Loading Now

Transformasi Paradigma Ekonomi Kreatif: Dinamika Aksesibilitas Digital, Resurgensi Materialitas Analog, dan Monetisasi Pengalaman dalam Industri Musik Modern

Lanskap ekonomi kreatif global tengah mengalami pergeseran tektonik yang mendefinisikan ulang hubungan antara pencipta, karya seni, dan konsumen. Revolusi ini ditandai dengan transisi fundamental dari model kepemilikan aset secara individual menuju model aksesibilitas berbasis langganan yang didukung oleh infrastruktur digital yang masif. Namun, di tengah dominasi algoritma dan efisiensi pengaliran (streaming), muncul sebuah anomali sosiokultural yang signifikan: kebangkitan kembali medium fisik, khususnya piringan hitam atau vinyl, yang mencatatkan pertumbuhan konsisten selama hampir dua dekade. Fenomena ini bukan sekadar bentuk nostalgia kolektif, melainkan sebuah manifestasi dari kebutuhan manusia akan keberwujudan (tangibility), ritual, dan kedalaman pengalaman yang sering kali tereduksi dalam ekosistem digital yang bersifat ephemeral atau sementara.

Arsitektur Ekonomi Musik Global dan Dominasi Model Aksesibilitas

Industri musik rekaman dunia pada tahun 2024 telah mencapai titik kulminasi baru yang mengukuhkan dominasi format digital sebagai pilar utama pendapatan. Berdasarkan laporan komprehensif dari International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) dalam Global Music Report 2025, total pendapatan perdagangan musik global mencapai angka US$29,6 miliar pada tahun 2024, yang merepresentasikan pertumbuhan sebesar 4,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Pencapaian ini menandai pertumbuhan selama sepuluh tahun berturut-turut, sebuah bukti ketahanan industri yang mampu beradaptasi dengan disrupsi teknologi yang berkelanjutan.

Kekuatan pendorong utama dari pertumbuhan ini adalah layanan streaming, yang kini menyerap 69% dari total pangsa pasar musik dunia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah industri, pendapatan dari sektor streaming melampaui ambang batas US$20,4 miliar, sebuah angka yang lebih dari dua kali lipat dibandingkan total pendapatan industri pada tujuh tahun yang lalu. Fenomena ini mengindikasikan bahwa musik telah bertransformasi dari barang komoditas yang dijual per unit menjadi layanan utilitas yang diakses secara berkelanjutan.

Struktur Pendapatan Streaming dan Penetrasi Pasar

Keberhasilan model streaming sangat bergantung pada pertumbuhan pelanggan berbayar (paid subscriptions). Pada tahun 2024, tercatat sebanyak 752 juta orang di seluruh dunia menggunakan layanan streaming musik berbayar, yang mencerminkan kenaikan sebesar 10,6% dari tahun 2023. Pendapatan dari langganan berbayar ini tumbuh 9,5% dan berkontribusi secara signifikan terhadap stabilitas finansial label rekaman dan artis. Sebaliknya, streaming yang didukung iklan (ad-supported) menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat, yakni hanya sebesar 1,2% dengan total perolehan US$5,1 miliar. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan konsumen untuk memilih pengalaman mendengarkan musik yang lebih premium, personal, dan bebas gangguan iklan.

Komponen Pendapatan Global 2024 Nilai (US$ Miliar) Pertumbuhan Tahunan (%)
Langganan Berbayar (Paid Subscription) 20,0+ 9,5%
Streaming Didukung Iklan (Ad-supported) 5,1 1,2%
Penjualan Fisik (Total) 4,8 -3,1%
Hak Pertunjukan (Performance Rights) 2,9 5,9%
Lisensi Sinkronisasi (Sync Licensing) 0,65 6,4%

Sumber: IFPI Global Music Report 2025.

Dinamika Regional: Pertumbuhan di Pasar Berkembang

Pertumbuhan industri musik tidak lagi terpusat hanya di wilayah Barat. Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) tercatat sebagai kawasan dengan pertumbuhan tercepat secara global pada tahun 2024, dengan kenaikan pendapatan mencapai 22,8%. Di wilayah ini, streaming menyumbang 99,5% dari total pendapatan musik, sebuah angka yang menunjukkan adaptasi digital yang hampir mutlak. Afrika Sub-Sahara juga mencatatkan pertumbuhan impresif sebesar 22,6%, melampaui US$110 juta untuk pertama kalinya, yang didorong oleh kemitraan strategis antara platform musik dan penyedia layanan telekomunikasi seluler.

Di Asia, pasar musik terus menguat dengan keberadaan tiga negara (Jepang, China, dan Korea Selatan) dalam daftar 10 pasar musik terbesar di dunia. Meskipun pertumbuhan di Asia sempat melambat menjadi 1,3% pada tahun 2024 setelah lonjakan 14,4% pada tahun 2023, wilayah ini tetap memegang status sebagai pasar fisik terbesar di dunia, mencakup 45,1% dari total pendapatan fisik global. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun digitalisasi masif terjadi, apresiasi terhadap format fisik masih memiliki akar yang kuat di kawasan Asia.

Paradoks Piringan Hitam: Mengapa Materialitas Masih Diperlukan?

Di tengah kemudahan akses yang ditawarkan oleh Spotify, Apple Music, dan platform pengaliran lainnya, terjadi kebangkitan yang paradoksal pada penjualan piringan hitam (vinyl). Meskipun total pendapatan format fisik secara keseluruhan turun 3,1% akibat merosotnya penjualan CD dan DVD sebesar 6,1%, penjualan vinyl justru melonjak sebesar 4,6% pada tahun 2024. Ini menandai pertumbuhan vinyl selama 18 tahun berturut-turut, menjadikannya format fisik yang paling tangguh di era digital.

Di Amerika Serikat, tren ini semakin terlihat jelas di mana pendapatan dari vinyl tumbuh 7% menjadi US$1,4 miliar pada tahun 2024. Untuk tahun ketiga berturut-turut, album vinyl terjual lebih banyak dibandingkan unit CD dalam hal jumlah fisik (44 juta unit vinyl berbanding 33 juta unit CD). Fenomena ini menimbulkan pertanyaan fundamental: mengapa di era yang sangat mengutamakan efisiensi dan kecepatan, konsumen justru kembali ke medium yang dianggap lambat, mahal, dan tidak praktis?

Demografi Penggerak: Generasi Z dan Milenial sebagai Kolektor Baru

Data menunjukkan bahwa resurgensi vinyl tidak didorong oleh nostalgia generasi tua semata, melainkan oleh konsumen muda yang tumbuh sepenuhnya di era digital. Generasi Z (lahir antara 1997-2012) menyumbang 35% dari total pembelian vinyl secara global. Sekitar 54% pembeli vinyl berusia di bawah 35 tahun, dengan segmen usia 18-24 tahun menjadi kelompok dengan pertumbuhan tercepat.

Bagi generasi ini, memiliki vinyl adalah bentuk pernyataan identitas dan dukungan nyata terhadap artis idola mereka. Sebesar 87% kolektor dari Generasi Z menyatakan bahwa kualitas audio yang superior adalah motivasi utama mereka memilih vinyl dibandingkan streaming. Selain itu, hampir 30% dari mereka mengidentifikasi diri sebagai “kolektor garis keras” yang memiliki pengetahuan mendalam tentang pabrik penekanan (pressing plants), teknik mastering, dan edisi terbatas. Media sosial seperti Instagram dan TikTok berperan sebagai ruang pamer digital di mana para kolektor muda ini membagikan pengalaman mereka saat memutar piringan hitam, menciptakan siklus validasi sosial yang meningkatkan nilai budaya dari kepemilikan fisik.

Vinyl sebagai Totem dan Objek Estetika

Dalam konteks ekonomi kreatif baru, vinyl telah bergeser dari sekadar alat penyimpan suara menjadi objek totemik. Totem dalam hal ini adalah objek yang dianggap memiliki status sosial atau nilai sentimen yang tinggi. Banyak pembeli vinyl memperlakukan piringan hitam sebagai bagian dari dekorasi interior dan karya seni visual. Ukuran sampul album 12×12 inci memberikan pengalaman estetika yang tidak mungkin direplikasi oleh layar ponsel pintar yang kecil.

Fenomena ini diperkuat oleh fakta bahwa separuh dari pembeli vinyl di beberapa pasar besar sebenarnya tidak memiliki alat pemutar piringan hitam (turntable) saat melakukan pembelian. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi utama konsumen adalah kepemilikan fisik atas artefak budaya yang bersifat permanen. Di dunia di mana musik dapat menghilang dari daftar putar streaming karena masalah lisensi atau keputusan platform, memiliki vinyl memberikan rasa aman dan kontrol atas akses terhadap karya seni tersebut.

Psikologi Keberwujudan: Ritual, Fokus, dan Kehadiran

Kebutuhan untuk memegang karya seni secara nyata berakar pada dimensi psikologis yang dalam. Pengalaman mendengarkan musik digital sering kali bersifat pasif, di mana musik hanya menjadi latar belakang saat individu melakukan aktivitas multitasking. Sebaliknya, piringan hitam menawarkan pengalaman yang menuntut perhatian penuh dan keterlibatan aktif.

Ritual Mendengarkan sebagai Praktik Mindfulness

Proses memutar vinyl melibatkan serangkaian langkah ritualistik: memilih album, mengeluarkannya dengan hati-hati dari lengan (sleeve), menempatkannya di piringan, membersihkan debu, dan menurunkan jarum secara presisi. Ritual ini memiliki efek penyeimbang (grounding) yang membantu pendengar merasa lebih hadir (mindful) dalam momen tersebut. Vinyl mendorong apa yang disebut sebagai “deep listening” atau mendengarkan secara mendalam, di mana pendengar fokus pada nuansa instrumen, lirik, dan alur emosional dari sebuah album secara utuh.

Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan penuh dengan musik melalui cara ini dapat memberikan efek positif pada suasana hati, menurunkan tingkat stres, dan meningkatkan kesejahteraan mental secara keseluruhan. Di tengah kebisingan informasi digital yang konstan, ritual memutar vinyl menjadi bentuk pelarian meditatif yang memungkinkan individu untuk melambat dan menghargai karya seni sebagaimana yang diinginkan oleh senimannya—tanpa godaan untuk menekan tombol “skip” atau mengacak daftar putar (shuffle).

Kehangatan Analog vs Presisi Digital

Secara teknis, terdapat perbedaan mendasar antara audio analog dan digital. Piringan hitam bekerja berdasarkan prinsip mekanis di mana jarum melacak alur fisik pada piringan, menangkap gelombang suara secara kontinu. Banyak penikmat musik menggambarkan suara vinyl sebagai lebih “hangat,” “kaya,” dan “alami” dibandingkan format digital yang sering kali dianggap terlalu bersih namun “dingin”.

Ketidaksempurnaan pada vinyl, seperti suara desis permukaan halus atau letupan kecil (pops and crackles), justru memberikan karakter otentik dan intim pada pengalaman mendengarkan. Hal ini membuat musik terasa lebih “manusiawi” dan kurang otomatis dibandingkan dengan file digital yang dikompresi secara sempurna. Bagi banyak audiophile, kehangatan analog ini menciptakan koneksi emosional yang lebih kuat dengan rekaman tersebut, seolah-olah musisinya hadir langsung di dalam ruangan.

Fitur Perbandingan Musik Digital (Streaming) Musik Analog (Vinyl)
Metode Reproduksi Sampling biner (0 dan 1) Mekanis (stylus di alur vinyl)
Karakter Suara Presisi, jernih, konsisten Hangat, kaya, memiliki noise permukaan
Keterlibatan Pendengar Pasif, multitasking, instan Aktif, ritualistik, menuntut fokus
Bentuk Kepemilikan Hak akses (lisensi sementara) Kepemilikan fisik (permanen)
Dinamika Album Sering didengarkan per lagu Didengarkan secara utuh (Sisi A & B)

Sumber: Disintesis dari data psikologi suara dan teknologi audio.

Pergeseran Nilai Ekonomi: Dari Penjualan Unit ke Monetisasi Data

Ekonomi kreatif baru telah mengubah unit fundamental nilai dalam industri musik. Di era CD, nilai ekonomi diukur berdasarkan jumlah unit yang terjual. Dalam ekosistem streaming, nilai tersebut bergeser ke arah monetisasi data perilaku konsumen dan loyalitas mendalam yang dimiliki oleh kelompok “superfan.”

Big Data sebagai Komoditas Strategis

Platform seperti Spotify tidak hanya berfungsi sebagai penyalur musik, tetapi juga sebagai mesin pengumpul data yang sangat masif. Melalui fitur “Spotify for Artists,” musisi dan label dapat mengakses analitik real-time mengenai siapa pendengar mereka, di mana mereka berada, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan sebuah lagu. Data ini menjadi aset krusial untuk perencanaan tur konser dan produksi merchandise.

Sebagai contoh, jika data streaming menunjukkan adanya konsentrasi pendengar yang tinggi di kota tertentu, manajemen artis dapat memutuskan untuk menjadwalkan konser di kota tersebut dengan risiko kegagalan yang minimal. Selain itu, integrasi antara data streaming dan penjualan merchandise memungkinkan artis untuk menawarkan produk yang sangat spesifik bagi audiens mereka, seperti kaos edisi khusus yang hanya dipromosikan kepada pendengar setia di wilayah tertentu.

Ekonomi Superfan: Kualitas di Atas Kuantitas

Industri musik modern mulai menyadari bahwa mengejar jumlah pendengar kasual dalam jumlah besar tidak selalu seefektif mengelola sekelompok kecil penggemar yang sangat loyal atau “superfan.” Meskipun superfan rata-rata hanya mewakili 2% hingga 20% dari total pendengar bulanan seorang artis, mereka bertanggung jawab atas sekitar 18% dari total jumlah pengaliran (streams) dan menghabiskan jauh lebih banyak uang untuk produk fisik dan pengalaman langsung.

Data dari Goldman Sachs memperkirakan bahwa monetisasi superfan dapat menambah pendapatan industri hingga US$4,5 miliar pada tahun 2024. Hal ini mendorong platform streaming untuk memperkenalkan model berlangganan bertingkat (tiered pricing) di mana superfan dapat membayar lebih untuk mendapatkan akses awal ke lagu baru, konten di balik layar, atau audio dengan resolusi tinggi (High-Fi). Di China, jutaan pengguna telah membayar untuk langganan “Super VIP” yang harganya lima kali lipat dari paket standar, hanya untuk mendapatkan hak istimewa tersebut.

Peran Konser Live dan Merchandise dalam Struktur Pendapatan

Karena royalti dari streaming per putaran relatif kecil—rata-rata sekitar US$0,007 per putaran—musisi kini sangat bergantung pada “ekonomi pengalaman”. Konser live dan penjualan merchandise menjadi tulang punggung finansial bagi sebagian besar artis. Strategi modern melibatkan penggunaan platform digital bukan hanya sebagai sumber pendapatan langsung, tetapi sebagai alat pemasaran untuk mengonversi pendengar streaming menjadi pembeli tiket konser.

Spotify, misalnya, telah mengintegrasikan tab “Concerts” langsung di profil artis yang menarik data dari platform seperti Songkick untuk memberi tahu penggemar kapan artis idola mereka akan tampil di dekat lokasi mereka. Sinergi ini menciptakan ekosistem di mana aktivitas digital (mendengarkan lagu) secara langsung mendorong aktivitas fisik (menghadiri konser), yang pada gilirannya sering kali meningkatkan penjualan rilisan fisik seperti vinyl di meja merchandise konser tersebut.

Dampak Algoritma dan Perilaku Konsumsi Pasif

Meskipun streaming memberikan kemudahan akses, terdapat kritik terhadap bagaimana algoritma rekomendasi mengubah perilaku pendengar. Algoritma yang digunakan oleh platform seperti Spotify dan YouTube Music bekerja berdasarkan data perilaku masa lalu pengguna, yang sering kali menciptakan fenomena “gelembung selera” (taste bubbles).

Keterbatasan Eksplorasi Mandiri

Dalam ekosistem algoritma, pendengar cenderung disuapi dengan lagu-lagu yang memiliki karakteristik serupa dengan preferensi mereka sebelumnya. Hal ini membuat pendengar menjadi pasif karena mereka tidak lagi melakukan pencarian aktif terhadap genre atau artis baru di luar zona nyaman mereka. Peneliti berargumen bahwa hal ini dapat membatasi wawasan musik pengguna dan mengurangi keberagaman budaya yang dikonsumsi.

Media sosial seperti TikTok memperburuk fenomena ini melalui tren lagu viral yang sering kali hanya dinikmati dalam potongan pendek (sepotong) saja. Hal ini memicu kekhawatiran mengenai kedangkalan apresiasi terhadap karya musik sebagai sebuah kesatuan seni yang utuh. Dalam konteks inilah, koleksi musik fisik seperti vinyl hadir sebagai solusi bagi mereka yang ingin kembali mengapresiasi musik secara menyeluruh dan melakukan eksplorasi yang lebih disengaja tanpa arahan algoritma.

Ekonomi Kreatif Musik di Indonesia: Tradisi dan Transformasi Digital

Indonesia memiliki dinamika ekonomi kreatif yang unik, di mana transisi digital berjalan beriringan dengan kebangkitan komunitas kolektor fisik yang militan. Kontribusi industri musik terhadap PDB ekonomi kreatif nasional terus menunjukkan tren positif.

Data dan Kontribusi Ekonomi Nasional

Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), kontribusi industri musik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diproyeksikan mencapai Rp7 triliun pada tahun 2024. Pada tahun sebelumnya, subsektor musik menyumbang hampir Rp6 triliun, yang menunjukkan pertumbuhan yang solid meskipun menghadapi tantangan regulasi royalti dan hak cipta.

Pemerintah Indonesia memandang musik sebagai salah satu dari 16 subsektor strategis ekonomi kreatif yang mampu menyerap tenaga kerja secara signifikan. Jumlah orang yang terlibat dalam industri kreatif secara keseluruhan di Indonesia diperkirakan mencapai 24,7 juta orang pada tahun 2024. Pemanfaatan teknologi digital seperti streaming telah membantu mengurangi angka pembajakan di Indonesia karena menawarkan harga yang lebih kompetitif dan kemudahan akses dibandingkan membeli album fisik bajakan.

Resurgensi Piringan Hitam di Indonesia

Di Indonesia, kebangkitan piringan hitam memiliki akar sejarah yang kuat. Sejak berdirinya Tio Tek Hong Record di Batavia pada awal abad ke-20 dan diikuti oleh berdirinya Lokananta di Solo pada tahun 1950-an, piringan hitam telah menjadi bagian dari identitas musik Indonesia. Lokananta sendiri saat ini masih menyimpan koleksi sekitar 40.000 kaset pita dan piringan hitam yang menjadi saksi sejarah musik nusantara.

Saat ini, komunitas kolektor vinyl di Indonesia didominasi oleh Generasi Milenial dan Gen Z. Di kota-kota besar seperti Jakarta, pusat penjualan piringan hitam seperti Jalan Surabaya, Blok M Plaza (Paperpot Record), dan Kemang (Monka Magic) menjadi titik temu para penikmat musik yang mencari rilisan fisik. Banyak band lokal Indonesia mulai merilis album dalam format vinyl terbatas sebagai bentuk eksklusivitas. Sebagai contoh, band rock The Brandals atau solois Danilla Riyadi sering kali menggunakan format ini untuk menargetkan segmen kolektor setia yang menghargai kualitas audio dan estetika sampul album.

Parameter Pasar Musik Indonesia Estimasi Nilai / Data Keterangan
Kontribusi PDB (2024) Rp7 Triliun Proyeksi Kemenparekraf
Pengguna Streaming ~46,9 Juta Orang 35,5% dari populasi internet
Demografi Pendengar Digital 84% Usia 15-34 Tahun Dominasi Gen Z dan Milenial
Pertumbuhan Vinyl Lokal Rata-rata 16% Dalam lima tahun terakhir
Pusat Kolektor Utama Jakarta, Bandung, Solo Lokananta, Jalan Surabaya, Blok M

Sumber: Disintesis dari laporan Kemenparekraf, APJII, dan Litbang Kompas.

Dimensi Lingkungan: Dilema Jejak Karbon Digital vs Fisik

Salah satu aspek yang sering terabaikan dalam perdebatan antara streaming dan vinyl adalah dampak lingkungannya. Secara intuitif, streaming yang tidak menggunakan bahan plastik tampak lebih ramah lingkungan. Namun, penelitian terbaru menunjukkan realitas yang lebih kompleks.

Jejak Karbon Infrastruktur Digital

Layanan streaming bergantung pada pusat data (data centers) raksasa yang membutuhkan energi listrik dalam jumlah besar untuk penyimpanan, transmisi, dan pendinginan server. Setiap kali seseorang mengalirkan lagu, terjadi konsumsi energi di seluruh jaringan. Diperkirakan bahwa pada tahun 2023, jejak karbon dari layanan streaming video dan musik telah melampaui emisi yang dihasilkan oleh industri penerbangan global sebelum pandemi.

Data menunjukkan bahwa streaming satu jam video berkualitas HD menghasilkan sekitar 100 hingga 175 gram karbon dioksida. Dalam konteks musik, emisi tahunan dari layanan streaming di AS saja diperkirakan mencapai ratusan ribu ton CO2. Masalah utama dari streaming adalah biaya karbon yang bersifat berkelanjutan; setiap kali lagu diputar, jejak karbonnya bertambah sedikit demi sedikit.

Jejak Karbon Piringan Hitam: Biaya Satu Kali

Piringan hitam terbuat dari polyvinyl chloride (PVC), plastik berbasis minyak bumi yang produksinya menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Produksi satu unit piringan hitam vinyl diperkirakan menghasilkan sekitar 0,5 kg hingga 2,2 kg CO2. Namun, emisi ini adalah “biaya satu kali” (one-off cost). Setelah diproduksi, piringan hitam dapat diputar berulang-ulang selama puluhan tahun tanpa menghasilkan emisi tambahan, selain energi listrik sangat kecil yang digunakan oleh turntable.

Penelitian menunjukkan adanya titik impas (break-even point) lingkungan: jika seseorang mendengarkan sebuah album lebih dari 27 kali, maka memiliki salinan fisik (seperti CD atau vinyl) sebenarnya lebih ramah lingkungan daripada terus-menerus mengalirkannya melalui internet. Oleh karena itu, bagi lagu-lagu favorit yang didengarkan secara repetitif, format fisik menawarkan solusi keberlanjutan yang lebih baik.

Industri kini mulai merespons tantangan ini dengan inovasi seperti “bio-vinyl” yang menggunakan bahan ramah lingkungan atau “Tiny Vinyl” berukuran 4 inci yang lebih ringan dan diproduksi dengan material daur ulang. Billie Eilish, misalnya, menjadi salah satu artis besar yang mulai menggunakan bio-vinyl untuk rilisan album terbarunya guna menekan dampak lingkungan dari format fisik.

Kesimpulan: Ekosistem Hybrid sebagai Masa Depan Ekonomi Kreatif

Evolusi cara kita mengonsumsi musik telah sampai pada model hybrid yang saling melengkapi antara akses digital dan kepemilikan fisik. Streaming telah memenangkan pertempuran dalam hal kenyamanan, penemuan musik baru secara masif, dan efisiensi biaya akses. Namun, vinyl telah memenangkan pertempuran dalam hal kedalaman pengalaman, keberlanjutan kepemilikan, dan apresiasi artistik yang mendalam.

Pergeseran nilai ekonomi dari sekadar penjualan unit menjadi monetisasi data dan pengalaman telah memberikan peluang baru bagi para kreator untuk membangun karier yang berkelanjutan. Data streaming memungkinkan musisi memahami audiens mereka dengan presisi tinggi, sementara rilisan fisik dan konser live memberikan sarana bagi superfan untuk mengekspresikan loyalitas mereka secara nyata.

Di Indonesia, pertumbuhan ini didukung oleh penetrasi digital yang kuat di kalangan kaum muda serta resurgensi komunitas kolektor yang menghargai warisan budaya lokal. Tantangan masa depan bagi industri musik adalah bagaimana menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi ini dengan tanggung jawab lingkungan, transparansi algoritma, dan pembagian keuntungan yang lebih adil bagi para pencipta karya. Pada akhirnya, baik itu melalui klik di layar ponsel maupun penurunan jarum di atas piringan hitam, kebutuhan manusia untuk terhubung secara emosional dengan musik tetap menjadi inti dari ekonomi kreatif baru yang terus berkembang ini.