Overtourism: Ketika Keindahan Destinasi Menjadi Musuh Rakyat Lokal
Fenomena pariwisata massal yang tidak terkendali, atau yang kini secara global dikenal sebagai overtourism, telah bertransformasi dari sekadar isu manajemen industri menjadi krisis kemanusiaan dan ekologi yang mendesak. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana jumlah pengunjung di suatu destinasi melampaui kapasitas daya tampung fisik, infrastruktur, sosial, dan lingkungan, yang pada gilirannya menurunkan kualitas hidup penduduk setempat serta merusak pengalaman wisatawan itu sendiri. Seiring dengan pulihnya mobilitas global pasca pandemi COVID-19, muncul tren yang disebut sebagai revenge tourism (pariwisata balas dendam), di mana ledakan kunjungan terjadi sebagai bentuk kompensasi atas masa pembatasan sosial, yang justru mempercepat titik jenuh di berbagai titik panas dunia.
Krisis ini tidak lagi hanya tentang antrean panjang atau kerumunan di lokasi ikonik. Di kota-kota seperti Venesia, Barcelona, dan pulau-pulau seperti Bali, overtourism telah memicu konflik terbuka antara kebutuhan ekonomi industri pariwisata dan hak dasar warga lokal untuk mendiami ruang hidup yang layak. Media sosial, khususnya platform berbasis visual seperti Instagram dan TikTok, bertindak sebagai katalisator utama yang mempercepat “peledakan” suatu lokasi, sering kali mengubah lingkungan yang dulunya tenang menjadi latar belakang foto bagi jutaan orang yang mencari validasi digital, namun mengabaikan integritas budaya dan sosial yang ada. Analisis ini akan mengeksplorasi secara mendalam bagaimana keindahan destinasi dapat berbalik menjadi musuh bagi rakyatnya sendiri, serta mengevaluasi langkah-langkah kebijakan dan pergeseran paradigma yang diperlukan untuk menyelamatkan masa depan pariwisata dunia.
Katalisator Digital: Media Sosial dan Konstruksi Destinasi “Instagrammable”
Pergeseran fundamental dalam pariwisata abad ke-21 didorong oleh visualisasi destinasi melalui media sosial. Fenomena Instagrammable tourism merujuk pada tren di mana wisatawan memilih dan mengunjungi destinasi dengan pertimbangan utama daya tarik visual yang cocok untuk diunggah ke platform digital. Destinasi yang dianggap estetis, unik, atau “kekinian” mengalami lonjakan kunjungan yang drastis segera setelah konten tersebut menjadi viral. Akibatnya, banyak pengelola destinasi kini berlomba-lomba menyediakan spot foto khusus untuk menarik minat wisatawan digital ini.
Namun, tren ini menciptakan pergeseran perilaku yang signifikan. Wisatawan kini lebih cenderung menjadi selfie tourists, sebuah generasi yang lebih fokus pada dokumentasi visual dan berbagi pengalaman secara digital daripada melakukan eksplorasi budaya yang mendalam atau interaksi autentik dengan masyarakat setempat. Motivasi berwisata telah bergeser dari orientasi intrinsik (pencarian makna) ke ekstrinsik (pembentukan eksistensi digital melalui likes dan komentar). Representasi visual di Instagram bukan lagi sekadar merekam apa yang ada, melainkan bentuk konstruksi citra melalui sudut pandang dan narasi yang dikurasi, yang sering kali mengaburkan realitas lapangan dan tekanan yang dialami oleh penduduk lokal.
| Dampak Media Sosial terhadap Pariwisata | Mekanisme Transformasi | Konsekuensi terhadap Lokalitas |
| Homogenisasi Estetika | Destinasi meniru tren visual global untuk menjadi viral. | Kehilangan keunikan lokal; munculnya “template wisata” yang seragam. |
| Konsentrasi Massa | Algoritma mendorong arus kunjungan ke titik foto yang sama secara bersamaan. | Kemacetan infrastruktur ekstrem pada area yang terbatas. |
| Komodifikasi Identitas | Praktik budaya diubah menjadi pertunjukan estetis demi konten. | Erosi makna autentik; tradisi dipertahankan hanya sebagai properti foto. |
| Ekspektasi vs Realitas | Gambar yang diedit menciptakan ekspektasi yang tidak realistis. | Kekecewaan wisatawan dan tekanan bagi pengelola untuk memodifikasi alam. |
Dampak dari peledakan destinasi akibat media sosial ini sangat nyata di tempat-tempat seperti Desa Canggu di Bali. Penelitian menunjukkan bahwa media sosial memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap fenomena overtourism di wilayah tersebut, yang menyebabkan kemacetan lalu lintas, perubahan penggunaan lahan, dan degradasi budaya. Representasi visual yang kuat di media sosial membentuk persepsi bersama tentang destinasi ideal, yang pada akhirnya mendorong mobilitas manusia dalam skala besar menuju titik-titik yang sering kali tidak siap secara infrastruktur untuk menampung beban tersebut.
Venesia: Kota Kanal yang Terkepung dan Eksperimen Pajak Masuk
Venesia, Italia, telah lama menjadi simbol klasik dari dampak buruk overtourism. Kota yang dibangun di atas fragilitas ekosistem laguna ini menghadapi tekanan yang luar biasa, dengan rata-rata 80.000 pengunjung harian pada tahun 2024, jumlah yang jauh melebihi kapasitas kota kecil tersebut. Beban ini telah menyebabkan kerusakan pada bangunan bersejarah akibat erosi yang dipicu oleh lalu lintas kapal besar, serta kemacetan yang melumpuhkan sistem transportasi kanal yang menjadi urat nadi kehidupan warga.
Frustrasi warga Venesia telah memuncak dalam bentuk demonstrasi terorganisir, termasuk pawai simbolis “pemakaman” kota untuk meratapi hilangnya kehidupan Venesia yang autentik. Warga merasa menjadi orang asing di kota mereka sendiri, karena fasilitas umum yang terbatas harus diperebutkan dengan jutaan wisatawan. Sebagai respons terhadap tekanan ini, pemerintah kota Venesia mengimplementasikan kebijakan yang dianggap sebagai salah satu eksperimen manajemen pariwisata paling radikal di dunia: Venice Access Fee.
Mekanisme dan Implementasi Venice Access Fee 2024-2025
Kebijakan ini secara khusus menargetkan wisatawan harian (day-trippers) yang tidak menginap di kota. Wisatawan harian dianggap memberikan beban infrastruktur yang besar tanpa memberikan kontribusi ekonomi yang sepadan melalui pajak hotel. Berikut adalah detail implementasi biaya akses tersebut:
- Skema Biaya: Pada tahun 2024, uji coba dilakukan dengan biaya tetap sebesar €5 bagi pengunjung di atas usia 14 tahun. Untuk tahun 2025, skema ini diperluas dengan tarif €10 bagi mereka yang membayar kurang dari empat hari sebelum kedatangan, dan tarif diskon €5 bagi pemesanan jauh-jauh hari.
- Waktu Operasional: Biaya ini hanya berlaku pada hari-hari puncak (akhir pekan dan hari libur) antara pukul 08:30 hingga 16:00.
- Sistem Pendaftaran: Wisatawan wajib mendaftar secara daring untuk mendapatkan kode QR yang harus ditunjukkan di gerbang masuk utama kota. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenakan denda antara €50 hingga €300.
- Pengecualian: Penduduk asli, pekerja lokal, siswa, anak di bawah 14 tahun, dan wisatawan yang menginap di hotel (yang sudah membayar pajak penginapan) dibebaskan dari biaya akses ini.
Meskipun bertujuan mulia untuk mendanai pemeliharaan kota dan layanan publik, efektivitas biaya ini sebagai pencegah kerumunan tetap menjadi perdebatan sengit. Data dari fase uji coba tahun 2024 menunjukkan pendapatan sebesar €2,4 juta dari sekitar 485,000 pengunjung. Namun, kritikus berpendapat bahwa jumlah pengunjung pada hari-hari tertentu justru meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa biaya €5 tidak cukup signifikan untuk menghalangi wisatawan yang telah menghabiskan ribuan euro untuk perjalanan mereka. Beberapa pihak bahkan menuduh kebijakan ini hanya merupakan upaya pengumpulan pendapatan dan justru memperkuat citra Venesia sebagai “taman hiburan” bertarif masuk daripada sebuah kota yang hidup.
Barcelona: Pemberontakan Warga terhadap Gentrifikasi dan Krisis Hunian
Di Barcelona, Spanyol, konflik pariwisata mengambil bentuk yang lebih politis dan agresif. Kota ini mengalami lonjakan wisatawan hingga mencapai 26 juta pengunjung per tahun, angka yang sangat kontras dengan jumlah penduduknya yang hanya 1,6 juta jiwa. Tekanan ini tidak hanya dirasakan di jalan-jalan yang padat seperti La Rambla, tetapi juga merambah ke dalam struktur kebutuhan dasar warga: perumahan.
Gelombang protes yang meletus pada Juli 2024 dan berlanjut hingga 2025 menunjukkan tingkat kemarahan yang baru. Ribuan warga berbaris di jalan-jalan dengan spanduk bertuliskan “Tourists Go Home” dan “Your holidays, my misery”. Dalam salah satu aksi yang viral secara global, para pengunjuk rasa menyemprotkan air ke arah wisatawan yang sedang makan di restoran ruang terbuka menggunakan pistol air sebagai bentuk penolakan terhadap invasi ruang publik mereka.
Isu Utama: Gentrifikasi Pariwisata dan Krisis Perumahan
Kemarahan warga Barcelona berakar pada fenomena gentrifikasi pariwisata. Kehadiran platform penyewaan jangka pendek seperti Airbnb telah mengubah ribuan unit rumah tinggal menjadi akomodasi turis yang lebih menguntungkan bagi pemilik properti. Dampaknya sangat merusak bagi masyarakat lokal:
- Meroketnya Harga Sewa: Permintaan tinggi dari wisatawan menyebabkan harga sewa properti naik drastis, memaksa penduduk lokal yang telah lama tinggal di sana pindah ke pinggiran kota karena tidak lagi mampu membayar biaya hidup.
- Hilangnya Layanan Esensial: Toko-toko kebutuhan harian seperti tukang daging atau toko kelontong digantikan oleh toko suvenir dan restoran cepat saji untuk turis, menghancurkan ekosistem ekonomi yang mendukung kehidupan warga permanen.
- Degradasi Kualitas Hidup: Kepadatan pejalan kaki yang ekstrem, kebisingan dari kehidupan malam, dan beban pada layanan publik seperti transportasi dan pembuangan sampah membuat pusat kota menjadi tidak layak huni bagi keluarga.
Sebagai respons radikal terhadap krisis ini, Walikota Barcelona mengumumkan rencana untuk melarang semua lisensi apartemen wisata pada tahun 2028. Selain itu, kota ini juga telah menaikkan pajak turis bagi penumpang kapal pesiar yang berkunjung kurang dari 12 jam, sebuah kelompok yang dianggap memberikan beban puncak pada kota dengan manfaat ekonomi minimal. Langkah-langkah ini mencerminkan pengakuan pemerintah bahwa pariwisata tanpa kendali bukan lagi sebuah aset, melainkan ancaman terhadap stabilitas sosial dan hak atas perumahan bagi warganya.
Bali: Perjuangan Identitas Budaya di Tengah Komodifikasi Lahan
Bali, Indonesia, menghadapi tantangan overtourism yang unik karena keterikatannya yang kuat antara lanskap alam, praktik keagamaan, dan identitas budaya. Dengan hampir 15 juta kunjungan wisatawan pada tahun 2024, pulau ini berada di titik nadir keseimbangan ekologis dan spiritual. Masalah utama di Bali bukan hanya tentang jumlah orang, tetapi tentang bagaimana pariwisata mengubah fundamental “kebalian” itu sendiri melalui alih fungsi lahan dan perilaku wisatawan yang tidak terkendali.
Krisis Alih Fungsi Lahan dan Spiritualitas
Analisis terhadap pola permukiman di Bali, khususnya di wilayah seperti Ubud dan Sanur, menunjukkan bahwa gentrifikasi pariwisata telah mengikis konsep tata ruang tradisional yang didasarkan pada filosofi Tri Hita Karana. Pembangunan resor, vila, dan klub pantai yang masif sering kali menempati lahan sawah yang dianggap suci dan merupakan bagian integral dari sistem irigasi Subak yang diakui UNESCO.
- Laju Alih Fungsi: Diperkirakan sekitar 600 hingga 1.000 hektar sawah di Bali hilang setiap tahunnya demi infrastruktur pariwisata. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga ancaman terhadap kedaulatan pangan dan kelestarian ritual yang berkaitan dengan siklus pertanian.
- Komersialisasi Budaya: Praktik adat dan ritual keagamaan sering kali dikomodifikasi demi kepuasan wisatawan, yang menyebabkan makna asli dari tradisi tersebut memudar atau mengalami distorsi.
- Marginalisasi Desa Adat: Masuknya investor asing ke lokasi-lokasi strategis sering kali meminggirkan peran Desa Adat dalam mengelola sumber daya lokal mereka sendiri, menciptakan kesenjangan sosial yang lebar antara pengusaha pariwisata kaya dan masyarakat agraris tradisional.
Pungutan Wisatawan Asing dan Penegakan Aturan Perilaku
Sebagai langkah mitigasi, Pemerintah Provinsi Bali secara resmi memberlakukan Pungutan Wisatawan Asing (PWA) sebesar Rp150.000 (sekitar USD 10) mulai 14 Februari 2024. Dana yang terkumpul dari pungutan ini secara eksplisit ditujukan untuk pelestarian lingkungan, pengelolaan sampah, serta perlindungan warisan budaya dan pura. Meskipun diproyeksikan menghasilkan pendapatan hingga Rp325 miliar pada tahun 2025, tingkat kepatuhan pada awal implementasi dilaporkan masih rendah, yakni hanya sekitar 40% dari kedatangan harian.
Selain retribusi finansial, Bali juga menghadapi krisis perilaku wisatawan mancanegara. Kasus wisatawan yang berpose tidak sopan di tempat suci, melanggar aturan lalu lintas, hingga mengganggu upacara adat telah memicu kemarahan publik. Pemerintah merespons dengan mengeluarkan SE Gubernur Bali No. 7 Tahun 2025 yang mewajibkan wisatawan untuk:
- Menghormati kesucian pura, simbol keagamaan, dan upacara adat.
- Berpakaian sopan dan berperilaku tertib di tempat umum dan kawasan suci.
- Menggunakan pemandu wisata berlisensi yang memahami budaya lokal saat mengeksplorasi situs bersejarah.
- Mematuhi hukum lalu lintas dan menggunakan jasa transportasi resmi.
Langkah-langkah ini menunjukkan pergeseran fokus Bali dari sekadar kuantitas menuju kualitas pariwisata yang lebih beradab dan menghargai kearifan lokal.
Struktur Ekonomi dan Sosial: Menakar Kerugian di Balik Angka PDB
Meskipun pariwisata sering dipuja sebagai mesin pertumbuhan ekonomi—menyumbang lebih dari 60% PDB Bali dan sekitar 12,3% PDB Spanyol—ketergantungan yang berlebihan menciptakan kerapuhan sistemik. Fenomena “monokultur ekonomi” terjadi ketika sektor lain seperti pertanian atau industri kecil diabaikan demi pariwisata, sehingga ketika terjadi krisis global seperti pandemi, seluruh struktur ekonomi daerah tersebut runtuh.
| Aspek Dampak | Manfaat Ekonomi (Jangka Pendek) | Kerugian Sosial-Lingkungan (Jangka Panjang) |
| Lapangan Kerja | Menciptakan jutaan pekerjaan di sektor perhotelan dan jasa. | Pekerjaan sering kali bersifat musiman, berupah rendah, dan tidak stabil. |
| Infrastruktur | Pembangunan jalan, bandara, dan fasilitas modern. | Infrastruktur hanya difokuskan pada area turis, menyebabkan kemacetan di area warga. |
| Pendapatan Daerah | Peningkatan basis pajak dan retribusi wisatawan. | Biaya pemeliharaan lingkungan dan pengelolaan sampah melampaui pendapatan. |
| Properti | Ledakan nilai lahan dan investasi properti asing. | Penduduk asli terusir (displacement) karena tidak mampu membayar pajak dan sewa. |
Penelitian menunjukkan bahwa manfaat ekonomi pariwisata sering kali tidak “menetes ke bawah” (trickle down) secara adil. Sebagian besar keuntungan justru mengalir ke investor internasional dan jaringan hotel besar, sementara masyarakat lokal menanggung biaya eksternalitas negatif seperti polusi, degradasi lahan, dan kenaikan harga komoditas pokok. Ketimpangan ini memicu sentimen “tourism-phobia” atau kebencian terhadap turis, yang sebenarnya merupakan bentuk protes terhadap ketidakadilan distribusi kekayaan.
Sudut Pandang Etika: Menikmati vs Menghancurkan
Pertanyaan mendasar bagi setiap pengembara modern adalah: apakah kita sedang mengapresiasi keindahan suatu tempat atau justru menjadi agen penghancurnya? Dalam sosiologi pariwisata, terdapat ketegangan antara hak asasi manusia untuk berwisata (yang didorong oleh hak atas waktu luang dan kebebasan bergerak) dengan hak masyarakat lokal untuk mempertahankan ruang hidup, air, tanah, dan integritas budaya mereka.
Paradoks Autentisitas dan “Staged Authenticity”
Pencarian wisatawan akan pengalaman yang “autentik” sering kali justru merusak autentisitas itu sendiri. Ketika sebuah desa tradisional atau upacara adat menjadi tujuan wisata populer, dinamika sosial di dalamnya mulai berubah untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi wisatawan. Inilah yang disebut sebagai staged authenticity (autentisitas yang dipentaskan), di mana praktik budaya dilakukan bukan lagi karena keyakinan intrinsik, melainkan sebagai pertunjukan berbayar bagi penonton luar.
Erosi autentisitas ini mengakibatkan hilangnya Sense of Place (rasa memiliki terhadap tempat). Destinasi-destinasi ikonik mulai tampak seragam karena mengikuti “template wisata” yang viral di media sosial, di mana keunikan lokal dikorbankan demi kenyamanan dan estetika visual wisatawan global. Bagi masyarakat lokal, ini berarti hilangnya keterikatan emosional dengan lingkungan mereka sendiri, yang kini terasa lebih seperti museum atau properti film daripada rumah yang hidup.
Tanggung Jawab Wisatawan: Menuju Perjalanan yang Beretika
Wisatawan memiliki kekuatan besar melalui pilihan konsumsi mereka. Menjadi wisatawan yang bertanggung jawab berarti menyadari bahwa kebebasan kita untuk berlibur memiliki batas pada hak warga lokal untuk hidup dengan martabat. Kode Etik Kepariwisataan Dunia menekankan pentingnya saling menghormati antara wisatawan dan masyarakat setempat sebagai dasar bagi pariwisata yang berkelanjutan.
Beberapa langkah konkret yang dapat diambil wisatawan untuk meminimalkan dampak negatif meliputi:
- Memilih Destinasi Kurang Populer: Alih-alih menambah kepadatan di titik-titik panas, carilah alternatif yang kurang dikenal namun memiliki nilai budaya yang kaya.
- Bepergian di Luar Musim Puncak: Mengunjungi destinasi saat low season membantu meratakan distribusi pendapatan dan mengurangi beban puncak pada infrastruktur lokal.
- Mendukung Ekonomi Lokal secara Langsung: Memilih penginapan milik keluarga, makan di restoran lokal, dan membeli kerajinan dari pengrajin asli untuk memastikan uang tetap berada di komunitas.
- Menghormati Norma dan Hukum Setempat: Mempelajari adat istiadat dasar, berpakaian pantas, dan menghindari perilaku anti-sosial yang dapat menyinggung perasaan warga.
- Menjadi Wisatawan yang Sadar Lingkungan: Mengurangi penggunaan plastik, menghemat air dan energi, serta mengimbangi jejak karbon dari perjalanan udara.
Model Pariwisata Masa Depan: Dari Keberlanjutan ke Regenerasi
Mengatasi overtourism memerlukan pergeseran paradigma dari sekadar pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) menuju pariwisata regeneratif (regenerative tourism). Jika pariwisata berkelanjutan berfokus pada meminimalkan dampak negatif (tidak meninggalkan jejak), pariwisata regeneratif bertujuan untuk memberikan dampak positif yang nyata, yakni meninggalkan destinasi dalam keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya.
Inovasi Kebijakan Global
Beberapa kota dan negara telah mulai menerapkan model regeneratif ini melalui kebijakan yang inovatif:
- Amsterdam dan Ekonomi Doughnut: Kota ini mengadopsi kerangka kerja Doughnut Economics yang menyeimbangkan kebutuhan sosial warga dengan batas-batas ekologis planet. Pariwisata dikelola untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut tidak melampaui daya dukung lingkungan dan memberikan manfaat sosial yang adil bagi penduduk.
- Pariwisata Berbasis Komunitas di Nepal: Melalui model Community-Based Tourism (CBT), masyarakat lokal di Nepal dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan homestay dan tur budaya, sehingga mereka menjadi pemegang kendali atas perkembangan wilayahnya sendiri.
- Kosta Rika dan Ekowisata: Sebagai pionir dalam keberlanjutan, Kosta Rika mengintegrasikan perlindungan biodiversitas dengan ekonomi pariwisata, di mana sebagian besar pendapatan pariwisata diinvestasikan kembali untuk konservasi hutan dan laut.
- Bhutan dan Strategi Nilai Tinggi, Volume Rendah: Dengan menerapkan biaya harian yang signifikan bagi wisatawan, Bhutan secara efektif mengontrol jumlah pengunjung sekaligus memastikan pendapatan yang besar untuk layanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi rakyatnya.
| Nama Model | Lokasi | Prinsip Utama | Hasil/Target |
| Doughnut Economics | Amsterdam | Keseimbangan antara kesejahteraan sosial dan batas ekologis. | Batasan jumlah kunjungan antara 10-20 juta per tahun. |
| Community-Based Tourism | Nepal | Partisipasi aktif dan kepemilikan lokal atas usaha wisata. | Pelestarian budaya dan peningkatan ekonomi desa terpencil. |
| Ekowisata & Sertifikasi | Kosta Rika | Konservasi alam sebagai produk wisata utama. | Pendapatan $4 miliar/tahun dengan perlindungan biodiversitas. |
| Retribusi & Kuota | Venesia | Pengendalian arus pengunjung harian melalui pajak dan pendaftaran. | Pendanaan pemeliharaan kota dan pengurangan kepadatan puncak. |
Kesimpulan: Menciptakan Rekonsiliasi antara Turis dan Tuan Rumah
Krisis overtourism yang melanda Venesia, Barcelona, Bali, dan berbagai destinasi dunia lainnya adalah peringatan keras bahwa model pertumbuhan pariwisata kuantitatif yang tak terbatas telah mencapai titik jenuh. Ketika keindahan suatu tempat menjadi magnet yang menghancurkan kehidupan warganya, maka pariwisata tersebut telah gagal memenuhi tujuannya yang mulia sebagai sarana pemahaman antarmanusia.
Ledakan media sosial telah mempercepat proses ini dengan menciptakan arus massa yang terobsesi pada visualitas, sering kali mengabaikan realitas sosial di balik lensa kamera. Namun, langkah-langkah berani seperti pelarangan penyewaan jangka pendek di Barcelona, pajak masuk di Venesia, dan pungutan wisatawan di Bali menunjukkan adanya kemauan politik untuk menyeimbangkan kembali kepentingan ekonomi dan hak-hak masyarakat lokal.
Masa depan pariwisata terletak pada kemampuan kita untuk bertransformasi menjadi wisatawan yang sadar dan regeneratif. Kita harus berhenti memandang destinasi sebagai “produk” yang dikonsumsi dan mulai melihatnya sebagai “rumah” yang harus kita rawat bersama. Hanya dengan memposisikan kesejahteraan masyarakat lokal dan kesehatan ekosistem sebagai indikator kesuksesan utama, pariwisata dapat kembali menjadi kekuatan yang memberdayakan, bukan yang menghancurkan. Keindahan sebuah destinasi harus tetap menjadi kebanggaan rakyatnya, bukan musuh yang memaksa mereka pergi dari tanah airnya sendiri.