumen. Sementara itu,  Bingsu, es serut ala Korea dengan topping buah dan es krim, menawarkan kesegaran yang mirip dengan es campur atau sup buah, menjadikannya pilihan dessert yang populer.

Hidangan Pendamping (Banchan): Elemen Kunci Pengalaman Makan

Konsep banchan atau hidangan pendamping kecil adalah elemen esensial dari pengalaman makan Korea yang telah diadopsi dengan baik di Indonesia. Budaya menyantap hidangan utama bersama berbagai lauk-pauk pendamping seperti kimchi, kongnamul muchim (tumis taoge), dan japchae sangat mirip dengan kebiasaan makan bersama keluarga di Indonesia, di mana hidangan disajikan dalam jumlah banyak di meja untuk dinikmati bersama.

Penyajian banchan yang sering kali bersifat free flow atau dapat diisi ulang di beberapa restoran memberikan nilai tambah yang signifikan bagi konsumen. Hal ini menciptakan persepsi bahwa mereka mendapatkan pengalaman makan yang melimpah dan memuaskan. Lebih dari sekadar pelengkap,  banchan juga berfungsi sebagai alat promosi yang efektif, memungkinkan konsumen untuk mencoba rasa-rasa unik Korea tanpa harus memesan porsi penuh. Ini membantu membangun apresiasi terhadap cita rasa khas seperti fermentasi kimchi dan mendorong eksplorasi menu yang lebih luas di masa depan.

Adaptasi dan Tantangan untuk Pasar Indonesia

Navigasi Isu Halal: Sertifikasi Resmi vs. Konsep Muslim-Friendly

Salah satu tantangan terbesar dan aspek adaptasi yang paling penting bagi kuliner Korea di Indonesia adalah navigasi isu halal. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, jaminan kehalalan produk menjadi faktor krusial bagi banyak konsumen. Bahan-bahan non-halal utama yang perlu diwaspadai dalam masakan Korea adalah daging babi, yang sering digunakan dalam hidangan seperti  Samgyeopsal dan beberapa variasi Kimchi jjigae, serta kandungan alkohol dalam bumbu seperti mirin dan sake.

Menanggapi hal ini, pasar kuliner Korea di Indonesia menunjukkan dua pendekatan utama. Pertama, beberapa restoran mengambil langkah proaktif untuk mendapatkan sertifikasi halal resmi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti Mujigae (sejak 2017) dan Mansae Hore Korean Grill (sejak 2016). Sertifikasi ini membangun tingkat kepercayaan konsumen yang tinggi dan membuka akses ke segmen pasar Muslim yang lebih luas dan ketat. Pendekatan kedua adalah konsep “Muslim-friendly,” di mana restoran seperti Dookki menjamin bahwa semua bahan impor mereka, termasuk tteok, saus, dan daging, diproses tanpa kontaminasi babi, lemak babi, atau alkohol, meskipun belum memiliki sertifikasi resmi dari MUI.

Adaptasi ini juga terlihat di tingkat rantai pasokan. Kini, bumbu-bumbu kunci seperti gochujang telah tersedia dalam versi halal bersertifikat MUI dari produsen ternama seperti CJ Haechandle dan Kikkoman. Selain itu, ada juga alternatif halal untuk bumbu beralkohol seperti  mirin, yang dapat diganti dengan campuran jus anggur, jus apel, atau kombinasi kecap asin, jahe, dan air jeruk nipis. Ketersediaan bahan-bahan halal ini tidak hanya membantu restoran berskala besar, tetapi juga memfasilitasi pertumbuhan pesat UMKM rumahan yang dapat memproduksi dan menjual makanan Korea dengan jaminan kehalalan, memperluas aksesibilitas kuliner ini ke seluruh lapisan masyarakat.

Penyesuaian Resep dan Bahan untuk Selera Lokal

Selain isu halal, adaptasi resep juga menjadi kunci. Meskipun kuliner Korea memiliki fondasi rasa yang cocok dengan lidah Indonesia, penyesuaian seringkali dilakukan untuk lebih mengakomodasi selera lokal. Misalnya, hidangan seperti Dakgangjeong (ayam crispy) yang memiliki rasa manis lebih disukai oleh semua kalangan karena tidak mengandung unsur pedas yang kuat. Penyesuaian semacam ini memungkinkan hidangan Korea untuk menarik audiens yang lebih luas, termasuk mereka yang tidak terbiasa dengan tingkat kepedasan yang tinggi.

Lanskap Pasar dan Analisis Ekonomi

Restoran: Dari Merek Global hingga UMKM Lokal

Lanskap pasar kuliner Korea di Indonesia menunjukkan segmentasi yang jelas dan beragam. Di segmen premium, terdapat restoran otentik yang populer seperti Bornga dan Chung Gi Wa di Jakarta, yang sering kali dikenal dengan Korean BBQ berkualitas tinggi. Merek-merek ini menargetkan konsumen yang mencari pengalaman makan otentik dengan daging impor premium.

Di segmen menengah, model bisnis yang sukses adalah rantai restoran dengan konsep all-you-can-eat (AYCE) atau menu set yang terjangkau. Contohnya termasuk Dookki, yang menawarkan buffet tteokbokki , dan Pochajjang, yang populer dengan paket AYCE BBQ-nya. Ada juga restoran spesialis yang berfokus pada satu jenis hidangan, seperti Jjang Korean Noodle and Grill atau Jinjja Chicken yang terkenal dengan ayam goreng Koreanya.

Selain itu, penetrasi kuliner Korea juga difasilitasi oleh menjamurnya UMKM lokal. Fenomena Korean Street Food yang ramah Muslim telah membuka peluang bisnis yang menjanjikan, memungkinkan para pelaku usaha kecil, bahkan di kota-kota seperti Pekalongan, untuk memanfaatkan popularitas Hallyu dengan modal yang relatif kecil.

Analisis Harga: Perbandingan Harga di Berbagai Segmen Pasar

Perbedaan harga yang signifikan antar segmen pasar menunjukkan tingkat penetrasi kuliner Korea yang sangat luas, menjangkau konsumen dari berbagai tingkat pendapatan.

Jenis Hidangan Segmen Pasar Kisaran Harga (IDR) Contoh Produk/Restoran
Dolsot Bibimbap Premium Rp 111.250 – Rp 140.800 Bornga [15], Chung Gi Wa [17]
Kkotsal (Daging Sapi) Premium Rp 460.000 – Rp 559.900 Bornga [15], Chung Gi Wa [17]
Paket BBQ/Buffet Menengah Rp 99.000 – Rp 139.000 Pochajjang

, Dookki

Paket Tteokbokki E-commerce (Frozen) Rp 11.500 – Rp 42.500 Tteokbokki Instan [25, 26]
Odeng E-commerce (Frozen) Rp 41.000 (500g) – Rp 67.500 (1kg) Odeng Instan [25, 26]
Kimchi E-commerce (Kemasan) Rp 11.500 (100g) – Rp 142.500 (2kg) Kimchi kemasan [25]

Data harga di atas menunjukkan segmentasi pasar vertikal yang jelas. Restoran premium menjual pengalaman otentik dan kualitas tinggi dengan harga yang sebanding. Di sisi lain, kehadiran produk instan dan bahan masakan yang terjangkau di platform e-commerce memastikan bahwa kuliner Korea dapat dinikmati oleh siapa pun, bahkan di rumah. Dinamika harga ini memperkuat fondasi pasar dari bawah ke atas, memungkinkan industri ini tumbuh secara organik dan menjangkau berbagai demografi konsumen.

Ketersediaan Bahan Masakan untuk Konsumen Rumahan

Ketersediaan bahan masakan yang mudah diakses merupakan faktor kunci dalam menggerakkan tren kuliner Korea dari restoran ke dapur rumahan. Supermarket besar, khususnya Lotte Mart, telah menjadi pusat utama bagi konsumen untuk membeli bahan-bahan Korea, dari bumbu siap pakai hingga bahan segar. Selain itu, platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee menawarkan berbagai pilihan bahan dan bumbu Korea, baik yang diimpor maupun diproduksi oleh UMKM lokal, dengan harga yang bervariasi. Hal ini memudahkan konsumen untuk mencoba resep-resep yang mereka lihat di K-drama atau media sosial, yang pada akhirnya memperluas penetrasi kuliner ini lebih jauh ke dalam masyarakat.

Studi Kasus: Tren dan Perkembangan di Kota-kota Besar

Jakarta: Pusat Gastronomi Korea

Sebagai ibu kota, Jakarta berfungsi sebagai pusat utama gastronomi Korea di Indonesia. Kota ini menjadi tempat beroperasinya restoran-restoran otentik dan populer seperti Bornga, Chung Gi Wa, dan Mujigae. Restoran-restoran ini menawarkan menu beragam, mulai dari Korean BBQ premium, Dolsot Bibimbap yang disajikan di mangkuk batu panas , hingga Kimchi Jjigae. Beberapa di antaranya, seperti Mujigae dan Mansae Hore Korean Grill, telah mendapatkan sertifikasi halal MUI, menjadikannya pilihan terpercaya bagi konsumen Muslim. Keberadaan berbagai pilihan ini menunjukkan kedewasaan pasar kuliner Korea di Jakarta, yang mampu melayani berbagai segmen dan preferensi konsumen.

Medan dan Bandung: Pertumbuhan Pasar yang Pesat

Popularitas kuliner Korea tidak terbatas di Jakarta, melainkan telah menyebar dengan pesat ke kota-kota besar lainnya. Di Medan, perkembangan pasar ini terlihat dari adanya restoran-restoran populer seperti Dae Bak Korean BBQ Restaurant, Patbingsoo Medan, dan Jinjja Chicken. Dae Bak dikenal dengan pengalaman Korean BBQ otentiknya , Patbingsoo menawarkan hidangan  dessert Korea seperti Bingsu selain menu utama seperti Bulgogi , sementara Jinjja Chicken berfokus pada menu ayam goreng Korea. Di Bandung, kota ini memiliki beberapa destinasi kuliner Korea yang digemari seperti Chingu Cafe, Oh Arang, dan Little Seoul. Ekspansi merek-merek populer ke luar Jakarta ini mengindikasikan bahwa permintaan pasar di daerah-daerah tersebut sudah cukup matang untuk mendukung pertumbuhan industri.

Kesimpulan

Kuliner Korea di Indonesia telah berhasil melampaui status tren dan menjadi bagian integral dari lanskap kuliner nasional. Fondasi keberhasilannya dibangun di atas perpaduan pengaruh budaya Hallyu dan kecocokan alami dengan cita rasa dan kebiasaan makan masyarakat Indonesia. Adaptasi cerdas terhadap isu-isu krusial seperti kehalalan dan penyesuaian resep menjadi kunci keberlanjutan fenomena ini.